Only Hope

By Camilaaz_

48.3K 5.1K 2.7K

"Bisakah aku menjadi - KAMU- untukmu? Sebagai orang pertama yang menjadi maksud pikiranmu." Kalimat itu, ada... More

Prolog
The beginning-part 1
Story of class- part 2
Why- part 3
Picture??- part 4
Last MPLS!- part 5
Begin!- part 6
Choice- part 7
Miss him!-part 8
Good news- part 9
Line!-part 10
Him-part 11
Meet- part 12
The place- part 13
Really?- part 14
About you- Part 15
Run- part 16
A beautiful day -part 17
Fake- part 18
Telling the truth- part 19
Free- part 20
Miscommunications- part 21
Lockers - part 22
Modus- part 23
First greet- part 24
Again - part 25
Prepare - part 26
Miracle - part 27
Thank you - part 28
Lucky day - part 29
Change (1) - part 30
Change (2) - part 31
Peka? - Part 32
Almost - Part 33
A Problem - Part 34
Letter - Part 35
Mean - Part 36
Focus- Part 37
Wrong Opinion - Part 39
For Reset - Part 40
Part 41

This's Over? - Part 38

679 47 26
By Camilaaz_

"Hah? Pindah?!"

Dua kata yang aku dan Dio lontarkan bersama, setelah mendengar pernyataan dari Bu Sofi.

"Iya, tadi pagi orang tua Reihan kesini untuk mengurus berkas kepindahannya. Memangnya kalian belum tahu?"

Aku hanya menggeleng, begitu juga dengan Dio.

"Reihan kenapa pindah, Bu?" tanyaku penasaran.

"Ibu juga tidak tahu, tapi sepertinya Reihan pindah untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik,"

"Pendidikan lebih baik? Maksudnya, Bu?"

"Kalian tahu Kakak Reihan yang kuliah di Australia?" tanya Bu Sofi kembali.

Aku mencoba mengingat lalu mengangguk.

"Jadi Reihan mau pindah ke Australia, Bu?" ujar Dio yang membuat aku sedikit terkejut.

"Australia?" ucapku seraya mencari penjelasan Bu Sofi.

Ia mengangguk yakin, "Yasudah kalian cepat masuk kelas," serunya seraya berjalan menuju tempat dimana guru piket biasanya membunyikan bel.

Bu Sofi menekan tombol dan keluarlah bunyi nyaring dari benda legend itu. "Sudah masuk," katanya kemudian.

Aku dan Dio saling menatap, lalu memutuskan untuk segera pergi dari ruang guru setelah salim pada Bu Sofi.

Di perjalanan menuju kelas, kami sama-sama terdiam dalam pikiran yang memutar.

"Menurut kamu gimana, Di? Masuk akal gak sih, kalo Reihan pindah karena pendidikan?" ucapku masih dengan pikiran yang mengambang.

"Hm, masuk akal aja, sih ... Kamu kan tau Reihan orangnya kayak gimana. Tapi yang bikin aku bingung, kenapa dia gak pernah ngomong sama aku?"

"Jadi kamu beneran gak tau apa-apa?"

Dio menggeleng seraya mengendikkan bahunya.

"Kalo tentang Reihan sama Niken yang putus, kamu juga gak tau?"

"Hah? Mereka udah putus?" tanggapnya.

Aku mengangguk pelan sembari memikirkan apa yang sedang Niken rasakan saat ini. Pasti sangat sedih.

"Oh!" mataku menerawang bebas saat mencerna pikiran yang baru saja bertamu di otakku.

Kemudian aku melihat Dio yang terlihat mengerutkan dahinya.

"Aku tau!" ujarku semangat.

"Apa?"

Aku tersenyum pada Dio, "Alasan Reihan putusin Niken itu karena masalah ini!"

"Maksudnya?"

"Ya ... Kayak yang sering ada di film gitu, Di," ucapku berusaha membuatnya berpikir.

"Eum, LDR ... Gak bisa ... Jadi putus, gitu?" tebaknya ringan.

Aku mangut-mangut yakin, "Iya! Itu pasti alasan mereka putus," ujarku puas.

"Hm, maybe," jawab Dio dengan ekspresi yang tidak terbaca.

"Kok kamu biasa aja, sih? Emangnya kamu punya dugaan lain?" tanyaku yang penasaran dengan pikirannya itu.

"Kalo ... Aurel?" ucapnya datar.

"Aurel? Dia kenapa?"

"Aurel ...," aku bisa melihatnya yang berpikir sejenak, "dia ... Em, tadi kamu nyari dia, kan?" tanyanya yang membuat keningku berkerut seketika.

"Apaan sih, Di? Kok jadi balik tanya," kataku diantara bingung dan kesal.

"Iya, tadi kamu nyari Aurel, kan? Itu tuh Aurel," jawabnya tergesa-gesa sembari menunjuk ke belakangku.

Aku pun menoleh dan melihat sosok Aurel yang berdiri menghadap pintu gerbang sekolah yang sedikit terbuka.

Dengan cepat aku berlari menghampirinya, "Rel," seruku saat sampai di sampingnya.

"Rel, lo tau gak? Ternyata Reihan mau pindah, Rel," ungkapku kemudian.

Aurel menoleh ke arahku lalu mengangguk, "Iya, gue baru tau juga, Kei," katanya dengan wajah datar.

"Lo udah ngomong sama dia? Terus lo udah tau alasan mereka putus belum?" tanyaku tak sabar.

Aurel hanya menggelengkan kepalanya.

"Hm, nih ya, gue rasa alasan Reihan putusin Niken tuh karena ini," aku menatapnya lurus-lurus, "Reihan mau pergi jauh, jadi dia nggak mau LDR-an ... Ya, lo tau kan LDR-an itu pasti berat banget," jelasku panjang sedangkan Aurel terlihat berpikir.

"Gimana? Pikiran kita pasti sama, kan?"

Baru saja Aurel ingin menjawabku, tapi panggilan Dio membuatnya mengatup mulut.

"Kei, udah bel daritadi, kamu gak mau masuk?" ujar Dio.

"Bentar Di, kita lagi berpikir, nih," kataku sambil memainkan jari di dagu.

"Kalian sekelas, kan? Jadi mending mikirnya di kelas aja, biar bisa leluasa mikirnya," usul Dio yang membuatku berpikir setuju.

"Duh, Dio pinter hehe, yaudah ayo Rel masuk," ucapku sembari menggandeng Aurel.

"Yaudah sana duluan masuk kelas," suruhnya.

"Gak bareng? Kamu mau kemana?"

"Biasa...."

"Oh, oke-oke," jawabku karena sudah mengerti apa yang akan Dio lakukan.

"Kuy lah, Rel," ajakku sekali lagi, tetapi tidak digubris olehnya.

Karena melihat Aurel yang melamun, aku pun mengguncang pelan bahunya, "Rel, ayo,"

"Eh? I-iya, Kei," setelah sadar, Aurel langsung pergi begitu saja tanpa menyapa Dio seperti biasanya, bahkan dia tidak mengajakku untuk pergi bersama.

"Loh?" gumamku sedikit merasa terabaikan, lalu aku menoleh ke Dio yang sudah menggerakkan kepalanya, kode agar aku cepat masuk.

Aku mengangguk tersenyum, kemudian berlari menyusul Aurel.

*

15:00

Saat waktu pulang sekolah tiba, aku, Vita, Aurel beserta Vela, sudah sepakat untuk ke rumah Niken.

Aku bahkan meminta izin dan menyerahkan tugas piket kepada Lefany. Untuk saja tanpa banyak bicara Lefany langsung mengiyakan permintaanku tadi.

Sekarang, kami hanya perlu menunggu Vela yang sedang meminta izin untuk tidak menghadiri rapat OSIS kali ini.

"Niken pasti di rumah, kan?" tanya Vita memastikan agar rencana kami tidak sia-sia.

"Ada pasti, gak mungkin dia keliaran disaat kayak gini," tebakku cepat.

Vita mengangguk-angguk, lalu perhatian kami tertuju pada pintu ruang OSIS kembali.

Tidak terlalu lama, akhirnya orang yang ditunggu pun keluar dari sana.

"Yuk, gue udah diizinin, nih." seru Vela sembari memakai sepatunya.

"Oke, udah semua nih, ya! Kuy lah," ucap Vita lalu kami pun bergegas pergi dari sana.

Beruntungnya, diperjalanan menuju parkiran aku melihat Ka Albyan yang berjalan ke arahku, eum ralat! Maksudku ruang OSIS, hehe.

Kami bersimpangan dan gotcha! Aku mendapatkan senyuman singkat darinya yang mengundang dehaman menggoda dari teman-temanku.

Yeah, lumayanlah dapet asupan senyum dua kali sehari dari doi hehe.

*

Suasana hening mulai terjadi lagi saat kami sampai di rumah Niken. Tepatnya sekarang, di kamar Niken, kami semua terdiam bingung untuk mengatakan sesuatu.

Sejak tadi, Niken hanya memandangi piring berisikan makanan kesukaannya, jika ini adalah masa yang normal, aku yakin dia akan melahapnya tanpa tersisa sedikitpun.

"Ken, gue tadi ngeliat kucing anggora di depan rumah lo, lucu banget tau," ujar Vita dengan nada ceria. Berusaha menarik perhatian Niken pada hewan kesukaannya.

"Oiya! Kucingnya lucu banget, Ken, lo harus liat! Kita keluar, yuk?" tambah Vela agar Niken merespon.

Pancingan yang Vita dan Vela buat tidak berhasil membuat Niken mengeluarkan suaranya. Sejak tadi memanglah seperti ini.

"Keira, bisa bantu Tante buatkan minum?" tanya Tante Neli, Mamah Niken, yang tiba-tiba ada di ambang pintu kamar.

"Oh, iya Tante," jawabku lalu mengikutinya berjalan ke dapur.

"Aku bantuin apa, Tante?" tanyaku bingung karena melihat minuman yang sudah selesai dibuat oleh Tante Neli.

"Nggak usah sayang, minumannya udah selesai," ujar Tante Neli dengan tersenyum, "Tante cuma mau nanya sesuatu sama kamu," lanjutnya.

"Tanya apa, Tante?" tanyaku padanya. Sebenarnya aku sudah tahu apa yang akan ditanyakan Tante Neli dan sekarang aku sedang memutar otak untuk menjawabnya.

"Sejak pagi Niken belum makan dan sejak semalam Tante melihat dia cuma terdiam sambil sesekali menangis, kalo cuma karena masalah eskul ... Sepertinya anak Tante bukan anak yang mudah putus asa," kata Tante Neli, kemudian dia menatapku lurus lalu menyampirkan kedua tangannya di pundakku, "apa Niken mempunyai masalah sama Reihan?"

Yap. That's right! Feeling seorang ibu emang gak bisa diganggu gugat.

Aku bingung untuk menjawab apa,tidak mungkin aku membohongi Tante Neli menggunakan alasan eskul lagi, kan?

"Eum, gimana ya Tante, aku juga masih bingung," jawabku sembari menggigit bibir bawahku, "mereka emang ada sedikit slek, Tante. Tapi Tante tenang aja! Semuanya bakal kembali seperti semula, kok. Aku sama yang lain pasti bantu Niken," aku tersenyum padanya, berusaha menghilangkan sedikit kecemasan dari seorang ibu di hadapanku kini.

Tante Neli kemudian tersenyum lalu mengusap lembut lenganku, "Hm, Tante percaya kok, temen-temen Niken pasti bisa bantu dia keluar dari masalah yang dihadapi Niken." katanya sembari menghela napas lega, aku pun tersenyum mengangguk padanya.

Kemudian Tante Neli mengambil nampan berserta minuman yang tadi dibuatnya,"Yasudah ini tolong kamu bawa ke kamar ya! Tante mau pergi keluar sebentar," pesannya sembari memberikan nampan itu.

"Iya Tante," ucapku saat menerimanya.

Dia tersenyum lalu bergegas pergi meninggalkan dapur.

Tiba-tiba kurasakan ada yang bergetar di sakuku. Sepertinya aku mendapat sebuah panggilan.

Kutaruh nampan itu di pantry, lalu segera menerima panggilan yang ternyata dari Dio.

"Halo, Di?"

"Kamu dimana, Kei?"

"Aku dirumah Niken, kenapa Di?"

"Sama yang lain juga?"

"Iya, ada Vela, Vita, sama Aurel,"

"Oh oke-oke. Yaudah ya, Kei, aku mau lanjut main, nih, bye..."

"Eh Di---"

Dengan cepat Dio mematikan telfonnya sepihak, aku mengernyitkan kedua alisku sambil memandang ponsel yang sudah kujauhkan dari telinga.

"Cuma mau tanya itu doang? Aneh." umpatku sedikit kesal.

Kemudian aku pun bergegas kembali ke kamar Niken dan tidak lupa membawa nampan tadi.

"Nah, coba aja lo tanya Keira," ujar Vita sambil menunjuk ke arahku saat aku baru masuk ke kamar.

"Kei, Reihan beneran mau pindah?" tanya Niken sedikit mengambang.

"Oh, iya gue lupa kasih tau. Bener, Ken, gue denger langsung dari Bu Sofi yang baru ketemu ortunya Reihan tadi," jawabku seraya mencari posisi duduk di sudut tempat tidur.

"Dia gak pernah bilang sama gue," ucap Niken pelan, "apa itu udah pasti?" tanyanya kemudian.

Aku mengangguk, "Nih, Aurel aja udah denger sendiri dari Reihan, ya kan, Rel?"

"Iya, tadi Reihan bilang sendiri sama gue," jawab Aurel datar.

Dalam sekejab, aku baru sadar. Sejak tadi Aurel terdiam, dia belum mengoceh sedikitpun sejak kami sampai di rumah Niken. Bahkan mungkin sejak di sekolah, dia sudah menjadi diam seperti itu.

Sebenarnya dia kenapa, sih?

Perbincangan kami pun berlanjut, kami terus menduga apa penyebab Reihan memutuskan Niken seperti ini. Dan dugaan paling besar yaitu karena masalah LDR!

Semangat Niken perlahan mulai kembali. Setidaknya hubungannya dengan Reihan masih bisa terselamatkan jika ini hanya soal jarak.

"Besok gue pasti masuk, gue mau minta kejelasannya tanpa nangis kayak kemaren!" ujarnya dengan semangat.

"Woah ... Kenapa nggak daritadi sih, kita kasih tau Niken," ujar Vita sembari menghembuskan napas kasar.

Kami pun tertawa dengan bodohnya lalu bersorak ria karena melihat Niken yang sudah keluar dari zona sedihnya.

"Huft, lagipula otak gue udah pusing tau mikirin yang nggak mungkin terjadi. Jadi sekarang gue mau positif thinking aja. Please bantu gue, girls," katanya dengan senyuman lebar.

"Pasti, pasti ... Nah, gini dong senyum. Semangat! Jangan bikin orang khawatir," kata Vela sambil mencubit pipi Niken, sedangkan Niken hanya meringis kesakitan.

"Girls," seru Aurel yang membuat kami fokus padanya.

"Gue pulang duluan ya," ucapnya dengan ragu.

"Mau kemana, Rel? Gak bareng aja, nanti?" tanyaku padanya.

Aurel menggeleng, "Eum, sebenernya Mamah gue minta anter buat belanja bulanan, tapi karna gue mau liat Niken dulu, jadi gue tunda deh,"

"Oh, yaudah lo pulang duluan aja Rel, gue udah gapapa, kok," sambung Niken dengan tersenyum.

Kemudian Aurel menghampiri Niken dan memeluknya, "Jangan nangis lagi ya, Ken, gue bakal bantu selesain ini," ujarnya yang bisa kulihat dengan yakin.

Setelah itu Niken mengangguk mengiyakannya.

"Oke, kalo gitu gue duluan ya! Bye-bye," pamit Aurel pada kami.

"Bye Rel, ati-ati," jawab kami.

Aurel pun pergi dengan cepat dari tempat kami.

"Di sekolah tadi, ada masalah?" tanya Niken tiba-tiba.

Kami menggeleng, "Nggak ada, tuh. Emang kenapa?" tanya Vela kembali.

"Entah kenapa gue ngerasa Aurel diem banget tadi, biasanya kalo dia udah diem berarti ada masalah," ujar Niken yang membuat aku merasa Niken bisa merasakan hal yang sama denganku.

"Gue juga ngerasa gitu," sambungku yakin.

"Ah palingan dia baper sama masalah lo Ken, please gak usah bikin teka-teki ribet, deh. Pusing gue." kata Vita yang mengundang tawa kami.

"Oke-oke selow. Oiya, kalian laper gak? Gue mau delivery makanan sepuasnya nih, laper gue dari pagi gak makan," kata Niken sembari nyengir.

"Yee lagian siapa suruh gak makan, hah? Nyiksa diri banget." cibir Vela bercanda.

"Hehe makanya sekarang gue mau makan, nih,"

"Yaudah cepet pencet tuh tombol hp, GeCe! Laper," ujar Vita tak sabar.

"Wess tahan mba, laper galak haha," timpalku diiringi tawa dari lainnya.

Suasananya kembali, Kembali seperti biasa seperti saat kami sudah berkumpul. Tawa canda yang tidak bisa didapatkan jika salah satu tersakiti ini sudah kembali kami dapatkan.
Aku harap tidak ada masalah lain yang menghentikan tawa kami lagi.

*

"Halo Mah?"

"..."

"Eum, Keira beli di mini market depan cafe Twins, Mah,"

"..."

"Iya, sekitar 20 menit dari rumah, pokoknya Mamah tenang aja ya,"

"..."

"Sip, yaudah Mah, Keira mau bayar dulu nih, see you Mah,"

Aku mematikan telfon yang sejak tadi terus memastikanku untuk melaksanakan tugas dengan benar dan sedikit membuatku jengkel.

Tadi, secara mendadak Mamahku menelfon, aku kira terjadi sesuatu atau apapun yang penting, tapi ternyata aku hanya disuruh secepatnya pulang untuk membelikan snack yang akan disajikan untuk para sepupuku yang tanpa diundang datang ke rumahku.

Aku merasa sedikit kesal, bukan karena pizza mozarella yang tidak sempat kumakan di rumah Niken tadi, tapi karena memikirkan betapa berisiknya para sepupu kecilku jika sudah bermain nanti, itu pasti akan mengganggu ketenanganku saat malam hari tiba.

Saat sedang sibuk memikirkan suasana malam nanti, tiba-tiba mataku tertuju pada seseorang disebrang sana.

Dari balik kaca bening milik minimarket, aku bisa melihat Dio yang tengah duduk di dalam cafe Twins.

Dia tidak sendiri, ada seseorang disampingnya. Aku menyipitkan kedua mataku agar penglihatanku sedikit lebih jelas.

Itu ... Reihan?

Line!

Bunyi ringtone Line membuatku cepat mengalihkan pandangan ke benda asalnya.

Ada notif dari Niken.

Niken: Kei, lo masih di minimarket?

Keira: masih Ken, kenapa?

Niken: dompet lo ketinggalan nih, lo mau bayar pake apa? Pake daun? Wkwk

Dengan cepat aku merogoh tas ku, dan ternyata benar dompetku tidak ada. Ah, bagaimana aku bayar semua makanan ini?

Keira: astaga kok bisa? Mana gue lagi ngantri di kasir lagi

Aku melihat ke belakangku, antriannya lumayan panjang dan hanya ada satu orang di depanku.

Niken: ceroboh banget sih 😄, mau dianterin gak?

Keira: mampus malu dua kali lipat nih gue ... Mau Ken, tolong yaaa

"Silahkan, dek,"

Ucapan Mba kasir di hadapanku membuat keringet dingin seketika menyelimuti seluruh tubuhku dengan cepat.

"Eum, Mba ... Maaf dompet saya ketinggalan," ujarku menahan malu, lalu aku teringat ada Dio di sebrang sana.

"Belanjaannya saya taruh di sini dulu ya Mba, sebentar nanti saya ambil, Mba," pintaku padanya.

"Oh iya dek," jawabnya lalu mengambil keranjang belanjaku dan diletakkan di sampingnya.

Aku segera berlari keluar minimarket bersamaan dengan Reihan yang juga keluar dari cafe Twins.

Wait, Reihan sudah keluar tapi aku masih bisa melihat Dio yang sedang berbicara dengan seseorang di hadapannya. But who?

Tidak lama kemudian, kendaraan yang melintas mulai merenggang dan artinya aku bisa menyebrang sekarang.

Sembari melihat kanan kiri, aku melangkahkan kakiku dan mempercepat lajuku saat melihat Dio yang sudah keluar dari sana.

"Dio," panggilku yang tidak digubris olehnya.

Saat mencapai area depan cafe, aku ingin memangilnya lagi, tetapi seseorang memaksa mataku untuk terfokus padanya.

Aku melihat Aurel.

Aurel berlari ke arah yang sama dengan Dio dan Reihan.

Apa mereka bertiga habis bertemu?

Dengan cepat aku mengikuti mereka, yang menuju parkiran samping cafe.

Dari balik tiang, aku melihat Aurel yang sedang berusaha menahan Reihan untuk tidak pergi dengan motornya, "Lo harus balik ke Niken, Han," ujar Aurel yang bisa kudengar.

"Oh, jadi Aurel ke sini buat bujuk Reihan," pikirku kemudian, "gue harus bantu!" gumamku lalu bergegas menghampiri mereka.

Tiba-tiba langkahku terhenti, aku tidak percaya dengan apa yang kulihat.

Reihan turun dari motornya, lalu memeluk Aurel dengan cepat.

"Maaf, tapi hati gue udah milih lo Rel,"

Deg.

Rasanya sangat sakit mendengarnya.

Apa, apa maksud Reihan?

Aku menoleh ke arah Dio setelah terpaku oleh kalimat Reihan.

Dio hanya memalingkan wajahnya seolah dia tidak peduli dengan apa yang terjadi.

"Rei--"

"Reihan!" seruanku terpotong, terpotong oleh suara yang sangat kukenal.

Tanpa kusadari Niken, Vela dan Vita sudah berada di sampingku entah sejak kapan.

"N-niken?" Dengan segera Aurel mendorong Reihan untuk menjauh darinya saat Niken berjalan menghampiri mereka.

"Kamu... ," Niken menatap Reihan, "kalian...," lalu menatap mereka bergantian.

"Ken, jangan salah paham dulu," Aurel mencoba menggapai tangan Niken tapi ditepisnya langsung secara cepat.

"Stop. Gue ngerti sekarang." Niken menunduk, air matanya sudah mulai jatuh saat ini.

"Nggak, lo gak ngerti! Han, lo harus jelasin semuanya, Han." pinta Aurel dengan sangat.

Reihan menatap Niken dalam, kalimat selanjutnya yang keluar adalah, "Ken, gue cinta Aurel."

Terlalu sakit. Aku bisa merasakannya bahkan mungkin semua yang ada di sini pun juga.

Plak.

Tamparan ringan dari Aurel seketika mendarat mulus di wajah Reihan.

Terlalu mainstream, aku selalu menyaksikan adegan ini di drama, tapi tidak kusangka sekarang aku melihatnya langsung.

"Lo keterlaluan!" bentak Aurel.

"Gue gak mau jadi pengecut!" balas Reihan tak kalah tegas yang membuat Aurel terdiam.

"Ken, maaf, hati gue bukan buat lo lagi, gue gak bisa kendaliin perasaan gue Ken, maaf," ujar Reihan perlahan. Terdapat nada penyesalan yang ku dengar dari suaranya.

Aurel masih menunduk, dia mungkin tidak sanggup melihat orang yang sudah menghianatinya terlebih lagi melihat sahabatnya sendiri yang terlibat dalam situasi ini.

"Tapi ini semua salah gue. Aurel gak pernah sekalipun balas perasaan gue Ken, dia bahkan nahan gue buat lo." lanjut Reihan yang membuat Niken mulai menatapnya.

"Nahan lo buat gue?" Niken tertawa hambar, "sekarang, apa ada pengaruhnya, hm?" tanya Niken sembari memandang Reihan dan Aurel secara bergantian.

"Gak ada kan?! Oke. Buat gue ini semua udah jelas. Lo mau pergi? Silahkan, gue gak bakal cegat lo, Han," ujar Niken yang menatap tajam keduanya.

"Dan satu lagi, congrats buat kalian karena gue udah ngundurin diri buat jadi penghalang cinta kalian!" ujar Niken tenang tetapi sangat menusuk.

Niken berlari pergi melewatiku dan yang lainnya.

Vita dan Vela mengejarnya secara refleks.

Sebelum mengikuti mereka, aku menoleh ke arah Dio lagi yang kini melihat ke arahku. Dengan diam menatapnya, aku mengatakan Why you don't tell me, huh?

Setelah itu aku menoleh ke arah Aurel yang tengah menatap tajam Reihan.

Aku seperti tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.

*

"Ken kita harus dengerin penjelasan dari Aurel juga, Ken,"

Terdengar suara Vela yang membuat aku menghela napas karena akhirnya aku bisa bernapas sejenak setelah menemukan mereka disebuah taman kecil di dalam area komplek Niken.

Jarak cafe Twins dengan perumahan Niken memang tidak terlalu jauh, sehingga cukup dengan berlari sebentar akan membawaku cepat sampai di sini.

Aku berjalan cepat menghampiri mereka yang terlihat sedang membujuk Niken, sedangkan Niken terus memalingkan wajahnya dengan tatapan kesal.

"Ken, kalo lo gak mau dengerin penjelasan Aurel, seenggaknya lo harus nyerna kalimat Reihan," ujarku saat ikut bergabung.

"Reihan bilang Aurel gak pernah bales perasaannya ... Lo pasti bisa denger itu jelas, kan?" lanjutku dengan sedikit memetik kesimpulan dari kejujuran Reihan hari ini.

"Ken," seruan lemah seseorang membuat kami menoleh tepat ke arahnya.

Aurel dengan mata sembabnya berjalan gontai ke arah kami.

"Kalian pikir apa yang dibilang Reihan itu sebuah fakta?" Niken berjalan mendekati Aurel yang juga akan mendekat kepadanya.

Sehingga mereka berhenti setelah berhadapan satu sama lain.

"Gue kenal orang ini sejak SD, gue udah tau semua sifat dia lebih banyak dari siapapun bahkan sifat buruknya yang sekarang mulai dia keluarin," Niken terus menatap marah Aurel, kepalan tangan dan wajah kesal yang menahan tangis sudah membuktikan betapa marahnya Niken saat ini.

"Lo!" jari telunjuk Niken mulai terangkat dan berhenti tepat di depan mata Aurel, "Kenapa lo selalu jadi penyebab utama setiap masalah gue?!"

"Ken, gue bisa jelasin," ujar Aurel sesegukan.

"Kenapa lo gak bisa berubah? Apa yang waktu itu belum cukup buat lo?" lanjut Niken dengan intonasi yang mulai merendah.

"Kenapa lo selalu ngerebut apa yang udah jadi milik gue? Kenapa cowok yang gue suka selalu beralih ke elo? Dan kenapa cuma kata maaf yang bisa gue denger ... Kenapa? Kenapa?"

Niken terus berbicara dengan air matanya yang mengalir hebat. Kami hanya diam mematung berusaha mencerna kata-kata Niken.

Sepertinya ada suatu masalah yang sudah mereka kubur dalam-dalam dan kini mencuat kembali.

"Ken, bukan begitu ... Lo salah," Aurel berusaha memeluk Niken tetapi dengan cepat Niken mendorong Aurel sampai terjatuh.

Buk.

Refleks, aku berlari menghampiri Aurel dan membantunya berdiri.

"Ken, lo gak boleh kayak gini!" ujarku yang tidak dihiraukan olehnya.

"Gue ngerti, ini bukan sepenuhnya kesalahan lo. Perasaan seseorang emang gak bisa dikendaliin, tapi kalo emang lo masih anggap gue sebagai sahabat ... Seharusnya lo bisa mencegah agar semuanya nggak terulang kembali, kan?" ujarnya lalu melangkah untuk segera pergi.

"Ken!" Vita menahan tangan Niken.

"Gue emang gak tau apa yang terjadi sama kalian dimasa lalu ... Tapi lo yang bilang sendiri kan, kalo ini bukan sepenuhnya salah Aurel. Jadi gue mohon sama lo biar gak ngerusak persahabatan cuma karena cowok yang baru masuk dikehidupan kalian berdua," kata Vita setegas mungkin.

"Ngerusak persahabatan cuma karena cowok? Hah," Niken tertawa kecil sembari mendongakan kepalanya agar air matanya berhenti mengalir.

"Apa lo gak pernah ngaca, Vit? Gue salut lo bisa dengan mudahnya bicara kayak gitu," lanjutnya menatap Vita.

Alisku bertaut, begitu juga Vita yang mulai melepaskan genggamannya.

"Gue tau, lo masih sering bicarain Ka Albyan sama Dea kan? Lo masih suka dia dan dilain sisi ada Keira yang bisa dapet kesempatan buat lebih deket sama Ka Albyan ..." katanya dengan tersenyum sungging.

"lo anggap Keira sebagai sahabat tapi lo terus menerus ngomongin Keira di belakang seperti seorang musuh. Apa lo pikir, lo bisa kasih peran ganda buat seseorang kayak gitu, hah?" lanjutnya sarkastik.

Perlahan, aku bangkit. Menatap Vita yang tidak mengelak kalimat Niken sedikitpun.

Aku menoleh ke arah Niken yang kini melirik padaku, "Waktu itu gue percaya kalo lo udah bener-bener relain Ka Albyan buat Keira dan membuat gue berpikir, apa gue bisa ngelakuin hal yang sama kayak lo? Seiring berjalannya waktu, saat Keira terus bawa kabar bahagianya bareng Ka Albyan, gue liat lo seneng sebagai sahabat dan di situ gue bener-bener respect sama lo maupun persahabatan kita,"

"Gue pikir ini persahabatan yang indah karena kita selalu mendukung satu sama lain dan berharap umur persahabatan kita bakal panjang. Tapi, semenjak hari itu, saat gue gak sengaja liat chattan lo sama Dea, tentang betapa tertekannya lo harus bertingkah sebagai sahabat dari orang yang udah ngancurin hati lo,"

"Stop Ken! Lo udah terlalu banyak ngomong ..." secara tidak sadar air mataku sudah jatuh dari pelupuk mata. Rasanya aku tidak ingin mendengarkan secara mendetail sebuah fakta yang menyesakkan hatiku.

"Lo harus tau ke-bullshitan dibalik nama persahabatan kita, Kei!" ujar Niken kencang.

"See? Dia bahkan gak ngelak sedikitpun apa yang gue bilang dan itu membuktikan kalo semuanya bener-bener bullshit!" lanjut Niken sembari menatap Vita tajam.

"Vit, bilang ke Niken kalo semuanya itu salah, kan?" tanya Vela yang sudah merangkul hangat pundakku entah sejak kapan.

Vita menatapku dengan tatapan tak terbaca, "Niken bener."

"A-apa?" lirihku bertanya.

"Gue masih suka Ka Albyan, itu bener. Gue gak suka lo deket sama Ka Albyan, itu juga bener. Dan tentang gue merasa tertekan sebagai sahabat lo ... Itu gak sepenuhnya bener," Vita menatap lurus Niken, "karena gue terlalu bahagia saat kita tertawa sebagai seorang sahabat!" tambahnya lantang.

"Tapi apa lo pikir, rasa benci lo gak akan bertambah kalo Keira nanti bakalan terus tersenyum karena Ka Albyan?" sekali lagi, Niken membuat Vita terdiam.

"Gak akan bisa! Karena rasa benci jauh lebih cepat berkembang dari apapun Dan gue udah bisa rasain itu sendiri sekarang."

Niken menatap kami satu per satu, "Maaf kalo gue keterlaluan, tapi gue rasa dari awal hubungan kita ini gak pantes disebut sebagai persahabatan." tukasnya lalu pergi menjauh dari kami.

Sedangkan Vita terdiam mematung lalu melihat ke arahku.

Aku menatapnya tidak percaya.

Kemudian Vita memalingkan wajahnya dan berlari entah kemana.

Terakhir, Aurel beranjak dan memegang tanganku pelan.

"Apa semuanya udah berakhir?" gumamnya kecil tanpa melihatku ataupun Vela, lalu dia melangkah pergi dengan pandangan kosong.

Aku terduduk lemas, Vela memelukku erat dan otakku tidak bisa memilih apa yang harus aku mengerti dari kejadian ini.

Mendengar isakan tangis Vela dan terngiang ucapan Aurel tadi, memaksa air mataku mengalir lagi dan lagi.

This's over?

But, I don't want it.

***

Yes, aku update yuhuuu 😊

Stay read and vomment please 💞

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 139K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
2.7M 271K 63
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.6M 53.7K 24
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1.6M 113K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...