"Kau mau menikah dalam waktu dekat ini denganku atau tidak?" Aldrich melemparkan pertanyaan ke arah Yura yang terdiam dalam pelukannya, meskipun lebih tepat disebut mendesak.
"Aku tidak tahu, aku masih belum yakin soal semua ini. Maksudku, berarti aku harus menetap di sini, dan pastinya akan lebih jauh masuk ke dalam kehidupanmu yang penuh misteri dan hal-hal tak terduga."
"Bukankah sudah kubilang bahwa aku akan melindungimu, bahkan dari peluru yang ditembakkan dengan kecepatan mengagumkan sekalipun?" Suara Aldrich terdengar merajuk, wajahnya yang tampan melunak sedikit.
"Atau kau malah tidak mencintaiku?"
Mendengar pertanyaan itu, Yura mendesah, menyusupkan tangan sehingga bisa membalas memeluk Aldrich. "Bukan itu masalahnya, Aldrich. Kau tentu tahu, masalah dengan Jonathan pun belum selesai, lalu sekarang ditambah lagi ada Jacob yang katamu bisa saja mencelakaiku."
Aldrich menyentuhkan bibirnya di puncak kepala Yura, mendekap tubuh wanitanya itu seakan akan terpisah menjadi beberapa bagian jika ia tidak melakukannya.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Shin Yura. Justru jika kau menikah denganku, maka kau akan mendapat banyak hal. Har-"
"Apa aku terlihat seperti perempuan materialistis?" potong Yura sarkastis, nada bicaranya sinis. Tetapi tak sesinis yang ia harapkan, ternyata dirinya tidak terlalu pandai berpura-pura.
"Itu tidak menarik perhatianmu?" Aldrich bergeser, memposisikan dirinya agar sejajar dengan Yura.
"Tentu saja tidak."
Aldrich mendesah. "Tidak ada yang akan terjadi padamu, aku berjanji. Apa aku harus meminta yang lain juga untuk menjagamu? Dave memang masih muda, tapi tendangannya kuat dan dia bergerak cepat. Peter juga masih bisa diandalkan, dia selalu menyembunyikan pisau kecil di dalam payung hitam miliknya. Atau aku harus meminta semua pengawal Jonathan untuk melindungimu?"
"Pisau dalam payung?" Yura mengernyit bingung, ia tidak bisa membayangkan bagaimana bentuknya.
"Hm. Apa kau pernah bermain game Soul Calibur? Salah satu karakternya yaitu Setsuka juga mengenakan senjata serupa."
Yura mencoba mengingat-ingat, rasanya ia pernah mendengar nama game itu.
"Aku tidak tahu."
Aldrich mengulum senyum, tangannya terulur membelai pipi Yura yang mulus. "Payung selalu punya pegangan kan? Khusus punya Peter, pegangan itu terbuat dari kayu dan berbentuk seperti bongkar pasang, seperti Lego. Jika ingin menggunakannya sebagai payung, cukup masukan saja ke dalam bagian yang terhubung ke bagian yang atas. Dan jika ingin menggunakan pisaunya, cukup mencabut bagian paling bawah."
Yura mengangguk-ngangguk tanda mengerti.
Yura menggerakkan jarinya, menyusuri lekuk wajah Aldrich yang terpahat jelas. "Tapi tetap saja aku merasa khawatir. Bukan hanya tentangku, tapi juga tentangmu."
"Aku akan baik-baik saja, khawatirkan dirimu sendiri."
Aldrich menaikkan selimut hingga ke batas dagu. Mencium dahi Yura selama beberapa saat, sebelum menarik perempuan itu ke dalam pelukannya lebih erat lagi.
"Good night."
***
Yura melambaikan tangan dan tersenyum ke arah Aldrich yang kini berada di balik kemudi. Setelah mobil hitam itu melaju dan tak terlihat lagi akibat bergabung dalam ramainya lalu lintas, baru Yura berbalik dan melangkahkan kaki menuju kelas.
Angin pagi hari menerpa wajah dengan lembut, seolah membelai pelan. Yura terkekeh karena malah teringat semalam, ketika ia sulit tidur kembali karena mimpi buruk. Aldrich mengelus punggung dan pipinya secara bergantian.
Sebenarnya, Yura sama populer dengan Aldrich di kampus. Berkat fisiknya yang rupawan. Hanya saja dia tidak menyadari hal ini, tatapan kagum yang dilontarkan kaum adam jelas terlihat di sorot mata masing-masing. Namun, kebanyakan tidak berani lagi menyapa karena menganggap level Yura sudah jauh di atas. Padahal Yura termasuk orang yang ramah kepada siapapun. Ditambah hampir setiap mahasiswa tahu bahwa kekasih Yura sekarang adalah Aldrich. Yang bagai tidak tertandingi dalam berbagai hal.
Yura menyelipkan anak rambutnya di telinga, membuka loker dan mengambil beberapa alat tulis yang ia simpan di sana.
Tetapi kerutan terpatri di keningnya ketika mendapati sesuatu yang asing di sana, yakni sepucuk surat dengan amplop putih sebagai wadahnya. Yura membolak-balik benda tipis itu dengan bingung, tidak ada tanda-tanda atau hal yang menunjukkan siapa si pengirim. Amplopnya mulus tanpa tulisan, hanya sebuah cap huruf A berwarna merah sebagai identitas satu-satunya.
Yura mengunci lokernya kembali, duduk di salah satu kursi kayu panjang untuk menyempatkan diri membaca isi surat yang baru didapatkannya.
Surat itu tidak ditulis, melainkan diketik dengan huruf kapital. Tiba-tiba perasaan takut menjalar di hatinya, membuat tubuhnya tegang. Yura menelan salivanya kasar, mati-matian mencoba menetralkan detak jantung yang tidak terkontrol.
Hanya sekadar memberi saran, jangan jauh-jauh dari Aldrich-mu jika kau masih ingin hidup.
Siapa pengirim surat tanpa identitas jelas seperti ini? Yura sama sekali tidak memiliki gambaran siapa itu. Jacob? Tidak, cap di amplop menunjukkan huruf A, bukan J. Jonathan juga tidak mungkin, Benjamin apalagi. Lalu siapa? Dipikir berulang kali pun, Yura merasa tidak pernah punya musuh.
Dan bagaimana bisa si pengirim tahu lokernya? Yura mendesah, menatap koridor yang mulai padat dan mahasiswa yang lalu lalang dengan kalut.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Menghubungi Aldrich adalah opsi pertama yang dipikirkannya, laki-laki itu pasti tahu langkah apa yang harus dilakukan.
Yura mendesah pelan, mengambil ponsel di tas dengan tangan gemetar. Segera menelepon Aldrich sembari melihat-lihat ke sekitar, karena perasaan Yura tiba-tiba saja menjadi tidak enak. Terasa seperti sedang diawasi.
Yura berdecak tidak sabar ketika Aldrich tidak mengangkat teleponnya, baru di percobaan kedua usahanya itu berhasal.
"Kau begitu merindukanku ya?"
Yura mendengus, tingkat percaya diri Aldrich yang tinggi tidak terlalu membantu dalam keadaannya sekarang.
"Aldrich, aku menemukan sesuatu dalam lokerku."
Yura mendengar samar-samar suara seperti klakson mobil di seberang sana, berarti Aldrich masih berkendara.
"Apa?"
"Sebuah surat, di sana tertulis aku lebih baik dekat-dekat denganmu jika masih ingin hidup."
Aldrich tidak menjawab selama beberapa saat, membuat Yura menggigiti kukunya untuk menyalurkan perasaan gugup.
"Siapa pengirimnya?"
Suara Aldrich terdengar lebih keras, tidak lagi lembut.
"Aku tidak tahu, hanya ada cap huruf A di amplop."
"Kau tidak perlu khawatir, bersikap waspada saja. Hati-hati dengan laki-laki berpakaian serba hitam dengan topi bercorak warna merah."
Yura mengernyit.
"Memangnya dia siapa?"
"Nanti saja kujelaskan."
Yura mendesah.
"Baiklah."
"Jangan khawatir, akan kusuruh Dave menjemputmu pulang nanti kalau aku tidak bisa. Tenangkan dirimu."
"Tapi aku tidak bisa tenang."
Nada suara Yura terdengar frustasi.
"Tidak perlu khawatir, Sayang. Semua akan baik-baik saja."
"Aku pun berharap begitu."
"Jaga dirimu."
Yura menatap ponselnya yang sudah tidak tersambung lagi teleponnya, berdiri dan hampir menjerit terkejut ketika melihat pria yang ciri-cirinya seperti yang disebutkan Aldrich.
Tetapi Yura merutuki kebodohannya sendiri kemudian, ia menyadari bahwa laki-laki itu adalah pegawai restoran cepat saji yang bertugas mengirim makanan delivery.
Mungkin ia terlalu berpikiran negatif sekarang, setiap laki-laki berpakaian hitam kini membuatnya ketakutan sendiri.
Tetapi baru saja ia berbelok di koridor, seorang pria melewati dirinya dengan langkah-langkah cepat. Yura terpaku di tempat, pakaian yang dipakai serba hitam, dan yang membuat Yura merasa detak jantungnya seakan berhenti adalah topi laki-laki itu memiliki aksen huruf A berwarna merah.
***