Alamanda (dan Sihir yang Beru...

By Nellaneva

210K 32.8K 4.7K

[SUDAH TERBIT DAN TERSEDIA DI TOKO BUKU] Enchanting cover by @fairygraphic [15+] Alamanda Garthran, sang peny... More

Meet the (Lunatic) Casts
Prolog: Tiba-tiba Saja
1: Kebangkitan yang Ala Kadarnya
3: Ini 2017 dan Aku Kebingungan
4: Sihir Sakti Itu Bernama Mobil
5: Abad 21, Modernisasi, dan Sihir Hitam Bernama Teknologi
6: Aku, Dua Ratus Tiga Delapan Tahun Lalu, Ketika Semuanya Masih Baik-Baik Saja
7: (Tidak) Ada Banyak Jalan Menuju London
8: Secuil tentang Dave
9: Desaku yang (Tidak Begitu) Kucinta
10: Ketika Aku Mulai Punya Obsesi Selain Sihir
11: Yang Tidak Kuprediksi dari Dave-Masa-Kini
12: Yang Terjadi pada Dave dan Aku Semakin Kebingungan
13: Ide Gegabah Soal Keabadian adalah Biang Keladinya
14: Aku, Rasmus, Fabian Colger, dan Siapa yang Lebih Gila
15: Interaksi Penyihir Tidak Selalu Berarti Bencana
16: Kegilaan Millenial Takkan Pernah Berkesudahan
17: Penyihir Generasi Z dan Problema Millenial Mereka
18: Bila Bukan Mengenaskan, Ini Kencan Paling Memprihatinkan
19: Ketika Kuharap Mogwa Bisa Lebih Tidak Cerewet
20: Sedikit Titik Terang untuk Sihir yang Berujung Salah
21: Ketika Salah Satu Kegilaan Berbuah Semringah
22: Perebutan Gelar Penyihir Besar dan Gelegar yang Menyertainya
23: Ketika Sihir yang Berujung Salah Justru Berkecambah
24: Seharusnya, Semuanya Akan Baik-Baik Saja
25: Satu-satu Mulai Tersingkap dan Aku Belum Siap
26: Akar dari Sihir yang Berujung Salah
27: Saatnya Mendulang Keping-keping yang Terbuang
28: Rencana Tidak Berjalan Semestinya, Tapi Lebih Baik Begini
29: Sihir Berujung Salah yang Dinanti-nanti
30: Sejenis Resolusi dari Sihir yang Berujung Salah
Epilog: Tiba-tiba Saja, Semuanya Akan Kembali Baik-baik Saja
Semacam Pemungkas
Sudah Gentayangan!

2: Ketika Penyihir Konvensional Bertemu (Calon) Penyihir Millenial

9.1K 1.5K 114
By Nellaneva

Sekarang sudah lewat tengah malam dan aku masih membersihkan diri di kamar mandi. Bayangkan, betapa banyak daki yang bisa kamu kumpulkan setelah dua abad lebih tertimbun di bawah peti berdebu di dalam katakomba lembap. Bayangkan, betapa banyak kotoran yang menumpuk di mata, hidung, telinga, dan celah-celah tersembunyi lainnya. Bayangkan, betapa kamu harus menggosok badanmu kuat-kuat untuk menyingkirkan semuanya, terutama di bagian-bagian terpelosok yang sensitif. Ya, kondisiku semenjijikkan itu. Ketika aku memasuki kamar mandi dan melihat pantulan diriku di cermin, aku sendiri nyaris menjerit. Tidak heran si bocah asing sebegitu ketakutan sewaktu melihatku. Mantra 'Tidur Panjang' jelas tidak akan kugunakan lagi.

Namun, apa boleh buat, harus kuampuni reaksi berlebihan dari si bocah asing karena tanpa dirinya aku takkan bisa membersihkan tubuh dengan menyeluruh seperti sekarang.

Usai sambutan meriah di pemakaman dan meloloskan diri dari raungan mengerikan yang Mogwa sebut sebagai 'sirine mobil polisi', si bocah asing menghentikan langkahnya di depan rumah bertingkat dua berwarna putih pucat. Mogwa langsung meloncati undakan menuju pintu, tampak sudah familiar dengan area ini. Kelihatannya Mogwa sudah mengenal si bocah selama beberapa waktu, tetapi aku teralihkan dari menanyakan hal tersebut. Begitu si bocah membukakan pintu dan memintaku untuk segera masuk, aku terkesiap menyaksikan isi rumahnya.

Perabot-perabotnya terlampau aneh. Semuanya bermotif, berwarna-warni, berbentuk unik, serta sebagian terbuat dari besi atau baja. Dinding rumahnya rapat, rata, dan mulus; tidak berongga seperti umumnya dinding kayu pada jamanku dulu. Kemudian, yang paling meresahkan, pencahayaannya terang. Terlalu terang, malah. Seperti di pinggir jalan setapak di luar sana, kulihat cahaya-cahaya terperangkap di dalam penjara kaca berbentuk bundar atau kotak. Tidak seperti lentera yang berbahan bakar minyak atau lilin, cahaya tersebut seakan muncul dari ketiadaan. Apakah ini bentuk sihir di masa sekarang? Menjawab keherananku, Mogwa yang sudah melompat ke atas kursi berinisiatif menjelaskan, "Cahaya-cahaya itu bernama 'Lampu Bohlam', Alamanda. Dan bukan, mereka bukan sihir."

"Lalu bagaimana mereka bisa muncul?" tanyaku dengan alis mengernyit.

Mogwa membuka mulut mungilnya lebar-lebar, "Dari listrik, fenomena fisika yang melibatkan muatan arus—"

"Kamu punya tempat untuk membersihkan diri?" tanyaku kepada si bocah, memotong ucapan Mogwa. Firasatku mengatakan Mogwa akan memberi kuliah panjang lebar, sehingga lekas kuakhiri sebelum terlambat. Kucing hitam di hadapanku mendengus, tidak suka acap kali ucapannya tidak benar-benar didengarkan olehku. Aku sadar aku ketinggalan banyak hal di dunia dan aku harus mempelajari mereka satu per satu, tetapi sekarang sungguh bukan waktu yang tepat.

Masih mengatur napasnya yang terengah sehabis berlari, bocah asing itu mengangguk dan menunjuk satu pintu di ujung kanan rumahnya. Tanpa mengulur waktu, aku bergegas ke arah sana dan memasuki ruangan (yang juga bercahaya terang) di balik pintu. Kukira aku akan menemukan bak mandi berisi air untuk berendam di dalam ruangan tersebut. Alih-alih, aku mendapati kotak persegi berbahan kaca dengan pipa dan selang besi pada bagian dinding dalamnya.

Bagaimana cara menggunakannya?

Namun masa bodoh, aku tinggal mencobanya karena kulitku sudah sangat gatal. Sebelum kututup pintu kamar mandi, kukatakan kepada si bocah, "Siapkan baju bersih untukku di depan pintu. Hm, siapkan makanan hangat juga. Tanyakan Mogwa apa menu kesukaanku."

Mogwa mendengus lebih keras, tetapi pintu sudah terlanjur kututup. Kini, entah sudah berapa lama, aku masih menikmati guyuran air dari pipa besi yang tergantung pada dinding kamar mandi. Mulanya aku tidak tahu cara menggunakannya. Ada tuas-tuas di bawah pipa itu; tampak rumit, tetapi—setelah aku mencoba memutar serta menariknya—pipa di atasku menumpahkan limpahan air bersih yang sangat sejuk dan menyegarkan. Hal menarik lain adalah ketika kucobai satu per satu botol beraneka warna di dalam kamar mandi. Semuanya berisi cairan kental nan wangi yang ternyata adalah sabun. Lebih praktis daripada sabun batangan, yang merupakan komoditas mewah pada masaku. Jamuan dari si bocah asing boleh juga, pikirku.

Akhirnya, usai beranggapan kondisiku sudah cukup layak, aku menutupi badanku dengan kain putih empuk yang terlipat di atas meja. Lantas kubuka pintu dan, melalui celahnya, kuambil pakaian yang sudah tersedia di luar. Alih-alih gaun tidur seperti yang kuharapkan, aku mendapati pakaian itu berbentuk cukup janggal: celana panjang bermotif garis-garis dan kemeja lengan panjang bermotif serupa. Daripada mengenakan gaun hitam kumal-berdebu milikku lagi, terpaksa kugunakan pakaian yang sudah disediakan oleh si bocah asing.

Sekeluarnya aku dari kamar mandi, kulihat bocah itu sedang berdiri menantiku di tengah ruangan yang—menilai dari jenis perabotnya—merupakan dapur. Di atas meja, ada satu piring berisi potongan-potongan ayam berwarna cokelat muda namun berkulit runcing-kering.

"Apa ini? Di mana ayam panggangku?" protesku.

Mogwa enggan menjawab, sedang sibuk mengunyah salah satu potongan ayam di atas kursi. Si bocah asing berkata dengan mimik muka penuh penyesalan, "Maaf, layanan 24 jam yang tersedia di dekat sini hanya ayam krispi."

Di sela-sela kunyahan, Mogwa akhirnya ambil bicara, "Dua jam, Alamanda. Satu jam lima puluh lima menit lebih lama daripada rekor mandi terlamamu. Aku bahkan sudah menghabiskan tujuh potong ayam."

"Fasilitas mandi jaman sekarang rupanya jauh lebih baik, tidak perlu jauh-jauh ke sungai untuk mengangkut air," ucapku puas, kemudian mengambil tempat duduk di kursi sebelah Mogwa. Kendati ragu, kuambil salah satu potongan ayam sebab cacing-cacing di perutku sudah mengamuk. Kucicipi paha ayam itu dengan sekali gigit dan ... memperoleh sensasi terbaik yang pernah lidahku rasakan (atau mungkin karena efek tidak makan selama dua abad). Tanpa ragu lagi, aku mulai menyantap 'ayam krispi' tersebut dengan lahap. Di tengah kerakusanku, kulihat si bocah asing masih berdiri mengamatiku dengan saksama. Tidak ada pancaran ketakutan lagi pada matanya, melainkan sebuah binar kekaguman yang tidak kupahami. Normalnya, orang-orang akan memandangku jijik setelah menyaksikan selera makanku.

"Apa? Kamu mau berkata sesuatu?" tanyaku kepada si bocah.

"Y-ya!" seru bocah tersebut, mendadak berubah lebih bersemangat daripada sebelumnya. "N-namaku Rasmus! Tolong angkat aku jadi muridmu!"

Kunyahanku mendadak terhenti, hampir saja aku menggigit bagian dalam pipi. Mogwa terkekeh pelan, tanpa sirat kaget sedikitpun. Tidak mempercayai apa yang barusan bocah itu katakan, aku bertanya untuk memastikan, "Apa katamu? Sepertinya kotoran masih memenuhi telingaku sehingga aku jadi salah dengar."

"Jadilah mentor sihirku! Kumohon!" seru si bocah bernama Rasmus dengan suara yang lebih lantang.

Aku menatap Mogwa dengan kebingungan. Kucing hitamku masih terkekeh seenaknya, tampak sudah memprediksikan kejadian ini dan menunggu-nunggu reaksiku hanya untuk menertawakan. Aku pun berpaling lagi kepada si bocah dan menyergah, "Atas dasar apa aku harus menyanggupi permohonanmu? Kamu bahkan bukan penyihir!"

Rasmus mengilah, "A-aku juga penyihir! Sepertimu! Aku adalah keturunan kedelapan puluh sembilan dari garis keluarga Garthran! Kamu adalah leluhurku!"

Mataku membelalak sementara Mogwa mulai tertawa terbahak-bahak. Mengabaikan paha ayamku dengan sangat terpaksa, aku lekas menelisik bocah di hadapanku. Kini, dengan pencahayaan yang berlebihan di dalam ruangan, aku dapat melihat wujud Rasmus dengan lebih jelas. Tidak ada kemiripan fisik sedikitpun di antara kami. Rambutnya merah masai dan lurus, sedangkan rambutku berwarna cokelat dan bergelombang. Kulitnya pucat dengan bintik-bintik merah pada hidung dan pipi. Hidungnya mancung dan agak bengkok, tampak kurang cocok dengan bibirnya yang tipis. Pipinya agak tirus dan garis matanya berbentuk cekung. Iris matanya yang hijau terang sangat kontras dengan iris cokelat mataku.

"Tidak, kita jelas tidak berhubungan darah," ketusku.

Mogwa menimpali di tengah kikikannya, "Ya, seperti yang sudah kubilang beratus-ratus kali, Rasmus. Alamanda ini perawan tua, tidak punya keturunan. Sangat tua, malah. Kalau aku tidak salah hitung, usianya dua ratus lima puluh delapan tahun."

"Diam, Mogwa," ancamku. "Coba kutanya, Rasmus, apa nama belakangmu Garthran?"

"Se ... sebetulnya bukan, sih," cicitnya. "T-tapi nama belakang selalu berganti seiring pernikahan, bukan? Bila ditelusuri, aku masih seorang Garthran. Nenekku yang bilang begitu, tapi aku juga yakin demikian!"

"Kesampingkan dulu bualan bahwa kita sedarah, Bocah. Kamu bahkan tidak bisa menyihir, 'kan?" gertakku.

"Bisa! S-setidaknya ... aku yakin aku akan bisa," ucap Rasmus.

Aku menghela napas amat-sangat panjang (dan lebih melegakan tanpa adanya debu di rongga hidungku). "Kutebak ini alasan kalian berdua sudah saling mengenal, Mogwa?"

Memberi jeda pada tawanya, Mogwa mengangguk, "Asal kamu tahu, Alamanda, aku tiba tiga hari lebih cepat dari jadwal kebangkitanmu karena kamu akan sangat cerewet bila aku terlambat. Namun, coba tebak, si Rasmus ini sudah menunggui katakombamu dan menghadangku setibanya aku di sana. Dia menuduhku sebagai kucing yang bisa bicara, sungguh tidak sopan."

"A-aku sudah tahu banyak tentang kalian! Alamanda dan kucing hitamnya! Alamanda si penyihir terhebat sepanjang masa!" seru Rasmus, nyaris memekik saking antusiasnya.

Uh, aku benar-benar lemah oleh pujian. Kendati demikian, aku kerap berusaha menyadarkan si bocah, "Kamu bukan penyihir, kamu hanya berdelusi."

"Tidak! Asal kamu mengajariku, aku pasti bisa menyihir juga!" Rasmus bersikeras.

"Mogwa, bantu aku," pintaku pada si kucing hitam.

Kumis-kumis putih Mogwa bergerak malas. Kucing hitam itu berdeham sebelum berucap, "Percaya padaku, Nak, kamu tidak akan mau berguru pada penyihir berkepribadian busuk sepertinya."

"Aku bisa mendengarmu, Mogwa," desisku kesal.

"Memang sengaja," tampik Mogwa, terkekeh.

Karena aku tidak bisa menyangkal fakta barusan, aku pun memberi usul, "Beri contoh, hmm ... misalnya benda-silinder-bersinar itu."

Mogwa mendengus singkat, berujar, "Sedikit pencerahan, Rasmus. Sudah kusampaikan ini tadi sore sebelum kita ke pemakaman, kalau kamu lupa. Jaman sekarang, di jaman yang orang-orang sebut sebagai era millenial, kamu tidak membutuhkan sihir. Kamu dan kaummu punya teknologi. Tidak perlulah repot-repot merapal mantra, apalagi bila nantinya berubah jadi ledakan-ledakan mengerikan."

Jawaban Mogwa sebenarnya terdengar brilian sebelum dia mulai menyindirku, tetapi aku berakhir mengangguk-angguk setuju supaya mempermudah masalah ini. Lantas aku meneruskan, "Kuberitahu Anak Muda, nasib penyihir jarang berujung baik. Kami biasanya berakhir dengan dikutuk menjadi kodok atau dibakar oleh warga desa."

"T-tapi kamu tidak begitu. Kubaca di buku-buku tua bahwa kamu berhasil menguasai sihir 'Keabadian'. Kamu bisa hidup selama-lamanya!" kilah Rasmus.

"Untuk harga yang sangat mahal," timpal Mogwa, dan ucapannya spontan membungkamku. Tiba-tiba keherananku terhadap Rasmus melenyap tanpa sisa minat sedikitpun. Tiba-tiba rasa laparku hilang. Tiba-tiba aku ingin tidur tanpa perlu terbangun lagi.

Aku pun beranjak dari kursi dan bertanya kepada Rasmus, "Di mana kamar tidurnya? Aku mau istirahat."

Rasmus tampak kecewa, tetapi aku tidak mau repot-repot mengeluarkan kepedulianku saat ini. Anak laki-laki itu pun menunjuk ke luar ruangan, berucap, "Di ruang paling ujung di lantai atas. Kamar ibuku sebetulnya, tetapi dia tidak akan pulang sampai besok sore."

Tanpa berkomentar, aku lekas meninggalkan Rasmus dan Mogwa. Keluar dari dapur, aku berjalan menyusuri lorong pendek dan hendak menaiki tangga menuju lantai dua. Tidak langsung naik, tetapi berdiam di sana sebentar karena kudengar sayup-sayup celotehan Mogwa merambat sampai ke lorong.

"Sudah kubilang 'kan, tabiatnya buruk," ucap kucing hitamku.

Suara lesu milik Rasmus menyusul setelahnya. "Mengapa kamu menunggui dan mengikutinya, kalau begitu?"

"Tidak ada pilihan lain," jawab Mogwa. "Dia yang telah membuatku seperti ini."

Aku mengembuskan napas panjang. Bukan karena marah ataupun kecewa atas jawaban Mogwa, tetapi karena aku teringat pada sekelibat memori dua abad silam. Memori buruk yang telah mengubahku menjadi entitas jadi-jadian seperti ini. Penyesalan apa pun sudah kepalang kadaluarsa. Semua yang dimulai dengan salah memang akan berujung salah. Mengabaikan godaan untuk menyihir Mogwa jadi kecoak, aku pun mulai menaiki anak tangga menuju kegelapan di atas sana.

Continue Reading

You'll Also Like

541K 60.7K 55
-COMPLETED- High score: #1 in Spy. #1 in Superpower. #1 in Mystery #15 in Sci-Fi Sci-Fi + Fantasy + Minor Romance Claire Harlyn, dia adalah s...
11.3M 764K 54
_Fantasy Romance_ Dyeza Zafriela namanya. Ia tidak tahu dosa apa yang telah ia perbuat hingga harus dihadapkan pada kenyataan pahit yang serasa meng...
1.5M 55.2K 20
Sebagai perempuan modern yang sukses dalam karier, dijodohkan adalah sesuatu yang sangat konyol dalam hidupku. Tapi ketika aku mulai mengenalnya apak...
7.2M 360K 41
⚠️FOLLOW DULU SEBELUM BACA! ⚠️Rawan Typo! ⚠️Mengandung adegan romans✅ ⚠️Ringan tapi bikin naik darah✅ Neandra Adsila gadis cantik yang berasal dari d...