Orang Ketiga

By me_yellow

6.5K 421 296

Apa jadinya saat sepasang kekasih kedatangan orang ketiga? Apakah hubungan mereka akan tetap bertahan? Apa se... More

Prolog
Tiga Serangkai
Seksi Kebersihan?!
Pulang Bareng (part a)
Roleplayer
Pulang Bareng (part b)
Hari Minggu Sial!
Cowok Cuek & Cewek Galak
Where Are You, Raf?
cuap-cuap author
Rumah Sakit
Di hukum
Di Rumah Rafli
Break?
Karen Sakit

Rain

230 16 3
By me_yellow

°°°°°°°

"Jangan buat aku berpaling darimu karena perlakuanmu kepadaku."
-Karenia Salsabila

°°°°°°°

Ternyata sore ini langit enggan memancarkan sinarnya. Terbukti kini rintik hujan perlahan-lahan berjatuhan ke bumi. Membuat sejumlah orang yang tengah asyik berkendara terpaksa berteduh terlebih dahulu.

Tak ayal bagi Karen, ia kini hanya bisa memeluk tubuhnya sendiri menahan dinginnya udara sore hari yang ditimpa hujan yang mulai deras. Sesekali ia menolehkan kepalanya ke kanan melihat barang kali mobil pribadi berwarna hitam yang ia kenali datang menjemputnya.

Karen mengangkat pergelangan tangan kirinya yang dibaluti jam tangan dengan karakter spongebob miliknya. Jarum jam menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit. Karen berdecak dan menduduki kursi panjang yang tersedia di halte bus.

“Rafli mana sih, kok lama banget ya jemput sepupunya.” ujar Karen gelisah.

Karen terus menerus mencoba menghubungi lelaki itu, tetapi tak ada satu pun panggilan yang dijawab.

Karen berdiri lalu berjalan kesana kemari dengan risaunya. Ia melihat beberapa pengendara motor yang berhenti di depan halte mungkin untuk sekedar berteduh atau memakai jas hujan. Entahlah, ia tidak ingin memperdulikan mereka saat ini. yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya ia pulang ke rumah sekarang.

Menunggu Rafli sama saja seperti menunggu abang tukang bakso yang ga pasti kapan datangnya.

Ojek online? Mustahil saja. Karen tidak pernah menggunakan jasa transportasi online sejenis itu, aplikasinya saja ia tidak punya.

Menghubungi orang tuanya? Ahh entahlah, terdengar sangat konyol saat Karen mempunyai pikiran seperti itu. Mamanya tidak bisa mengendarai transportasi apapun. Papanya? Manusia itu sedang berada di Medan sekarang mengurusi pekerjaannya yang selalu menjadi prioritasnya.

“Ya ampun, gimana gue bisa pulang kalo kaya gini, angkot aja sama sekali ga lewat daritadi. Mana udah jam lima sore.” Gerutu Karen. Ia masih terus mengalihkan pandangan ke arah kanan jalan raya berharap orang yang ia tunggu sejak setengah jam yang lalu menampakkan batang hidungnya.

Karen kembali fokus dengan handphone yang digenggamnya, ia sedang membalas pesan dari Mamanya yang menanyakan mengapa anak sulungnya itu tak kunjung pulang.

“Kenapa harus hujan coba! Bikin repot aja. Gue paling ga pede pake jas hujan! Udah kaya sayur dibungkus pake plastik!”

Karen mendengar ocehan lelaki yang berdiri sekitar dua meter dari tempat duduknya. Karen mengucapkan doa agar sosok lelaki tersebut bukanlah lelaki bodoh yang ia pikirkan sekarang. Ia sedang tidak ingin bertemu Gilang sekarang.

“Lho? Sekber? Kok lo disini?”

Karen merutuki nasibnya, ternyata doanya tidak terkabulkan. Akhirnya ia mencoba mengangkat kepalanya menatap Gilang yang tengah sibuk mengeluarkan jas hujan dari jok motornya.

“Iya. Lo sendiri ngapain disini? Gue lagi males ribut sama lo, Lang.” ucap Karen.

Gilang tertawa renyah sejenak. ia kembali melipat jas hujan yang tadinya hendak ia pakai. Gilang menghampiri Karen dan duduk disampingnya.

Gilang kembali tertawa lalu mendorong bahu Karen sedikit kencang seraya berkata, “Kepedean banget sih lo, Ren. Siapa juga yang mau ribut sama lo. Gue tanya sekali lagi ya, lo ngapain disini? Kita pulang sekolah jam setengah tiga, dan lo? Lo masih duduk ga jelas di halte depan sekolah kaya gini? Lo ga takut di culik om-om?”

Gilang mengusap kasar rambutnya yang terkena air hujan. Itu membuat percikan air hujan tersebut mengenai wajah Karen.

“Ck, basah pea muka gue! Sok ganteng lo! Gue lagi nungguin orang disini, orang yang katanya mau nganterin gue pulang. Udah deh lo pergi sana, bikin unmood gue aja.” kesal Karen menengok ke arah Gilang.

Gilang tersenyum untuk Karen. Tidak. Bukan senyuman manis layaknya seorang pemuda tampan yang jatuh cinta dengan seorang gadis cantik. Senyuman itu adalah senyum jahil khas Gilang Mahendra yang biasa ia keluarkan untuk Karen.

“Rafli maksud lo?” tanya Gilang. Ia menghela napas ringan lalu berkata lagi, “Rafli udah dirumah. Tadi sekitar setengah jam yang lalu, gue liat dia pulang ke rumah sama Ririn naik mobil.” Gilang menyudahi perkataannya. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Karen mendengar pernyataannya itu.

“Cowok macam apa dia? Dia nyuruh gue nungguin disini lebih dari setengah jam, dia bilang mau jemput sepupunya dari terminal dulu, baru nyamperin gue. Ternyata dia sekarang lagi enak-enak di rumah sama si Ririn. Ehh, Ririn? Dia siapa?” batin Karen

“Ririn?” tanya Karen singkat.

“Iya. Dia sepupu Rafli dari Solo. Gue denger sih dia mau main ke rumah Rafli buat dua minggu ke depan. Mungkin tadi Rafli jemput tuh cewek dari stasiun.”

Karen menghela napas lega. Gilang sedikit mendengar helaan napas Karen. Ia tahu kalau sedari tadi perempuan yang tengah duduk disampingnya itu merasa was-was karena ucapannya tadi.

“Lo masih mau disini apa gue anterin pulang? Kali ini gue ikhlas berbaik hati sama lo.” ajak Gilang.

Karen tidak langsung mengiyakan ajakan Gilang. Ia melihat terlebih dahulu langit diatas sana yang masih betah menurunkan rintik hujannya. Karen merasa tidak punya pilihan lain. Lagi pula percuma ia menunggu Rafli yang namanya saja malas ia ucapkan sekarang. Pada intinya hatinya begitu kecewa dengan perilaku Rafli yang secara tidak sengaja menelantarkan dirinya di halte ini.

"Kali ini gue ga boleh gengsi, kalo gue gengsi ya gue ga bakal bisa pulang." batin Karen.

“Boleh deh, makasih sebelumnya.” Karen sedikit menarik bibirnya ke atas.

Mendengarkan ucapan Karen, Gilang tersenyum seraya berkata, "Nahh gitu dong senyum, jangan marah-marah mulu jadi cewek." ejek Gilang.

Gilang langsung mengambil jas hujan yang masih terlipat rapi disampingnya lalu mengarahkannya ke Karen.

“Nih lo pake jas hujan gue.”

Karen memperhatikan jas hujan biru tua yang Gilang arahkan untuknya. Ia ragu untuk memakai jas hujan itu.

“Tenang aja, ini jas hujan gue. Bukan punya bokap gue. Ga bau kok, apa kata dunia seorang Gilang Mahendra bau badan?” Gilang tertawa karena ucapannya sendiri.

Karen tidak ikut tertawa bersama Gilang. Baginya ucapan Gilang sama sekali tidak lucu, kalau kata anak jaman sekarang sih,

Garing.

“Terus lo?” tanya Karen.

Seakan tahu apa yang Karen pikirkan. Gilang tersenyum lagi lalu meraih tangan Karen lalu meletakkan jas hujan itu diatas tangannya. “Gue pake sweater, dan gue bukan cowok yang lemah. Yang kena hujan dikit aja sakit sampe berbulan-bulan. Gue masih mikirin kalo lo cewek, dan yaa cewek kan gitu kena hujan sedikit aja langsung demam kaya kena DBD.”

Karen memajukan sedikit bibirnya, ia langsung mengenakan jas hujan milik Gilang itu.

Gilang menarik resleting sweater abu-abunya ke atas dan menutupi kepalanya dengan kupluk sweaternya itu. “Buruan! Tuh muka lo udah pucat banget kaya mayat hidup. Gue takut bentar lagi lo ga bernyawa.” celetuk Gilang lalu menyalakan mesin motornya.

Karen berlari ke arah Gilang lalu meneloyor kepalanya kasar dan ia pun menaiki motor Gilang. 
Terdengar suara keluhan seperti Aduh!” yang keluar dari mulut Gilang.

Entah kenapa itu membuat Karen tersenyum lebar tentunya tanpa sepengetahuan si pengendara.

Gilang mulai melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan, keduanya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Lama-lama gue kasihan sama lo, Ren. Sabar banget ya lo ngadepin tetangga gue yang sifatnya kaya begitu. Kalo gue jadi lo mah udah gue putusin dari kapan tau.”

“Sebenarnya lo tuh baik, Lang. Cuma yang bikin gue ga suka sama lo itu karena lo troublemaker dan selalu bikin gue naik darah. Andai aja lo sifatnya lembut, pasti gue udah kaya fans-fans alay lo, Lang.”



******

Thanks.” ucap Karen singkat setelah melipat kembali jas hujan biru tua itu dan menyerahkannya kepada pemiliknya.

Gilang menganggukkan kepalanya sambil terus menikmati teh hangat buatan Mona yang sukses membuat tubuhnya menghangat setelah lima belas menit di perjalanan.

“Hujannya udah reda. Lo mau pulang kapan, Lang?” tanya Karen dengan polosnya.

Gilang meletakkan cangkir teh ke atas meja kecil disampingnya, ia pun berdiri seraya berkata, “Jadi lo ngusir gue? Oh oke, gue balik sekarang. Mama lo mana? Gue mau pamitan.” sinis Gilang lalu membawa jas hujan miliknya.

Karen berdecih mendengar reaksi Gilang yang tengah merajuk.

“Ya elah Gilang, lo baperan amat sih jadi cowok. Biasanya juga lo yang suka ngebaperin cewek. Baru juga gue ngomong kaya gitu udah ngambek kaya bocah.”

Karen tertawa melihat wajah Gilang yang sedang merajuk. Gilang sendiri tidak menanggapi ucapan Karen ia lebih memilih merogoh saku celananya mengambil handphone di dalamnya. Ia memeriksa handphonenya sejenak lalu memasukkannya kembali ke tempatnya semula.

“Mana Mama lo? Gue mau pulang beneran nih.”

Karen menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sangat gemas melihat tingkah laku Gilang yang terlihat sangat konyol sekarang.

“Ma, teman Karen mau pulang nih,” teriak Karen yang terdengar sampai teras.

Tak lama kemudian Mona datang membawa nampan yang berisi makanan ringan ditangannya.
“Lho? Galang udah mau pulang? Baru aja tante nyuguhin cemilan buat kamu,” ujar Mona ramah.

“Gilang, Ma. Bukan Galang.” Karen mengoreksi ucapan Mamanya.

“Eh iya Gilang. Duhh Mama lupa, maklum lah faktor umur hehe,” Mona terkekeh lalu meletakkan nampan ke atas meja.

“Iya, Tante. Saya mau pulang aja deh, takut dicariin Abang saya dirumah. Saya permisi Tante, assalamu’alaikum.” pamit Gilang seraya mencium punggung tangan Mona. Gilang menatap jengah ke arah Karen yang dibalas dengan ekspresi Karen yang sedang menahan tawa.

“Wa’alaikum salam. Hati-hati dijalan ya, Galang. Jangan ngebut-ngebut bawa motornya, kalo abis hujan licin jalan raya.” Ujar Mona sambil tersenyum ramah ke arah Gilang.

“Gilang, Ma. Gilaangg… bukan Galang. Ya ampun daritadi,” gerutu Karen.

“Ih orang Mama maunya Galang kok kamu yang ribet, Gilangnya aja biasa aja dipanggil Galang sama Mama.” ucap Mona lalu masuk ke dalam rumah.

“Lah? Kok jadi gue yang dimarahin? Ya udah lah, Ren. Ingat, Mama selalu benar dan Karen selalu salah. Huftt.”

Karen berjalan lunglai masuk ke dalam rumah, tak lupa ia membawa kembali cangkir teh bekas Gilang dan nampan yang berisi makanan ringan. Ia berjalan hati-hati menuju dapur.

“Gilang.. Gilang.. dasar kaya bocah banget sifat lo, Lang. Gue bilang begitu aja langsung pulang beneran.” Karen terkekeh sendiri sambil mencuci cangkir dan meletakkannya pada tempatnya.

Tiba-tiba Karen menemukan satu kejanggalan dari perkataan Gilang tadi.

"...Saya mau pulang aja deh, takut dicariin abang saya dirumah..."

“Abang? Kok ga Mama atau Bunda atau Emak atau sejenisnya lah. Kenapa harus Abang? Emang orang tuanya kemana? Dia tinggal sama Abangnya gitu? Tapi kan…”

Karen langsung menggelengkan kepalanya mencoba menjauhkan semua pikiran negatif tentang keluarga Gilang yang sama sekali belum ia kenal. Ia tidak mau berpikir macam-macam tentang mereka.

“Ck, udahlah. Ga urus sama keluarganya Gilang. Keluarga gue aja belum benar,” ujar Karen tak sengaja melihat bingkai foto yang terpampang lebar di ruang keluarganya.

Ya. Papanya.

Ia hanya terfokus pada foto Papanya yang terlihat sangat gagah berbalut dengan jas hitam dan kemeja merah maroon serta dasi hitam yang melingkari lehernya.

Tiba-tiba Karen merindukan sosok Papanya. Papanya yang dulu. Yang selalu ada disampingnya dalam suka maupun duka.

*******

32 panggilan tidak terjawab.
79 pesan WhatsApp.

“Rafli?” tanya Karen pada dirinya sendiri setelah melihat notifikasi di layar handphonenya. Karen lebih memilih menonaktifkan sambungan datanya.  Ia teringat kembali tentang perlakuan Rafli terhadapnya sore tadi. Ia sudah tahu isi dari spam chat dari Rafli, pasti itu semua berisi permintaan maaf Rafli untuknya.

Hhh. Bullshit!

Lelaki memang seperti itu. meminta maaf setelah melakukan kesalahan. Setelah dimaafkan, ia mengulangi kesalahan itu kembali, lalu meminta maaf lagi.

Karen membuang napas berat seraya berkata, “Lama-lama kok gue capek sama tingkah lo ya, Raf?” Karen bermonolog sendiri.

Karen mengambil earphonenya dari dalam tas sekolahnya lalu berjalan ke arah balkonnya. Ia berharap dinginnya udara malam bisa membantu menghancurkan kejenuhannya kini.

*********
Ternyata story bergenre teenlit yang sedang ia baca dan alunan beberapa lagu karya Shawn Mendes yang ia dengarkan lewat earphone yang menutupi telinganya, kini mampu membuat Karen melupakan kehidupan di dunia nyatanya. Terbukti dengan kemarahan Mona yang sedari tadi berteriak memanggil nama putrinya itu.

“Astaghfirullah Kareennn!!! Mama manggil kamu daritadi, kirain kamu udah tidur, ternyata lagi maen handphone tohh.” histeris Mona saat melihat Karen yang terduduk santai di pintu balkon kamarnya. Karena kesal, Mona langsung menarik earphone Karen lalu berkacak pinggang.

Imajinasi Karen tentang kehidupan dua remaja di dalam wattpad yang ia baca buyar seketika saat earphonenya terlepas dari telinganya. Karen membenarkan posisi duduknya lalu menatap Mamanya yang tengah berkacak pinggang didepannya.

“Ck, Mamaa aku kan lagi khusyuk baca wattpad, ganggu aja deh.” gerutu Karen.

Mona duduk disamping Karen lalu menarik telinga putrinya itu. “Bagus ya, dari tadi Mama teriak-teriak manggil kamu, Mama mau minta tolong anterin Mama ke toko roti depan komplek, tapi kamu malah enak-enakan disini.” Ujar Mona lalu melepaskan tangannya dari telinga Karen.

Karen mengaduh kesakitan di telinganya. Bukan sengaja Karen tidak mematuhi perintah Mamanya, tetapi memang benar dirinya sama sekali tidak mendengar panggilan apapun dari luar kamar.

Entahlah, apa ini pengaruh dari full volume dari earphonenya sehingga membuat indra pendengaran tidak berfungsi tadi?

“Maaf, Ma. Tadi Karen lagi dengerin musik lewat earphone jadi ga kedengeran. Maaf ya, Ma.” Karen mengeluarkan puppy eyes miliknya yang biasanya sangat ampuh untuk membujuk semua orang.

Mona menghela napas panjang, “Iya iya, kebiasaan deh mukanya di melas-melasin gitu. Yaudah sekarang kamu siap-siap temenin Mama ke toko roti. Lima menit kamu ga turun, uang saku kamu Mama potong lima puluh persen.”  Ujar Mona lalu meninggalkan Karen yang  terdiam mendengar ancaman Mamanya.

Karen langsung bersiap-siap lalu tergopoh-gopoh keluar kamar seraya berkata, “Jangan sampai uang jajan berkurang!”






*********

Fix ini part terpanjang yang pernah aku buat😂

Biasanya cuma 1500-1600 kata, dan ini 2132 kata😂

Don't forget to vomment yaww!!!

Continue Reading

You'll Also Like

802K 61K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
2.5M 258K 61
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.4M 77.4K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
426K 46.7K 21
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...