Gadis yang Terbelenggu

By YuliTriyuliani

1.3K 188 132

Gadis mana yang mau hidup dengan beban begitu berat? Aku yakin, tak akan pernah ada. Tapi jika semua memang t... More

Teka-Teki Kehidupan
Aku Tak Sendiri
Takdir Dalam Seminggu
Keputusan Terbesar
Kembali Pulang
Aku, Si Gadis Malang
Zen Amar
Aku Tak Percaya
Zen dan Sakti
Kado?
Fatal
Surat 'Kematian'
Pernyataan Sakti
Ibu, Kau Kembali?
Tak Bisa Dipaksakan
Tanya tak Berjawab
Ketukan dan Jejak Sepatu

Penelepon Rahasia

40 7 0
By YuliTriyuliani

Sakti terus saja menungguku di rumah sakit. Perhatiannya begitu besar, hingga dia meninggalkan pekerjaannya--untuk sementara waktu--di restoran.
.
Setiap hari, dia tak pernah absen menyuapiku bubur, mengganti perban, hingga membuatku tersenyum. Ah ... Sudah lama aku tak merasakan diperhatikan seperti ini. Hidupku terlalu rumit, hingga aku lupa rasanya mengecap bahagia itu seperti apa.
.
"Makanlah yang banyak, agar kau lekas sembuh, Re." Sakti menyunggingkan senyumnya sembari menyuapiku.

"Aku sudah sembuh. Tak perlu mengkhawatirkanku lagi, Sak. Pergilah ke tempat kerja," kataku, mengambil alih mangkuk yang sedari tadi dipegangnya.

"Jangan keras kepala. Aku tahu, kau masih sakit, Re. Sekali ini saja, biarkan aku menjagamu," pinta Sakti, dengan mata berbinar-binar.

Aku tak kuasa untuk menolak tatapan hangat itu. Sampai pada akhirnya, aku mengiyakan apa yang dikatakan Sakti. Membiarkannya menemani di sini, hingga kesehatanku benar-benar pulih.

"Kau sudah makan?"

Sakti menggeleng.

"Makanlah dulu," titahku karena tak ingin melihatnya sakit. Tak ada sahutan apa-apa dari Sakti. Dia kembali menyuapi dan membantuku meminum obat.

Rasa sakit di pergelangan, berangsur hilang. Ada sedikit penyesalan yang bertengger di hati. Tentang yang telah kulakukan ini.
.
Setiap kali Sakti pamit pulang, aku selalu menangis. Bukan karena tak ingin ditinggalkan olehnya. Tetapi, aku rindu kehidupan yang dulu. Kehidupan yang dipenuhi kasih dan sayang serta kebahagiaan.
.
Andaikan saja kakak bisa berpikir waras, mungkin dia ada di sini hingga detik ini. Membantuku memapah kehidupan untuk menyembuhkan ibu. Namun, kini tugasku bukan hanya itu. Akan tetapi, menemukan sang wanita hebat yang hilang begitu saja.

***

Dua hari yang lalu, dokter telah mengizinkanku pulang. Dengan semringah, aku menyambut masa kepulangan itu. Menata semangat dari awal lagi, dengan gelar seorang pengangguran.
.
Napas berat mengembus saat aku berdiri di depan sebuah tempat makan cukup megah. Sudah lama aku tak menginjakkan kaki di tempat ini. Terakhir kali aku ke sini, sekitar dua tahun yang lalu. Bertepatan saat awal bertemu dengan Zen.
.
Rencanaku sudah mantap. Aku akan mencoba melamar kerja kembali di restoran ini. Menjadi seorang pelayan restoran, meski gaji tak seberapa, tapi setidaknya hidupku jauh dari kebohongan.
.
Beberapa kursi berderet dengan rapi. Para pekerja yang kulihat sedang sibuk menata hidangan, seperti tak menyadari kedatanganku.

"Selamat pagi." Aku menyapa sang manajer dengan mengembangkan senyum.

Laki-laki paruh baya itu memutar tatapannya padaku. Mengamati dari atas ke bawah, hingga kembali ke atas lagi. Seperti ada yang salah dengan penampilanku saat ini.

"Aresha?" Dia memanggilku dengan mengerutkan keningnya.

"Ya, ini aku, Pak."

"Ada apa kau ke sini? Bukankah kau bilang sudah mendapatkan pekerjaan lain?" selidiknya masih dengan tatapan sedikit sinis

"A-aku ingin bekerja di sini lagi, Pak. Bo-boleh?" Nada bicaraku terdengar sangat gugup. Aku berusaha menghilangkan rasa gugup itu dengan mengepalkan tangan.

Tak ada respons apa-apa perihal pertanyaanku itu. Dia meliarkan pandangan ke seluruh penjuru restoran. Membuat jantungku berdegup tak keruan dengan apa yang akan dikatakannya setelah ini.
.
Jika aku tak bisa bekerja lagi di tempat ini, mungkin aku akan kembali membuka toko kecil di rumah seperti dulu. Tak ada jalan lagi, memang.

"Aku dengar, kau telah mencelakakan atasanmu di tempat kerja. Benar, begitu?"

Aku terkesiap dengan pertanyaannya. Dari mana dia tahu jika Zen celaka karena ulahku? Ck.

"Aku tidak sengaja dengan apa yang kulakukan," tegasku di depannya.

"Kau yakin?" decak sang manajer seolah aku adalah seorang pembohong besar.

"Aku yakin."

"Baiklah jika kau meyakini apa yang kau katakan itu. Kau boleh bekerja di sini. Asal ...," ujarnya menggantung. Aku mengernyitkan dahi menunggu kelanjutan dari ucapannya.

"Asal kau tak berbuat macam-macam di sini," lanjutnya, kemudian berlalu ke dalam ruangannya.

Huh!
Setidaknya, aku sudah mendapatkan lagi pekerjaanku dahulu. Tapi ... Aku masih penasaran dengan keadaan Zen saat ini. Apa dia masih koma seperti yang dikatakan Sakti tempo hari?

"Aresha? Kau kembali bekerja di sini?"

Seseorang menepuk bahu, membuat lamunanku buyar seketika. Dia tersenyum hangat mendapatiku duduk di tempat ini lagi.

"Ya. Aku butuh uang untuk bertahan hidup dan mencari Ibu," balasku padanya.

"Ibumu masih tak ditemukan, ya? Sabar ... Aku pasti membantumu."

"Aku tahu itu."

***

Lelah yang kembali hinggap pada raga setelah seharian bekerja, membuatku menjatuhkan diri di ranjang. Menatap nanar labgit-langit kamar. Membayangkan setiap jejak kehidupan yang telah dilewati.
.
Betapa banyak kejadian yang terjadi selama ini. Dan aku masih tegar, meskipun jatuh berkali-kali. Ini bukan hanya karena diriku sendiri. Melainkan, ada Sakti yang berperan penting di sini.
.
Mengenai perasaan yang diutarakannya itu, aku masih tak bisa memberikan jawaban. Menyayanginya lebih dari sekadar seorang sahabat adalah hal yang menurutku aneh.
.
Dua orang sahabat menjadi sepasang kekasih memang sudah lumrah. Tapi bagiku? Banyak hal yang kupertimbangkan dengan jawaban 'iya'. Aku sedang tak ingin bergelut dengan asmara. Tanpa asmara, aku masih bisa hidup. Tetapi tanpa ibu?

Dreeet ... Dreeet ...
Tiba-tiba ponselku bergetar dari dalam tas. Sebuah panggilan masuk dengan nomor yang tak kukenal alias private. Lama sekali aku mengamati layar ponsel sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.

"Halo?"

"Kau pasti sedang memikirkan Ibumu," terka seseorang dari ujung telepon.

"Ba-bagaiman mungkin kau tahu? Kau siapa?!" bentakku.

"Kau tak perlu tahu siapa aku. Tapi yang pasti, kau sedang gila memikirkan Ibumu," kekehnya begitu puas.

Suara telepon dimatikan sebelum aku sempat mengetahui siapa orang itu. Ponsel yang kupegang, seketika kulempar dengan kuat. Siapa yang sudah berani mempermainkanku seperti ini?

Lagi, suara ponsel bergetar dari sisi ranjang. Masih dengan nomor yang sama. Cepat-cepat aku menerima panggilannya itu.

"Kau siapa? Katakan padaku di mana Ibu? Aku mohon, katakan padaku!"

"Tenanglah gadis manis. Kau tak perlu membentakku seperti itu. Banting saja seluruh barang yang ada di hadapanmu. Dan perhatikan bagaimana barang-barang itu setelah kau banting. Berantakan, bukan? Begitulah hidupmu saat ini." Orang gila itu menceracau tak keruan. Dia memangilku manis? Cih! Aku tidak sudi disebut seperti itu.

"Kembalikan Ibuku," rengekku dengan memelas.

"Aku akan mengembalikan Ibumu, saat kau tahu siapa aku."

***

Tanpa berpikir apa-apa, aku memacu motorku ke arah rumah sakit. Keyakinanku tentang siapa penelepon rahasia itu tertuju pada Zen. Mungkin saja dia sudah sembuh dan kembali gila.
.
Di depan petugas yang mencatat data pasien, aku meminta ruangan atas nama Zen Amar. Mereka memberitahu jika Zen sudah keluar dari rumah sakit ini, tiga hari yang lalu.
.
Mendengar hal itu, aku sama sekali tidak percaya dan memaksa mereka untuk mengantarku ke tempat ruang perawatan Zen.
.
Kosong.
Tak ada siapa pun di ruangan bernomor 18 ini. Ranjangnya sedang dibereskan oleh seorang suster yang terlihat kebingungan, saat mendapatiku masuk begitu saja.

"Maaf, ada apa, Mba? Cari siapa?" tanyanya ramah.

"Aku mencari pasien atas nama Zen Amar. Tapi ... Mengapa ruangannya kosong?"

"Oh ... Tuan Zen? Dia sudah pulang tiga hari yang lalu.

"Apa Anda tidak salah?"

Suster itu menggeleng dan kembali melakukan tugasnya. Meninggalkanku seorang diri dengan banyak pertanyaan.
.
Air mata kembali meleleh menuruni pipi. Aku sudah tak tahu harus menginjakkan kaki ke mana lagi. Rumah yang seharusnya menjadi tempatku berlindung, kini seperti sebuah tempat terkutuk bagiku.
.
Dengan gontai, aku beringsut meninggalkan rumah sakit. Memacu motor dengan pikiran yang berlarian entah ke mana. Sudah tak ada lagi yang bisa kuperbuat. Apa aku harus benar-benar merelakan ibu? Dan siap mendapat hujatan jika aku adalah anak durhaka.

Continue Reading

You'll Also Like

4.6M 488K 48
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
3.4M 84K 40
Keinginan Diana untuk merebut tunangan sahabat nya, harus berakhir kegagalan. Karena bukan nya berhasil menjebak tunangan dari sahabat nya, Diana ma...
229K 33.1K 65
Kamu bisa pergi kemanapun kamu mau, tetapi pada akhirnya cinta tau dimana rumahnya maka dari itu ia tau kapan dan kemana ia harus pulang - Zee & Chik...
78.8K 8.2K 29
Bengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebaga...