3 RASA

By atikabsy

138K 10.9K 284

Ibrahim Hakam, pria yang harus rela menjadi duda bahkan di usianya yang belum genap memasuki kepala tiga, bel... More

Blurb
3 rasa - prolog
3 rasa - part 1
3 rasa - part 2
3 rasa - part 3
3 rasa - part 4
3 rasa - part 5
3 rasa - part 6
3 rasa - part 7
3 rasa - part 8
3 rasa - part 9
3 rasa - part 10
3 rasa - part 11
3 rasa - part 12
3 rasa - part 13
3 rasa - part 14
3 rasa - part 15
3 rasa - part 16
3 rasa - part 17
3 rasa - part 18
3 rasa - part 19
3 rasa - part 20
3 rasa - part 21
3 rasa - part 22
3 rasa - part 23
3 rasa - part 24
3 rasa - part 25
3 rasa - part 26
3 rasa - part 27
3 rasa - part 28
3 rasa - part 29
3 rasa - part 30
3 rasa - part 31
3 rasa - part 32
3 rasa - part 33
3 rasa - epilog

3 rasa - part 34

5.7K 354 9
By atikabsy

#Baim#

Pembacaan ayat suci Al-Quran sudah selesai dilakukan. Acara selanjutnya adalah khutbah nikah oleh seorang ustadz yang berisi nasihat-nasihat tentang pernikahan. Bukan hanya untuk calon pengantin, tapi nasihat-nasihat ini bisa diperuntukkan bagi pasangan suami istri juga. Kandungannya begitu bagus tentang hak dan kewajiban baik suami maupun istri, begitu pula bagaimana adab-adab memperlakukan pasangan dalam Islam.

Aku duduk di depan pria yang sebentar lagi akan menjadi mertuaku. Beliau terlihat menyimak dengan serius isi khutbah nikah, sementara aku menyimak dengan perasaan gelisah. Bukan hanya gugup akan melangsungkan pernikahan sebentar lagi, tapi karena kilasan kegagalan masa lalu terus membayangiku sejak semalam.

Kuhela napas berulang kali, berusaha menenangkan diri sendiri. Hingga kurasakan sebuah tepukan di bahuku dari belakang dan sebuah bisikan.

"Yang tenang. Everything is gonna be okay."

Tanpa melihat, aku tahu itu Fikri. Bahkan hanya melihat bahasa tubuhku dari belakang saja, dia bisa tahu kalau aku sedang gelisah. He really knows me well.

Tepat setelah bisikan Fikri itu, khutbah nikah berakhir. MC membacakan runtutan acara berikutnya, akad nikah.

Om Yassar menegakkan duduk, mengulurkan tangannya di atas meja yang langsung kusambut. Mikrofon di tangan Azzam yang didekatkan ke arah beliau tiba-tiba beliau jauhkan.

"Ibrahim, sebentar lagi tanggung jawab Sybilla sudah berpindah dari saya ke kamu. Tolong jaga dia sebaik mungkin, kalau bisa sebaik saya menjaganya. Jangan hanya mencintai kelebihannya, tapi terima juga kekurangannya," pesan Om Yassar dengan suara pelan karena memang hanya ditujukan kepadaku, tapi sarat penekanan kalau beliau menaruh harapan besar aku bisa melaksanakan pesannya.

"Insha Allah," jawabku tanpa ragu.

Mikrofon kembali didekatkan pada beliau. Seketika detak jantungku yang sejak tadi sudah berdetak cepat, makin blingsatan di dalam sana.

"Bismillahirrahmanirrahim... Ya Ibrahim Hakam bin Abdul Hakam, uzawwijuka 'ala ma amarollohu min imsakin bima'rufin au tasriihim bi ihsanin, ya Ibrahim Hakam bin Abdul Hakam, ankahtuka wa zawwaj-tuka makhthubataka Sybilla binti Yassar bi mahri khamsamiah alf rupiah haalan."

"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan," ucapku dalam satu tarikan napas. Sybil memang meminta ijab qobul diucapkan dalam bahasa Arab.

"Barakallah," gumam orang-orang di sekitarku.

Doa pun dipanjatkan. Seusainya, aku menandatangani surat-surat yang disodorkan oleh petugas KUA. Sekarang status suami sudah kusandang. Lagi!

Setelahnya, aku menyalami Om Yassar yang sekarang sudah bisa kupanggil Abi. Aneh rasanya. Lalu kusalami Papa yang kemudian memelukku erat.

"Jaga pernikahanmu, Im. Sampai mati," bisik Papa, masih merangkulku.

Kuurai pelukan Papa, berganti menatapnya. "Insha Allah. Doain Baim ya, Pa."

Papa tersenyum lalu mengiringiku menuju tempat Sybil. Berbeda dengan pernikahan sebelumnya, dulu Sofia yang mendatangiku setelah akad. Kali ini aku yang mendatangi Sybil, karena memang tempat untuk tamu laki-laki dan perempuan terpisah. Akad nikah dilakukan di bagian samping gedung, sedang tamu perempuan ditempatkan di dalam gedung.

Begitu sampai di depan pintu masuk gedung, Mama dan Intan menyambutku. Mereka memberi pelukan bergantian sambil mengucap selamat dan memberi doa. Lalu mengiringiku ke tempat dimana Sybil sudah menunggu.

Sybil menggunakan gaun pengantin berwarna putih, tetap tertutup jilbab, lengkap dengan crown di kepalanya. Cantik. Sangat.

Dia tersenyum malu-malu begitu aku berdiri di depannya. Aku hanya bisa tersenyum gemas, menunggu semua prosesi pernikahan ini selesai. Sesuai instruksi dari ibu mertuaku, Umma Sybil, aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Sybil.

Tak bisa kujabarkan bagaimana perasaanku ketika Sybil mencium punggung tanganku. Senang, gugup, haru, rasanya bercampur menjadi satu. Dia sudah sah jadi istriku sekarang. Anehnya masih ada yang mengganjal di hatiku. Sebuah pertanyaan besar. Akan berhasilkah kali ini?

***°°°***

Aku mengikuti Zack berjalan masuk ke rumah. Acara pernikahan sudah selesai jam sepuluh tadi. Syukurlah tak perlu sampai malam karena memang tak ada acara bersalaman dengan para tamu undangan. Seusai acara di gedung, kami langsung pulang, ke rumah Sybil pastinya. Setelah pengambilan beberapa foto di kamar, aku memilih ikut bergabung dengan para laki-laki, keluarga besar Sybil yang masih berada di rumah ini. Sementara Sybil harus berganti baju dan membersihkan rias wajahnya dibantu oleh perias pengantin.

"Kak," panggil Zack sambil mengetuk pintu kamar Sybil. Sebenarnya aku bisa saja masuk sendiri tapi rasanya masih canggung.

"Masuk aja, Zack." Terdengar sahutan Sybil dari dalam kamar.

Zack berbalik menghadapku. "Masuk aja, Bang," katanya lalu beranjak pergi setelah kuucapkan terima kasih.

Aku membuka pintu kamar Sybil, melonggokkan kepala, lalu mengetuk pintu pelan. "Kalo aku boleh masuk?" tanyaku pada Sybil yang menoleh ke arah pintu.

Sybil tersenyum. "Boleh, masuk aja," katanya sembari membereskan sesuatu di meja rias.

Aku masuk, menutup pintu dari dalam, lalu memperhatikan Sybil yang memakai gamis panjang lengkap dengan jilbabnya. Dia sudah jadi istriku, apa masih tidak boleh kulihat selain wajah dan telapak tangannya?

"Kenapa?" tanyanya mungkin merasa diperhatikan.

Aku menggeleng pelan. "Ngga, aku cuma mikir aja, kamu ngga tidur pake jilbab juga kan?"

Sybil tertawa kecil. "Nggalah. Tadi abis dari luar. Karena takut ada cowok luar yang masuk jadi aku pakai jilbab."

Aku mengangguk-angguk mengerti lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. "Koperku mana?"

"Oh, itu di samping lemari," jawab Sybil sambil berjalan ke arah lemari. Aku ikut mendekatinya.

Kuseret koperku keluar dari samping lemari, lalu berjongkok membukanya untuk mengambil pakaian ganti.

"Aku mau mandi, ada handuk ngga?" tanyaku, sudah kembali berdiri dengan pakaian bersih di tangan. Bodohnya aku bisa lupa membawa handuk.

"Ada, bentar." Sybil membuka lemari pakaian, mengeluarkan handuk lalu menyerahkannya padaku yang berdiri di sebelahnya.

"Makasi. Aku mandi dulu, terus sholat sunah ya. Kamu sholat kan?" tanyaku sebelum beranjak ke kamar mandi.

"Hmm, kalo aku ngga sholat gimana?"

Aku mengernyitkan dahi mendengar jawaban Sybil yang berupa pertanyaan. "Oh, ya udah ngga apa-apa. Mau gimana lagi."

Dia malah tersenyum geli. "Sholat kok. Udah sana mandi dulu. Aku siapin alat sholatnya," katanya masih dengan senyuman geli tersisa di bibirnya.

Mau menggodaku ya? Nanti akan kubuat dia tidak bisa tersenyum karena gugup. Lihat saja.

Aku berjalan melewati Sybil, tapi kembali mundur hanya setelah satu langkah.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Ada yang lupa," jawabku.

"Apa?"

"Ini." Aku sedikit membungkuk, mensejajarkan wajah dengan wajah Sybil, mengecup singkat pipinya. Tanpa melihat bagaimana ekspresi wajah Sybil yang mendapat ciuman dadakan, aku berjalan ke kamar mandi sambil mengulum senyum.

Namun, senyumku tak lama. Begitu masuk kamar mandi, senyum itu lenyap. Berganti dengan kilasan lalu pertengkaranku dengan Sofia. Wajah berikut mata sembabnya karena tidak tidur dan menangis semalaman setelah kuminta hakku sebagai suami. Keterpaksaannya dan ekspresi wajah terkejut dengan sorot mata terluka sesaat setelah kuucapkan kata cerai.

Astaghfirullah hal 'adzim. Berkali-kali kuucap istighfar di dalam hati, lalu mengguyur tubuh dengan cepat. Berharap dinginnya air bisa melenyapkan pikiran-pikiran buruk itu.

Sekeluarnya dari kamar mandi, kulihat Sybil sudah duduk di atas sajadah dengan memakai mukenah. Satu sajadah kosong tergelar agak lebih ke depan, yang sudah pasti untukku.

Kumulai takbir pertamaku sebagai seorang imam lagi. Kalau dulu ketika menikah dengan Sofia, aku tak sempat sholat sunah pengantin karena saat itu dia sedang berhalangan. Kali ini rasanya berbeda, aku benar-benar meminta agar pernikahan ini bisa bertahan bukan hanya sampai maut memisahkan tapi hingga jannah-Nya.

Kuulurkan tangan setelah salam, untuk kedua kalinya Sybil mencium tanganku. Setelah berputar, menghadap sepenuhnya pada Sybil, kulafalkan doa di atas puncak kepalanya, yang kemudian kututup dengan kecupan disana.

Kuangkat dagu Sybil agar dia tidak terus menunduk. Senyum malu-malunya muncul ketika mata kami bertatapan. Dia begitu cantik.

"Aku buka ya?" pamitku dengan tangan sudah memegang tali mukenahnya. Begitu dia mengangguk, tak menunggu lama atasan mukenahnya pun kusingkap lepas.

"Cantik," gumamku sambil tersenyum, melihat Sybil tanpa penutup kepala untuk pertama kalinya. Rambut hitamnya yang semula terikat penjepit rambut, seketika terurai begitu kutarik benda plastik itu.

Selama ini aku tak pernah mempermasalahkan perempuan menggunakan pakaian tertutup rapat atau tidak, asal sopan. Bagiku yang penting seorang perempuan itu bisa menjaga kehormatan, tidak pecicilan. Tapi kali ini, aku merasa sangat beruntung. Rasanya Allah begitu sayang padaku dengan memberi pengganti yang lebih baik berkali-kali lipat dibandingkan dengan yang sebelumnya. Padahal kalau menilai diriku sendiri, sama sekali tak layak mendapatkan istri seperti Sybil.

Mungkin ini cara dari Allah agar aku terus memperbaiki diri. Sekarang aku benar-benar bersyukur karena kecantikan istriku, auratnya, hanya untukku. Bukan untuk dinikmati oleh semua orang. Semoga ini awal bagiku untuk membangun bahtera baru dengan lebih baik dari sebelumnya. Yang pasti dengan cinta, bukan dengan keterpaksaan.

***°°°***

#Sybil#

Mataku tertuju pada punggung lebar yang membelakangiku sekarang. Kuperhatikan gerak gerik Baim menggunakan boxernya. Rasanya seperti mimpi. Beberapa jam yang lalu kami masih orang lain, tapi sekarang dia adalah sumber pahala utamaku. Bagaimanapun bagi perempuan yang telah menikah, suami menduduki posisi pertama menggantikan orang tua.

"Jangan ngeliatin aku kayak gitu, nanti aku minta jatah lagi," kata Baim sembari menoleh sekilas padaku, dengan seringaian lebar menghiasi bibirnya.

Aku mendengus geli lalu melemparkan bantal kecil berbentuk hati yang mengenai punggung polosnya, yang malah membuatnya terkekeh. Jatah lagi? Nyeri karena perbuatannya tadi saja belum hilang.

"Mau tidur gini aja?" tanya Baim sudah kembali masuk ke balik selimut, di sebelahku. Yang dia maksud, tidur tanpa mengenakan apa-apa selain underwear lalu bergelung selimut.

Aku menggeleng. "Aku mau ke kamar mandi dulu."

"Abis gitu tetap gini aja ya," pintanya.

Aku tertawa kecil. "Dingin, Im."

"Dipeluk biar ngga dingin. Sini." Dia menarikku pelan agar mendekat. Aku menurut, menyandarkan kepala di dadanya.

"Tidur sambil dipeluk itu cuma keliatan sweet di film, padahal sama sekali bukan posisi yang nyaman," komentarku begitu aku sudah berada dalam rengkuhannya. Hangat, tapi kelamaan bisa buat badan pegal, baik aku apa lagi dia. Sudah pasti tangannya akan kebas karena menahan beban, walau cuma kepala yang membebani.

"Ya udah gini aja dulu. Ke kamar mandinya nanti," dia berujar, semakin mengeratkan pelukannya.

Selanjutnya kami sama-sama diam. Sebuah senyum terulas di bibirku. Aku masih tidak percaya, berada dalam pelukannya dengan status halal. Sudah tak perlu lagi merasa gelisah menunggunya mengirimkan pesan padaku, karena aku terlalu gengsi mengirimkan pesan duluan. Mungkin dia benar, aku terlalu jaim. Tapi sekarang sudah tak perlu lagi. Dia sudah milikku sepenuhnya, begitu pun sebaliknya. Hingga sebuah pikiran terlintas. Aku belum memiliki Baim sepenuhnya sebelum tahu satu hal.

"Im," panggilku.

"Hmm."

Aku mendongak, menatapnya. Dia menunduk, balas menatapku.

"Boleh nanya sesuatu?"

"Apa?" Dia mengernyitkan dahi.

"Tapi jangan marah ya?" pintaku hati-hati yang malah membuat kernyitan dahinya makin dalam.

"Tanya apa? Kenapa harus marah?" Dia bergerak sedikit, memberi jarak agar lebih memudahkan kami saling berhadapan.

"Alasan kamu cerai sama Sofia. Karena apa?" Aku mengucapkan tiap kata dengan hati-hati, terlalu takut menyinggungnya.

Benar saja, ekspresi wajah Baim sontak berubah menjadi tidak senang begitu pertanyaan itu meluncur dari mulutku.

"Maaf," ujarku cepat-cepat. "Aku cuma ngga mau nebak-nebak terus."

Kali ini Baim mengalihkan pandangannya, tak lagi menatapku. Ekspresi wajahnya masih datar. Sama sekali tak bersahabat seperti tadi.

Sebelah tanganku menangkup pipinya, menggerakkan agar dia kembali menatapku. "Kamu bilang suami istri itu pakaian untuk satu sama lain, kan?" kataku begitu matanya sudah kembali fokus padaku.

Meski ekspresinya tetap tak berubah, masih datar. Tak menyurutkan rasa ingin tahuku untuk memperjelas semuanya. Apa sebenarnya yang dia tutupi bahkan dari orang tuanya sendiri.

"Aib kamu jadi aibku sekarang, Im." Aku masih tak menyerah walau Baim hanya diam, tak sedikit pun bibirnya bergerak untuk menjawab pertanyaanku.

"Bukan aibku tapi aib Sofia. Mungkin lebih baik kamu ngga tau." Akhirnya dia bersuara juga setelah aku menatapnya cukup lama, menunggu jawaban.

Aku sedikit terkejut mendengar jawabannya. Sejenak aku hanya diam, menunggu mungkin dia akan kembali memberi penjelasan tapi nihil.

"Oke, fine. Ngga apa-apa kalo kamu lebih milih ngga cerita. Mungkin dia segitu pentingnya sampai-sampai kamu telan sendiri alasan itu," ujarku lalu bergerak hendak menjauh darinya, tapi dia menahan.

"Bukan gitu," kilahnya. Sesaat aku menunggu tapi tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya.

Aku tersenyum miris. "Kamu ngga percaya sama aku. Itu alasannya kamu ngga mau cerita, kan?"

"Dia masa lalu. Bisa kan kamu biarin aku ngga noleh ke belakang lagi?" ujarnya terlihat jelas menahan emosi.

Aneh memang, mengingat apa yang baru kami lakukan sesaat tadi. Apa lagi masih dengan kondisi hanya berbalut selimut begini. Jangan sampai kami bertengkar karena hal yang sudah lewat. Tidak, aku tak bermaksud mencari ribut. Tapi kalau tak dibahas tuntas sekarang, sampai kapanpun masalah ini akan terus menjadi ganjalan di kepalaku. Aku hanya ingin menjalani pernikahan ini tanpa ada ganjalan apa pun.

"Aku janji setelah ini, ngga akan kubiarkan kamu ngeliat ke belakang lagi, Im," ujarku sungguh-sungguh.

Dia menghela napas berat, menarikku kembali ke pelukannya. Aku harus kembali mendongak agar tetap bisa menatapnya, sementara dia membuang pandangan ke arah lain.

"Apa yang barusan kita lakukan, kamu nyaman?" tanyanya membuatku bingung, tapi aku tetap mengangguk sebagai jawaban.

Sejenak dia seperti meneliti wajahku, lalu kembali bicara. "Ngga terpaksa?"

Kali ini aku menggeleng. "Kenapa terpaksa? Itu kewajiban..."

"Cuma karena kewajiban?" potongnya.

Aku diam sebentar, berpikir kemana arah pembicaraan ini. "Karena... Bukan cuma cowok, tapi cewek juga punya kebutuhan. Karena pengen punya keturunan. Apa pun alasannya, yang pasti aku ngga terpaksa," jawabku.

Dia mengangguk. "Dia terpaksa. Dari awal dia terpaksa. Cuma karena harus bukan karena mau, tapi aku tetap nutup mata karena berpikir pasti bisa berubah pelan-pelan. Sampai setahun berjalan, ngga ada yang berubah. Dia istriku tapi aku ngga pernah dilayani dari hati. Kalau urusan selain masalah ranjang, ngga ada yang kurang. Aku jadi merasa seperti sedang melakukan pelecehan..."

"Ssttt...," aku menempelkan jariku ke bibirnya, "udah cukup."

Cukup. Aku tidak tega melihat ekspresi terluka di wajahnya. Sekarang aku tahu, terlalu dalam goresan yang tertinggal.

Dia tersenyum getir. "Tadinya aku takut waktu mau mulai lagi. Mungkin aku trauma. Ngga taulah, apa pun itu. Tapi liat kamu gini, aku tau yang sekarang beda."

Dia mengelus lembut pipiku. "Ngga gampang ngelewatinnya, Bil. Dua tahun lebih, tapi sakitnya tetap ngga berkurang. Perasaanku cuma satu arah, ngga berbalas tapi aku harus rela melepaskan. Bukan cuma dia yang korban perasaan, tapi aku juga. Seenggaknya dia bisa bahagia setelahnya, tapi aku? Sampai akhirnya dapat juga obat buat rasa sakitku. Kamu obatnya."

Aku tersenyum mendengar kata-kata terakhirnya, yang membuatnya ikut tersenyum.

"Aku ngga akan nanya apa-apa lagi. Maaf udah buka luka kamu," ujarku, lalu kembali menenggelamkan wajahnya di dadanya.

Dia tidak merespon apa-apa, hanya memelukku erat.

Aku mendongak, menatapnya lagi. "Oh ya, aku udah bilang belum?"

"Apa?"

"I love you," ucapku dari hati paling dalam. Senyumnya kembali mengembang.

Aku tahu masa lalu tak bisa dihapuskan. Sama seperti lukanya yang tak akan pernah terhapuskan. Mungkin suatu saat sudah tak lagi sakit tapi akan tetap menyisakan bekas. Sampai kapanpun bekas itu akan tetap ada. Tak apa, aku akan berusaha terus menjadi obatnya, agar dia bahkan tak pernah ingat lagi ada yang membekas apalagi pernah ada luka.

***°°°***

Continue Reading

You'll Also Like

810K 13.2K 9
Sudah bs dibeli di toko2 buku online dan Gramedia di penjuru nusantara start 20 Nov 2017. Terima kasih banyak support-nya. Beberapa part dihapus 30 J...
3.3M 177K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
251K 44.7K 47
Apakah kesempurnaan selalu jadi tolak ukur kesuksesan manusia? Tidak bagi Cantika. Seorang mantan finalis ratu sejagad, yang kesulitan menemukan pend...
164K 12.4K 33
-COMPLETED- Chiara adalah seorang gadis biasa, berasal dari keluarga biasa, menjalani kehidupan yang biasa, tetapi memiliki mimpi yang luar biasa. Mi...