Pangeran Es [End]

Από anakumak

95.7K 3.4K 111

[Yoshil Area] = Icil/Idola Cilik Ini tetang kedatangan Ashilla ke kota baru. Mempertemukan dia dengan sepupu... Περισσότερα

Blurb
Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Promo New Story
Part 17
Part 18
Bukan Update
Part 19
Part 20
Part 22
Epilog
Last and Thanks

Part 21

2.2K 88 0
Από anakumak

Rio mendesah menatap malas ke arah mamanya yang menangis sambil memegang tangan Aya yang tertidur dan papa nya yang berdiri di sebelah ibunya hanya bisa merangkul pundak istrinya.

Kata-kata penyesalan keluar dari mulut ke dua orang tuanya membuat Rio benar-benar ingin mengenyahkan keduanya dari ruangan itu.

Rio mendelik. "Stop! Mama nggak usah nangis, percuma. Semuanya sudah telat. Sekarang mama sama papa nyesel? Kemana kalian selama ini? Kenapa baru sekarang mengakui Aya sebagai cucu? Di saat Aya udah benar-benar kritis? Kenapa kalian nggak datang dari awal? Kenapa?!"

Rio mengeluarkan semua uneknya. Berusaha menggunakan nada normal. Tidak ingin menimbulkan keributan di ruangan ini. Ia tidak ingin Aya terganggu.

"Mama minta maaf Rio. Mama minta maaf. Mama salah." Mama Rio menangis sambil menghampiri anaknya.

Rio menatap tajam ibunya. "Keluar sekarang juga! Rio dan Aya nggak butuh kalian! Rio bisa jagain Aya, tanpa harus melibati kalian."

Rio membuang pandang. Tidak ingin melihat mata mama atau papanya yang terbelalak kaget mendengar ucapan anaknya.

"Tapi Ri--"

"KELUAR RIO BILANG KELUAR!!" teriak Rio menunjuk pintu ruang inap Aya.

Tanpa mereka sadari, Aya menggerakkan jarinya dan mata yang bergerak ke kanan dan kiri.

Mamanya terisak sambil menggeleng kepala saat papa Rio merangkulnya dan membujuknya untuk keluar.

"Mama mohon Rio, izinin mama untuk tetap di sini," kata Mama Rio di sela-sela tangisnya saat suaminya membawanya mendekati pintu.

Saat bersamaan Aya mengigau nama kakak cantik berulang kali. Membuat Rio berseru nama 'Aya' dan menghampiri gadis kecil yang masih terpejam dengan alat-alat memenuhi tubuh dan wajahnya.

Waktu itu juga papa Rio yang ingin membuka pintu menoleh dan menghampiri Aya. Di mana Rio sedang memencet tombol merah besar di atas ranjang Aya berulang kali. Berharap dokter segera datang.

¶Yoshil¶

Rio mendesah panjang melihat orang yang di bencinya dan ia hindari belakangan ini berdiri di seberang koridor yang tampak sepi bersama sahabatnya. Alvin memegang tangan Shilla yang sedang menangis.

"Shil, demi apa pun akan gue lakuin, asalkan lo nggak ngehindarin gue. Gue benar-benar nggak bisa berjauhan dengan lo. Gue udah terbiasa dengan kehadiran lo, Shil. Gue mohon, jangan jauhin gue," kata Alvin berputus asa menatap dalam mata Shilla yang berkaca-kaca.

Shilla meneguk ludah susah payah. Bukan hanya Alvin saja yang tidak bisa berjauhan dengan nya. Ia juga. Shilla terlanjur terbiasa bersama Alvin.

"Demi apa pun?" cicit Shilla setelah berusaha mengeluarkan suaranya.

Alvin mengangguk, Shilla menghela napasnya. Ini saatnya meminta Alvin untuk mendekati Via dan ini saatnya Shilla bisa berbaikan dengan Via. Ya, ini saatnya. Hati Shilla meyakinkan.

"Gue mohon sama lo untuk deketin Via. Lo belajar untuk nerima kehadiran dia dan perasaanya. Selama ini Via sudah banyak memendam sakit karena sikap dan ucapan lo, Vin dan sekarang saatnya lo ngebalas semuanya. Lo obati sakit yang lo buat, Vin."

Alvin tampak menggeleng samar, mendekati cewek itu tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Lagian perasaanya tidak akan secepat itu berpaling dari Shilla.

"Gue nggak bisa."

"Kenapa? Lo udah janji ke gue, Vin. Apapun akan lo lakuin asalkan gue nggak ngejauhin lo. Kalau lo emang nggak bisa, gue terpaksa ngejauh lagi," ancam Shilla membuang rasa bersalahnya yang telah memanfaatkan keadaan. Ia merasa egois.

Mendengar itu membuat Alvin merasa mati di tempat. Ancaman yang selama ini ia takuti, seperti yang sudah ia bilang sebelumnya. Alvin tidak akan bisa dan tidak akan pernah bisa tanpa Shilla di hidupnya. Biarlah ia tidak mendapatkan Shilla sebagai kekasih dan pendampingnya kelak.
Cukup sebagai sepupu, itu sudah membuat Alvin bersyukur.

"Jangan!" seru Alvin. Alvin menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Gue akan berusaha untuk nerima perasaan dia. Jadi, jangan jauhin gue. Gue benar-benar nggak bisa tanpa lo. Gue bersyukur dengan lo yang masih tetap sebagai sepupu gue," lirih Alvin dalam tundukannya.

Shilla menghapus air mata. "Gue akan selalu jadi sepupu lo, Vin. Jangan pernah takut untuk itu."

Alvin mendongak dan senyum tipis terbit di wajahnya. "Apa gue boleh peluk lo?" tanya Alvin ragu.

Shilla tersenyum dan mengangguk. Sedetik berikutnya Alvin langsung mendekap Shilla erat. Menuntaskan kerinduan selama mereka berjauhan.

Di seberang koridor Rio mendelik melihat Alvin memeluk Shilla. Ia memang tidak tahu apa yang ke dua orang itu bicarakan, tapi satu yang terlintas dipikirannya. Kemungkinan Shilla menerima Alvin sebagai kekasihnya. Rio meyakinkan itu saat melihat senyum bahagia di wajah Alvin.

Tanpa sadar ia mengepal kuat tangannya hingga buku-buku jarinya terlihat memutih. Rahangnya mengeras dan terdengar gemeletuk gigi yang beradu. Perasaannya di dalam sana entah kenapa merasa sakit dan tidak menerima kenyataan yang ia lihat.

Dengan sekali berbalik, Rio pergi menjauh dari tempat itu. Meninggalkan sepasang kekasih yang sedang berbahagia.

¶Yoshil¶

Shilla menghela napas lega. Satu, dua masalah telah terselesaikan. Ia tidak lagi menghindar Alvin dan juga sudah berbaikan dengan Via, setelah menjelaskan semuanya. Mulai dari hubungan sebenarnya antara ia dan Alvin sampai Alvin yang akan belajar menerima Via dan untung saja, Via mau memberikan Alvin kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Jadi, sekarang Shilla bisa bernapas lega untuk sesaat sebelum bertemu dengan Rio yang saat ini berdiri kurang lebih dua meter di depannya.

Shilla berhenti melangkah dan terdiam mematung. Senyum yang terukir lebar tadi terkatup seketika matanya tanpa sengaja bersitatap dengan Rio.

Shilla menunduk menggigit bibir dan berjalan cepat melewati Rio. Untuk sekarang ia tidak bisa bertemu dengan cowok itu. Bisa-bisa program melupakan n yang ia lakukan akan gagal total.

"Congrats, ya, gue seneng ngelihat sahabat gue bahagia." Shilla yang mendengar itu berhenti melangkah dan terdiam bingung, berharap Rio melanjutkan ucapannya. Rio berbalik menatap punggung Shilla yang berdiri tiga langkah di depannya." Gue harap lo bisa ngebagi kebahagiaan lo ke seseorang."

Shilla semakin mengerutkan kening, masih bingung dengan perkataan Rio. Sebenarnya Shilla ingin berbalik menatap Rio, tapi sekali lagi tidak ingin programnya gatot. Jadi, ia menahan diri untuk tidak berbalik Rio.

"Gue nggak tau, apa hubungan lo dengan Aya, tapi dia ingin lo datang nemuin dia. Gue sebagai uncle nya minta pada lo, tolong luangin waktu sebentar untuk ngelihat Aya."

Mendengar itu Shilla terbelalak lalu berbalik melihat Rio yang kini tertunduk kacau. Rio akan melakukan apa pun untuk membuat keponakannya bahagia. Sekalipun harus memohon pada orang yang selama ini ia benci. Rio akan mengesampingkan egonya untuk Aya. Apa pun akan Rio lakukan.

"Gue mohon, Shil," lirih Rio saat melihat Shilla masih berdiam diri dalam keterkejutan nya.

Rio bahkan sudah menekatkan hati untuk melakukan apa saja demi Shilla menerima ajakannya. Jika saja Shilla tidak ingin menemui Aya karena sikapnya selama ini, tapi dewi keberuntungan sedang berbaik hati pada Rio karena Shilla menyanggupinya.

"Lo nggak usah memohon ke gue Rio," kata Shilla disela menahan tangisnya.

Rio mendongak mendengar ucapan Shilla dan terlebih panggilan gadis itu padanya. Shilla tidak lagi memanggilnya dengan panggilan kamu, tapi lo. Apa segitu marahnya Shilla pada dirinya? Kenapa pula dadanya terasa sesak, sakit, dan kecewa?

Rio menatap Shilla jauh di manik mata gadis itu.

"Lo nggak usah memohon," ulang Shilla meyakinkan Rio." Bawa gue ke tempat Aya pulang sekolah nanti," ujar Shilla dan berbalik pergi meninggalkan Rio yang masih menatap punggungnya dengan tatapan bercampur aduk. Bahagia, kecewa, marah dan sedih.

¶Yoshil¶

Shilla menatap pintu kamar inap yang masih tertutup rapat itu lamat-lamat. Shilla ingat, Rio bilang Aya sudah melewati masa kritis dan terbangun dari komanya lalu dipindahkan ke ruangan ini. Shilla masih terpaku menatap Rio diam yang membuka pintu di depannya.

Rio melirik Shilla yang masih belum bergerak kemudian melengos, mengenggam tangan Shilla dan membawanya masuk.

Shilla tersentak, namun tetap diam menuruti Rio. Rio berdecak lagi. Napasnya seketika sesak melihat dua orang yang tidak di ingin di ruangan itu tengah duduk di sebelah Aya yang tertidur.

"KELUAR!!" bentak Rio tiba-tiba membuat Shilla dan kedua orang yang sudah berada di ruangan itu tersentak dan melirik Rio kaget.

Shilla menatap Rio bingung sedangkan kedua paruh baya itu memandang Rio dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

"RIO BILANG KELUAR!" teriaknya lagi.

"RIO!" Shilla menoleh,  menatap bingung ke arah lelaki paruh baya yang berkharisma.

"Papa nggak pernah mengajari kamu untuk bicara lancang sama orang tua. Jangan pernah membentak kami! Tanpa kami, kamu tidak akan pernah ada di dunia ini. Kami menyesal memiliki anak seperti mu." Pria itu menumpahkan kemarahannya.

Rio sempat melebarkan mata saat mendengar kalimat tajam terakhir yang keluar dari bibir papanya. Orang tuanya menyesal memiliki anak sepertinya? Rio menatap nanar dan kecewa ke arah ayah dan ibunya lalu sedetik berikutnya Rio menatap tajam dan mendengkus.

"Ck! Bahkan Rio akan lebih bersyukur kalau kalian tidak melahirkan Rio ke dunia ini," kata Rio tajam.

Plak

"PAPA!"

Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi Rio membuat sudut bibirnya sobek dan mengeluarkan darah. Shilla mendelik kaget dan refleks mengencangkan gegamannya dengan Rio. Rio sempat melirik Shilla yang ketakutan sekilas.

Mama Rio yang berdiri di belakang suaminya tadi mendekat dan mengelus pelan lengan suaminya itu. Berharap emosinya berkurang.

Rio terkekeh sambil menyeka darah dibibirnya.

"Sudah puas menampar saya? Jika sudah, silakan keluar! Saya tidak ingin membuat Aya bangun dan ketakutan melihat keributan ini."

Papa Rio hendak menampar wajahnya kembali, namun di cegah oleh mamanya.

"Jangan, Pa." Mama Rio menatap suaminya sambil menggeleng lalu menatap Rio. "Baik, mama dan papa akan pergi kalau itu membuat kamu bisa memaafkan kami, tapi kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan hubungi kami. Kami masih orang tua kamu." lanjut Mama Rio sambil menyentuh wajah anaknya yang sudah lama tidak ia sentuh.

Ternyata anaknya sudah dewasa.
Ia tersenyum miris melihat betapa gantengnya wajah Rio dan juga tertegun saat melihat hidung Rio yang sama dengan hidungnya. Ia telah melampaui pertumbuhan Rio selama ini. Kapan terakhir kali ia mengajak Rio bermain dan bercerita serta memasaknya? Setahun lalu ataukah dua belas tahun yang lalu?

Rio mendengkus, mengalihkan perhatian ke sudut lain. Tidak ingin melihat ke dua orang tua sampai mereka meninggalkan ruangan yang kembali sunyi.

"R-rio?" panggil Shilla dengan suara tertahan setelah mendengar pintu kamar tertutup.

Rio menoleh dan menghela napas kemudian berjalan ke sofa yang tersedia di ruangan. Merebahkan tubuh, memejamkan mata. Berharap emosinya mereda.

Shilla yang melihat itu hanya terdiam. Ia tahu Rio butuh waktu untuk sendiri. Shilla berjalan ke tempat tidur Aya dan duduk di kursi di yang tersedia.

"Hi, Sayang. Apa kabar?" kata Shilla memegang tangan Aya yang tidak tertancap infus.

Diam-diam Rio mendengarnya. Ia tidak benar-benar tidur saat ini.

"Kakak kangen kamu. Kamu bangun ya, kakak di sini," ujar Shilla lagi sambil mengelus rambut Aya yang menipis.

"K-kaka cantik," panggil Aya sambil membuka mata dengan suara serak.

Shilla tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Kakak di sini."

"Kakak cantik, jangan nangis. Aya baik-baik aja kok, kata uncle Dit," ujar Aya, di balas anggukan Shilla.

"Hehe. Iya, Kakak nggak nangis kok, ini kelilipan aja," ujar Shilla menyeka air mata dan terkekeh.

"Aya senengggg bangettt, Kakak ada di sini. Ternyata uncle Dit nempetin janjinya." Aya bercerita dan menatap Rio yang tertidur.

"Uncle Dit tidur ya, Kak?" tanya Aya.

Shilla mengangguk setelah melirik Rio sebentar. Aya kembali bercerita dengan semangat menggebu-gebu, seperti sedang tidak sakit saat ini. Mata bulat itu memancarkan sinar bahagia dan bibirnya tak berhenti tersenyum.

Melihat itu Shilla ikut tersenyum. Dalam hati berdoa berharap apapun penyakit yang hinggap di tubuh Aya semoga bisa diobati.

Ia tidak ingin melihat senyum itu pudar. Shilla tidak ingin harapan dan semangat itu hilang dan tidak ingin melihat cahaya di mata bulat indah itu meredup. Ia ingin semuanya baik-baik saja.

¶Yoshil¶

©2015 - 2021

20 Agus 17

Au

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

SAUDARA 4 M Από 023

Γενικό Φαντασίας

421 67 8
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Saudara 4 M julukannya. Wajahnya tidak kembar hanya inisial namanya saja yang sama. Anak dari seorang mafia perempuan yang...
43.8K 1.5K 110
Hanya Sekedar Kata-kata Yang kadang sulit untuk ku ungkapkan")
Quotes Wattpad [Slow Up] Από rinnn🌞

Εφηβική Φαντασία

2K 359 15
"Mimpi adalah elemen besar bagi kesuksesan." [Harap follow dulu sebelum baca🌝] [Up jika tak sibuk]=[ Insyaallah Up setiap hari Jum'at] Hanya sebuah...
Dokter Rivano [ON GOING] Από Its Me Uli

Εφηβική Φαντασία

342K 14K 16
WELCOME TO MY STORY. THIS IS MY STORY BUT NOT MY PERSOANAL EXPERIENCE WITH MY IMAGINATION, I WAS ABLE TO CREATE THIS PLOT:) [SO SEBELUM MEMBACA BUDAY...