Buat yang masih kosong, coba hapus dulu library, tutup aplikasi wattpad dan buka ceritanya dari akun saya.
***
Yura tegang sekarang, mengapa ia harus dengan mudahnya ikut dengan laki-laki berwajah seperti kayu ini? Padahal Aldrich sudah berpesan jangan sendirian dan jangan mudah percaya dengan orang lain.
Yura mengedarkan pandangan, taman kampus ini memang tidak ramai, tetapi masih ada beberapa mahasiswa yang berdiam diri di sana. Sebagian tengah mengobrol asyik, sebagian lagi menunduk untuk membaca sesuatu yaitu berupa buku yang mereka bawa. Takutnya, mereka sampai tidak menyadari keadaan sekitar gara-gara terlalu bertindak individualis.
Yura mencoba terlihat tenang dan tidak panik, walaupun tidak begitu berhasil. Senyumnya canggung, ia juga terlalu sering membenarkan poni yang terasa menusuk mata. Alf masih diam, sehingga Yura merasa gatal untuk segera pergi dari taman kampus yang tiba-tiba terasa menyeramkan.
Ketika Alf membuka mulut, suaranya yang berat dan dalam seperti samudra yang tak bisa diduga segala isinya membuat Yura tertegun sebentar. Ia tidak tahu siapa itu Jacob atau bagaimana rupa serta sifatnya, tetapi dapat dimengerti mengapa laki-laki itu memilih Alf sebagai pengawal pribadi.
Alf memiliki aura yang berbeda, kuat dan dapat dengan mudah mendominasi orang lain. Walaupun jujur, Yura masih bisa menemukan seseorang yang mempunyai aura lebih kuat dari Alf, yakni Aldrich.
"Perkenalkan, namaku Alf."
Nada bicara Alf yang begitu kaku dan resmi membuat Yura mengernyit dan menelan saliva perlahan. "Namaku ... Yura."
"Ada satu hal yang ingin aku sampaikan."
"Begitu ya? Tapi aku ada kelas, jadi nanti saja ya selamat tinggal."
Yura berbalik dan hendak pergi ketika Alf menahan tangannya. "Sebentar saja, tidak akan sampai mengganggu kegiatan kuliahmu."
Yura mengembuskan napas pelan. "Baiklah."
"Ini mengenai beberapa surat yang kau terima. Oh ya, tidak perlu tegang seperti itu. Aku tidak membawa benda apapun yang bisa membahayakanmu."
Yura yang mulai merasa tidak sabaran dan keberaniannya timbul pun mendengus, ia berdecak dan melipat tangan di dada. "Bisa dipercepat? Kalau aku boleh mengucapkan sesuatu yang berani, omonganmu terlalu bertele-tele dan panjang. Bisa dipersingkat tidak? Jam kuliahku akan dimulai sebentar lagi, apa kau tidak bisa membayangkan kerugian apa yang harus kuperoleh nantinya? Orang tuaku sudah membayar mahal untuk biaya kuliahku dan kau seenaknya saja mengganggu waktu yang berharga ini?"
Alf mengernyit, membuat ekspresi baru di wajahnya yang selalu terlihat seperti kayu. Ia tertegun, wanita di hadapannya ini adalah seorang normal paling berani yang pernah ia temui.
"Baiklah. Aku hanya menghimbau agar kau lebih hati-hati lagi, karena A akan mulai bertindak lebih jauh."
Yura memejamkan mata, mencoba menetralisir segala perasaan yang muncul. "Lalu?"
"Perhatikan setiap langkahmu, itu saja yang ingin kukatakan."
Yura meringis, tiba-tiba merasa pening dan perutnya seperti diaduk-aduk hingga menimbulkan sensasi mual. "Kau ... A?"
Alf menggeleng. "Aku pamit pergi."
Begitulah, Alf berjalan menjauh begitu saja. Langkah-langkah yang panjang membuatnya cepat hilang ketika berbelok di suatu persimpangan jalan, meninggalkan Yura yang mendesah pelan dan terduduk dengan lemas. Beribu-ribu pertanyaan hadir di kepala satu persatu dan terkesan tidak akan ada habisnya, setitik keberanian yang sempat ia rasakan menguap hingga tak bersisa.
Apa ia harus menghubungi Aldrich tentang hal ini?
Entahlah, Yura malah merasa ragu. Ia takut hal ini dapat mengganggu Aldrich, dia pasti sibuk dengan segala urusan yang tidak ingin diketahui Yura.
Yura merogoh tas, lalu menepuk dahi ketika menyadari bahwa ponselnya tertinggal.
"Ayo masuk," ajak seseorang, Yura menoleh dan mendapati seorang perempuan satu kelasnya menaikkan alis.
Baiklah, mungkin sejenak saja ia harus fokus ke lain hal dulu.
***
Aldrich melemparkan pisau beberapa kali, hanya berselang beberapa saat saja. Benda-benda tajam itu tepat mengenai beberapa bagian tubuh target, ia kini sedang berada di suatu ruangan khusus di mana biasanya dipakai untuk melatih ketepatan seseorang dalam menentukan target.
Dasi Aldrich yang tadinya terpasang rapi kini sudah tidak karuan, tampak miring. Beberapa kancing atas juga sudah terbuka.
Aldrich berdiri dengan napas memburu, ingatan tentang ibunya yang mati karena ulahnya sendiri seringkali membuat Aldrich trauma. Meskipun target di sini hanya kayu yang dibentuk serupa dengan tubuh manusia, ia dapat membayangkan setiap darah yang menetes dan menggenang di lantai yang bersih.
"Aldrich."
Aldrich menoleh, keringatnya yang menetes tampak dramatis. Lionel tersenyum ke arahnya dan melakukan hal serupa seperti yang tadi Aldrich lakukan, yakni melempar pisau ke target. Tepat sasaran.
"Aku ingin menanyakan sesuatu."
Aldrich mendelik. "Apa?"
"Soal posisi pewaris perusahaan Bale yang besar ini. Kau mau memberikannya padaku?"
Aldrich masih memasang tampang datar, hanya alis kirinya yang naik. "Tentu, dengan senang hati."
Lionel terdiam sebentar. Semudah ini?
"Mengapa kau begitu mudah memberikan posisi yang semua orang inginkan itu?"
"Aku tidak menginginkannya, lagipula hanya kau yang menginginkan kepemimpinan Bale."
"Eh? Tentu saja tidak, kekuasaan selalu menjadi dambaan seseorang."
Aldrich tersenyum sinis, matanya menatap meremehkan. "Cara pandangmu terlalu sempit, Lionel. Perusahaan Bale terlalu gemerlap, dan aku serta yang lainnya lebih suka kehidupan yang sederhana saja. Harta tidak selalu menjanjikan kebahagiaan."
Lionel mengangkat bahu tidak peduli. "Ya ya ya terserah kau saja. Jadi, intinya kau bersedia memberikan kepercayaan Jonathan kepadaku? Tidak apa-apa jika aku membicarakan hal ini pada Benjamin?"
Aldrich mengangguk mantap.
"Baiklah, jangan menyesal nanti, Aldrich."
Lionel pergi keluar ruangan dengan langkah penuh kemenangan, Aldrich sendiri tidak merasa keberatan sama sekali. Yang ia inginkan hanyalah hidup berdua dengan Yura, hanya itu.
Ponsel di saku celana Aldrich berbunyi, wajahnya segera berbinar ketika mendapati bahwa Yura kini menelepon.
"Kau merindukanku?"
Aldrich terkekeh, duduk di bangku kayu panjang dengan ponsel yang menempel ke telinga.
Tetapi balasan sinis dari seberang segera membuat ekspresi Aldrich menjadi datar lagi.
"Jangan berkata hal menjijikkan seperti itu."
Aldrich mendengus, ini suara Dave.
"Kau sudah berani padaku?"
"Tidak perlu takut kalau Yura noona selalu membelaku."
"Mati saja kau."
"Sembarangan, kau saja."
Aldrich berdecak.
"Sebenarnya apa tujuanmu menelepon dari ponsel wanitaku?!"
"Ponselnya tertinggal, aku menemukannya di atas meja makan. Aku hanya memintamu untuk terus mengawasinya. Perasaanku tidak enak."
"Tanpa kau minta pun aku tetap mengawasinya."
"Oh ya? Terserah. Sudah kalau begitu, aku takut tagihan telepon Yura noona membengkak."
Telepon ditutup, Aldrich berdecih dan hampir saja melempar benda pipih itu ke tengah-tengah ruangan.
Tiba-tiba ia merasa tidak enak, apa mungkin itu efek pembicaraannya tadi dengan Dave? Aldrich berharap itu hanya bentuk prasangka saja, dan tidak ada hal buruk yang terjadi.
***