Angel of Death (2011)

بواسطة windareksa

8.1K 470 7

Isseiru, pimpinan malaikat kematian, ditugaskan mencari keberadaan Rico. Dia pun harus berhadapan dengan musu... المزيد

[The Angels] 1 - A White Feather
[The Angels] 2 - Angel of Death
[The Angels] 3 - First Contact
[The Angels] 4 - Dinner
[The Angels] 5 - Night Angel
[The Angels] 6 - A Little Chat
[The Angels] 7 - Beginner Angel
[The Angels] 8 - Preparation
[The Angels] 9 - Misty
[The Angels] 10 - Rise of Xeo
[Awakening] 11 - Eclipse
[Awakening] 12 - Bermuda Triangle
[Awakening] 13 - Awake
[Awakening] 14 - Look Alike
[Awakening] 15 - Scared
[Awakening] 16 - In Apartment
[Awakening] 17 - He's Back?
[Awakening] 18 - Moving
[Awakening] 19 - Fall Down
[Awakening] 20 - Golden Sun
[Past] 21 - Ancient Artefact
[Past] 22 - Full Moon
[Past] 23 - Black Turned To White
[Past] 24 - The Fallen Archangel
[Past] 25 - The 5th Archangel
[Past] 26 - War
[Past] 27 - His Decision
[Past] 29 - Fishing
[Past] 30 - Bloody Sunset
[My Decision] 31 - Dying
[My Decision] 32 - Unfinished
[My Decision] 33 - Behind The Photo
[My Decision] 34 - Circular Light
[My Decision] 35 - His Own Battle
[My Decision] 36 - St. Angelica's New Student
[My Decision] 37 - Never Say
[My Decision] 38 - Regret
[My Decision] 39 - Miss Angelica
[My Decision] 40 - Red Tear
[Trapped] 41 - Return Of The Night Angel
[Trapped] 42 - Stupid Plan
[Trapped] 43 - Little War
[Trapped] 44 - He's Gone
[Trapped] 45 - Black Cloud
[Trapped] 46 - Challenge
[Trapped] 47 - Calm Before The Storm
[Final Battle] 48 - Two Of Them
[Final Battle] 49 - Night And Fire
[Final Battle] 50 - Scream
[Final Battle] 51 - Never Again
[Final Battle] 52 - The Unlucky Shot
[Final Battle] 53 - Memories
[Final Battle] 54 - Crimson Red
[Final Battle] 55 - Not Finished Yet

[Past] 28 - Here I Am

87 4 0
بواسطة windareksa

Hal itu terus berada dalam benak Wisha belakangan ini. Bahkan ketika dia mengajar Reide belajar terbang. Sudah berhari-hari, tapi tetap saja murid dadakannya itu tidak bisa terbang dengan baik. Ya, setidaknya dia sudah bisa melayang selama beberapa detik di udara dengan ketinggian 1 meter dari tanah. Tidak buruk juga.

"Hhh..." Wisha menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Jangan mengepakan sayapmu terus saat kamu sedang diam di atas udara. Itu akan membuatmu cepat lelah."

"Baik."

Perkembangan Reide memang termasuk sangat cepat untuk orang yang tadinya phobia dengan ketinggian. Sebentar lagi, dia pasti akan belajar menggunakan energi malaikat. Kemudian dia bisa turun ke bumi dan membantu menjaga manusia dari makhluk kegelapan, atau sekedar membantu rutinitas malaikat kematian.

-----

"Elementaler?" ulang Reide.

"Ya," jawab Isseiru. Terkadang Isseiru memberi bimbingan khusus pada Reide bila dia sudah mencapai tahap tertentu. "Kekuatan yang tersimpan dalam dirimu adalah kekuatan untuk menggunakan elemen yang ada. Sebutan lainnya, elementaler. Itu kekuatan yang jarang ada lho. Hanya sedikit malaikat yang memilikinya."

"Bagaimana aku mempelajarinya?"

"Untuk awalnya, kupikir kamu bisa belajar menggunakan energi malaikat dulu. Kemudian, kamu baru belajar mengontrol elemen menggunakan energi itu. Belajarlah dengan Wisha."

"Wisha bukan elementaler, 'kan?"

"Bukan. Xeo, Lucieve, maupun aku, tidak satu pun dari kami yang punya kekuatan elementaler. Aku memang bisa minta bantuan kerubim untuk mengajari, tapi aku tidak yakin mereka punya waktu. Sepertinya akan sulit bagimu mempelajari kekuatan itu."

"Apa tidak ada seorang pun malaikat kematian yag punya kekuatan itu?"

"Hanya ada satu orang. Tapi, sangat sulit menemuinya."

"Siapa?"

Isseiru menghela napas pelan, "Chera. Dia satu-satunya malaikat kematian yang punya kekuatan elementaler dan berhasil menguasai elemen kegelapan. Karena itu, dia menjadi lebih kuat di malam hari. Kamu pernah mendengar julukan Chera? Chera, the night angel."

Reide sedikit tidak menyangka. Ternyata Chera sekuat itu toh. Satu-satunya malaikat kematian berkekuatan elementaler yang ada. Yah, sekalipun nanti tidak akan jadi satu-satunya lagi kalau dia juga mempelajarinya. Tapi, di mana Chera?

-----

"Apa yang kamu tahu tentang Chera?" Reide menayakan hal itu pada Wisha. Segala pertanyaan yang sempat terpendam dalam benaknya, kini mencuat lagi. Dia memang ingin menanyakan hal yang sama pada Reide. Rupanya Reide juga menanyakan hal yang sama duluan.

"Tidak banyak," jawab Wisha. "Dia salah satu malaikat kematian terkuat. Biasanya bertugas malam hari dan baru kembali saat subuh, seperti kelelawar saja. Pengguna pedang yang cukup handal dan pengguna kapak yang luar biasa. Sangat senang bergerak sendiri. Karena itu, jarang sekali dia bertugas berkelompok."

Memang tidak jauh beda dengan yang diketahui Reide. "Pengguna kapak? Kupikir kapak hanya digunakan sebagai senjata dalam game."

"Kita juga hidup dalam game. Permainan yang kita mainkan namanya kehidupan."

"Aku tidak pernah melihatnya menggunakan kapak."

"Tentu saja tidak. Yang namanya senjata rahasia itu hanya digunakan saat genting lho," jawab Wisha santai sambil melayang naik ke atas pohon besar dan duduk di salah satu dahannya yang besar juga. "Setiap malaikat dianugerahi dengan sebuah senjata khusus yang diberi kekuatan oleh archangel. Senjata itu biasanya hanya digunakan pada saat penting saja. Atau ada juga yang menyimpannya sebagai hadiah."

"Kamu termasuk yang mana?"

"Yang pertama. Aku punya tongkat sihir panjang yang berfungsi meningkatkan dan memfokuskan energi malaikat. Kata Isseiru, Master Chael sendiri yang mengurapi senjata itu dengan kekuatannya. Aku memang pernah menggunakannya, kekuatannya luar biasa." Perlu diketahui, tongkat yang dimaksud Wisha bukanlah tongkat yang biasa dia pakai.

Reide melipat tangannya sambil tetap melayang konstan di udara. "Aku tidak dapat senjata seperti itu."

"Mungkin belum. Senjata itu 'kan senjata khusus. Tentu saja tidak dibuat dengan main-main. Semua disesuaikan dengan karakteristik dan kekuatan malaikat yang akan memakainya. Misalnya aku. Aku bisa dengan mudah menggunakan dan merekayasa energi malaikat. Karena itu senjataku tongkat."

"Kalau Isseiru?"

"Pedang. Pedang yang digunakan saat dia berubah kembali jadi archangel itu, lho. Kalau tidak salah namanya Crosseta."

"Memangnya semua senjata punya nama?"

"Tentu saja tidak. Kalau kamu tahu bagaimana senjata mulai punya nama, kamu pasti terkejut." Wisha tertawa kecil. "Semua karena gosip. Malaikat sekalipun suka bergosip lho. Setiap senjata yang diurapi konon punya nyawa. Mereka jadi menganggapnya seperti manusia. Sejak itu, mulai banyak yang memberi senjatanya nama. Ada juga yang memberi nama aneh pada senjatanya, misalnya blackky atau cherry."

"Hah?" Reide baru menyadari sekarang. Ternyata yang dimaksud Chera kalau mereka bukan benar-benar malaikat itu seperti ini toh. Mereka masih membawa banyak sekali sikap manusia. "Memangnya gosip itu begitu kuat ya?"

"Cukup kuat juga. Memang ada yang tidak terpengaruh sih, terutama bagian archangel."

"Apa yang mereka katakan itu semua benar?" tanya Reide. "Aku banyak mendengar kalau Chera pernah membunuh seorang kerubim."

"Apa!?" Wisha berteriak keras sekali sampai Reide tersentak kaget. "Dari mana kamu mendengar itu? Biar kuhajar mereka! Seenaknya saja menyebarkan gosip sampai seperti itu. Kejadiannya 'kan tidak seperti itu!"

"Hah?" Reide makin kaget. "Kamu tahu kejadiannya?"

Wisha yang tadinya berkobar marah, kini menunduk seperti bunga yang layu. "Sebenarnya, akulah saksi kunci yang menyaksikan semua kejadian itu."

"Eh?"

"Aku masih ingat dengan jelas semua kejadiannya. Malam itu berkabut. Udaranya dingin dan ada kabut tipis. Waktu itu ada kecelakaan kereta api. Kereta oleng karena rel yang bermasalah. Kereta itu terjatuh dari jembatan ke tebing curam yang ada di sisi kirinya. Aku bertugas untuk mengawasi perginya para roh korban. Karena terlalu banyak roh yang harus diawasi, Isseiru meminta Chera untuk membantuku. Itulah pertama kalinya aku bekerja bersamanya."

Reide mendengarkan dengan saksama.

"Dalam kondisi seperti itu, tentu banyak makhluk kegelapan yang ingin menyantap roh mereka. Chera dan aku bertarung dengan mereka, sekitar 5 sampai 6 ekor. Ternyata ada seorang kerubim yang lewat di sana. Dengan inisiatifnya sendiri, dia membantu kami. Pertarungan berjalan tidak sesuai dugaan kami. Di saat kami berpikir semua sudah selesai, muncul makhluk dari dalam air. Makhluk itu menyeret kerubim masuk ke dalamnya. Chera dan aku mengejarnya. Pada akhirnya memang kami yang menang. Tapi..."

Wisha menarik napas panjang.

"Justru di sanalah masalahnya. Makhluk itu merasuki kerubim yang telah membunuhnya. Dalam keadaan setengah sadar, kerubim itu menyerangku. Dia kelihatan ketakutan pada dirinya sendiri. Dia minta kami membunuhnya. Kami menolak. Kemudian dia menyerang Chera, menarik pedang Chera, dan menghunus dirinya sendiri. Lalu mati..."

Reide tertegun. "Lho, jadi pada akhirnya dia bunuh diri dengan pedang Chera? Begitu?"

"Sebenarnya kejadiannya memang seperti itu," kata Wisha dengan sedikit kesal. "Karena kejadian seperti itu, Chera diadili oleh para kerubim. Sekalipun aku bersaksi, tidak ada yang percaya. Para kerubim tidak suka dengan kita. Karena malaikat kematian dianggap sebagai sesuatu yang rendah. Untung saja Master Rheirai bertindak adil dalam pengadilan itu dan Chera dibebaskan. Tapi, tetap saja pendapat mereka tidak berubah."

"Bisa dibilang Chera juga terselamatkan karena Isseiru sudah menjadi malaikat kematian saat itu, ya..." gumam Reide.

"Ya, kamu bisa menganggapnya begitu. Jadi, mulai sekarang jangan sekalipun mendengarkan gosip yang beredar! Mengerti?"

"Ba... Baik..." Reide mengangguk. "Wisha, apa kamu kamu masih merasa bersalah pada Chera? Maksudku, apa rasa percayamu timbul karena rasa bersalah tidak bisa membantu Chera menghilangkan gosip tentangnya yang tidak benar itu?"

Wisha terdiam sebentar, "Tidak. Memang kejadian itu masih lekat dalam ingatanku. Tapi, aku percaya padanya karena memang aku mempercayainya. Chera bukan orang jahat. Aku tahu itu!" Menarik. Dia dan Wisha sama-sama yakin kalau Chera bukan orang jahat. Reide jadi ingin bertemu Chera kembali. Dia ingin menanyakan alasan kenapa Chera tidak kembali padahal segala sesuatunya sudah kembali normal.

-----

Pada suatu kesempatan, Reide berkesempatan turun ke bumi bersama Wisha untuk melakukan tugas rutin malaikat kematian. Reide terbang dengan sangat berhati-hati. Jangan sampai dia membuat kesalahan dan terjatuh dari tempat setinggi itu. Phobianya sudah hampir hilang sepenuhnya.

"Kalau begini tenang, ya," kata Reide setelah tugas mereka usai.

"Tenang bagaimana?" balas Wisha.

"Kan tidak ada lagi makhluk kegelapan yang bikin ulah, apalagi sejak Sylvester menghilang."

"Dasar bodoh," omel Wisha. "Justru itu bahaya. Isseiru dan Xeo yang melacaknya juga belum menemukannya sampai sekarang. Itu artinya, mereka pasti sedang bersembunyi untuk menyiapkan suatu serangan balasan."

"Masa sampai begitu?"

"Bisa jadi, 'kan. Ya sudah, aku kembali dulu ke Halrane." Wisha mulai mengangkat dirinya ke atas dan terbang menuju Halrane. Reide sendiri menghabiskan waktunya di bumi sampai malam. Dia sudah minta izin dari Isseiru, yang sudah kembali bertugas, untuk berlatih terbang di bumi seorang diri.

Reide bermain-main di taman hiburan malam itu. Sudah lama dia tidak ke sana. Suasananya masih sama. Ramai seperti biasa. Cahaya dari lampu kelap kelip membuatnya senang. Tempat itu seperti taman cahaya warna warni. Di tengah keramaian seperti itu, sesosok orang menarik perhatiannya. Sesosok pria dengan badan tegap dan cukup kekar. Rambut coklat seperti...

"Chera!" seru Reide sambil terbang dengan cepat menuju orang itu. Reide langsung menepuk bahunya dari belakang. Pria itu menoleh. Seorang pria setengah baya dengan kumis tebal menggantung di atas bibirnya. "Ah, maaf, saya salah orang," kata Reide, kemudian dia berbalik, pergi dengan kecewa.

"Kamu memang bodoh ya," suara Chera terdengar dari belakang. Reide langsung menoleh. Pria tadi memang adalah Chera yang sedang menyamar. "Tidak ada manusia yang bisa melihat atau merasakan malaikat kematian. Singkatnya, manusia baisa tidak akan menoleh bila ditepuk seperti tadi."

"Chera!?" Reide terkejut sekaligus senang.

Chera, dalam wujud malaikat, membawanya ke sebuah rumah cermin yang ada di sana. Kebetulan, atraksi itu sedang ditutup karena ada perbaikan. Di tengah rumah cermin tersebut ada sebuah ruangan besar dengan berbagai cermin pada dndingnya. Cahaya di sana begitu remang, maklum, hanya berasal dari sebuah lampu neon yang digantung di atas. Setidaknya itu cukup untuk membuat mereka bisa melihat satu sama lain.

"Chera..." baru saja Reide mau mengatakan sesuatu, tapi Chera sudah menyahut.

"Kamu sedang mempelajari kekuatan elementaler, 'kan?"

Reide sedikit terkejut. "Darimana kamu tahu?"

"Sebagai elementaler, aku juga bisa menyadari kekuatan sama yang ada padamu," jawab Chera. "Harus kuakui kalau perkembanganmu cukup pesat. Aku tidak menyangka kalau kamu akan sampai tahap elementaler secepat itu."

"Tapi, aku belum tahu apa pun soal itu."

Chera melangkah mendekati Reide. Kemudian dia mengangkat tangan kanannya, menelungkup seperti sedang membawa sesuatu.

WUUSH...

Dalam sekejap, ada percikan api yang muncul di sana. Menyerap oksigen di sekelilingnya dan menjadi bola api kecil di telapak tangan Chera. Spontan Reide melongo. Semua yang dilakukan Chera seperti sulap saja. "Coba lakukan seperti yang barusan kulakukan!" pinta Chera.

"Bagaimana caranya?" Reide mengangkat tangannya dan melakukan gerakan seperti yang dilakukan Chera tadi. Tidak ada yang terjadi.

"Elemen yang paling mudah dipelajari, menurutku, adalah api. Kalau kamu bisa mengusainya, kamu bisa mempelajari elemen yang lain dengan mudah."

"Jadi aku bisa mempelajari semua elemen?"

"Ya, mungkin tidak semua," jawab Chera. Chera pun mulai menerangkan penggunaan kekuatan elementaler. "Di dunia ini terdapat banyak elemen. Ada api, angin, air, dan banyak lainnya. Setiap elemen punya karakteristik tersendiri. Dasar untuk mempelajarinya mungkin sama, namun untuk menguasainya, perlu teknik yang berbeda. Saat menguasai elemen tertentu, ada kalanya kamu tidak bisa menguasai elemen lain yang bertentangan dengannya."

"Maksudnya?"

"Saat kamu menguasai elemen kegelapan, sepertiku, kamu tidak akan bisa menguasai elemen cahaya yang membuatmu kuat di siang hari. Tidak semua elemen seperti itu, ada juga yang merupakan elemen netral. Karena itu, berhati-hatilah saat mempelajari elemen tertentu. Pikirkan baik-baik sebelum mempelajarinya."

"Sekali aku mempelajari suatu elemen, itu berlangsung untuk seterusnya?"

"Ya, sekalipun dibilang itu untuk selamanya, tetap saja kamu tidak bisa menggunakan semuanya sesuai dengan keinginanmu. Kadang ada syarat yang harus dipenuhi. Misalnya untuk menggunakan petir, kamu harus dalam stamina yang baik, kalau tidak, kamu akan kehilangan kontrol."

"Hm... Sepertinya rumit, deh."

"Tidak serumit itu setelah dipelajari," sahut Chera.

Reide mengangkat tangannya lagi dan mencoba melakukan hal yang sama seperti Chera tadi. Tetap saja tidak ada yang terjadi. Reide menghela napas panjang.

"Semua kuncinya ada pada konsentrasi," kata Chera. "Konsentrasi. Bayangkan api itu sendiri. Perhatikan karakteristiknya. Api itu hidup. Dia menari seirama dengan apa yang ada dalam benakmu. Cantik dan lembut, bagai gadis bergaun merah. Hangat seperti matahari."

Reide memejamkan matanya sambil membayangkan hal yang dikatakan Chera. Konsentrasi, pintanya pada diri sendiri.

FET...

Reide merasakan suatu kehangatan pada tangannya. Saat membuka mata, dia bisa melihat lidah api kecil melayang di atas telapak tangannya. Api itu tidak membakar tangannya, hanya melayang. Menari seirama dengan degup jantungnya.

"Aku berhasil!" seru Reide riang.

"Bagus!" puji Chera. "Hati-hati, kalau terlalu besar, bisa membuatmu kehilangan kontrol. Kalau terlalu kecil, apinya bisa mati."

"Iya, aku mengerti." Reide mempertahankan nyala api di tangannya. Sepertinya ini tidak akan sulit. Ya, seperti kata Chera, ini tidak serumit teorinya. Lagipula, bila dia sudah bisa menguasai suatu elemen seperti ini, dia sudah bisa mempelajari elemen lain. Reide bangga dengan dirinya sendiri. Dalam benaknya, dia membayangkan bisa menyombongkan diri pada Wisha.

Namun kemudian, Reide teringat pada satu hal penting yang harus ditanyakannya pada Chera. "Chera, kenapa kamu tidak kembali ke Halrane? Bukankah semuanya sudah kembali normal? Aku tahu kalau alasanmu bergabung dengan Sylvester adalah untuk melindungiku. Sekarang aku sudah bebas. Kamu sudah bisa kembali."

Chera memalingkan wajahnya. "Tidak bisa."

"Kenapa?"

Chera menatap cermin yang ada di depannya. Reide bisa melihat raut sedih dari bayangan Chera di cermin. "Apapun alasannya, aku sudah jadi pengkhianat Halrane. Tidak ada lagi tempat bagiku. Di sinilah aku. Di antara yang jahat dan yang baik."

"Tidak! Itu tidak benar. Kamu tidak bisa memaksakan dirimu abu-abu di antara hitam dan putih. Chera, kamu bisa memilih di mana tempatmu. Dan itu adalah di sisi kami, para malaikat. Aku sekarang sadar, bahwa malaikat sudah sewajarnya berada di sisi malaikat lainnya. Sama seperti bara api yang dipisahkan dari perapian, lama-lama nyalanya akan padam. Jangan jadi seperti itu, Chera..."

Chera tertawa kecil. "Kamu sudah bisa menceramahiku juga, ya. Tapi, maaf, aku belum berniat untuk kembali. Setidaknya tidak untuk saat ini." Kemudian Chera mengeluarkan cermin picco. Diameternya sebesar bola baseball. Dia memberikannya pada Reide. "Gunakan ini kalau kamu perlu bicara padaku."

"Tapi..." Reide berusaha membantah. Sampai dia tidak sadar kalau api yang ada di tangannya jadi padam.

"Konsentrasi!" sahut Chera.

Reide membuat api itu lagi, kali ini dengan waktu yang lebih cepat.

"Coba ini!" Chera minta Reide memperhatikannya. Chera memunculkan beberapa bola api di tangannya. Kemudian dia melemparkan bola-bola api itu ke atas dan melakukan juggling seperti pemain akrobat. Dia melakukan hal itu dengan menggunakan bola api seolah-olah itu adalah bola biasa.

"Bagaimana caramu melakukannya?"

"Dengan cara yang sama seperti tadi. Jangan ragu untuk melempar dan menangkapnya lagi. Api itu tidak akan membakarmu."

Reide mencoba melempar dan menangkapnya lagi. Di luar dugaan, dia langsung berhasil melakukannya dengan satu bola api. Reide mulai menggunakan beberapa bola dan lebih banyak bola. Dia mulai menikmatinya. Ini hebat, dia bisa menciptakan api seperti di film. Tanpa mereka sadari, bulan makin naik dan malam makin larut. "Terima kasih pelajarannya, guru," kata Reide senang.

"Ya, ya." Chera mendekati Reide dan berkata, "Selalu waspada..." Seiring dengan berakhirnya ucapan Chera, mendadak tempat itu gelap gulita untuk sesaat. Kemudian beberapa detik kemudian, cahaya kembali dan segala sesuatu kembali seperti normal. Tapi, Chera sudah menghilang.

"Chera! Chera!" Reide meneriakkan nama Chera, tapi malaikat itu sudah tidak ada lagi. Reide pun kembali ke Halrane dengan hati yang campur aduk. Dia yakin Wisha akan senang kalau mendengar dia sudah menguasai elemen, sekalipun hanya elemen api saja. Tapi, dia juga yakin sekali kalau mereka pasti marah kalau tahu dia tidak berhasil membawa Chera kembali.

Dan dugaannya itu sangat tepat...

"Apa!? Kamu bertemu Chera?" Wisha benar-benar kaget waktu Reide menceritakan kejadian kemarin malam.

"Maaf, aku tidak bisa membawanya kembali."

"Kasihan Chera," bisik Wisha pelan. Dia di bumi seorang diri. Tanpa teman satu pun."

"Mungkin dia pergi mengunjungi keluarganya yang masih hidup," kata Reide.

"Itu tidak mungkin. Kamu pikir usia kami ini berapa?" Ucapan Wisha membuat Reide bingung. "Chera sudah menjadi malaikat sejak sekitar 130 tahun yang lalu."

"Hah? Oh, benar juga," kata Reide yang teringat cerita Chera kalau dia dulu dokter kira-kira 150 tahun yang lalu. "Eh, tapi... Bagaimana dia, eh, kalian, bisa tetap kelihatan muda?"

"Reide, itulah keistimewaan malaikat. Kamu bisa mengatur wujudmu. Anak kecil, dewasa, atau lansia sekalipun. Wujud yang masih muda seperti ini adalah yang paling ideal. 'Kan kita masih sangat energik," lanjut Wisha. "Nah, lanjutkan ceritamu!"

Reide pun menceritakan semuanya. Kecuali bagian di mana Chera memberikan dia cermin picco. Mungkin ini belum saat yang tepat untuk mengatakannya. Sepertinya tidak masalah kalau dia memberitahunya lain waktu. Mungkin saja Chera sudah berubah pikiran dan kembali sebelum dia sempat cerita.

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

256 86 11
"Setelah meninggal, otak manusia masih berfungsi 7 menit untuk memutar ulang memori paling indah" Razka Putra Wijaya Anak pertama dari ayah Wijaya d...
223 24 5
Berikan sedikit waktumu untuk membaca cerpen ini!!! -Hanya 400-500 kata per bagian -Gak bertele-tele Menceritakan tentang gadis yang mengagumi seoran...
421 460 13
JANGAN DI VOTE JIKA KALIAN TIDAK MEMBACA CERITANYA!!! Mereka terlalu licik untuk seukuran remaja pada umumnya, mereka yang berlomba-lomba membalas de...
587K 7.9K 9
Selena Azaerin, walau dirinya bekerja sebagai agen intelijen negara, Selena tak pernah kehilangan sifat cerobohnya. Ketika gadis itu telah menyelesai...