LILY & The DEMON PRINCE ✔️[di...

By Lucien_Dire

589K 37.6K 1K

(18+) Bayangan yang mengisi kesunyian dalam kegelapan.. Mengisi kekosongan jiwa akibat luka terdalam.. Member... More

💙Aku dan kau(?)💙
[01]_ Sadness_
[02] _Falling in the Dark_
[03]_Death Contract_
[04]_the Revenge_
💕Cast💕
[05]_Call Me 'HIME'!!_
[06]_Dantalion Lucifer_
[07]_Crazy of Love_
[08]_Fire Arrows_
[09]_the Same Pain_
[10]_Never Let YOU Go_
[11]_Queen Lucifer (story of the past)_
[12]_ Sleep 'TOGETHER' ??_
[13]_Blue Rose_
[14]_I will KILL YOU!!_
[15]_I... Love YOU_
Ebook
[16]_Don't LEAVE 'ME'_
[17]_ZEAN~Forbidden Spell_
[18]_MY Last Life, With YOU_
[19]_Black Mist_
[20]_Destruction of 'LUCIFER'_
[21]_Forgiven_
[22]_Don't Worry_
[24]_The "TRUTH"_
[25]_Broken_
[26]_Will Never End_
[27]_the GAME will Start_
[28]_YOU ~ Belong To ME_
[29]_Enemies_
[30]_the Return "PRINCES of BEHEMOTH"_
[31]_Betrayal of ASMODEUS_
[32]_Let ME Go..._
[33]_Scramble of the Throne_
[34]_Missing YOU.._
[35]_Take your revenge, Lily.._
[36]_Beginning of the 'WAR'!!"_
[37]_Last Smile.... _

[23]_Thorn Among the Roses_

12.1K 852 8
By Lucien_Dire

.

.

.

Kriieeetttt ....

Sebuah pintu raksasa berlapis emas perlahan terbuka lebar. Memperlihatkan ruangan yang begitu megah di dalamnya.

Ranjang berukuran super besar dengan tiang-tiang perak berukiran naga yang melingkar. Dindingnya sebiru lautan, berpadu dengan ukiran cantik dari batuan safir yang membentuk bunga mawar. Serta jendela besar di sudut ruangan dengan rangkaian mawar biru di setiap sisinya.

Keajaiban yang menakjubkan itu membuat Hime terpana. Ia tak mampu mengucap sepatah kata karena tak dapat melukiskan betapa indahnya pemandangan yang tersaji di depan matanya.

Semua itu bahkan jauh lebih indah dari apa yang ia bayangkan hanya untuk sebuah kamar. Mengingat permintaannya beberapa saat lalu ditolak mentah-mentah oleh pangeran iblis menyebalkan yang sangat dicintainya. Lalu apa-apaan semua ini? Benarkah ini kamar seorang Damarion Rensford? Seorang pangeran iblis?

"Emm ..., Calvert, apa kita tidak salah kamar?" Hime melirik Calvert yang berdiri dengan senyum lembut di sampingnya.

"Tidak, Nona. Ini adalah kamar utama di Kastil Timur. Pemiliknya tentulah sang pemilik kastil." Calvert menjawab seraya mengulurkan satu tangan, mempersilakan Hime masuk  sebelum pintu kembali tertutup.

Manik Hime masih membulat lebar, menatap setiap sisi kamar yang serba biru seperti kesukaannya. Sesaat ia berpikir, apa ini juga warna kesukaan Rion? Tapi menilik kepribadian dan taraf menyebalkannya, itu sangat tidak mungkin.

"Tidak. Ini tidak mungkin." Hime menggeleng kepala, membuat Calvert mengerutkan keningnya.

Calvert kembali mengulas senyum, ia berjalan ke arah jendela besar di sudut ruangan. Membukanya lebar dengan satu jentikan, membuat semilir angin melenggang masuk dan menerbangkan rambut coklat Hime yang menjuntai dengan indahnya.

Gadis itu menoleh, ikut mendekat dan mengarahkan maniknya mengikuti apa yang Calvert lihat. Dan betapa terkejutnya saat Hime melihat keluar jendela.

"Ca-Calvert, ini ... bagaimana bisa?"

Seolah belum cukup dikejutkan oleh kamar yang begitu memikatnya, kini Damarion kembali membuat gadis bermanik hazel itu tersenyum lebar penuh kekaguman hingga hampir menitikkan air mata saat melihat hamparan luas sebuah taman yang dipenuhi mawar biru.

Pikirannya melayang, Hime tak tahu lagi apa yang harus terucap dari bibir ranumnya. 'Bukankah aku sedang di dunia bawah? Lalu bagaimana mawar-mawar itu bisa tumbuh begitu indah? Dan kenapa Rion memelihara ribuan bunga mawar di belakang kastilnya?'

"Nona?"

Suara Calvert kembali menginterupsi, menyadarkan lamunan penuh tanya Hime hingga kembali terfokus padanya.

"Pangeran Damarion sendiri yang memberi perintah untuk membuat taman berisikan bunga mawar biru dan mengubah seluruh dekorasi kamar sebelum anda dan beliau sampai di sini."

Ucapan Calvert membuat Hime semakin tercengang, entah apa yang ada di dalam kepala tampan pangeran iblis itu, bahkan ia masih bertanya-tanya kenapa Rion melakukannya. Mengingat selama ini pria itu tak pernah mengungkapkan perasaannya.

"Tidakkah anda tahu alasannya?"

Hime tak langsung menjawab, ia kembali menatap hamparan luas mawar biru di luaran sana, lalu menggeleng pelan.

Hime hanya tak ingin terlalu berharap. Sesekali, ia memang merasa Damarion memiliki rasa yang sama. Tapi di lain kali, rentetan kalimat yang selalu diucapkan Rion seakan memberinya kepastian yang berbeda.

"Karena kau adalah nonaku. Aku akan memenuhi semua keinginanmu, sesuai dengan kontrak kita."

Kalimat itulah yang selalu berhasil menghancurkan setiap harap yang Hime genggam erat. Kontrak, ya ... selalu tentang kontrak, dan selalu karena kontrak. Hanya sebatas itu.

Melihat raut wajah cantik Hime yang entah kenapa terlihat menyendu, Calvert memilih untuk tak lagi membahasnya. Menilik dari apa yang ia lihat, sang pangeran pasti belum menyatakan perasaannya.

Padahal ia bisa melihat bagaimana isi hati Damarion hanya dari cara junjungannya menatap gadis berambut coklat di depannya. Tapi entah karena apa pun itu, ia tak berhak mencari tahu alasannya.

"Anda akan tahu sendiri jika saatnya tiba," jawab Calvert pada akhirnya.

Calvert kembali melangkah, menunjukkan ruangan besar dibalik daun pintu berhias rubi di sisi kanan ruangan. "Ini adalah ruangan pakaian. Di dalamnya juga terdapat kamar mandi, jadi anda hanya perlu masuk ke dalam jika ingin menyegarkan diri,"

"Dan itu adalah pintu menuju ruang kerja pangeran." Ia menunjuk sebuah pintu yang berseberangan dengan pintu pertama.

"Jika anda membutuhkan sesuatu," Calvert menjeda kalimatnya, bertepuk tangan dua kali dan tujuh maid langsung menghambur ke dalam kamar sambil membungkuk hormat tepat setelah pintu kembali terbuka.

"Mereka adalah tujuh maid terbaik di kastil ini. Mereka juga memiliki kekuatan di atas maid lainnya, jadi, anda tak perlu khawatir. Merekalah yang akan melayani anda-"

"Karena Pangeran Damarion pasti akan meleburkan saya jika saya berada di sini lebih lama lagi," lanjut Calvert berusaha mencairkan suasana.

Calver menundukkan kepala, membungkuk hormat. "Saya pamit undur diri, Nona Hime. Semoga anda betah di sini," ucapnya kemudian berbalik menuju ambang pintu.

"Calvert,"

Suara merdu Hime menahan langkah Calvert, membuatnya berbalik dan mengulas senyum.

"Apa ada yang harus saya lakukan?"

Hime menggeleng cepat, ia memiringkan kepala dan mengedipkan mata indahnya, "Apa kamar ini memang disesuaikan dengan keinginanku? Bukankah tadi dia sendiri yang menolaknya?"

"Karena keinginan anda adalah perintah mutlak dari Pangeran Damarion. Jika anda meminta nyawanya,  saya yakin beliau akan memberikan dengan senang hati hanya untuk melihat senyum di bibir anda." Calvert kembali menunduk, kemudian berbalik.

"Itu yang saya tahu," ucapnya sebelum meninggalkan Hime dengan ketujuh maid di dalam kamar Damarion.

Hime mengerjapkan matanya, entah otaknya sedang tidak berfungsi atau memang kata-kata Calvert terlalu tinggi untuk dapat ia cerna hingga membuatnya linglung sejenak.

Masih berdiri membelakangi jendela besar. Hime melirik para maid yang tengah berdiri, berjajar rapi di hadapannya. Menunggu perintah agar mereka dapat bergerak.

"Emm ... apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Hime yang membuat para maid saling bertatapan, sama bingungnya.

.

.

.

Di ruangan yang lain, Rion sedang duduk di kursi santainya. Ditemani oleh seorang  maid yang baru saja mengantarkan minuman untuknya.

Tatapannya terlihat kosong, dengan kedua tangan menumpu pada pinggiran kursi mewah. Hingga suara pintu diketuk membuyarkan lamunannya.

Calvert masuk dengan membungkuk hormat, kemudian melirik sang maid dengan isyarat agar segera meninggalkan ruangan. Seakan mengerti, maid itu langsung membungkuk hormat dan keluar dari sana.

Kini hanya tinggal sang pangeran dan tangan kanannya yang paling setia. Saling diam, sama-sama menunggu salah satunya memulai pembicaraan. Tapi keduanya tak kunjung membuka mulut hingga membuat kesunyian semakin meraja lela.

Tak tahan dengan suasana yang membuat Rion seakan mati rasa. Pangeran itu berdehem, membuat manik Calvert langsung terfokus padanya. Menunggu sang pangeran mengatakan sepatah atau dua patah kata. Dan ucapan pertama yang terlontar dari bibir Damarion adalah,

"Apa dia menyukainya?"

Calvert tampak berpikir sejenak. Kemudian ia tersenyum sembari berjalan lebih dekat. "Tentu, Pangeran, Nona Hime tampak sangat bahagia."

Mendengar itu, pipi Rion bersemu merah dengan senyum simpul terukir di bibirnya. Meski sangat samar hingga hampir tak terlihat, tapi Calvert tahu jika junjungannya saat ini sedang jatuh cinta.

"Boleh saya menanyakan sesuatu yang agak pribadi?"

Suara Calvert membuat Rion kembali pada wajah datarnya. Menyelidik pertanyaan pribadi macam apa yang akan Calvert lontarkan.

Rion mengambil gelas yang ada di meja, meneguk minuman yang ada di dalamnya dengan sudut bibir terangkat, ia berencana membuat pelayan setianya itu tercengang setelah mendengar jawabannya nanti.

'Calvert pasti akan bertanya, kehebatan apa yang kumiliki hingga bisa meruntuhkan Kastil Utama Lucifer dalam sekejab mata,' pikir Rion dengan bangga.

Calvert mulai membuka mulut, menarik napas sejenak sebelum mulai bertanya seolah ini pertanyaan terakhir dalam hidupnya. "Mengapa anda tidak mengungkapkan perasaan anda pada Nona Hime?"

Uhukh!

Uhukh.. Uhukh..

Benar saja, Calver tercengang seketika. Tapi bukan karena jawaban sang pangeran, melainkan Damarion yang langsung terbatuk sedetik setelah pertanyaannya selesai ia proklamirkan.

"Pangeran, anda tidak apa-apa? Apa minuman anda tidak sesuai dengan selera anda? Apa terlalu panas? Atau terlalu dingin?" Calvert berucap seraya memandang Rion amat lekat.

Rion melirik, lirikan tajam yang mampu membuat siapa pun membeku dan kabur setelahnya. Tapi tidak dengan Calvert, ia malah menatap tuannya semakin lekat. Menunggu jawaban sang pangeran perihal minumannya.

'Minumanku sama seperti biasanya, tapi pertanyaanmu membuatku jadi seperti meminum racun.' Rion membatin sambil menatap Calvert yang kini ganti menatap lekat minuman di gelasnya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Rion berdiri. Membuat Calvert berjingkat kaget dan beringsut mundur.

Pangeran itu berjalan keluar dari ruangannya tanpa menghiraukan Calvert yang menatapnya keheranan.

"Pa-Pangeran, anda mau ke mana?"

"Menyuruh para healer meracikkan racun. Saat ini aku sedang ingin meracuni seseorang," ketus Rion tanpa menoleh ke belakang, membuat Calvert semakin pusing kepala.

Sampai ia menyadari sikap tuannya bermula saat ia mengajukan pertanyaan.

"Apa aku salah bertanya?"


                        .......



Gadis bermanik hazel itu kini tengah berdiri di depan kaca, mengagumi balutan sutra yang menjelma menjadi gaun indah yang ia kenakan.

Gaun sewarna garis langit kala senja menjelang, dengan lengan transparan hingga ke siku, terpasang apik di tubuh mungilnya. Berbalut kilauan kristal swarosky yang menjuntai dari pinggang hingga ke ujung gaunnya. Tak lupa ornamen rambut dan perhiasan yang memikat mata, membuatnya terlihat lebih dari sempurna.

Setelah beberapa lama, para penjaga menyerukan kedatangan sang pangeran. Pintu pun terbuka dengan para maid yang bergegas membungkuk hormat di setiap sisinya.

Rion memasuki kamar. Menyentak ujung jubah ke belakang, membuatnya semakin terlihat gagah dengan balutan pakaian khas bangsawan sewarna indigo, dengan beberapa pernik rantai emas yang menggantung di dada kiri, bermuara pada permata rubi di setiap ujungnya.

"Kau sudah si-"

"-ap?" Maniknya terpaku. Menatap Hime yang masih membelakanginya, balas menatapnya dengan senyum merekah dari pantulan kaca. Tapi, sesaat kemudian senyumnya menghilang.

Gadis itu berbalik, berjalan ke arah Rion yang masih mematung tak berkedip. "Apa kau sakit? Aku tak pernah melihatmu berkeringat seperti ini."

Jari lentiknya terulur mengusap butiran air di dahi Damarion. "Rion, apa iblis bisa berkeringat?"

Rion tersadar, lalu berbalik dengan pipi memerah membelakangi Hime yang kebingungan. Baru kali ini ia mendadak bodoh saat berhadapan dengan gadis yang sudah lebih dari dua tahun bersamanya.

"Tidak. Kau salah lihat. Mungkin itu air hujan," jawab Rion asal yang semakin membuat Hime mengerutkan dahinya, memiringkan kepala dengan wajah polos, lalu kembali bertanya,

"Apa di Helldon juga ada hujan? Dan kenapa kau terus membelakangiku?"

Tak menjawab, Rion memutar maniknya mencari jawaban, tapi tak kunjung ia temukan. Akhirnya memilih mengalihkan pembicaraan.

"Ayo, Aku akan mengajakmu ke suatu tempat."

Ia meraih tangan Hime dan beranjak dari sana. Meninggalkan para maid yang masih berusaha menahan tawa karena tingkah sang pangeran.

"Kita mau ke mana?"

Tetap diam. Rion terus melangkah tanpa menjawab pertanyaan singkat gadisnya, membuat bibir Hime mengerucut lalu kembali membungkam.

Hingga tak berapa lama, mereka sampai di depan pintu perak yang di jaga oleh empat orang pengawal. Para pengawal itu langsung menunduk kala Rion sampai pada jarak dua meter di depan mereka, kemudian membuka pintu atas isyarat sang pangeran.

Begitu terbuka, cahaya menyilaukan dan harum bunga menyeruak. Membuat siapa pun yang menghirupnya pasti akan mabuk kepayang.

Manik Hime tampak menyipit, namun setelah sinar itu memudar, manik hazelnya terbuka lebar tanpa berkedip, memandangi ribuan mawar biru yang membentang tepat di hadapannya.

Taman yang sempat ia lihat dari dalam kamar Damarion, kini ada di hadapannya.

Hime melangkah perlahan, mendekat ke arah gerbang kecil yang di kelilingi oleh lilitan mawar merah yang membius netra.

Saat ia menyentuh satu kelopak mawar, gerbang itu terbuka dengan sendirinya. Hime spontan mundur, menoleh ke arah Rion yang masih berdiri di belakangnya.

Damarion tersenyum simpul, kemudian mengangguk singkat. Membuat Hime ikut mengulas senyum dan kembali melangkah.

Begitu ia memasuki taman, Hime disambut oleh kupu-kupu yang menghambur ke arahnya, terbang dengan sayap berwarna-warni memanjakan mata.

Dan semua sihir menakjubkan itu seakan membuatnya lupa jika ia sedang berada di dunia bawah, tempat para iblis yang penuh dengan kenistaan, penghuni abadi neraka.

Hime tak tahu lagi harus berkata apa, Damarion memang pernah membuat rumah kaca yang semula gersang menjadi penuh dengan bunga kesukaannya, tapi ia tak menyangka jika pria menyebalkan itu akan mengubah neraka yang penuh dengan lava panas menjadi surga yang kini ada di depannya.

"Anggap saja ini sebagai ganti karena aku menghancurkan rumah kaca itu saat tahu kau tak ada di sana."

Suara berat nan khas membuat gadis itu berbalik, balas menatap manik kelabu yang kian menghanyutkan hatinya.

Sementara Rion mengangkat kedua alis saat Hime hanya diam menatapnya, "Kenapa? Apa kau tak suka?"

Pertanyaan itu membuat Hime mengulas senyum, manik hazelnya kembali mengarah pada ribuan mawar di sekelilingnya.

"Seharusnya aku yang bertanya, apa alasanmu melakukan semua ini, Rion? Tugasmu hanya melakukan apa yang aku printahkan, dan aku tak pernah meminta semua ini darimu."

Hime menatap pria tampan di depannya, mendekat hingga menyisakan jarak beberapa senti saja. "Katakan, Rion, kenapa kau melakukan semua ini ... untukku?"

Damarion tak bersuara, pria itu mematung di tempatnya. Sungguh, ini pertama kali kepalanya tak mau di ajak bekerja sama.

Dan lagi, lidah ini semakin merepotkannya. Ingin rasanya Rion mencabut lidahnya sendiri karena tak bisa mengucapkan apa yang selalu ingin ia ucapkan.

"Aku-"

"Aku-"

"Katakan, Rion."

"Aku akan segera kembali." Damarion berbalik dan langsung menghilang, menyisakan kabut hitamnya yang sejenak menguar.

Setelah Rion menghilang, Hime tak dapat lagi menahan tawa. Sejak tadi ia menahan agar tidak tertawa melihat wajah lucu Damarion saat gugup hingga berkeringat. Baru kali ini Hime melihat pria angkuh dan menjengkelkan itu tersipu malu hingga tubuhnya gemetaran, dan gadis itu benar-benar menikmatinya.

Masih tertawa di balik punggung tangan, gadis itu kembali berjalan-jalan mengitari taman yang tak terhitung luasnya.

"Eh?" Langkah Hime terhenti saat merasa ada yang menarik gaunnya. Saat ia berbalik, ternyata ujung gaun itu tersangkut pada salah satu batang mawar.

Ia berniat melepaskan gaunnya yang hampir sobek karena batang mawar. Namun, saat Hime hendak menyentuhnya, tangannya terhenti. Kedua alisnya menyuram, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

"Kenapa mawar ini masih menguncup?" Hime bermonolog seraya kembali menegakkan punggungnya. Menatap sekeliling, memastikan jika ia hanya mengkhawatirkan hal yang tak perlu.

Namun, sejauh maniknya memandang, semua mawar di taman ini merekah. Tak ada yang masih menguncup kecuali bunga mawar di depannya, dan ... ada apa dengan warnanya? Mawar ini tampak lebih ... gelap.

Karena semakin penasaran, ia pun menyentuh bunga itu dengan ujung jarinya.

Betapa terkejutnya saat mawar itu berubah menjadi emas setelah terkena sentuhan Hime. Bunga mawar di sekitar mawar kuncup itu pun lenyap dalam beberapa detik saja. Memperlihatkan sebuah lingkaran dengan ukiran naga emas melingkar, tampak begitu besar di depan kaki Hime.

Lingkaran itu perlahan terbelah dan membuka sebuah jalan rahasia menuju bawah tanah dengan tangga batu memutar sebagai pijakannya.

Hime terdiam di tempatnya. Menolehkan kepala, berharap Rion kembali menghampirinya. Tapi pria bermanik kelabu itu masih menghilang entah ke mana.

Gadis itu menelan saliva, dengan sisa-sisa keberaniannya, ia memutuskan untuk menuruni tangga. Entah apa yang merasukinya, Hime merasa harus turun dan melihat sendiri apa yang ada di dalam sana.

Satu demi satu anak tangga Hime turuni hingga menuntunnya pada sebuah lorong gelap yang hanya berpencahayaan obor di dindingnya.

Dengan tangan gemetar, Hime meraih satu obor sebagai penerangan, sementara satu tangan lain mengangkat sisi gaunnya.

Ia terus melangkah, menjajaki lorong yang sangat asing untuknya. Hingga tepat di ujung lorong, Hime melihat sebuah jeruji besi di antara cahaya temaram.

Hime mempercepat langkah. Menghampiri jeruji yang terlihat seperti penjara, ya ... penjara bawah tanah lebih tepatnya.

Saat sampai di depan jeruji, Hime mengulurkan obor di tangannya. Mencoba melihat apa yang ada di dalamnya.

Maniknya menyipit, berusaha memperjelas saat samar-samar ia melihat seorang pria dengan rantai besi melilit tangan dan kakinya. Seorang pria paruh baya yang seumuran dengan ayahnya jika saja beliau masih ada.

Melihat cahaya temaram dari obor yang dibawa Hime, pria di dalam jeruji yang sebelumnya menunduk, kini mendongak. Memperlihatkan wajahnya, berusaha untuk memfokuskan mata.

Hime terlonjak, ia terbelalak. Napasnya seakan tercekat dan obor di tangannya pun jatuh seketika. Ia terhuyung ke belakang hingga jatuh berlutut setelah melihat wajah pria yang terkurung di dalam jeruji.

Wajah yang sekian lama tak pernah ia lihat lagi. Pemilik wajah familier yang dulu sangat dekat dengannya.

"Ti-tidak! Ini tidak mungkin!" Suara serak yang Hime tutupi dengan kedua tangannya masih terdengar gemetar, bersamaan dengan lelehan kristal yang kini mengalir dari sudut mata indahnya.

Mendengar suara seorang gadis yang tak asing di telinganya, pria itu semakin memfokuskan pandangan. Menatap kian lekat dengan matanya yang masih terasa berat untuk terbuka. Tapi, suara yang baru saja ia dengar membuatnya semakin penasaran.

Meski sudah sekian lama tak lagi mendengarnya, pria itu cukup yakin jika ia sangat mengenal pemiliknya.

Gadis kecil yang dulu sering ia ajak bermain dan berlarian. Tertawa riang saat ia mendorong tiang ayunan dan mengayunnya kian tinggi. Gadis kecil yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri.

Perlahan, bibir pria itu terbuka.

"Lily, kau kah itu?"



                      ~°^°~



Hayooo hayyooo...
Siapa yang dilihat Hime???

Dan kenapa pria itu bisa terkurung di kastil Damarion??

Penasaran?

Tunggu chapter selanjutnya.

"RAHASIA BESAR AKAN SEGERA TERUNGKAP!"

See u soon.. ^_^

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 132K 73
NOT BL! (Follow biar tahu cerita author yang lain ok!) Update sesuai mood 🙂 Seorang remaja laki-laki spesial yang berpindah tubuh pada tubuh remaja...
57.9K 2.5K 7
[ HIGHEST RANKING- #21 ] -ROSE- Vampire itu cuma cerita kuno , omong kosong... ga ada yang namanya vampire di dunia ini. kalau beneran ada , aku aka...
338K 6.3K 6
Nickholas pernah jatuh cinta, hingga ia benar-benar dihempaskan sampai ke jurang kematian. Sayangnya bukan ia yang mati, melainkan orang terkasih. I...
74.5K 3.4K 35
kisah sang Raja naga iblis yang sedang jatuh cinta dengan seorang gadis biasa yang tinggal di hutan karena Raja tersebut tidak mendapat pasangan seba...