Archer

By Irie77

90.2K 4.1K 413

"DITERBITKAN OLEH ELLUNAR" "Mengintai diantara bayangan, mengawasi dari balik kabut dan menyerang dari jarak... More

Arquero Academy
Ujian Pertama
Ujian Fisik
Leonel Raffertha
Melesat Dalam Hujan Yang Gelap
Teman
Undangan
Pernikahan
Henry Aileen
Info Archer & Dark Archer

Ujian Pertama

3.8K 334 15
By Irie77

Diatas pic. Eryra (Ery) kawan.. ^_^

Aku bangun lebih awal dari biasanya, membuka jendela lebar-lebar agar udara dingin mau berkunjung ke kamarku yang terasa hangat. Aku melompat-lompat dengan kaki satu agar sedikit berkeringat. Pagi ini aku benar-benar merasa tegang, gugup dan—takut. Apa besok aku masih bisa merasakan dingin dan lembutnya udara pagi? Bisakah aku melihat mentari esok hari?

Aku menekan nomor Ayah di ponselku dengan tangan bergetar. Berharap esok hari aku masih bisa mendengar suaranya dan bertemu dengannya di lain waktu. Nada sambung mulai terdengar dan aku semakin gelisah.

"Halo, Rayku sayang. Bagaimana pagimu saat ini?" Suara Ayah di seberang tampak antusias dengan nada kerinduan yang tidak bisa ku ukur.

"Halo Ayah, pagi ini—aku benar-benar sangat—gugup sekali dan—"

"Ya, Ayah tahu," potongnya. "Hari ini Ujian Semestermu, aku bisa merasakan kau begitu—tegang dan ketakutan."

Nafasku mulai terasa sesak dengan mata yang mulai memanas. "Ayah—" Aku menarik nafas dalam agar suaraku tidak terdengar parau. "Bagaimana kalau hari ini adalah hari terakhirku menelpon Ayah. Bagaimana kalau ini terakhir kalinya aku mendengar—suaramu?" Aku mulai sedikit terisak dan tanganku bergetar.

"Ayah percaya kau mampu menyelesaikannya Nak. Aku pernah bercerita tentang ibumu bukan? Dulu, dia sama seperti dirimu, gadis penyendiri dan pemalu selain itu dia juga sangat penakut. Tapi dia memiliki kekuatan di dalam dirinya yang tak di sangka orang lain sebelumnya dan dia berhasil menjadi Archer Queen terbaik di Rexaine. Dan kau, sebagai putri kesayangannya, aku yakin kau juga sama bahkan kau bisa melebihi ibumu. Ayah yakin kau akan selamat dan tetap hidup, percayalah kalau kau akan baik-baik saja. Ingat, ini baru ujian pertamamu Nak. Kau tidak boleh menyerah, gunakan semua kemampuanmu dalam menghadapi ujianmu."

Aku menarik nafas panjang saat satu butir air mata mengalir di pipiku. "Aku—akan berusaha Ayah. Tapi—aku benar-benar takut."

"Tenaglah Nak. Jangan terlalu takut dan tetaplah tenang. Perjalananmu masih panjang jadi—jangan menyerah." Suara Ayah di seberang sana mulai parau. "Kau akan berhasil Nak."

"Seandainya saja aku bisa bertemu Ibuku, aku—benar-benar—"

"Shhh!!! Ibumu sudah tenang di sana. Perang tujuh belas tahun yang lalu telah membuatnya mati dengan cara terhormat, jika kau mendengar kisahnya kau akan bangga Ray."

Aku tersenyum dan mengangguk. "Jika aku berhasil menyelesaikan ujianku, maukah Ayah menceritakannya padaku?"

"Tentu saja Ray, kau berhak mengetahui semuanya termasuk perjuangan ibumu di masa lalu." Ayah terdengar menghela nafas. "Tetaplah bertahan hidup Ray, Ayah sangat mengharapkanmu kembali ke rumah. Ingat apa yang barusan Ayah katakan?"

"Jangan menyerah," jawabku.

"Dan tetaplah hidup," tambah Ayah.

Aku tertawa begitupun dengannya. Aku tahu, tawa ini begitu pahit hingga hatiku teriris.

"Raynelle," panggil Ayah dengan nada serius. "Meskipun kau bukan putriku, percayalah aku sangat menyayangimu layaknya anakku sendiri."

"Iya Ayah, aku percaya. Terimakasih sudah menjadi sahabat ibuku, dia pasti sangat senang punya teman baik sepertimu. Kau bahkan tidak keberatan untuk kupanggil 'Ayah' dan aku--" aku menarik nafas dalam lagi. "Aku sangat bahagia memiliki Ayah sepertimu. Tapi—kapan kau akan memiliki anak sendiri?" tanyaku mengalihkan pikiran.

Ayah terkekeh di seberang sana. "Perlukah kita membahas hal itu Ray?"

Aku tersenyum. "Aku tidak memaksamu untuk terus berfokus padaku Ayah, kau juga harus punya kehidupan sendiri seperti—menikah dan punya anak."

"Oh ayolah Ray, Ayah belum siap untuk itu. Memilikimu saja ayah seperti merasa punya anak sendiri. Atau perlu aku mengadopsi anak lain?"

Aku meringis, tertawa dalam diam. "Itu akan membuatmu seperti pengasuh." Aku tertawa dalam diam. "Ya—aku hanya ingin melihat Ayahku memakai pakaian pengantin dan aku menjadi pengiring dalam pernikahanmu seperti—melempar bunga di jas mu."

"Yang benar adalah menaburkan bunga," sahutnya meralat ucapanku.

"Hmm yah maksudku begitu."

Ayah tertawa ringan. "Itu akan membuatmu terlihat seperti pelayan sewaan Ray."

Aku dan Ayah tertawa bersamaan. Menghilangkan sejenak kegundahan yang bergelayut seperti awan mendung. Aku terdiam sejenak saat tawa kami mereda. Aku benar-benar berharap bahwa aku bisa bertemu dengannya lagi di hari esok atau kapanpun itu untuk tertawa bersama seperti biasanya.

"Nak, jaga dirimu baik-baik. Tetap hiduplah karena aku sebagai Ayahmu akan selalu membuka pintu untukmu di saat kau selalu ingin pulang," ucapnya lagi dan kali ini kata-kata itu terdengar berat sekali untuk di ucapkan.

Aku tahu Ayah mengkhawatirkanku dan akupun begitu. "Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan Ayah lagi."

"Kalau begitu, selamat berjuang Nak, Ayah selalu menunggu kabar darimu."

Aku mengangguk. "Iya Ayah, do'akan aku."

Aku meletakkan ponselku setelah telepon di tutup dan kini aku menatap langit yang masih sedikit gelap namun juga sedikit terang, menaruh harapan di antara keputus asaan.

"Aku butuh bantuanmu Lee," gumamku.

Aku mengerjap saat suara pintu kamar di ketuk dengan keras.

"Siapa?" sahutku.

Awalnya aku berpikir yang mengetuk pintu adalah Lee, karena aku yakin Ery dan Elis pasti sangat sibuk sekali dengan persiapan ujian hari ini di tambah kondisi Elis yang masih lemah meskipun ia berusaha untuk terlihat kuat. Namun perkiraanku meleset saat kulihat seorang gadis berdiri di depan pintu ketika aku membukanya.

"Kak Valerie?"

Ia tersenyum sejenak. "Ada sesuatu yang ingin ku sampaikan."

Aku terdiam sejenak. Sesuatu yang di sampaikan? "Oh, silahkan masuk kak."

"Oh tidak perlu," tolaknya. "Aku kemari untuk memberitahukan padamu bahwa—Leonel Raffertha tidak bisa datang untuk mendampingi ujianmu."

Otakku seperti berhenti bekerja seketika, entah aku bernafas atau tidak yang jelas aku benar-benar shock dengan kabar ini. "Hehh?" gumamku dengan mulut ternganga.

"Yah, begitulah." Kak Valerie mejadi salah tingkah dengan sikapku. "Hmm—tapi—dia memberikan ini untukmu."

Aku terlalu tercengang sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa kak Valerie menyodorkan kotak hitam berukuran sedang. Mataku mengerjap seketika dan aku berusaha untuk kembali berpikir normal namun masih di liputi kebingungan sekaligus merasa tak percaya dengan apa yng kudengar hari ini.

"Apa ini?" tanyaku setelah aku menerima kotak hitam itu.

Kak Valerie mengangkat bahu. "Entahlah, tapi—" ia mengerutkan kening sambil mengamati kotak di tanganku. "Sepertinya benda hidup, karena sepanjang perjalanan membawa kotak itu, aku merasa sesuatu bergerak di dalamnya."

Aku termanggut-manggut sekaligus penasaran.

"Oh satu lagi." Kak Valerie menyodorkan Paper Bag  berukuran sedang. "Dia juga memberikan ini untukmu. Dia bilang kau harus pakai ini selama ujian."

Aku menerima satu bingkisan lagi dari tangan kak Valerie dengan pikiran hampa.

"Raynelle!" paggilnya dengan nada serius lalu tersenyum. "Berjuanglah."

Aku mengangguk. "Terimakasih kak," jawabku dengan senyum di paksakan meskipun sebenarnya hatiku benar-benar tulus mengatakannya.

Aku menutup pintu dengan lemas setelah kepergian kak Valerie. Aku benar-benar merasa hampa, pikiranku kosong dan—aku bingung harus berbuat apa. Lee tidak datang itu berarti—aku tidak memiliki pendamping dalam ujian kali ini.

Aku membanting Paper Bag ke tempat tidur dengan kesal dan meletakkan kotak di atas meja dengan kasar. Kotak itu mengeluarkan suara bergeruduk di dalamnya yang mengingatkanku bahwa di dalam kotak itu adalah benda hidup atau—bisa jadi itu bukan benda melainkan benar-benar makhluk hidup.

Aku mengeluarkan isi Paper Bag  yang ternyata adalah sebuah Syal hitam. Aku memungut secarik kertas lipat yang terjatuh dan mulai membacanya.

Untukmu, Raynelle Afsheen.

Aku benar-benar minta maaf karena aku tidak bisa mendampingi ujianmu. Ada sesuatu yang harus kulakukan setelah kematian Marie Barnave. Kau tahu? Saat ini aku sedang di buru karena hal itu. Keluarga Barnve tidak terima putri kesayangannya tewas.

Aku mendengus kesal. "Apa kau tidak bisa menjelaskan pada mereka bahwa Marie lah yang memulai semuanya? Apa kau tidak bisa memberitahu mereka bahwa kau membunuhnya karena ia berusaha untuk membunuhmu?" umpatku lalu membaca baris berikutnya.

Sebagai seorang teman yang bisa kupercaya, aku ingin sekali menceritakan semua keluh kesahku padamu. Tapi aku tidak tahu apakah kau akan berhasil atau tidak dalam ujian kali ini dan tentunya—aku sangat berharap bisa bertemu lagi denganmu di semester berikutnya.

"Kau pernah bilang padaku kalau kita akan menjadi tim yang hebat dalam ujian semester nanti, tapi kau malah tidak hadir. Tim hebat apanya? Jika kau ingin mengetahui hasilnya harusnya kau datang kemari dan lihatlah sendiri apakah aku akan mati hari ini atau tidak!" Kali ini aku mengumpat dengan nada mengutuk.

Aku melanjutkan membaca kalimat berikutnya.

Senang rasanya bisa bertemu denganmu, kuharap kau juga sama. Maafkan aku yang sudah melibatkanmu dalam urusanku. Sebenarnya—aku memang masih patah hati dan kecewa. Tapi, jika bukan karena kehadiranmu dan kedua temanmu, mungkin hidupku akan benar-benar berakhir malam itu. Terimakasih untuk pertolongannya dan jangan lupa, pakai semua peralatan yang kuberikan padamu saat ujian, karena kau akan di diskualifikasi dari ujian jika kau tidak membawa identitas mentormu.

Tetaplah berjuang Raynelle, tetaplah hidup. Itulah yang kuharapkan.

L. Raffertha

Kali ini aku menarik nafas panjang dan kakiku terasa melemas. Aku terduduk di lantai dengan kepala terkulai.

'Tetaplah hidup'. Entah kenapa aku meras kalimat itu seperti tanda kutip untuk hari ini. Mungkin memang benar, banyak sekali yang berharap aku tetap hidup tapi—apakah aku bisa mempertahankan hidupku di atas sebilah anak panah?

Aku menimang Syal hitam yang kuabaikan demi secarik surat. Aroma yang berkesan mewah namun begitu dingin menguar dari syal di tanganku. Aroma khas Lee. Aku kembali memeriksa Paper Bag  dan ternyata di dalamnya masih ada sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu dengan ukiran klasik.

Aku membuka kotak itu dan isinya adalah sebuah kalung Rubi. Aku menimang kalung itu dengan alis berkerut. "Inikan—kalung yang biasa di pakai Lee."

Aku meletakan kembali kalung itu di kotaknya dan menutupnya lalu aku meraih kotak hitam yang sedari tadi berdiam manis di atas meja. Entah benda mana yang akan menjadi identitas Lee dan itu membuatku terpaksa memakai semua pemberian Lee. Aku menggoyangkan kotak itu dan suara bergeruduk kembali terdengar. Aku menatapnya sejenak dan mulai membukanya perlahan.

Sekelebat sayap hitam menampar wajahku dengan lembut. Butuh waktu untuk menyadari bahwa itu adalah sayap kelalawar. Binatang itu berputar-putar mengelilingi kamarku lalu hinggap di langit-langit dengan posisi terbalik sementara aku ternganga melihatnya. Untuk apa Lee memberiku seekor kelalawar?

Tak lama, ponselku berdering singkat pertanda ada pesan masuk. Aku segera menyambarnya dan menatap layar. Pesan dari Lee.

'Medan kali ini begitu terjal dan udara yang begitu dingin selain itu intensitas cahaya di sana juga minim dan kurasa matamu sudah terbiasa berkat latihanmu selama ini. Aku sudah mengirimkan Coat untukmu. Setidaknya agar kau tidak terkena flu di saat ujian.'

Aku langsung membalas pesan singkat itu dengan gemas.

'Kalau kau bisa mengirimkan pesan singkat, untuk apa kau mengirimkan surat padaku? Dan maaf, aku saat ini sedang kesal padamu jadi berhentilah bersikap baik padaku. Syal, kalung dan kelalawar darimu sudah lebih dari cukup. Terimakasih.'

Satu pemberitahuan kembali berdering.

'Aku tidak keberatan kau kesal padaku, akupun berpikir bahwa kau memang kesal padaku saat ini tapi aku peringatkan padamu sekali lagi, aku tidak suka di tolak.'

Aku kembali mengetik balasan.

'Berhentilah mengatur hidupku!'

Satu pesan singkat masuk lagi.

'Aku hanya ingin menjagamu. Dan sekarang cepatlah mandi dan bereskan kamarmu. Seharusnya kau memperhatikan kerapian baju-baju di lemarimu. Jangan menggantung Cardiganmu di pintu dan lipatlah selimut dengan rapi. Jangan membuka jendela terlalu lebar, seseorang bisa masuk dari sana saat kau tledor. Taruhlah sisir pada tempatnya dan rajin-rajinlah membersihkan cermin di meja riasmu.'

Aku kembali tercengang dengan pesan singkat yang panjang ini. Lalu aku mengamati kamarku satu persatu lalu mengetik pesan balasan lagi.

'Darimana kau tahu? Apa kau mencoba menguntitku?'

Satu pesan lagi masuk.

'Meskipun aku tidak di sampingmu, aku akan tetap mengawasimu. Sepertinya aku pernah mangatakan hal itu padamu sebelum acara pernikahanku.'

Mulutku ternganga lalu sejenak pikiranku menuju ke arah kelalawar yang menggantung di sudut langit-langit kamarku. Entah kenapa aku merasa kehadiran kelalawaran itu seperti kamera tersembunyi yang di monitori oleh Lee. Aku kembali mengetik sebuah pesan untuk memastikan.

'Jika kau mengawasiku seperti yang kau katakan sekarang tebak, aku sedang apa?'

Tak lama satu pesan masuk lagi.

'Kau sedang menatap kelalawar pemberianku.'

Aku kembali menatap kelalawar itu dengan tajam. Nah, benar kan? Kelalawar ini adalah media pengawasan Lee.

* * *

Aku menatap empat digit angka yang terukir di pergelangan tanganku layaknya tato. 4.357. Yap, itulah nomor pesertaku dalam ujian kali ini. Hari ini aku benar-benar belum melihat Elis dan Ery sama sekali. Jujur, aku ingin bertemu mereka sebelum ujian. Aku tidak tahu posisi mereka sekarang ada di mana tapi yang jelas dari kebanyakan peserta yang berlalu lalang, mereka di dampingi oleh mentor masing-masing dan itu membuatku sedikit iri. Di saat-saat seperti ini aku benar-benar membutuhkan seseorang di sampingku. Setidaknya—aku tidak ingin kesepian.

Aku berjalan seorang diri di tengah kerumunan banyak orang, menuju ke area ujian. Aku masih ingat pesan singkat dari Lee yang mengatakan bahwa medan kali ini sangat terjal dan bersuhu dingin dan dia benar-benar mengirimkan Coat  untukku. Terkadang aku merasa bersyukur mentorku adalah Lee, meskipun kadang perhatiannya terasa mengganggu tapi aku benar-benar merasa terlindungi olehnya. Dan yang membuatku heran, Coat  yang dia berikan padaku ukurannya sangat pas di tubuhku entah dari mana dia tahu ukuranku.

"Semua peserta harap berkumpul dan menempati posisi sesuai angka di pergelangan tangan kalian." Suara podium di sudut ruangan dan lorong mulai berbunyi ketika aku mengenakan syal pemberian Lee. "Sekali lagi, semua peserta harap berkumpul dan menempati posisi sesuai angka di pergelangan tangan kalian."

Aku kembali menatap angka di lenganku dan aku sudah menempati posisiku. Semua peserta sudah berkumpul di lapangan Arquero dan di hadapan kami sudah terdapat bangunan berbentuk kubus berukuran empat kali empat meter persegi dengan pintu selebar di salah satu sisi bangunannya.

Kulihat para mentor sudah berada terpisah dari anak didik mereka dan mereka sudah memegang peralatan seperti alat pelacak, monitor dan microfon kecil beserta alat pendengar yang hanya bisa di dengar oleh anak didik mereka sendiri. Semua mendapat alat itu kecuali—aku karena tanpa adanya mentor.

Tak lama setelah itu, para peserta sudah di berikan sebuah busur panah dengan sepuluh buah permata berwarna putih di bagian Limb  dan sebuah kotak yang berisi lima puluh anak panah.

"Perhatian! Perhatian!" Suara podium kembali terdengar. "Peraturan Ujian kali ini akan segera di bagikan jadi di harapkan para peserta untuk membacanya dan melaksanakan aturan-aturan yang tertera selama ujian berlangsung."

Ada sekitar lima puluh orang menyebar untuk membagikan selembar kertas berisi aturan-aturan dan ketentuan Ujian sesuai nama dan urutan peserta. Aku membuka kertas itu setelah menerimanya.

Aquero Academy

Peserta No. 4.357

Dengan ini pihak Arquero ingin menyampaikan perihal peraturan Ujian Semester 1 kepada peserta bernama Raynelle Afsheen dengan pembimbing bernama Leonel Raffertha, di mohon untuk mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku di mana peraturannya adalah sebagai berikut :

1. Peserta di harapkan membunuh minimal sepuluh musuh dalam waktu satu 12 jam dan kembali dari area ujian sesegera mungkin setelah menyelesaikan ujian.

2. Peserta yang berhasil membunuh 1 musuh maka akan di tandai dengan berubah warnanya 1 batu permata yang terletak pada Limb.

3. Jika dalam waktu 12 jam peserta belum juga kembali dalam keadaan hidup atau terluka, maka ia akan di nyatakan gugur.

4. Sesama peserta di larang untuk saling berkumpul, berkelompok dan bekerjasama dalam menyerang musuh.

5. Peserta yang tewas atau gugur dalam menjalani Ujian, dengan hormat akan di kembalikan kepada keluarga masing-masing.

6. Musuh yang akan kalian hadapi saat ini adalah Makhluk buas sejenis raksasa yaitu, Troll.

Demikian peraturan yang harus kalian jalankan selama ujian.

"Hidupmu ada ditanganmu."

Aku melipat lembaran kertas itu dan memasukkannya ke saku.

Podium kembali berbunyi. "Ujian akan di mulai dalam hitungan mundur. Sepuluh.. Sembilan.. Delapan.."

Aku menggendong kotak anak panah lalu menarik nafas dalam dengan tangan bergetar. Tubuhku mulai berkeringat namun suhu tubuhku menurun dan telapak tanganku terasa dingin.

"Empat.. Tiga.. Dua.. Satu!"

Semua peserta berlari memasuki bangunan kubus itu dengan tertib dan sesuai urutan masing masing hingga akhirnya tibalah giliranku untuk masuk dan di susul peserta dengan nomor di belakangku.

Aku mulai memasuki bangunan dan ternyata di dalamnya adalah sebuah area berupa hutan basah yang bersalju dengan tanah yang terjal di hadapanku, dan akupun tahu bahwa area ini di ciptakan dengan menggunakan sihir dan kurasa para Troll di sini juga di ciptakan menggunakan sihir atau semacam sistem yang berkaitan dengan sihir.

Aku mengedarkan pandangan dengan bingung sebelum akhirnya aku mencoba berlari ke sembarang arah. Namun langkahku terhenti saat sesuatu di balik jaketku bergerak dan memberi efek geli di tubuhku.

Aku membuka sedikit Coat ku yang memang tidak di kancing dari awal dan seekor kelalawar melayang lalu hinggap di bahuku sambil mencengkram kain syalku.

"Raynelle, kau dengar aku? Aku di bahumu."

Keningku berkerut lalu aku meraih kelalawar itu dengan tanganku. Aku mengamatinya dengan intens. "Sepertinya aku mendengar suara Lee dari kelalawar ini," gumamku bingung sambil menjepit sayap kelalawar dengan ujung jari kedua tanganku.

Kelalawar itu bergerak kesakitan dengan tubuh menggantung. "Hey, kau menyakitiku."

"Lee?" Aku semakin mendekatkan wajahku.

"Iya ini aku," sahutnya.

"Sungguh? Ini kau?" gumamku masih tak percaya. "Ba-bagaimana bisa?"

"Mau kuberitahu rahasia?"

Aku mengangguk cepat.

"Apa kau pikir aku mengirimkan seekor kelalawar untuk mengawasimu? Kau salah, kelalawar ini adalah jelmaanku. Aku sengaja mengambil wujud ini agar aku bisa masuk ke area ujian bersamamu."

Aku ternganga. "Kau bilang di surat itu kalau kau sedang di buru oleh keluarga Barnave, apa itu bohong? Lalu—bagaimana caranya kau mengirimkan pesan singkat itu?"

"Itu memang benar. Aku yakin mereka mengawasiku di luar Arquero, tapi mereka tidak akan berani masuk ke tempat ini. Aku sengaja memberikan berita palsu pada mereka bahwa aku pergi dan juga kabar palsu bahwa aku tidak akan hadir dalam ujianmu, karena itu aku menjadi kelalawar untuk sementara waktu. Lagi pula—sepertinya aku akan merasa aman bersamamu. Ah, kau tahu? Ketiakmu hangat sekali, itu untuk pertama kalinya aku hampir terlelap di suhu melebihi 20 derajat celcius."

"Hehh?!" Mataku menyipit dengan alis berkerut.

Lee terkekeh dengan reaksiku. "Jangan pasang wajah begitu, itu jelek sekali."

"Kau pikir itu lucu?"

"Tidak juga, tapi—aku lebih suka berada di ketiakmu dari pada di tanganmu."

"Setelah mendengarmu tadi, akan lebih baik jika kau hinggap di bahuku."

"Terserah padamu. Yang penting, aku di sini untuk memandumu. Sekarang bisakah kau melepas sayapku dari jepitan jari-jarimu?"

Aku melepas jepitan jariku di sayapnya sesuai keinginannya. "Baiklah, sekarang waktuku hanya 12 jam, tapi—" Aku terdiam sejenak mengingat semua mentor berada di luar arena. "Lee, semua mentor memandu para peserta di luar sana. Kau yakin tidak apa-apa ikut denganku di sini? Bukannya—ini sama saja melakukan kecurangan?"

"Hmm menurutku tidak masalah, karena yang mereka tahu adalah aku tidak hadir di ujian ini dan hanya memberikan kelalawar padamu sebagai tanda komunikasimu denganku. Kau tidak perlu khawatir, keberadaanku tidak akan terlacak di monitor dalam wujud seperti ini."

"Tidak, tidak Lee ini sama saja melakukan kecurangan. Kau seharusnya berada di luar arena dan mengawasiku di sana."

"Raynelle!" panggilnya dengan nada menekan. "Setiap mentor memiliki caranya sendiri agar peserta didiknya lolos dengan selamat dari ujian ini. Inilah caraku dan kuharap kau menghormati tindakanku. Mengerti!"

"Tapi—"

"Setelah kau berhasil keluar dari arena maut ini dengan selamat, aku akan memberitahukan satu hal padamu tentang sistem mentor dalam memberikan arahan pada peserta didiknya dan aku yakin kau akan merasa bangga pada kerja sama kita saat ini setelah kau mengetahuinya."

Aku menarik nafas panjang pertanda mengalah. "Yah—baiklah.

"Bagus! Tapi—dalam wujud ini aku tidak bisa membantumu sepenuhnya jika kau sekarat atau terluka. Mungkin aku akan membantumu sebisaku."

Aku mengangguk mengerti. "Terimakasih sudah datang Lee. Aku kira aku akan sendirian dalam ujian kali ini," gumamku sedikit lega.

"Mana mungkin aku membiarkanmu berjuang sendirian. Lagi pula—kita harus menjadi tim yang kompak. Kalau kau berhasil lolos maka nilaiku sebagai mentor juga akan bagus." Lee yang sedari tadi melayang hinggap di bahuku dan mencengkram kain syalku. "Aku senang Coatnya muat di tubuhmu, aku sampai risau karena aku hanya mengira-ngira ukuran bajumu saja."

"Terimakasih aku menyukainya, awalnya aku juga tidak menyangka kalau ini akan muat."

"Syukurlah kalau kau menyukainya. Kau tahu? Aku sampai mengeluarkan isi lemariku hanya untuk memilih Coat yang cocok untukmu."

Keningku berkerut. "Lemarimu? Maksudmu--ini Coat bekas?"

"Hmm yah bisa dibilang begitu. Aku mengorbankan salah satu pakaianku agar muat di tubuhmu karena aku tahu kau tidak memiliki baju hangat yang layak."

Kupikir hanya kalung saja  barang milik Lee yang kupakai dan ternyata Coat yang ku kenakan juga miliknya yang sudah di perkecil ukurannya?

Lee berdehem. "Hey meskipun aku menjadi kelalawar aku bisa membaca pikiranmu. Aku tahu kau menyukai modelnya, itu membuatmu terlihat--" Lee berdehem lagi. "Keren."

"Terimakasih sudah bersedia merepotkan diri untukku. Aku akan menggantinya lain kali jika aku berhasil selamat."

"Baiklah, kali ini aku tidak akan menolak dan yang terpenting adalah kau harus lolos. Senang bekerja sama denganmu."

"Baiklah, sekarang aku harus kemana?"

"Larilah ke arah jarum jam angka sepuluh. Disana ada tiga Troll, tapi ada peserta lain juga yang sedang berlari menuju ke sana. Jika kau memanjat bukit kecil di sana, jarakmu akan menjadi lebih dekat sepuluh meter dengan mereka."

Aku mengangguk. "Okey."

Aku mulai berlari menuju bukit kecil sesuai komando Lee. Rasa takutku mulai berkurang mungkin berkat kehadiran Lee di sisiku dan yang kupikirkan saat ini adalah menyelesaikan semuanya dan kembali dengan selamat.

"Ayah, aku akan berusaha untuk tidak mengecewakanmu," gumamku membatin.

_______To be Continued_______

Malem semua.. Maafkan daku yang baru up.. T_T Authornya sibuk mulu dari minggu kemarin ditambah ada sedikit Trouble, mohon maklum kawan.. T_T

Makasih yang udah baca sampai chapt ini kawan, dan setelah ini Author akan menyiapkan sedikit battle di chapt berikutnya semoga aja seru hahaha.. (*guras otak)

Jangan lupa tinggalkan jejak kawan.. ^_^ Untuk yg Loizh di up hari minggu seperti biasa.. Ditunggu yahh.. :D

Salam Author.. :*

By : Indah Ghasy


Continue Reading

You'll Also Like

101K 21.9K 46
[Epic Fantasy] Tanah telah rusak beratus-ratus tahun lalu. Manusia telah punah karena terjadinya perang antara umat manusia, makhluk supernatural, ma...
53.3K 4.6K 46
#Book 2 of Loctus History. Tahun kedua di Hadlewood dimulai. Walaupun ada beberapa kejadian sebelum sekolah dimulai. Namun kejadian itu masih berhubu...
127K 8.8K 34
Semua berawal dari terlahirnya seorang gadis yang aneh dengan rambut berwarna merah darah dan juga iris mata semerah darah. Namanya adalah Natasha cl...
101K 8.8K 29
Selena tak pernah menyangka jika kalung yang selama ini diberikan sang ibu justru membawanya kembali bertemu dengan sosok-sosok yang berpengaruh atas...