Enigma, The Shadow [Re-write]...

By pratiwikim

85.2K 12.6K 3.7K

[Re-write] It doesn't have foot but it can run It always remind you of something ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ⚠️ ᴛʀɪɢɢᴇʀ ᴡᴀʀɴ... More

ᴛʀᴀᴄᴋʟɪꜱᴛ
1. ʙᴇɢɪɴ, ᴍᴇᴇᴛ ʜɪᴍ
2. ꜱᴄᴀʀ ᴏɴ ʜɪꜱ ꜱᴋɪɴ
3. ʙᴇᴛʀᴀʏᴀʟ ꜰʀᴏᴍ ʜᴇʀ ʟᴏᴠᴇʀ
4. ꜱᴛʀᴀɴɢᴇ ꜰᴇᴇʟɪɴɢꜱ
5. ʟᴇᴛ'ꜱ ᴘʟᴀʏ ᴀ ꜰᴜɴ ɢᴀᴍᴇ
6. ʜɪꜱ ɪʟʟɴᴇꜱꜱ, ᴀʟᴢʜᴇɪᴍᴇʀ
7. ʙᴇᴛᴡᴇᴇɴ ᴀ ᴋɪꜱꜱ ᴀɴᴅ ᴅᴇꜱɪʀᴇ
8. ᴄᴏʟᴅ ʀᴀɪɴ
9. ʜᴇʀ ᴇx-ʟᴏᴠᴇʀ
10. ᴅᴇᴇᴘ ɪɴ ʜɪꜱ ʜᴇᴀʀᴛꜱ
11. ᴠᴀɴɪꜱʜ ᴀᴡᴀʏ
12. ᴛʜᴇ ʀᴇᴀʟ ʜɪᴍ, ᴘꜱʏᴄʜᴏ
13.1. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
13.2. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
14. ꜰᴀᴋᴇ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ
15. ᴛʀʏ ᴛᴏ ᴘʀᴏᴛᴇᴄᴛɪɴɢ ʏᴏᴜ
16. ᴡᴏᴍᴀɴ ɪɴ ᴛʜᴇ ʙᴀʀ
18. ʀᴏᴛᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴛʜᴇ ᴄᴏʀᴇ
19. ᴡɪᴘᴇ ᴏꜰꜰ ᴀʟʟ ᴛʜᴇ ᴛʀᴀɪʟ
20. ʙᴀᴄᴋꜰɪʀᴇ ᴇꜰꜰᴇᴄᴛ
21. ʀᴇᴠᴇɴɢᴇ
22. ɪꜱ ɪᴛ ᴛʜᴇ ᴇɴᴅ?
23. ꜰɪᴇʀᴄᴇ ʙᴀᴛᴛʟᴇ
24. ɪɴꜰɪɴɪᴛᴇ
ꜰɪɴᴀʟ: ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ᴍʏ ᴍᴇᴍᴏʀʏ
ᴀʟʟ ɪ ᴡᴀɴᴛ

17. ᴀʟᴍᴏꜱᴛ, ʙᴜᴛ ꜱᴛɪʟʟ ᴋᴇᴇᴘ ᴛʜᴇ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴄᴇ

1.9K 353 44
By pratiwikim

Pada dasarnya setiap manusia memiliki ketakutannya tersendiri. Entah itu dari hal yang paling konyol, hingga pada hal yang benar-benar di luar nalar. Akan tetapi di sana, terbangun dengan tubuh bermandikan keringat dingin, Park Jimin sekonyong-konyong sadar bahwa ketakutannya terletak pada seorang wanita bernama Jung Anha. Mimpi yang sempat bertandang di alam bawah sadar membuat pemuda tersebut menarik helai rambutnya dengan kuat.

Tidak, tidak. Anha pasti baik-baik saja. Wanita itu tidak mungkin memikirkannya. Wanita itu tidak akan peduli padanya.

Namun, sekuat apa pun Jimin berusaha meyakinkan diri sendiri, nyatanya dia hanya mampu mengusap sudut mata yang berair. Anhanya menderita; itu yang Jimin lihat dalam potongan mimpi yang didapatnya malam ini. Tubuh ringkih itu menangis di atas ranjang. Bibirnya gemetar menahan gejolak kristal bening yang kembali diproduksi secara besar-besaran.

Dalam hening yang menyeruak di jam dua dini hari, Jimin mengusap wajahnya gusar. Dia bangkit dari ranjang, menuju bingkai jendela yang tampilkan keadaan pekarangan rumah yang gulita. Langit sedang berduka, pendar bulan dan bintang sirna dalam satu kedipan mata. Jimin merenung di sana dengan pikiran jauh terbawa semilir angin yang diam-diam menyelinap melalui ventilasi.

Kenapa hatiku sakit?

Sungguh, rasanya seperti ada ratusan ribu jarum yang menusuk di ulu hati, mengirim sengat yang celakakan sanubari. Jimin ingin menggapai Anha, membiarkan jemarinya merengkuh tubuh tersebut dan mendekapnya erat. Tak ingin melepas sekali pun semesta hancur lebur bersamaan dengan napas yang habis. Namun lagi-lagi Jimin teringat. Dia harus tetap kuat, menjalani peran sebagaimana mestinya, sebab inilah jalan terbaik yang bisa Jimin ambil. Dia tidak ingin Anha terluka, apalagi karena ulahnya sendiri. Tidak. Jimin tidak mau.

Iris Jimin masih menerawang, tepatnya pada pohon beringin yang tersapu angin. Akar serabutnya berayun kesana-kemari, mengikuti melodi yang tengah diarahkan. Sepersekon kemudian, Jimin bisa melihat bayangan hitam yang mengintip di balik batang pohon tersebut. Ya, itu Jack. Entah apa yang dilakukannya di sana. Jimin sendiri tidak tahu. Seingatnya tadi malam ia tertidur cepat karena kelelahan, dan tanpa ia ketahui sosok tersebut berhasil mengambil alih raganya guna melancarkan aksi bejat di salah satu bar.

Jimin berbalik, membiarkan Jack dengan dunianya sendiri. Sejemang, biarkan Jimin untuk tidak menaruh peduli pada sisi gelapnya tersebut. Biarkan. Biarkan saja. Jimin hanyalah manusia biasa, dia bisa jenuh dan lelah dengan keadaan yang betandang silih berganti. Manis dan pahitnya kehidupan telah dicecapnya dengan amat sangat baik. Tidak terlewat barang satu peristiwa pun.

Menjatuhkan bokong di atas ranjang yang timbulkan suara derit kecil, Jimin mendadak ingin menghidupkan ponsel yang telah lama disimpannya di dalam nakas. Rindu yang mendera benar-benar menggerogoti tubuh hingga ke tulang belulang, dan kiranya Jimin sudah tidak bisa menahannya lebih lama. Pun, jemari tersebut terulur ke depan, menarik nakas dan mengeluarkan benda pipih yang memiliki retakan di bagian layar.

Di luar sana gerimis, dan sialnya dalam selang waktu tak sampai lima menit, lampu padam. Sisakan Jimin dengan napas tercekat tatkala ponsel di dalam genggamannya mulai menyala.

Iris Jimin mengerjap pelan. Cahaya terang yang berasal dari ponsel membuatnya agak menyipitkan mata. Wallpaper berupa padang rumput hijau terpampang begitu Jimin menggulir layar tersebut dan membuka galeri foto yang ada. Jimin memang sempat mengotak-atik benda ini, tetapi itu hanya sekadar menelepon atau mengirim pesan. Dia tidak terlalu gemar memotret sesuatu atau dirinya sendiri. Akan tetapi, di saat Jimin jenuh, dia akan mengabadikan Jung Anha tanpa sepengetahuan dari si empu.

Kiranya ada sekitar dua puluh foto dengan Anha sebagai objek utama. Jimin tersenyum kecil seraya mengenang masa-masa di mana ia masih hidup di dalam lingkup atap yang sama. Sebagian besar foto yang diabadikan buram karena Jimin terburu-buru dalam mengambilnya. Kendati demikian, Jimin masih bisa merasakan sensasi indahnya makhluk Tuhan yang satu itu. Bibirnya yang menyunggingkan sebuah senyuman hangat, jemarinya yang mengusap pelan, pula tutur kata halus yang menenangkan.

Jimin rindu—rindu sekali.

Ketika foto tersebut usai dilihatnya, Jimin beralih menuju riwayat pesan yang pernah diterima. Tampak hanya ada satu nama yang tertera, dan itu adalah Anha.

Hari ini aku pulang terlambat. Tolong tutup jendela dan hidupkan lampu, ya.

Bagaimana kalau menu makan malam kali ini ayam bakar? Beritahu aku kalau kau setuju. Aku akan mampir ke restorannya setelah pulang bekerja.

Tolong kenakan jaket yang kubeli beberapa hari yang lalu. Akhir-akhir ini cuaca sering berubah.

Tanpa sadar, Jimin menahan napas tatkala irisnya bergerak pelan membaca satu per satu padanan kata yang tertera. Hatinya nyeri dan kelopak matanya kembali memanas. Jantung Jimin seperti diremas dan ditaburi puluhan kilo garam laut. Pedih.

Jimin meletakkan ponsel tersebut ke atas nakas, membiarkan tubuhnya kembali berbaring sembari menatap kosong ke arah langit-langit. Rasa kantuk benar-benar lesap, tak bersisa barang sedikit pun. Menghela napas pendek sembari jemarinya menepis likuid bening yang sempat turun di salah satu pipi, Jimin mendadak dikejutkan dengan dering lagu beserta getar yang diciptakan ponsel metalik miliknya.

Jung Anha.

Jimin beringsut, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga dada (Jimin sendiri tidak tahu kenapa dia seperti ini, mungkin hanya gerakan refleks) lalu meraih benda pipih tersebut tanpa ada satu pun niat untuk mengangkatnya. Jimin membiarkan panggilan itu hingga berakhir dengan sendirinya.

Pikir Jimin Anha mungkin tidak sengaja memanggilnya. Akan tetapi, ponsel itu kembali berdering, masih dengan penelpon yang sama. Jimin terdiam untuk sesaat, dan nyaris goyah untuk mengangkat panggilan tersebut. Tidak, tidak. Aku tidak boleh seperti ini. Kalimat itu menggema di dalam hati, semerta-merta sebabkan Jimin mengurungkan niatnya.

Entah kali ke berapa Anha coba memanggilnya, Jimin memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut. Dia sempat meragu, merenung mengenai imbas yang barangkali akan terjadi setelahnya. Tetapi, peduli setan. Jimin ingin mendengar suara Anha, kali ini saja. Dan pada akhirnya, dia benar-benar menggerakan jemari untuk menggeser tombol hijau yang sesekali berkedip.

Beberapa detik panggilan tersebut terhubung, nyatanya belum ada satu patah kata pun yang terlontar dari seberang sana. Hanya ada deru napas yang memburu, dan isak tangis kecil yang sambangi rungu. Jimin pikir Anha mungkin tidak sadar kalau teleponnya sudah tersambung. Pun, karena tidak sabar, Jimin memberanikan diri untuk berkata lebih dulu, "Hallo?"

Sosok di seberang sana tampak menjerit kaget, lalu lekas membalas begitu menggebu-gebu, "Jimin?! Jimin kau di mana? Katakan padaku sekarang juga! Jimin!"

Yang dipanggil namanya hanya terdiam.

"Jimin tolong jawab aku. Kumohon."

Mengalihkan pandangan karena tak sanggup mendengar nada yang terselip di tiap kata yang mencuat, Jimin menelan liurnya dengan getir. Ponsel tersebut dijauhkan dari telinga dan jemarinya bersiap mengakhiri panggilan secara sepihak. Namun sebelum itu, Jimin sempat berkata, "Maaf, An," yang mana langsung disahut dengan teriakan memilukan.

"PARK JIMIN!"

Bip ...

Panggilan terputus. Jimin bergegas mematikan ponsel. Melepas baterai dan menyimpannya di dalam nakas, pemuda tersebut lekas menenggelamkan diri di balik selimut dan membiarkan dadanya diserang nyeri yang dua kali lipat lebih menyakitkan. Fakta bahwa Anha masih menaruh peduli terhadapnya, benar-benar membuat Jimin dirundung oleh banyak rasa bersalah. Wanita itu pasti mengkhawatirkannya. Wanita itu ...

Ah, sudahlah. Jimin tidak kuat jika terus-menerus memikirkannya.

Tersenyum hambar sebagai penutup malam yang sebentar lagi akan berakhir, Jimin lekas memejam. Dia ingin tidur sekarang juga, sebab di sanalah satu-satunya tempat yang paling aman; tempat di mana segala sesuatu yang buruk bisa dianggap sebagai kilas bunga tidur berlaka.

Jung Anha mendesah berat. Air matanya sudah kering karena terus-menerus menangis. Dia telah mengupayakan berbagai cara untuk mencari keberadaan Jimin, sungguh. Tetapi nyatanya tidak ada satu pun yang membuahkan hasil. Sia-sia.

Tumpukan tisu penuhi ranjang. Wajah Anha memerah dan kelopak matanya membengkak. Jemarinya bergerak mengambil telepon genggam dan melepas charger yang terpasang. Dia coba mendial nomor Jimin, kendati Anha sendiri tidak yakin apakah nomor tersebut bisa dihubungi. Anha akan tetap mencoba, dan akan terus mencoba.

Dengan harap-harap cemas Anha mendekatkan ponsel ke telinga. Dan, astaga. Anha lekas mengusap sisa air mata yang berada di kedua belah pipinya tatkala mendengar panggilan tersebut berhasil. Ada dering monoton yang menandakan bahwa ponsel Jimin dalam keadaan aktif.

Anha menunggu panggilan tersebut tersambung. Tetapi Jimin seakan enggan untuk mengangkatnya. Anha terus mencoba, tidak peduli dengan waktu yang terus berjalan dan terbuang secara percuma. Matanya yang sembab sesekali mengedip, mencoba bersabar kendati dia gemas setengah mati.

Tolong angkat, Jimin.

Anha memijat pelipisnya yang berkedut pelan. Pening mendera yang sebabkan wanita itu sesekali memejam. Dia telah kehilangan banyak waktu untuk beristirahat. Di pagi hingga sore hari Anha akan bekerja, dan di malam hari ia akan menyusuri jalan guna mencari Jimin. Namun sayang, pengecualian untuk malam ini. Anha sedang tidak enak badan, dan ia memutuskan untuk berada di rumah saja.

Panggilan kelima, gagal. Panggilan kesepuluh, juga gagal. Namun, tatkala panggilan kelima belas, Anha mendapati sosok yang dirindukannya berkata, "Hallo?"

Anha membeliak, dia menatap tak percaya pada ponsel miliknya untuk memastikan bahwa panggilan tersebut benar-benar tersambung. Setelahnya Anha menyahut dengan cepat; terkesan panik, "Jimin?! Jimin kau di mana? Katakan padaku sekarang juga! Jimin!" Anha mengeratkan genggaman pada telepon, menajamkan telinga guna mendengar sahutan yang akan dilontarkan. Tetapi, Jimin tampaknya enggan untuk bersuara lagi. Pun, Anha kembali berkata, "Jimin, tolong jawab aku. Kumohon."

Frustasi, tanpa sadar Anha menarik surainya hingga ia meringis. Bodoh, memang. Namun, hal tersebut terasa amat sangat wajar jika kita mengingat hal macam apa yang sudah menimpa wanita itu akhir-akhir ini. Anha menahan napas sesaat, hendak menyuarakan isi hati hatinya dan membujuk Jimin agar dia mau pulang. Tetapi sebelum Anha sempat memuntahkannya, pemuda tersebut lebih dulu menyela.

"Maaf, An."

Hal tersebut sekonyong-konyong membuat Anha meneriakan namanya, "PARK JIMIN!"

Bip ...

Panggilan terputus. Anha menatap ponselnya nanar. Dia kembali menghubungi nomor Jimin. Alih-alih mendengar pemuda tersebut, Anha malah mendapati suara operator wanita yang mengatakan bahwa nomor Jimin berada di luar jangkauan. Sial, sial, sial. Jimin pasti mematikan ponselnya lagi.

Tak kehabisan akal, Anha bangkit dari ranjang dan menyambar jaket yang tergantung di balik daun pintu. Dia akan mencari Jimin malam ini juga. Persetanan dengan suhu tubuh yang panas pula pening yang mendera. Di pikiran Anha hanya satu; menemukan Jimin.

Anha memulai pencarian ke arah timur. Di sana ada jalan besar yang masih terlihat ramai dan gedung-gedung tinggi yang berdiri angkuh. Anha memacu tungkainya lebih cepat, udara di jam seperti ini nyatanya terasa berkali-kali lipat lebih menyakitkan. Rambut halus di permukaan kulit terlihat meremang untuk yang kesekian kali, dan bersamaan dengan itulah Anha merapatkan jaket yang dikenakan.

Kiranya butuh lima ratus kilometer lagi sebelum Anha berhasil mencapai jalan besar tersebut. Tetapi kini, dia malah terjatuh kala salah satu kakinya tersandung oleh bongkahan batu. Lututnya tergores dan timbulkan memar kebiruan. Anha coba menepuk pelan butir pasir yang mengotori kulit beserta pakaian yang dikenakan. Dia melirik ke sekitar, mencari setidaknya warung kecil atau toserba yang masih buka. Sayangnya, Anha tidak menemukan hal tersebut.

Bangkit dan meluruskan kaki, Anha bisa merasakan kakinya nyeri. Darah yang mulanya sedikit, kian mengucur tatkala iris Anha menemukan ada pecahan kaca yang menancap di lututnya. Sambil menahan ringisan agar tak terus-menerus terlontar dari ceruk bibir, Anha menarik benda tersebut dan meloloskan satu hela napas panjang.

Pencariannya malam ini tidak akan mudah.

Anha kembali melangkah, membawa tungkainya berjalan secara perlahan. Namun, dia akhirnya berhenti setelah lima langkah terambil dan nyeri yang mendera hampir membuatnya menangis. Sebenarnya Anha bisa saja kembali ke apartemen—itu bahkan terdengar sebagai opsi yang bagus—tetapi batin Anha menjerit untuk tetap melanjutkan pencarian ini. Dia ingin bertemu dengan Jimin.

Memaksakan diri dengan langkah yang terseret-seret menyisir bahu jalan yang lengang, Anha sekonyong-konyong dikejutkan dengan deru mesin kendaraan yang barangkali nyaris menyenggolnya. Dia ingin berteriak kepada si pengendara, tetapi seseorang dengan jaket hitam dan helm besar yang menutupi kepala tersebut buru-buru mengerem dan menghentikan total laju kendaraannya.

"Bajingan! Kau pikir kau hebat dengan berkendara seperti itu, huh?" Baru sedetik pengendara tersebut mematikan mesin, dan ia lekas diserbu dengan kalimat-kalimat pedas. "Yang kau lakukan itu sangat membahayakan, tahu! Aku bisa terbunuh dan kau akan berakhir di penjara."

Kedua mata sembab Anha membeliak. Rasa-rasanya dia berang sekali dengan pengendara motor di hadapannya ini. Bukannya lekas menyahut dan meminta maaf, dia malah menggelengkan kepala seakan-akan tak habis pikir dengan sikap Anha.

"Hei! Di mana letak sopan santunmu, huh? Aku sedang berbicara padamu, dan kau harusnya me—Eh, Hoseok?"

Pengendara tersebut melepas helm yang lekat di kepala, menatap jenaka pada sosok wanita yang ada di hadapan. Oh, astaga. Anha ini benar-benar wanita yang menyenangkan sekali. Bahkan hanya mendengar mulutnya mengomel ini dan itu, Hoseok bisa merasakan harinya yang sempat buruk menjadi lebih baik.

"Sudah selesai marah-marahnya, Nona?"

Anha mengepalkan tangannya, meninju bahu Hoseok sekali dan berkata sebal, "Demi Tuhan, Hoseok! Tidak seharusnya kau berkendara seperti itu. Berbahaya!"

"Iya, iya. Aku tidak akan mengulanginya lagi," sahut Hoseok sembari mengusap bahu yang menjadi sasaran empuk dari tinjuan Anha. Dia sempat terkekeh kecil, sebelum akhirnya ekspresi tersebut berubah menjadi lebih serius. "Tapi, apa yang kau lakukan di sini, An? Tidak baik wanita sepertimu berkeliaran di jalanan seorang diri, apalagi di jam seperti ini."

Sejemang, Anha terdiam. Haruskah dia berkata yang sebenarnya? Ah, tidak, tidak. Nanti saja. Anha harus berkilah untuk malam ini.

"Tidak apa-apa. Aku hanya mencari udara segar."

Hoseok mengerutkan kening, seakan mencerna alasan tersebut di dalam otak. Dia seperti bisa merasakan adanya alasan lain yang tersirat dalam kalimat yang dilesatkan. Akan tetapi Hoseok hanya diam dan memilih abai. Mengendikkan bahu, Anha kembali berkata, "Baiklah. Aku harus kembali ke apartemenku sekarang."

Mengangguk, Hoseok membiarkan tubuh ringkih Anha berbalik dan mulai mengambil langkah. Namun, lagi-lagi dia mendapati hal yang janggal.

"Hei, An." Yang dipanggil menolehkan wajah. "Kakimu sedang terluka, ya? Caramu berjalan sedikit aneh."

Anha mengibaskan tangan seolah luka di lututnya bukanlah hal yang patut dipermasalahkan. "Ah, hanya luka kecil. Tidak apa-apa, kok."

"Luka kecil pun kalau tidak diobati dengan segera bisa menimbulkan masalah yang besar." Hoseok menurunkan standar, bersiap menghampiri Anha yang menatapnya awas. "Kita ke kantorku saja, bagaimana? Aku akan mengobatimu. Well, anggap saja sebagai permintaan maaf karena hampir menabrakmu. Kau tenang saja. Aku akan mengantarmu pulang setelah itu, kok."

Kantor? Anha menegang dengan hening yang menyelimuti. Demi apa pun, Anha tidak sudi untuk menjejakkan kedua kaki di tempat itu, apalagi sampai bertemu dengan si Bajingan Taehyung.

Barangkali raut yang Anha tampilkan mampu mengirim sinyal pada Hoseok. Dia segera menyahut dan menepis segala resah yang bergejolak di batin sang wanita. "Kau tenang saja, An. Taehyung sudah pulang beberapa jam yang lalu."

Mengangguk sebagai persetujuan, Hoseok lekas membantu Anha untuk naik di sepeda motornya. Dia sedikit banyak merasa senang sebab tempat boncengan di belakang sana kembali terisi setelah sekian lama tidak ditempati. Terakhir kali terisi, Hoseok hampir mengumpat. Rekan sejawatnya dengan perut sebesar galon—Minki, mendadak ingin menumpang sampai persimpangan jalan. Dan sumpah demi apa pun, Hoseok nyaris jatuh saat membawa beban di belakang sana yang memiliki berat dua kali lipat dari tubuhnya.

Perjalanan yang ditempuh cukup singkat—sekitar lima menit lebih beberapa detik. Hoseok memarkirkan motornya di area parkir dan membantu Anha untuk berjalan. Dia memegang bahu si wanita dengan erat, menuntun hingga keduanya tiba di ruang tunggu.

"Tunggu di sini sebentar, ya? Aku akan mengambil kotak obatnya di dalam terlebih dahulu."

Anha berdeham, lekas menempatkan bokong dengan pandangan yang menjelajah ke tiap-tiap sudut ruangan. Dindingnya dicat putih tulang, beberapa lampu dinyalakan dengan meja di depan sana yang tidak dijaga siapa-siapa. Mungkin yang bersangkutan sedang ada keperluan mendadak.

Menumpu wajah dengan salah satu tangan, sepasang netra Anha mendadak terpusat akan satu tahanan yang tiba-tiba lewat dari arah kamar mandi. Dia dituntun dengan dua orang berpakaian polisi dan tangan yang dikukung borgol. Pandangan mereka bersirobok beberapa detik, dan Anha merasakan bahwa lelaki itu tengah mengirim pesan lewat iris sipit yang menatapnya begitu tajam pula seringai tipis yang mencuat dari bibir keringnya.

Kau tahu, semacam perasaan haus akan hal-hal kejam yang barangkali pernah diperbuatnya di masa lampau.

Sungguh, itu membuat Anha merinding setengah mati.

"Nah, sini kuobati lukanya."

Anha menoleh, mendapati Hoseok tersenyum lebar sembari membuka kotak perlengkapan yang dibawanya. Hoseok mengobati dengan sangat hati-hati, bahkan dia berkali-kali menanyakan, "Terasa sakit?" yang mana dibalas Anha dengan gelengan singkat. Diobati saja dia sudah bersyukur.

"Terima kasih, Hobi."

"Nevermind, An."

Mereka terdiam untuk sesaat. Anha disibukkan dengan pikirannya yang melayang pada tahanan misterius tadi, dan Hoseok yang membereskan peralatan ke dalam kotak.

"Kau tahu siapa laki-laki yang tadi lewat?" Hoseok menghentikan aksinya, mendongakkan kepala dengan alis yang dinaikkan. "Itu ... aku tadi melihat seseorang—sepertinya dia tahanan di sini. Dia dituntun oleh dua orang polisi."

"Tunggu," sergah Hoseok. "Apa dia melakukan hal yang aneh padamu?"

Tentu. Dia memberiku tatapan tajam dan seringaian yang mengerikan. "T-tidak. Aku hanya penasaran."

Hoseok menyemburkan napas dan meletakkan kotak tersebut di atas pangkuan. "Dia tahanan kami. Min Suga—well, sebenarnya aku meragukan nama tersebut. Rasanya aneh saja. Dia seperti membuat identitas baru." Hoseok memandang tumbuhan hidup di sudut ruangan dengan sulit, seakan coba mengingat beberapa hal mengenai tahanannya yang terbilang cukup tangguh. "Harusnya dia ditahan di kepolisian Busan, tetapi ada beberapa hal yang tidak bisa kusebarluaskan yang menjadi penyebab dia ditransfer kemari."

Anha tidak menanggapi penjelasan beruntun yang diberikan Hoseok. Agaknya hal tersebut dirasa kurang penting juga.

Menghela napas sekali lagi, Hoseok bangkit berdiri. "Tidak perlu memikirkannya, An. Dia sudah sewajarnya menerima hal tersebut." Lelaki Jung itu menilik jam yang menggantung dan menemukan pagi nyaris bertamu. "Ah, sudahlah. Aku akan mengantarkanmu pulang."

Lingkaran hitam di bawah mata membuat Jimin terasa lebih mengerikan. Dia tidak bisa terlelap, bahkan setelah melakukan berbagai macam cara. Akhirnya si Park itu hanya bisa memandang langit-langit dan menunggu fajar terbit dari arah timur.

Secangkir kopi hitam menemani pagi sunyinya. Perut yang berkeriuk lapar tak Jimin hiraukan. Dia hanya terus meneguk cairan pekat tersebut sembari mengamati bagaimana rindang pepohonan di belakang rumah bergesek satu sama lain. Cicit burung gereja terdengar merdu, salah satunya hinggap di dahan dan mulai mencari makan.

Jimin kembali merenung.

Apa yang sedang Anha lakukan?

Bagaimana kabarnya? Apa dia baik-baik saja?

Apakah Anha sudah makan?

Apakah dia tidur dengan cukup?

Apakah ...

Berengsek! Jimin menggeram di dalam hati. Gejolak rindunya pada Anha telah mencapai ubun-ubun kepala. Memejamkan mata, Jimin membuang segala macam ego yang dijunjungnya tinggi-tinggi. Dia telah membuat satu tekad, dan hal tersebut akan dilaksanakannya sekarang juga.

Meletakkan cangkir yang digenggamnya kasar ke atas meja, Jimin lekas mengambil langkah lebar memasuki rumah dan mengantongi kunci mobil ke saku celana.

Ya. Jimin akan pergi ke Seoul. Melihat sosok yang dirindukannya kendati itu hanya dari kejauhan. Kiranya hal tersebut lebih baik dibanding dengan terus meredam rasa yang mendera hingga jiwanya tersakiti.

Dengan kaki yang terus menginjak pedal gas, Jimin mengemudikan mobil tersebut dengan kecepatan penuh. Dia tidak memedulikan bunyi klakson yang saling bersahutan seolah-olah memberitahunya untuk tidak serampangan dalam menyetir. Setelahnya, dalam waktu beberapa jam saja, Jimin sudah tiba di tengah-tengah kota Seoul.

Memelankan laju kendaraan, Jimin sesekali melihat ke arah luar; coba mengingat jalur yang dilalui. Kemudian, entah karena keberuntung yang mendadak datang atau hanya sebatas ketidaksengajaan, Jimin melihat sosok tersebut keluar dari salah satu supermarket di seberang jalan. Wanita itu tampak kerepotan dengan tiga kantong plastik belanjaan di kedua tangan.

Nyaris keluar dan mendekap figur tersebut dengan erat, Jimin hanya bisa terdiam kala seorang laki-laki datang menghampiri untuk menawarkan bantuan. Mulanya Anha menolak, tetapi setelah berbincang lebih lanjut dan tawa kecil mencuat dari labium merahnya, Anha membiarkan lelaki itu mengambil alih barang bawaannya.

Jimin tersenyum kecut, pandangannya jatuh pada cengkraman yang mengetat di balik kemudi. Bunyi klakson kembali mengusik, bahkan ada seorang wanita tua yang memarahinya, "Jangan berhenti di sembarang tempat, anak muda. Kau bisa ditilang karena menyebabkan kemacetan."

Jimin hanya membalas dengan anggukan pelan sembari mengucap permintaan maaf. Dia berlalu dari sana, tanpa tujuan yang pasti pula pikiran yang saling tumpang tindih. Dia memang tidak bisa meraih tubuh tersebut untuk sekarang, tapi setidaknya biarkan Jimin untuk menjaga Anha dari kejauhan. Ya, ini hanya berlangsung sementara. Sesudah semua masalah usai, Jimin akan kembali ke hadapan wanita itu; akan tetap berada di sampingnya hingga Anha sendiri muak dan memintanya untuk pergi. []

Continue Reading

You'll Also Like

23K 2.3K 24
Story by : Emerald_Slytherin 9 tahun setelah pertempuran Hogwarts, perang masih berkecamuk dan semua orang telah banyak berubah sejak masa-masa merek...
11.7K 686 13
Set 10 tahun After War, Hermione mengasingkan diri ke dunia Muggle, terpaksa kembali ke dunia sihir demi membantu sang Musuh untuk mendapatkan kead...
218K 2.5K 5
Malaikat berteman dengan vampir? Gak mungkin... Tapi itu terjadi pada Luhan. Dalam eksistensinya yang panjang, Luhan memiliki hal-hal yang tidak pe...
89.5K 7.1K 36
All You Want by SenLinYu Dramione A/B/O. Tahun Kedelapan di Hogwarts seharusnya menjadi tahun milik Hermione. Dan memang demikian, tidak seperti yang...