Enigma, The Shadow [Re-write]...

Von pratiwikim

85.2K 12.6K 3.7K

[Re-write] It doesn't have foot but it can run It always remind you of something ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ⚠️ ᴛʀɪɢɢᴇʀ ᴡᴀʀɴ... Mehr

ᴛʀᴀᴄᴋʟɪꜱᴛ
1. ʙᴇɢɪɴ, ᴍᴇᴇᴛ ʜɪᴍ
2. ꜱᴄᴀʀ ᴏɴ ʜɪꜱ ꜱᴋɪɴ
3. ʙᴇᴛʀᴀʏᴀʟ ꜰʀᴏᴍ ʜᴇʀ ʟᴏᴠᴇʀ
4. ꜱᴛʀᴀɴɢᴇ ꜰᴇᴇʟɪɴɢꜱ
5. ʟᴇᴛ'ꜱ ᴘʟᴀʏ ᴀ ꜰᴜɴ ɢᴀᴍᴇ
6. ʜɪꜱ ɪʟʟɴᴇꜱꜱ, ᴀʟᴢʜᴇɪᴍᴇʀ
7. ʙᴇᴛᴡᴇᴇɴ ᴀ ᴋɪꜱꜱ ᴀɴᴅ ᴅᴇꜱɪʀᴇ
8. ᴄᴏʟᴅ ʀᴀɪɴ
10. ᴅᴇᴇᴘ ɪɴ ʜɪꜱ ʜᴇᴀʀᴛꜱ
11. ᴠᴀɴɪꜱʜ ᴀᴡᴀʏ
12. ᴛʜᴇ ʀᴇᴀʟ ʜɪᴍ, ᴘꜱʏᴄʜᴏ
13.1. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
13.2. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ
14. ꜰᴀᴋᴇ ᴘᴇᴏᴘʟᴇ
15. ᴛʀʏ ᴛᴏ ᴘʀᴏᴛᴇᴄᴛɪɴɢ ʏᴏᴜ
16. ᴡᴏᴍᴀɴ ɪɴ ᴛʜᴇ ʙᴀʀ
17. ᴀʟᴍᴏꜱᴛ, ʙᴜᴛ ꜱᴛɪʟʟ ᴋᴇᴇᴘ ᴛʜᴇ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴄᴇ
18. ʀᴏᴛᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴛʜᴇ ᴄᴏʀᴇ
19. ᴡɪᴘᴇ ᴏꜰꜰ ᴀʟʟ ᴛʜᴇ ᴛʀᴀɪʟ
20. ʙᴀᴄᴋꜰɪʀᴇ ᴇꜰꜰᴇᴄᴛ
21. ʀᴇᴠᴇɴɢᴇ
22. ɪꜱ ɪᴛ ᴛʜᴇ ᴇɴᴅ?
23. ꜰɪᴇʀᴄᴇ ʙᴀᴛᴛʟᴇ
24. ɪɴꜰɪɴɪᴛᴇ
ꜰɪɴᴀʟ: ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ᴍʏ ᴍᴇᴍᴏʀʏ
ᴀʟʟ ɪ ᴡᴀɴᴛ

9. ʜᴇʀ ᴇx-ʟᴏᴠᴇʀ

2.8K 506 125
Von pratiwikim

Dulu—sekitar umur delapan atau sembilan tahun, Anha pernah berandai. Ia ingin saat dewasa nanti menikah dengan seorang pangeran berkuda yang kerap muncul dalam serial kartun favoritnya. Anha bahkan sudah merancang bagaimana gambaran pesta pernikahannya kelak di dalam kertas gambar yang dibelikan sang ayah. Ada banyak bunga, pilar-pilar yang menjulang, kursi dan meja yang cantik, pula altar dengan karpet merah yang akan menyambutnya di depan gerbang.

Akan tetapi Anha sadar bahwa itu semua tidak akan pernah terwujud. Maksudnya, tentu saja ia menikah. Hanya saja, tidak dengan rancangan bagaimana pestanya berlangsung. Terlebih, calon yang digadang-gadangkannya sejak lama, tiba-tiba berkhianat begitu mudahnya. Sekonyong-konyong membuat Anha ragu untuk menjalin hubungan yang bernama cinta.

Sekarang, kiranya Anha hanya perlu bersabar. Barangkali apa yang Jimin katakan benar; bahwa Tuhan sedang mengujinya.

Omong-omong tentang Jimin, pemuda itu sedang menggigit bibir bawahnya resah. Ada perasaan yang mengganjal di lubuk hatinya yang paling dalam. Rasanya ia ingin betul menggeser bokong yang sudah satu jam lamanya menempel dengan kasur untuk lebih dekat dengan Anha. Bukan bermaksud apa-apa (terlebih jika yang kalian pikirkan Jimin hendak berlaku sesuatu yang cabul), Jimin hanya ingin wanita itu berhenti mengosok-gosokkan telapak tangan dan membiarkan dirinya merengkuh tubuh itu dalam pelukan.

Tapi, peduli setan dengan urat malu pula keraguan itu. Jimin memutuskan untuk melupakan akal sehatnya untuk sementara dan meletakkan tangan di bahu Anha. Membawa tubuh tersebut untuk jatuh dalam dekapannya. Anha menegang, sedang sang pelaku nyaris pingsan karena jantungnya yang mendadak bertalu hebat.

Anha bisa merasakan tubuh mereka bersinggungan satu sama lain kendati ada kain sebagai penghalangnya-tapi bukan berarti ia akan diam saja. Ini terlalu gila. Bagaimana jika ada seseorang yang lewat dan mengira Jimin hendak berlaku mesum kepadanya? Lalu, bagaimana juga dengan dirinya yang kini dalam keadaan gugup setengah mati? Jadi, mencoba berontak dengan jemarinya melepas milik Jimin yang bertengger di bahun, Anha bersuara, "Bisakah kau memberi jarak? Maksudku, akan aneh rasanya jika ada orang yang melihat."

Jimin tahu bahwa Anha juga sama seperti dirinya. Hanya saja wanita itu mencoba menghindar. Tetapi, alih-alih menuruti perkataan Anha, Jimin malah semakin mengetatkan jemarinya di bahu tersebut. "Biarkan saja," ujarnya tak acuh.

Atmosfer di sekitar mereka mulai memanas kala Jimin menyandarkan kepalanya. Mencari ketenangan. Membiarkan bunyi rintik hujan mengisi rungu dan membuat melodi indah. Iris sabit pemuda itu tenggelam kala kelopaknya memejam rapat. Anha dibuat salah tingkah olehnya. Bukannya mau menyakal, tapi Jimin ini memang tidak baik untuk kesehatannya, sebab dadanya bergemuruh laksana ada badai yang sedang menyerang.

Di kedamaian yang tengah Anha dan Jimin nikmati, rupanya ada seseorang yang tengah tersenyum picik dengan sebuah potret yang baru saja ia abadikan dengan kamera ponsel. Layaknya paparazzi yang andal, Hyerin sebisa mungkin mengarahkan benda pipih tersebut agar tidak disadari oleh dua insan yang berada dalam selimut yang sama itu.

Hyerin bahkan tak berpikir dua kali untuk mengirim foto tersebut pada Taehyung. Ya, hanya sekadar memanas-manasi agar lelaki itu tak lagi memikirkan Anha. Ah, ini akan menjadi sesuatu yang menyenangkan.

"Cepatlah sedikit. Aku tidak ingin beliau menunggu lebih lama lagi."

Setelah menelepon dan mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya karena tidak bisa datang tepat waktu, Anha langsung menyeret si Park itu untuk lekas berjalan. Jemarinya memegang lengan Jimin erat bak seorang ibu yang enggan berpisah dengan sang anak. Bibirnya yang berpoles lipgloss itu terus menggerutu; tentang Jimin yang berjalan lambat, gerimis yang masih menyertai langkah, pula genangan air yang memercik kala terinjak tak sengaja.

Park Jimin yang berada di belakang rupanya tidak terlalu peduli. Hamparan bintang seolah telah berpindah tepat pada netranya yang kini berbinar tatkala melihat alam bebas yang selama ini ia rindukan teramat sangat. Seoul benar-benar berubah, pikirnya. Ada banyak yang semula tidak pernah ia lihat, tapi sekarang tiba-tiba ada. Tentu ini bukan karena sentuhan magis, tapi karena memang Jimin yang terlalu lama berada di rumah sakit itu.

Aroma udara bebas adalah satu dari sekian banyak yang ia rindukan. Jimin benar-benar muak kala mengingat ia selalu menghirup udara yang sesak; khas rumah sakit. Petrikor juga samar-samar menggelitik, membuat pemuda itu kembali menarik napas dan menyemburkannya perlahan. Sempurna.

Sebuah taksi berhenti di hadapan mereka. Anha lekas membuka pintu bagian belakang untuk Jimin. Namun saat si Park itu naik, Anha menepuk keningnya. Rupanya ia telah melupakan sesuatu yang bisa dibilang cukup penting.

"Astaga, aku lupa membawakanmu sepatu."

Jimin lekas tersenyum kalem; menenangkan. "Tidak masalah. Aku masih punya sandal ini." Ia berucap demikian dengan nada sumringah. Membanggakan sepasang sandal jepit berwarna kuning yang melapisi telapak kaki mungilnya. Anha ingin protes sebab bagaimana pun benda tersebut tidak menunjang penampilan Jimin saat ini bisa dikatakan lumayan keren.

Melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, nyatanya Anha tidak bisa lagi untuk sekadar kembali ke apartemen guna mengambil sepasang sepatu milik Taehyung yang sudah ia letakkan di dalam kardus, ataupun singgah ke toko sepatu. Waktu yang mereka miliki tidak banyak. Alhasil Anha hanya bisa menghela napas pasrah seraya membiarkan Jimin untuk duduk di kursinya.

Sepanjang perjalanan dengan jalanan yang cukup padat kendati hujan baru saja mengguyur, Jimin tak melewatkan satu detik pun untuk berdecak kagum. Tangannya ia tempelkan di kaca dengan wajah yang serta-merta mendekat. Embus napas pemuda itu membuat kaca jadi berembun. Anha jadi berpikir, bagaimana kalau Jimin ini sebenarnya adalah tarzan? Kau tahu, semacam manusia yang tumbuh di hutan dan dibesarkan oleh binatang. Tapi, bukankah itu terlalu konyol? Anha makin terkikik geli saat melihat gambar hati yang tengah Jimin buat di kaca yang berembun itu.

"Gambaranku bagus tidak?"

"Lumayan," balas Anha.

"Kalau begitu, gambar ini untukmu."

Anha terdiam. Ia berusaha keras untuk memproses kalimat yang baru saja Jimin lontarkan padanya. Gambar ini untukmu. Maksudnya, hati tersebut untuk Anha atau bagaimana? Batin wanita itu berkecamuk dengan berbagai persepsi yang ada dalam benaknya, sedang sang pelaku nampak kalem saja sembari tangannya yang menekan tombol agar jendela turun dan ia bisa menghirup udara bebas untuk yang kesekian kalinya (Jimin bahkan cuai saja saat sang sopir meliriknya lewat kaca spion yang menggantung).

Dua puluh menit taksi tersebut membelah ramainya jalanan kota Seoul, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Anha lekas turun setelah membayar ongkos dan berniat untuk membukakan pintu untuk Jimin. Akan tetapi, pemuda itu tahu-tahu saja sudah berada di luar dengan pandangan yang menyapu pada bangunan sederhana yang terapit oleh toko roti dan salon.

Anha merogoh tas selempang miliknya dan lekas mencocokan nama tempat di papan yang menancap dengan yang ada di kartu. Prof. Albert Kree Sp. KJ. Benar, dua-duanya sama. Melirik ke samping dan menemukan Jimin yang juga tengah menatapnya, Anha lekas bersuara, "Ayo."

Sebelum wanita itu beranjak, Jimin lekas menahan lengannya. Melempar tatap ragu dengan bibir yang bersuara lirih, "Kau yakin ini tempatnya?"

"Kata Seokjin memang ini tempatnya."

"Si dokter tua itu?"

Astaga. Jimin ini rupanya punya selera humor yang cukup baik. Well, Anha tidak tahu sih apakah kalimat tersebut bisa disebut semacam guyonan atau malah satire. Si Kim itu memang sudah berkepala tiga, dan fakta buruknya dia masih melajang. Kalau ditanya kenapa masih sendiri, ia akan lekas merapikan kerah kemejanya sembari berkata sok bijak, "Lelaki sepertiku ini tidak boleh asal dalam memilih calon pendamping. Pernikahan itu bukan untuk sementara, tapi untuk selamanya. Jadi, harus benar-benar melewati pertimbangan yang matang."

Tidak ada yang salah sih. Tapi Seokjin berkata demikian hanya untuk menutupi harga dirinya yang terinjak sebab tak ada satu pun wanita yang mendekatinya. Kendati memiliki wajah tampan serta mapan, rupanya ia punya peruntungan yang buruk dalam hal asmara. Barangkali itu juga karena sifat Seokjin yang terlalu pemilih; selalu mencari sosok yang sempurna.

Memastikan tak ada tawa yang meluncur dari ceruk bibirnya, Anha membalas sekenanya, "Hm, terserahmu saja."

Mereka kemudian mengayunkan tungkai dengan tempo yang lambat. Anha berada beberapa langkah di depan dengan Jimin yang masih mengedarkan pandangan. Irisnya bergerak cepat dari satu objek ke objek yang lain. Mulai dari tanaman gantung, dua buah kursi kayu yang lapuk, karpet dengan tulisan selamat datang yang mulai pudar. Namun, hal yang paling menarik perhatiannya adalah pintu cokelat yang kini membuka secara pelahan.

Figur lelaki setengah abad muncul dengan pakaian santai dan kacamata bundar yang terletak di pangkal hidungnya yang tinggi. Sudut bibirnya terangkat dan lekas menyambut Anha dengan jabat tangan. "Mari masuk," ujarnya.

Setelah menghabiskan sekitar empat jam tiga puluh menit, Anha dan Jimin akhirnya dapat keluar dengan napas lega. Terlebih si Park itu yang tak henti-hentinya tersenyum. Ia sempat berkata, "Rasanya masih seperti mimpi," dan lekas menghambur ke luar. Mengayun tungkai ke sana kemari seolah belenggu di kakinya sudah terlepas. Anha diam-diam juga ikut menarik sudut di bibir. Membiarkan tubuhnya mengekori Jimin yang kini tengah mengarah ke sebuah taman yang sepi pengunjung.

Cuaca amatlah bagus. Tidak terik, namun tidak mendung. Semilir angin berembus pelan, membiarkan surai-surai Anha yang tidak tergelung bergerak pelan seiring dengan langkah kaki yang berayun lambat.

Mereka tiba di sana dan lekas mencari spot yang bagus. Anha menemukan dua buah ayunan di dekat area jungkat-jungkit. Pun, ia lekas menuju ke sana sembari mengistirahatkan kakinya yang sudah kelelahan, meninggalkan si Park itu yang masih betah mengamati dua ekor burung merpati yang hinggap di ujung pancuran air mancur yang sudah terbengkalai.

"Kenapa masih di sana? Sini, duduk di sebelahku."

Anha menepuk sisi ayunan yang masih kosong. Memandang Jimin yang lekas memberikan atensi penuh padanya. Kepalanya menggeleng pelan dan entah kenapa Anha mengganggap gerakan itu amat memukau. Kendati menolak, Jimin lekas beranjak untuk mendekat dan menempatkan diri di bagian belakang Anha. Jemarinya berpegangan erat pada rantai yang menghubungkan dua objek berbeda. "Tidak, tidak. Aku akan mengayunkanmu saja."

"Duduk di ayunan bukan berarti kau anak kecil," celetuk Anha saat merasakan ayunan tersebut bergerak perlahan.

"Well, aku tadi tidak bilang begitu, lho."

Gerak ayunan mulai melaju lebih cepat. Di saat itu pula-lah Anha mengocehkan berbagai macam hal-kebanyakan menyangkut hal yang tidak penting-dan Jimin hanya mendengarkan, sesekali menyahut jikalau wanita itu memang butuh balasan. Namun kebanyakan ia hanya mengangguk dan berdeham. Jimin bahkan tidak menyadari bahwa gerak tangannya terlalu kuat hingga menyebabkan ayunan tersebut bergerak makin cepat dari waktu ke waktu.

Mulanya Anha biasa saja-malah terlihat senang sekali, tapi lama-kelamaan ia merasakan perutnya bergejolak; ingin muntah. Jimin masih belum menyadari dan mungkin tak akan menyadari kalau Anha tidak segera menurunkan kakinya guna menghentikan laju ayunan. Tangan kanannya bergerak menutup mulut saat sesuatu berusaha merangsek naik melalui kerongkongan.

"Kau baik-baik saja?" Tersadar, Jimin lekas berjongkok dan memerhatikan bagaimana wajah Anha yang berubah pasi. "Maaf, ya. Aku sungguh tidak tahu kalau akan berakhir seperti ini."

Mengibaskan tangan seolah ini bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan, Anha mengusap sudut bibirnya yang agak basah. "Tidak perlu meminta maaf. Aku hanya mual karena belum makan siang."

"Kalau begitu kita harus mencari makanan segera." Jimin menatap Anha penuh rasa khawatir. "Apa kau bisa bejalan? Di depan sana ada kafe. Aku bisa menggendongmu kalau kau tidak sanggup."

Ah, dasar lelaki. Anha menggeleng sebanyak dua kali sebagai jawaban. Bagaimanapun ia masih segan dengan Jimin kendati pemuda itu bersikap baik padanya, well, bahkan juga pernah mencuri satu kecupan manis darinya. Tapi tentu hal tersebut tidak akan merubah Anha secepat itu. "Aku masih kuat berjalan."

Dengan dituntun Jimin dari samping, Anha berjalan sedikit tertatih untuk mencapai ambang pintu dan lekas mendudukan diri di salah satu meja yang berada di dekat jendela besar. Ramai jalanan terlihat jelas dengan kendaraan yang melaju cepat. Para pejalan kaki sesekali melintas di sisi kiri dengan langkah cepat.

Anha membiarkan Jimin mengurus menu makan kali ini. Mulanya ia sempat ragu mengingat latarbelakang pemuda itu yang agak sedikit-yah, kau tahu sendiri. Tapi Jimin lekas menukas, "Aku ini sempat hidup normal. Setidaknya aku masih mengingat bagaimana cara memesan makanan." Sekonyong-konyong pemuda itu menuju konter dan memesan dua kaleng soda, secangkir latte dan dua burger dengan ukuran yang berbeda; jumbo untuknya dan sedang untuk Anha.

Well, Anha hanya berpasrah diri dan membiarkan isi dompetnya yang akan terkuras mengingat nafsu makan Jimin cukup besar. Dan juga secangkir latte? Astaga, kenapa pemuda itu memesan minuman yang sama sekali tidak cocok dikonsumsi bersamaan dengan burger? Jadi, mendengus dengan jemari yang memijit pelipis pelan, Anha lekas menikmati makanan yang baru saja diantar oleh seorang pramusaji.

"Makannya pelan-pelan. Kalau kau tersedak dan tiba-tiba mati di tempat, aku tidak mau bertanggung jawab," sarkas Anha saat melihat bagaimana Jimin melahap burger miliknya rakus.

Pemuda itu enggan menyahut, ia hanya mengangguk-anggukan kepala, sesekali menyesap soda dan bergantian meneguk latte.

Karena gaya makannya yang serampangan, ada sedikit saus tomat dan mayones yang belepotan di pipinya. Tidak, tidak. Anha tidak akan bertindak seperti yang ada di serial drama atau film picisan yang dimana pemeran utamanya akan mengambilkan tisu dan mengusap noda tersebut hingga pandangan mereka beradu dan berujung salah tingkah sendiri. Anha hanya lekas menegur agar pemuda itu membersihkannya sendiri.

Di tengah acara mengisi perut tersebut, Anha mendapati Ahn Yoomi yang ternyata tengah berjalan keluar dengan satu kantong berisi kotak makanan. Wanita dengan setelan dress biru laut lengan itu melambaikan tangan dan menghampiri antusias. "Hai, An. Kau datang bersama siapa?" tanya Yoomi sembari melirik Jimin yang ternyata juga balik menatapnya.

"Park Jimin. Pasienku."

Yoomi lagi-lagi melirik, kali ini terlihat sedikit aneh sebab Anha bisa melihat dengan jelas ada sebuah ketertarikan yang memacar dari dua irisnya yang kali ini dilapis oleh lensa berwarna cokelat terang. "Hallo, tampan. Senang bertemu denganmu. Namaku Ahn Yoomi," sapanya sembari membasahi bibir bawah dengan saliva; terpikat oleh paras Jimin yang sebenarnya patut diacungi jempol. Wanita itu bahkan seakan tidak peduli bahwa Jimin ini adalah satu dari sekian banyak yang tinggal di rumah sakit jiwa.

Tersenyum kikuk dengan jemari yang menyambut ragu uluran tersebut, si Park itu membalas tanpa menaruh minat, "Jimin."

Yoomi balas tersenyum dengan pipi yang memerah. "Kalau begitu, aku pamit pulang dulu, ya. Sampai jumpa lagi An." Ia melirik sebentar pada Anha yang mengangguk pelan dan kembali menatap pada Jimin. "Kau juga. Sampai jumpa lagi, Jimin," sambungnya. Sedikit menaruh harap agar pemuda tersebut kembali membalas. Tapi setelah lima detik di sana, ia tak kunjung mendapati respon apa-apa lagi. Hal tersebut membuat Yoomi lekas mengambil beberapa langkah ke belakangan dan lenyap dari pandangan.

Menyesap soda miliknya sedikit, Anha bangkit. Hendak menuju toilet karena harus segera buang air kecil. Namun Jimin menahan, mencekal pergelangan tangannya kuat hingga ringis kecil muncul dari belah bibirnya. Anha lekas menjelaskan hal yang sedang berlangsung, tapi pemuda itu menolak mentah-mentah. Takut ditinggal sendirian, katanya. Jimin bahkan menawarkan diri untuk ikut menemani Anha hingga ke dalam toilet. Hanya sekadar memastikan agar wanita itu tidak kabur darinya. Tapi, hei. Itu sungguh konyol sekali.

Jadi, mencoba meredam emosinya yang tersulut, Anha buru-buru menukas, "Dengar, ada baiknya kau segera mengenyahkan pikiranmu tentang tawaran menemaniku hingga ke dalam toilet, Tuan Cabul. Aku tidak peduli dengan alasanmu yang konyol itu. Juga, aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Kau mau aku mengompol di sini?" Jimin menggeleng dan Anha lekas melanjutkan, "Cukup tunggu aku di sini. Aku tidak akan kemana-mana dan akan lekas kembali kalau memang sudah selesai. Kau hanya perlu diam dan tidak usah kemana-mana."

Mengangguk pelan, Anha dapat memastikan bahwa Jimin mengerti. Sebelum benar-benar meninggalkan meja tersebut bersamaan dengan seorang pemuda yang tadi sempat beradu cek-cok dengannya, Anha menambahkan, "Satu lagi, jangan membuat onar. Kita sedang berada di tempat umum. Kalau ada yang mengganggu, biarkan saja. Jangan sampai kau membalasnya."

Jimin lagi-lagi mengangguk-persis seperti anjing yang penurut. Membiarkan tubuh kecil tersebut menjauh dan hilang dari pandangan sementara dirinya kembali fokus pada sisa makanan yang ada di atas meja. Jimin tidak menyangka jika perutnya akan mudah merasa kenyang. Rasanya sulit sekali menghabiskan gigitan terakhir ini. Tapi ia tentu tidak ingin membuat Anha kecewa karena membuang-buang makanan. Lantas ia menjejalkan burger tersebut ke dalam mulut, tak mengindahkan perutnya yang terasa seperti akan meledak pula saus yang belepotan di pipi.

Sembari membersihkan kekacauan yang ada di wajahnya, Jimin mencoba menguyah makanan di mulut yang sumpah demi apa pun terlalu besar. Tatkala berhasil menelan, ia malah dibuat tersedak karena mendapat dorongan di punggung yang menyebabkan perutnya menghantam sudut meja yang runcing.

Terbatuk dengan diiringi ringisan, Jimin lekas membalikkan badan dan menemukan seorang lelaki berhidung bangir dalam keadaan teler.

"Hei bocah, kenapa kau menghalangi jalanku?"

Jimin mengernyit. Merasa terganggu akan kehadiran sosok asing yang tiba-tiba mencecarnya dengan sangat tidak sopan. Dan tadi apa katanya? Menghalangi jalan? Astaga. Bukankah yang terjadi malah sebaliknya? Sebisa mungkin Jimin menyikapi semuanya dengan tenang-sesuai janjinya pada Anha, tapi tetap dengan gaya sarkasnya tersendiri.

"Kau saja yang tidak memakai mata. Sudah jelas mejaku berada di pinggir, tapi tetap saja kau tabrak. Lagipula ini masih siang, kenapa mau repot-repot mabuk, sih? Membuat kesal saja."

Rupanya kalimat tersebut membuat si lelaki dengan potongan kain hitam yang membalut tubuh itu mengepalkan tangan. "Kau berani menentangku, ya?"

Tenang, Jim. Tenang. Tidak usah diladeni.

Lelaki itu tertawa sinis. "Kenapa diam saja, huh? Takut?"

Menarik napas dan mengembuskannya pelan, Jimin mencoba sebisa mungkin untuk tidak bangkit dan melemparkan setidaknya dua atau tiga pukulan di rahang laki-laki itu. "Kenapa aku harus takut? Toh, kau juga bukan siapa-siapa."

Wajah lelaki itu memerah; entah karena mabuk atau malu karena harga dirinya yang jatuh dan terinjak. "Dasar bocah tengik. Sana, menyingkir. Jangan menghalangi jalanku," ujarnya sembari mendorong bahu Jimin kuat.

Jimin terdiam, membiarkan tubuhnya terhuyung ke belakang yang untungnya tidak sampai membuatnya jatuh tersungkur. Ia merasakan kehadiran Jack di sekitarnya dengan pandangan yang berangsur-angsur kosong. Inilah satu dari sekian banyak yang Jimin khawatirkan. Sisi gelapnya itu akan mudah mengambil alih ketika mulai merasakan adanya ancaman, gelegak amarah, atau rasa sakit yang menyiksa.

Sekuat tenaga Jimin mengontrol dirinya agak tidak lepas kendati.

Namun apalah daya. Jack terlalu kuat hingga Jimin merasakan jiwanya sudah tertukar begitu saja dengan jemarinya yang lekas beralih mengambil garpu di kotak peralatan makan dan bersiap mendaratkannya di wajah lelaki itu. Berniat membuat luka gores dalam yang tentu akan mengurangi entitas paras rupawan tersebut. Saat tangannya melayang di udara, lelaki itu malah lebih dulu tumbang dengan sepasang mata yang memejam rapat. Bertepatan itu pula, Anha datang dan memekik kaget.

Jimin berontak kala Anha mendekat dan berusaha mengambil alih garpu yang tengah dipegangnya. Sejemang, wanita Jung itu terdiam lantaran menyadari pancaran mata Jimin yang terlihat berbeda; tajam dan mengintimidasi. Anha berusaha menyingkirkan beberapa kejadian di benaknya yang saling berkaitan-seperti terikat oleh benang merah, tatkala balas menatap pemuda di hadapannya.

Sadar bahwa Anha lengah, Jimin lekas menghentak jemari tersebut. Namun rupanya wanita itu terkejut hingga tak sadar malah berbalik meremat dan balas menarik hingga menimbulkan gencatan pada telapak tangannya sendiri. Ada luka empat titik yang terpatri di sana. Darah segar perlahan mengucur dan seketika membuat Anha diserang pening.

Anha membiarkan Jimin memengang kuasa atas garpu tersebut sementara dirinya mati-matian menghentikan darah yang terus mengucur dengan sapu tangan. Sejauh ini, tidak ada yang menyadari perseteruan yang sempat terjadi. Para pelanggan beserta pegawai di sana seolah terjebak dalam dunia mereka sendiri.

Pikirannya berkecamuk, dan Anha sadar akan hal itu. Apalagi setelah matanya yang dengan tak sengaja menemukan seorang lelaki tergeletak di dekat kakinya. Terlalu familier, terlebih surai legamnya yang jatuh perlahan saat kepala tersebut terangkat. Semerbak alkohol bersamaan feromon yang amat ia kenal coba usik indra penciumannya.

Lelaki itu ... Kim Taehyung?

Seketika napas Anha tercekat tatkala lelaki itu bangkit dengan sempoyongan. Tangannya menumpu pada meja yang tengah Anha dan Jimin tempati. Benar, laki-laki itu memang Taehyung. Dan barangkali ia masih belum menyadari kalau tepat di sisinya ada seorang wanita yang pernah ia campakan.

Tatapan Jimin yang semula kosong karena salah melukai target, lantas kembali seperti sedia kala. Ada binar yang hinggap pula khawatir saat menyadari Anha tengah bersikeras menahan darahnya yang tak henti-henti mengalir.

"Astaga. Maafkan aku, Anha."

Penuturan Jimin itu membuat Taehyung sontak menolehkan kepala, dan mendapati Anha di berada tepat di sisinya. Ah, skenario macam apa ini? Taehyung mendecih sembari menatap Jimin lamat, lalu sedetik kemudian tertawa sarkas dengan pandangan yang beralih pada Anha. "Jadi, berita itu memang benar, ya?"

Anha mengerutkan kening, bingung. Tapi ia geram sekali melihat Taehyung yang bisa dengan bebasnya berkeliaran seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara keduanya. "Ap—"

Lelaki itu lekas memotong, tak membiarkan Anha berbicara banyak karena hal itu akan membuatnya semakin muak. "Hallo, Jalang. Ternyata kita bertemu lagi." Taehyung tersenyum asimetris yang mana membuat Anha ingin sekali mencabik-cabik bibir tersebut hingga berai. "Selamat atas hubunganmu dengan si gila ini, ya."

"Siapa yang kau sebut gila?" tanya Jimin, memotong Anha yang barangkali hendak menyahut karena naik pitam disebut jalang.

Mengedikkan bahu seraya memainkan lidah di dalam mulut, si Kim melanjutkan dengan cibiran, "Tidak sadar? Well, tentu kau yang kusebut gila. Apakah itu kurang jelas?"

Melupakan makanan dan minuman mereka yang masih tersisaa, Anha lekas menyampirkan tas selempangnya dan bersiap membawa Jimin pergi dari sana. Ia terlampau jengah akan sikap Taehyung yang serampangan seperti ini. "Dengar Kim Bangsat, aku sungguh tidak sudi lagi bertatap muka denganmu. Ada baiknya kau pergi jauh-jauh dariku dan kalau perlu tidak usah kembali." Menarik napas, menjeda—Anha dapat melihat bagaimana rahang Taehyung yang menggertak menahan amarah bersamaan dengan matanya yang menatap tajam. "Kau sebut Jimin gila? Wah, ternyata kau tidak sadar diri. Kau bahkan lebih gila darinya, Sialan." []

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

22.8K 1.4K 20
Diterjemahkan oleh: dramionemania Telah mendapat izin alih bahasa dari ikorous. Ringkasan: Hermione Granger ingin kehilangan kendali. Dan Draco Malfo...
435 50 10
Diterjemahkan oleh: depressaed Telah diberikan izin alih bahasa oleh penulis Bex-chan Cover art oleh: Flyora Dipaksa untuk bekerja sama ketika teman...
218K 2.5K 5
Malaikat berteman dengan vampir? Gak mungkin... Tapi itu terjadi pada Luhan. Dalam eksistensinya yang panjang, Luhan memiliki hal-hal yang tidak pe...
11.7K 686 13
Set 10 tahun After War, Hermione mengasingkan diri ke dunia Muggle, terpaksa kembali ke dunia sihir demi membantu sang Musuh untuk mendapatkan kead...