Only Hope

By Camilaaz_

48.3K 5.1K 2.7K

"Bisakah aku menjadi - KAMU- untukmu? Sebagai orang pertama yang menjadi maksud pikiranmu." Kalimat itu, ada... More

Prolog
The beginning-part 1
Story of class- part 2
Why- part 3
Picture??- part 4
Last MPLS!- part 5
Begin!- part 6
Choice- part 7
Miss him!-part 8
Good news- part 9
Line!-part 10
Him-part 11
Meet- part 12
The place- part 13
Really?- part 14
About you- Part 15
Run- part 16
A beautiful day -part 17
Fake- part 18
Telling the truth- part 19
Free- part 20
Miscommunications- part 21
Lockers - part 22
Modus- part 23
First greet- part 24
Again - part 25
Prepare - part 26
Miracle - part 27
Thank you - part 28
Lucky day - part 29
Change (1) - part 30
Change (2) - part 31
Peka? - Part 32
Almost - Part 33
A Problem - Part 34
Letter - Part 35
Mean - Part 36
This's Over? - Part 38
Wrong Opinion - Part 39
For Reset - Part 40
Part 41

Focus- Part 37

658 43 11
By Camilaaz_

Seharusnya malam ini, aku bahagia.

Seharusnya malam ini, aku puas bercerita dengan Vela.

Seharusnya malam ini, aku menikmati hadiah yang diberikan Vela.

Seharusnya malam ini, kami menjadi orang gila (?).

Dan seharusnya malam ini adalah malam yang lebih menyenangkan dari malam kemarin, karena mengingat apa yang terjadi padaku beberapa jam yang lalu.

That's so wonderful hehe.

Tapi, tidak.

Untuk saat ini aku lebih memilih diam, karena Niken yang tiba-tiba ikut bergabung dengan kami sekarang.

Bukan, bukannya aku tidak ingin membagi kebahagiaanku dengannya. Tapi, sepertinya Niken yang lebih membutuhkan kami untuk membagi kesedihannya.

"Ken, lo kenapa, sih? Coba cerita sama kita," bujuk Vela sembari mengusap lembut punggung Niken.

Niken hanya membeku sejak tadi, dia datang dengan wajah muram, dilengkapi oleh ke dua mata yang terlihat sangat sembab.

Bisa kutebak dia habis menangis.

Aku dan Vela saling memandang. Di kamarku sudah terjadi keheningan sejak beberapa menit yang lalu.

"Ken, kalo lo gak mau cerita, gapapa. Tapi seenggaknya lo harus senyum, biar kita gak khawatir kayak gini, Ken," ujarku menambahkan.

Perlahan pandangan Niken naik, menatap aku dan Vela dengan penuh kesedihan.

Bibirnya bergetar, dia seperti ingin mengatakan hal yang sangat sulit untuk diungkapkan. "G-gue..." gumamnya tak jelas.

Aku menatap matanya lekat, menunggunya untuk berbicara lebih banyak lagi.

"G-gue p-putus sama Reihan," ujarnya kemudian.

"P-putus?!" tanggap kami bersamaan.
Air bening yang keluar dari kelopak matanya, seketika menetes membasahi bantalku yang di peluknya.

Setelah itu Niken menenggelamkan wajahnya dalam pada bantal, "Gue gak tau kenapa? Tiba-tiba dia minta putus dan gue ... Gue ..., hiks ... Hiks."

Tangis Niken pecah dan dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi.

Aku dan Vela segera mengambil tempat di sampingnya, lalu memeluknya erat.

"Ken, jangan nangis," ucap Vela, "gue gak mau ngeliat lo nangis...." lanjutnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Aku tidak mengatakan apapun, aku hanya mampu memeluk dan mengusap lembut kepalanya, karena takut akan membuatnya semakin sedih.

Jadi, perselisihan yang kulihat beberapa hari yang lalu bukanlah hal yang biasa? Tadinya, aku berpikir itu hanyalah perselisihan kecil yang biasa di alami dalam suatu hubungan.

Tapi ternyata, itu berdampak besar bagi hubungan keduanya.

"Lo kenapa jahat banget sama gue? Gue salah apa sama lo?" tanya Niken yang sudah pasti bukan ditujukan untuk aku atau Vela.

Tangis Niken semakin menjadi, dadanya naik turun tidak teratur, aku bisa merasakan sesak yang dia rasakan.

Malam ini sepertinya akan terasa panjang untuk kami bertiga, terutama Niken yang terus mengeluarkan air matanya tanpa lelah.

*

Aku mengetukkan jariku beberapa kali di atas meja, sambil menatap ke arah pintu kelasku.

Aku merasa marah, atas apa yang di lakukan Reihan kepada Niken.

Bisa-bisanya dia memutuskan hubungan tanpa sebab apapun dan membuat Niken terpenjerat pada harapannya yang pupus.

Apa aku pantas menyebut Reihan 'si brengsek'?

"Kei!" seru Vita yang berada di ambang pintu, "Niken gimana?" tanyanya kemudian saat sudah duduk di sampingku.

Aku menghela napas, "Ya begitu, Vit. Gue gak tau keadaannya sekarang, soalnya gue chat dia gak bales,"

"Emang kronologisnya gimana? Kenapa mendadak gini, sih?!" tanya Vita yang terlihat emosi.

"Gue juga gak tau, Vit. Semalem Niken gak terlalu banyak ngomong, dia cuma nangis sepanjang malem. Yang gue tau mereka putus tanpa sebab dan itu bikin gue kesel sendiri sumpah!" tukasku sembari mengepal telapak tanganku sendiri.

Brukk.

Seketika Vita menggeprak meja kencang sembari berdiri, "Anjir banget dia berani nyakitin sahabat gue kaya gini! Mana orangnya? Mana?!" teriaknya yang membuat seisi kelas menjadi bungkam.

Aku menarik tangan Vita untuk duduk kembali, "Udah tenang dulu, nanti kalo ada orangnya baru lo boleh marah,"

Vita pun menurutiku, dia menatap tajam meja yang tak bersalah.

Beberapa saat kemudian Aurel datang dengan wajah senang seperti biasanya.

"Morning everybody." sapa Aurel dengan senyum yang tak wajar untuk saat ini.

"Loh kok pada kesel gitu mukanya? Belum dapet asupan pagi yaaa?" lanjutnya seratus persen sadar.

Vita menoleh ke arah Aurel "Rel, Gak lucu!" ketusnya kesal.

Aurel terdiam, dahinya berkerut samar, "Kok sewot, sih?" tanyanya bingung.

"Lo gak liat line? Gak tepat tau, bercanda di saat kayak gini." jawab Vita lalu mengalihkan pandangannya.
Sebaliknya, Aurel beralih menatapku penuh tanya.

"Niken putus sama Reihan." ucapku tanpa ditanya.

"P-putus?"

Reaksinya sama dengan yang aku tunjukkan semalam. Namun tanpa menanyakan sebab atau apapun, Aurel langsung duduk terdiam dengan tatapan kosong.

Triinngggg.

Bel masuk berbunyi, tapi Reihan masih belum menunjukkan batang hidungnya.

Dan Niken juga.

Melihat dari kondisinya semalam, mungkin Niken tidak akan masuk hari ini.

"Selamat pagi semua," sapa Bu Ratna yang saaaangattt tepat waktu.

"Sekarang masukkan buku kalian dan keluarkan kertas lembar, kita akan melakukan ulangan harian." ujarnya dengan senyum tanpa dosa.

"Hah?" serentak kami merasa kaget.

"Gak usah banyak bicara, sekarang cepat laksanakan!" perintahnya yang tentu saja membuat seisi kelas panik.

Gumaman yang kuyakini sebagai umpatan itu mulai terdengar riuh di telingaku.

Ah, Aku benar-benar belum siap, semalam aku tidak sempat belajar sedikitpun.

Rasanya moodku ditakdirkan berantakan untuk hari ini. Argh.

Tok tok tok.

Suara ketukan pintu membuat seisi kelas refleks melihat ke arah sana.

Terlihat seseorang berdiri dengan wajah panik di ambang pintu. "Maaf bu saya telat," ujarnya sembari menghampiri Bu Ratna.

Aku mengalihkan pandangan kepada Vita yang sudah menatap kesal pada orang yang tengah salim dengan Bu Ratna.

Sedangkan Aurel, aku tidak tahu karena aku berada di belakangnya.

"Yasudah Reihan, sekarang kamu cepat duduk dan keluarkan kertas lembarnya, ya,"

"Iya Bu." jawab Reihan seraya tersenyum tanpa beban, lalu berjalan dan menyapa teman-temannya seperti biasa.

Woah amazing...

Dia masih bisa tersenyum setelah membuat Niken patah hati.

Wow...

***

Waktu istirahat telah tiba, tapi aku belum bisa melepaskan amarahku sedikitpun.

Kalau saja, Bu Sofi tidak datang untuk memanggil Reihan, pasti aku sudah menarik dan memaksanya untuk memberi penjelasan atas semua yang dia lakukan.

Dan sekarang aku, Vita, Aurel hanya berdiam di kelas untuk menunggunya kembali.

"Argh! Gue gak tahan lagi, Kei, kalo harus nunggu di sini," ujar Vita sembari jalan kesana- kesini, "siapa tau dia sengaja menghindar dari kita, Kei." lanjutnya.

"Ya terus mau gimana, Vit? Kita samperin?" tanyaku, "kalo dia gak mau gimana? Masa iya kita harus nyeret dia sampe sini?"

"Yaudah kalo gitu, kita paksa dia buat jelasin semuanya di sana!" tanggap Vita kemudian.

"Jangan, gue gak mau semua orang tau masalah mereka," aku berdiri menghampiri Vita, "itu sama aja kayak kita permaluin Niken."

"Tapi--"

"Keira bener," Aurel yang sejak tadi diam akhirnya pun angkat bicara, "mending kita tunggu dia di sini, karena cuma ada kita bertiga di kelas ini." lanjutnya dengan ekspresi yang tak terbaca.

Vita menghela napas dan tidak membantah, yang artinya dia setuju dengan kami.

Krek...

Pintu kelas tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok Reihan.

Reihan berjalan menuju bangkunya tanpa menghiraukan kami sedikitpun.
"Han," panggilku untuk menyadarkannya.

Namun, tidak ada jawaban. Dia hanya sibuk memasukkan tangannya ke dalam tas seperti mencari sesuatu.

Aku menoleh ke arah Aurel dan Vita yang sudah menatap Reihan, geram.

Seketika Vita melangkah mantap menghampiri Reihan, "Maksud lo apa putusin Niken tiba-tiba gini?!"

Lagi-lagi Reihan bungkam. Dia mengabaikan pertanyaan Vita yang sudah to the point itu.

"Han!" Vita meninggikan suaranya seraya merebut tas Reihan paksa.

"Ck." Reihan memutar bola matanya malas.

"Gak usah sok kesel! Sekarang lo jawab pertanyaan gue! Kenapa lo putusin Niken tanpa sebab, hah?!" tanya Vita sekali lagi.

Reihan menghela napas gusar, "Dengerin gue! Gue gak putusin dia tanpa sebab!" ujarnya menatap Vita tajam, "Jadi lo jangan sok tau dan sok menghakimi orang, ngerti?!"

Setelah mengatakan hal itu, Reihan merebut tasnya dan pergi begitu saja dari hadapan kami.

"Vit," aku menghampiri Vita, berharap dia tidak terpaku oleh kalimat Reihan.

"Woah...," Vita melihat ke arahku dengan ekspresi speechless, "gue gak nyangka Reihan bilang gitu," lanjutnya tanpa mengatup mulut, seolah dia tidak percaya orang tadi adalah Reihan.

"Guys, kayaknya kita harus bicara baik-baik sama Reihan," usulku sembari menoleh ke arah Vita dan Aurel, "kita harus nyelesain ini pake kepala dingin,"

Seketika ekspresi Vita berubah, "Apa lo tadi gak liat? Dia bukan Reihan yang dulu lagi, yang selalu bisa di ajak kompromi tanpa emosi!" jawab Vita sarkas.

"Tapi tadi lo yang emosi duluan, Vit. Jadi wajar kalo dia ikutan emosi," timpalku cepat.

"Gimana gue gak emosi, Kei? Gue kesel Niken di gituin. Lagian kalo dia masih Reihan yang dulu, dia gak akan pernah bentak cewek kayak tadi."

"Tapi--"

"Kalian tunggu sini! Biar gue yang ngomong sama Reihan." kata Aurel tanpa melirik ke arah kami.

Dan tanpa aba-aba, Aurel pun berlari mengejar Reihan.

Vita berjalan melewatiku, lalu menghampiri tempat duduknya, "Tau ah! Gue pusing." umpatnya sebelum menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan.

Aku menghela napas sejenak, kemudian segera menyusul Aurel keluar.

Aku berlari dengan pandangan yang mengedar ke segala arah, berharap bisa menemukan Aurel ataupun Reihan.

"Duh, mereka cepet banget, sih!" umpatku kecil.

Kakiku masih berlari dengan langkah cepat. Namun, tiba-tiba ada yang menarik tanganku dari samping dan membuat tubuhku terhempas ke dalam dada bidang seseorang.

"Aw," gumamku bersamaan dengan orang itu.

Deg. Deg. Deg.

Sekilas aku bisa merasakan detak jantungnya.

Dengan cepat aku mundur, karena merasa tidak nyaman dengan posisiku.

Aku seperti sedang memeluknya.

"Dio?" ujarku saat melihat pemilik jantung yang detakannya baru saja kudengar.

Dio menunjukkan cengiran khasnya sampai deretan gigi putihnya itu terlihat olehku, "Hai Kei,"

"Ngagetin aja, sih!" kataku seraya memukul pelan lengannya.

"Hehe, sorry.... "

Aku menghela napas, sebelum mengingat apa tujuanku berlari tadi.

"Oiyah! Kamu liat Reihan atau Aurel, gak?" tanyaku kemudian.

"Emm ... liat,"

"Dimana?"

"Di hatimuuu ... Haha," jawabnya seperti biasa, bercanda.

"Ish. Di, aku serius!" ucapku tanpa berniat membalas tawanya.

Tawa Dio pun terhenti seketika, Lalu tatapannya berubah datar.

"Hm, padahal udah lama kita gak ketemu, bukannya nanya kabar atau apa gitu, eh malah nanyain orang lain," ujarnya seraya mengalihkan pandangan dariku.

Keningku berkerut mendengar perkataannya, "Udah lama? Pantesan cuma dua hari kita gak ketemu, tuh," jawabku kemudian.

Wajahnya menoleh ke arahku lagi, "Dua hari? Kok berasa setahun, yak?" katanya dengan wajah yang tampak berpikir.

"Haha masa iya, dua hari berasa setahun? Ngaco kamu," kali ini aku terkekeh mendengar ucapannya.

"Bentar, aku mau flashback kapan terakhir kita ketemu," lanjutnya beserta ekspresi yang membuat aku tidak berhenti terkekeh.

"Makanya Di, jangan mikirin aku terus," ujarku menggodanya.

Seketika Dio melirik ke arahku, "Mikirin kamu?" katanya, lalu tanpa kusadari, wajahnya sudah berada beberapa inci di hadapanku.

"Kok kamu tau, hm?" suaranya yang mengayun pelan, telah menginterupsi otakku untuk berhenti bekerja.

Deket banget anjir!

Refleks, aku mundur untuk menyelamatkan jantungku yang akan berdisko ria.

Brukk.

Ah, langkah mundurku sangat tidak tepat. Karena sepertinya aku telah menabrak seseorang lagi.

"Eh, maaf, maaf." ujarku dengan cepat tanpa melihat wajahnya.

"Oi, Ka," seru Dio yang membuatku cepat menoleh pada yang dipanggil.

"Eh, Di, kemana aja lo?"

My prince oh my god!

"Biasa, acara keluarga," jawab Dio dengan santai.

"Oh," Ka Albyan mengangguk-angguk sembari menyelingkan senyuman ke arahku.

Jantung ohhh jantung, bagaimana kabarmu?

"Kalian lagi ngapain disini?" tanya Ka Albyan kemudian.

"K-kita---"

"Lagi kangen-kangenan," celetuk Dio dengan cepat.

Plak.

Dengan cepat pula, aku memukul lengannya. "Nggak, kak, kita tadi gak sengaja ketemu," intruksiku cepat.

"Aduh, yang ini sakit, Kei," ringis Dio seraya mengusap lengannya.

Aku melirik ke arahnya, seperti mengatakan rasain!

"Lebay lo, Di," ujar Ka Albyan seraya tertawa kecil.

"Huuu Dio lebay, kayak Aurel haha," seperti mendapat dukungan, refleks akupun meledeknya.

"Wets... Enak aja, samain aku sama bocah itu," tanggap Dio yang terkesan tidak terima, haha.

Eh, wait. Aurel? Oh my god, aku melupakan tujuan awalku untuk mencarinya.

"Oiya!" aku menepuk dahiku sendiri.

"Kenapa?" tanya dua pangeran bersamaan *eh.

"Itu, emm ... Reihan, Aurel," jawabku panik sendiri.

Ka Albyan melihatku bingung, sedangkan Dio sepertinya tahu aku sudah melupakan sesuatu.

"Liat Reihan gak, kak?"

"Reihan? Liat tadi," jawab Ka Albyan masih dengan ekspresi bingung.

"Dimana kak?"

"Di ruang guru kayaknya,"

"Oh, yaudah aku kesana dulu, ya," pamitku pada mereka.

"Yu," tanggap Dio cepat.

"Loh, kamu mau ikut?"

"Iya, ayo cepet nanti keburu masuk," Jawabnya seraya tersenyum.

"Eh," gumamku terkejut karena tiba-tiba tangan besar miliknya menggenggam tanganku.

"Kita kesana dulu, kak," ujarnya tanpa menghiraukan pandanganku yang menatap genggamannya penuh tanya.

Ka Albyan yang semula ikut terpaku pun menjadi tersenyum dan mengangguk seperti biasa.

"Oke, kalo gitu gue juga mau balik ke kelas, nih," ucapnya kemudian, "see ya!" setelah itu Ka Albyan pergi meninggalkan kami duluan.

Dan tanpa berbicara lagi, aku dan Dio pun segera menuju tempat tujuan sebelum bel masuk menghentikan kami.

By the way, sepanjang perjalanan aku benar-benar merasa kikuk. Selain karena menjadi pusat perhatian setiap orang di koridor, jantungku ... Jantungku berdetak sangat cepat serta mataku yang berulang kali melirik ke arah genggaman tangan Dio.

Membuat aku terus menerka-nerka maksud dari hubungan yang berlandas pertemanan ini.

Oh Kei, please. Ini bukan saatnya untuk memikirkan hal yang seperti itu.

Ayolah, kembali berpikir tentang masalah utama saat ini.

Focus.

***

Halo guys, apa kabar nih???

Hm, udah lama banget yak, gue gak update 😂, I'm so sorryyyyy 🙇

Buat para readers yang masih setia, gue mau bilang makasih banget 😘. Comment dan DM dari kalian itu sangat berarti untuk jadi penyemangat 💞💞

Oke, cukup cuap-cuapnya 😁

Stay read 😉 gue bakal update secepatnya 😊.

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 143K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
662K 8.8K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
5.4M 393K 55
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 8.6K 3
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...