3 RASA

By atikabsy

138K 10.9K 284

Ibrahim Hakam, pria yang harus rela menjadi duda bahkan di usianya yang belum genap memasuki kepala tiga, bel... More

Blurb
3 rasa - prolog
3 rasa - part 1
3 rasa - part 2
3 rasa - part 3
3 rasa - part 4
3 rasa - part 5
3 rasa - part 6
3 rasa - part 7
3 rasa - part 8
3 rasa - part 9
3 rasa - part 10
3 rasa - part 11
3 rasa - part 12
3 rasa - part 13
3 rasa - part 14
3 rasa - part 15
3 rasa - part 16
3 rasa - part 17
3 rasa - part 18
3 rasa - part 19
3 rasa - part 20
3 rasa - part 21
3 rasa - part 22
3 rasa - part 23
3 rasa - part 24
3 rasa - part 25
3 rasa - part 26
3 rasa - part 27
3 rasa - part 29
3 rasa - part 30
3 rasa - part 31
3 rasa - part 32
3 rasa - part 33
3 rasa - part 34
3 rasa - epilog

3 rasa - part 28

2.7K 283 15
By atikabsy

#Baim#

Sudah lewat satu minggu sejak pembicaraanku dengan Sybil waktu itu. Berselang dua hari setelahnya, Kakek Sybil keluar dari rumah sakit. Sedangkan Nina baru keluar tiga hari yang lalu. Bicara soal Nina, aku sudah memberitahunya tentang Sybil. Tidak ada tanda-tanda sakit hati yang terlihat. Syukurlah dia malah mendukungku. Ketika orang tuanya datang, dia malah langsung mengenalkan Irfan. Untung Om Nug tidak sefanatik ayah Sofia tentang tradisi perjodohan antar kerabat. Beliau terlihat begitu welcome pada Irfan. Aku makin bersyukur, setidaknya hubunganku dengan Nina tidak berakhir buruk.

Sedangkan Sybil, sejak kakeknya keluar dari rumah sakit, aku belum bertemu dengannya lagi. Komunikasi kami hanya terhubung melalui ponsel. Lewat chat yang kukirim tiap hari padanya dan sesekali aku menelponnya. Selalu aku yang menghubunginya lebih dulu, tidak pernah dia yang memulai. Berbeda ketika dengan Nina, aku jarang sekali menghubungi Nina lebih dulu. Aku ingat Nina sering protes dan mengatakan kalau aku terlalu cuek juga tidak butuh padanya. Mungkin karena dalam hubunganku dengan Sybil, aku melibatkan perasaan tapi tidak saat dengan Nina.

Aku tidak pernah berniat untuk protes pada Sybil karena dia tidak pernah menghubungiku lebih dulu. Toh aku laki-laki, jadi tidak ada salahnya kalau aku yang memulai. Hanya saja ada perasaan takut yang kurasakan karena dulu saat bersama Sofia, selalu aku juga yang memulai dan ternyata bukan karena dia menungguku tapi karena hatinya masih terpaut pada orang lain. Ternyata kegagalan hubunganku dengan Sofia meninggalkan trauma untukku dan aku baru sadar sekarang.

Kurebahkan tubuhku ke tempat tidur, merasakan sisa-sisa tenagaku setelah futsal sehabis isya tadi. Aku masih rutin futsal dengan teman-teman kantorku dan hari ini ada pertandingan antara tim futsal kantorku dengan tim futsal salah satu teman kostku disini. Aku kenal baik beberapa penghuni kost yang sudah lama tinggal disini sepertiku. Sedangkan untuk penghuni baru biasanya aku hanya sekedar sapa bahkan ada juga yang tidak kenal sama sekali.

Kuraih ponsel di nakas, bukan untuk mengecek apa ada pesan dari Sybil atau tidak karena sudah pasti tidak ada pesan apapun. Kubuka ruang obrolan pada kontak Sybil yang langsung menampilkan chat terakhirku dengannya tadi malam dan sekarang sudah jam sepuluh malam.

Ibrahim : sudah tidur?

Kukirim chat itu pada Sybil. Lalu kupejamkan mata sembari menunggu balasannya. Tak lama ponselku berdenting tanda chat masuk.

Sybil : belum

Sybil : aku kira kamu udah tidur

Kubaca balasan Sybil. Aku tidak pernah bertanya dia sedang apa, sudah makan atau pertanyaan lain yang biasanya ditanyakan oleh pasangan pada umumnya. Menurutku itu pertanyaan tidak penting. Satu-satunya pertanyaan yang masih kuajukan, bertanya sedang dimana, karena tahu keberadaannya lebih penting daripada pertanyaan-pertanyaan yang tidak produktif lainnya.

Ibrahim : belum. Baru pulang futsal..

Ibrahim : aku telp ya?

Baru kali ini aku berhubungan dengan perempuan yang untuk ditelepon saja aku harus ijin dulu. Aku bahkan tidak tahu apa status hubunganku dengannya. Jangankan mau main kerumahnya, diajak bertemu di luar saja dia tidak mau. Alasannya takut jadi omongan orang.

Sybil : oke

Tak membalas chatnya lagi, aku langsung mendial nomor Sybil. Dua kali nada sambung, panggilanku baru dijawab.

"Assalamualaikum," sapanya di seberang sana.

"Waalaikumus salaam. Bentar aku pake headset dulu," kataku yang diiyakan olehnya.

"Kok futsalnya malam?" tanya Sybil begitu headsetku sudah terpasang di telinga.

"Iya emang biasanya malam kok. Kalo weekend kan family time mereka," jelasku.

"Ooh... Terus mandi malam-malam dong?"

"Iyalah Bil, masa aku tidur dengan kondisi badan keringetan. Kan ngga enak. Kenapa memangnya?" Dia bukan hanya mau mengecek aku sudah mandi atau belum kan.

"Ngga apa-apa sih, cuma ngga kebayang dinginnya aja," jawabnya yang membuatku terkekeh. Dia benar-benar persis Sofia, anti dingin.

"Nanti kalo udah nikah ngga perlu takut dingin lagi, udah ada yang peluk," godaku dengan sengaja.

"Apaan sih, Im," protesnya yang makin membuatku tertawa.

"Kan aku bilang nanti Bil, bukan sekarang."

"Ya udah ngga usah diomongin juga. Risih dengernya." Dari nada bicaranya memang terdengar dia tidak nyaman dengan ucapanku tapi malah tidak menghentikan tawaku.

"Kamu lucu ya," cibirku di sela tawa. "Cuma ngomong aja udah risih. Kalo nanti praktek..."

"Baim!" serunya memotong ucapanku. "Bahas yang lain aja."

"Iya, iya." Aku tergelak geli. "Besok aku samperin ke tempat kerja ya?" Sejak batal menikah, Sybil sudah kembali bekerja di tempat praktek Bu Winda, itu yang kutahu darinya.

"Jangan," tolaknya cepat.

"Kenapa sih, Bil? Sebentar aja. Kamu ngga pengen ketemu aku?" tanyaku sedikit mendesak. Bertemu sebentar saja apa salahnya?

"Bukan gitu. Kan aku udah jelasin alasannya, Im." jawabnya.

Aku berdecak sedikit kesal. "Susah banget ya macarin cewek Arab."

"Ya udah cari cewek yang bisa kamu apelin sana. Jangan sama aku," balasnya tak terima.

"Kalo nanti orang tua kamu udah kasi ijin, aku boleh main kesana?" tanyaku lagi, mengabaikan perkataannya.

"Boleh," jawabnya mantap yang membuatku menghembuskan napas lega. "Tapi yang nemuin Abi atau Zack, bukan aku," lanjutnya.

"Sama aja bohong dong," keluhku yang membuat Sybil terkekeh geli. "Kamu ngerjain aku ya?"

Dia tidak langsung menjawab, masih menyelesaikan tawanya. "Nggalah, aku serius. Kamu kan minta ijin buat nikah sama aku bukan buat main kerumah, Im."

"Ya kalo udah diijinin buat nikah, masa main aja ngga boleh?" sanggahku belum puas. Siapa tahu setelah ini dia akan menjawab boleh.

"Ngga apa-apa main kerumah, ketemu aku yang ngga boleh."

"Ya udahlah, aku memang harus banyak sabar ya," timpalku pasrah. "Terus kapan aku bisa ketemu orang tua kamu?"

Sekarang malah aku yang tidak sabar ingin cepat dapat restu. Tidak bisa bertemu karena beda kota seperti saat aku berhubungan dengan Sofia dulu, itu wajar. Tapi kalau satu kota tak boleh bertemu itu namanya siksaan.

Sybil diam sejenak. "Ya... Nanti aku bilang sama Abi," jawabnya terdengar ragu. "Kok aku takut ya, Im."

"Takut kenapa?" Kemarin dia yang menantangku. Kenapa sekarang dia malah takut?

"Kalo Abi ngga setuju gimana?"

"Karena aku duda?" tebakku to the point tanpa memperhalus istilah duda dengan sudah pernah menikah.

"Itu salah satunya," jawabnya jujur.

Salah satunya? Berarti ada alasan lain kan?

"Alasan lainnya?"

Dia tidak menjawab.

"Bil," panggilku karena dia masih diam.

"Karena kamu bukan orang Arab," jawabnya pelan tapi berhasil membuatku tersentak. Kukira halangan terbesar yang akan kuhadapi adalah masalah statusku, ternyata ada masalah yang lebih besar yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya.

"Bukannya kamu bilang ngga semua orang Arab harus nikah sama orang Arab?" Kukembalikan perkataannya dulu. Aku masih ingat betul dia mengatakan seperti itu.

"Iya memang sekarang banyak orang Arab yang nikah sama non Arab. Tapi aku ngga bilang kalo orang tuaku termasuk orang-orang yang seperti itu kan."

Damn it!

Aku menarik napas dalam-dalam untuk mengatur gejolak emosi yang mulai kurasakan. "Kenapa kamu baru bilang sekarang, Bil? Harusnya kamu tolak aku sejak awal kalo memang hubungan ini ngga mungkin," tegasku.

Dia hanya diam tak menjawab. Lalu buat apa dia memintaku menemui orang tuanya kalau dia sendiri tidak yakin aku akan diterima. Harusnya dia langsung menolakku saja.

Aku diam, menunggu jawabannya tapi hingga beberapa saat tidak juga terdengar Sybil bersuara. Aku tidak mengerti apa yang ada dipikirannya. Dia benar-benar terlalu rumit untuk kupahami.

"Bil," panggilku. "Jangan cuma diam, aku butuh jawaban," desakku.

"Iya aku tau."

Sudah cuma itu jawabannya? For God's shake, aku bukan lagi anak kecil. Jangan main-main dengan perasaanku yang sudah retak di tiap bagiannya. Aku tidak mau dipatahkan perempuan lagi. Sudah cukup.

"Aku mau jawaban." Aku kembali bersuara karena sepertinya Sybil akan tetap diam sampai pulsaku habis. "Kasi jawaban besok. Iya atau tidak, aku mau jawaban besok," putusku telak.

Dia masih diam.

"Kamu dengar kan, Bil?" tegurku.

"Iya," jawabnya lirih.

Sudahlah, sepertinya percuma telepon ini terus berlanjut kalau dia cuma diam. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri panggilan teleponku.

"Ya udah aku capek, mau istirahat. Lagian udah malam, kamu juga harus istirahat," tutupku lalu mengucap salam. Dia hanya menjawab salamku tanpa mengatakan hal lainnya.

***°°°***

#Sybil#

Kutatap layar ponselku yang tadinya terang hingga menggelap, kunyalakan lagi hingga menggelap lagi, begitu terus sejak Baim mengirimkan chat padaku seusai dia menutup telepon tadi. Chat yang dia kirim sejak lebih dari satu jam yang lalu, yang hanya kubaca tanpa kubalas. Mungkin sekarang dia sudah tidur nyenyak. Sudah jam duabelas lebih tapi mataku tak mengantuk sama sekali.

Ibrahim : aku beneran nunggu jawaban kamu besok. Kalo besok belum ada kepastian, aku anggap jawabannya berarti tidak

Kubaca lagi chat dari Baim yang isinya tidak akan pernah berubah walau kupelototi sampai mataku keluar sekalipun. Aku tidak tahu harus menjawab apa, karena itu tidak kubalas.

Kemana keberanianku yang begitu besar ketika memberi Baim kesempatan? Keberanian menantangnya untuk bertemu kedua orang tuaku. Giliran dia menyambut tantanganku, nyaliku malah menciut. Aku takut. Terlalu banyak pengandaian yang berputar di kepalaku. Bagaimana kalau Abi marah? Bagaimana kalau Abi menolak? Bagaimana kalau Abi tidak lagi percaya padaku? Tapi di sisi lain, aku merasa berat melepas Baim. Aku menginginkannya.

Andai saja dia Arab, mungkin akan lebih mudah. Seandainya aku bukan Arab, pasti akan lebih mudah. Andai saja, andai saja, terus berandai-andai membuatku makin frustrasi. Baru seminggu hubungan ini tapi perasaanku sudah berakar dalam.

Semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak karena beberapa kali terbangun. Rasanya hanya mataku yang tertutup tapi otakku tetap bekerja. Pagi ini nyaliku makin mengecil ketika aku duduk satu meja dengan Abi dan Umma. Mereka sedang terlibat obrolan yang tidak kusimak sepenuhnya karena aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri.

Sebagian dari dalam diriku sudah berontak keras ingin mengungkapkan apa yang ada di pikiranku sekarang, tapi sebagian lainnya menentang. Suaraku hanya tercekat di tenggorokan karena perdebatan batinku sendiri. Rasa takutku masih terlalu besar dibandingkan dengan nyaliku.

"Bi...." Aku tersentak kaget karena suaraku sendiri yang tiba-tiba saja memanggil Abi. Sungguh aku tak berniat memanggil. Tapi mungkin karena kata itu sudah di ujung lidah namun tertahan rasa takut, tiba-tiba keluar begitu saja tanpa kusadari.

Sekarang Abi dan Umma sudah tidak lagi mengobrol. Mereka menatapku, menunggu apa yang akan kukatakan.

"Ngga apa-apa. Ngga jadi," ujarku cepat-cepat.

"Kenapa, La?" tanya Umma. "Biasanya kalau kayak gini, ada yang mau Ila omongkan tapi takut," tebak Umma.

Yah, aku lupa kalau Umma mengenalku dengan baik. Sekarang sudah tidak ada gunanya lagi mengelak. Sebenarnya sekarang waktu yang sangat tepat bagiku untuk membicarakan tentang Baim, karena Zack dan Firza masih berada di kamar mereka masing-masing. Setidaknya kalau aku mendapat penolakan dan harus dimarahi, tidak harus di depan kedua adikku.

"Ngga kok, ngga ada apa-apa," kilahku.

"Ada apa?" Kali ini Abi yang bersuara. Aku makin tak punya pilihan selain bicara yang sebenarnya atau aku harus cepat mencari topik pengganti yang masuk akal.

"Tapi janji jangan marah ya?" pintaku.

"Kenapa harus marah kalau Ila ndak salah? Sudah ngomong aja," kata Umma dengan lembut, membuat nyaliku sedikit membesar.

Aku menatap Umma dan Abi bergantian, lalu mengalihkan pandanganku ke meja. Sengaja memutus kontak mata dengan mereka, agar aku tak semakin gugup.

"Kalo... ada yang mau... minta Ila, boleh?" tanyaku terputus-putus karena aku harus bicara sambil mengontrol detak jantungku yang suaranya terdengar lebih keras dari pada nada bicaraku sendiri. Kami biasa menggunakan kata "minta" untuk menggantikan kata khitbah atau meminang.

"Siapa? Orang mana?" tanya Umma lagi terdengar penasaran. Nada bicara lembut Umma berhasil membuatku memberanikan diri mengangkat kepala untuk menatap Umma.

"Tinggal di Malang juga." Kuhela napas sejenak. "Namanya Ibrahim," lanjutku dengan suara pelan.

Ekspresi wajah Umma masih tidak menunjukkan tanda-tanda penolakan, malah terlihat antusias walau aku tahu Umma berusaha menutupinya. Aku tahu orang tuaku menyesalkan batalnya pernikahanku walau mereka mendukung ketika aku menolak Fahmi untuk pindah ke Jeddah.

Satu sisi orang tuaku tidak ingin tinggal terlalu jauh denganku tapi di sisi lain juga merasa segala persiapan yang sudah hampir sembilan puluh persen seperti sia-sia. Sebenarnya tidak sia-sia karena begitu aku menolak, Fahmi kemudian menikah dengan sepupu yang lain di hari dan tanggal yang sama seharusnya dia menikah denganku. Tapi bisa terbayang kan bagaimana rasanya persiapan yang sudah diurus untuk anak sendiri malah akhirnya untuk orang lain. Apalagi setelah itu ada yang berniat bertaaruf denganku tapi aku menolak. Bukan karena kecewa pada Fahmi tapi karena memang aku belum cocok. Mungkin penolakan itu membuat orang tuaku berpikir aku masih belum bisa lepas dari rasa kecewa gagalnya pernikahanku.

"Apa famnya?" Umma menanyakan marga dari laki-laki yang kusebut namanya. Mungkin karena kebetulan nama Baim tidak seperti nama orang pribumi, jadi Umma berpikir kalau laki-laki yang kumaksud adalah orang Arab. Karena memang banyak sekali orang Arab yang menggunakan nama Ibrahim. Masih Umma yang terlihat aktif bertanya, sedangkan Abi hanya diam menyimak.

Aku tidak langsung menjawab. Aku harus mempersiapkan diri atas tanggapan kedua orang tuaku setelah ini.

Kugelengkan kepala pelan. "Ngga ada famnya. Dia bukan orang Arab," jawabku dengan suara lebih pelan dari ketika aku menyebut nama Baim tadi. Aku menunduk dalam saking takutnya.

"Ya Allah, Ila!" seru Umma setengah histeris. Sudah kuduga akan seperti ini. Aku bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk melihat seperti apa ekspresi wajah Umma apalagi Abi.

"Kenal dimana? Umma ngga nyangka Ila mau nikah sama lelaki selain Arab." Sudah tidak ada lagi nada bicara lembut Umma, membuat mataku berkaca-kaca. Rasanya ingin aku katakan memangnya kenapa kalau bukan Arab, tapi aku tidak berani. Tapi memang seumur hidupku, sama sekali tidak pernah terlintas kalau aku akan memilih laki-laki non Arab sebagai suami. Walaupun aku tidak mempermasalahkan bila ada yang menikah dengan non Arab, hanya saja sejak dulu aku hanya berpikir kalau aku akan menikah dengan laki-laki Arab juga.

Aku bungkam, tidak berani menjawab. Baru kubilang dia bukan Arab saja, Umma sudah menunjukkan tanda penolakan, apalagi tahu kalau dia sudah pernah menikah sebelumnya.

"Jawab La, kenal dimana?" tanya Umma lagi terdengar menuntut aku memberi jawaban.

Aku menghela napas agar air mataku tidak jatuh. "Dia kakaknya Intan," jawabku masih dengan menunduk.

"Astaghfirullah!" Nada seruan lain meluncur dari mulut Umma. "Jadi dari dulu..."

"Ngga," potongku cepat. Aku mendongak menatap Umma. "Bukan dari dulu, Ma. Ila baru ketemu lagi waktu Jiddi masuk rumah sakit. Dia malah mikir Ila sudah nikah. Tapi waktu dia tau Ila belum nikah, dia nanya boleh ngga kalo mau dekat sama Ila. Jadi Ila tantang berani ngga ngomong sama Abi dan Umma. Dia bilang iya, makanya sekarang Ila nanya ke Abi dan Umma." Aku bahkan tidak tahu darimana keberanianku muncul untuk menjelaskan panjang lebar tentang Baim. Aku hanya tidak mau orang tuaku berpikir aku berhubungan dengan laki-laki lain padahal saat itu aku sudah terikat dengan Fahmi.

Umma tidak mengatakan apa-apa, hanya menatapku dengan ekspresi tidak suka atas apa yang aku katakan. Sangat terlihat dari raut wajahnya kalau hanya penolakan yang akan kudapat.

"Itu tantangan biar dia mundur atau tantangan ngasi kesempatan?" Kali ini Abi yang angkat bicara. Tidak ada nada membentak tapi tidak juga nada lembut. Aku menoleh pada Abi dengan perasaan takut luar biasa.

"Kesempatan," jawabku jujur sambil memandang Abi dengan pandangan mengabur karena air mata.

Abi menghembuskan napas panjang. Terlihat betul dari ekspresi wajahnya kalau Abi sedang menahan diri untuk tidak memarahiku, yang malah membuatku merasa sangat bersalah. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Mau mundur sekarang pun tidak mungkin karena aku sudah mengatakannya.

"Kenapa Ila kasi dia kesempatan?" Tatapan mata Abi yang sedang melihat normal saja sudah terlihat tajam, kali ini semakin tajam.

Aku menelan saliva untuk membasahi tenggorokanku yang terasa kering. "Karena dia baik," jawabku pelan tapi tanpa keraguan. "Dua bulan Ila di sana, dia ngga pernah ngga sopan. Dia juga telaten ngurus adiknya. Bahkan Ila ngga yakin Bang Azzam atau Zack bakal telaten ngurus Ila atau Firza seperti dia," jelasku seapa adanya. Gombalan Baim dulu saat aku baru awal disana tak perlu kukategorikan dia bersikap tidak sopan kan? Aku tahu itu hanya guyonannya karena sejak tahu aku akan menikah, tak ada lagi gombalan itu.

"Apa pekerjaannya?" tanya Abi lagi setelah mendengarkan penjelasanku.

"Dia kerja di perusahaan BUMN," jawabku sembari menyebut nama kantor dimana Baim bekerja.

"Umur?"

"Tiga puluh satu."

"Tiga puluh satu?" Abi membelalakkan matanya kaget. "La, setau Abi jarang orang Jawa yang belum nikah umur segitu. Apalagi kerja di perusahaan yang cukup bonafit. Bahkan kalau dia jadi satpam atau OB pun, Abi yakin dia bisa berumah tangga tanpa nunggu umur tiga puluh lebih. Ila ngga mikir kenapa sampai sekarang dia belum nikah? Gimana cara hidupnya?" sergah Abi.

Kutatap Abi takut-takut. "Dia sudah pernah nikah," jawabku lirih.

"APA!" Umma kembali histeris. "Ya Allah, SYBILLA! Sudah habis stok laki-laki sampai-sampai Ila milih dia?" Umma menatapku tajam. "Umma ndak setuju. TITIK!" putus Umma telak, membuat air mataku menetes. Tapi masih kutahan setengah mati agar tangisku tak pecah di depan kedua orang tuaku.

"Abi kira Ila sudah dapat jawabannya," timpal Abi lalu bangun dari duduknya hendak pergi.

Tak bisa kutahan lagi, air mataku mengalir makin deras. Aku menangis tanpa suara. Harusnya sejak awal aku tahu kalau akan begini akhirnya.

***°°°***

Nulis part ini berasa flashback waktu ngomong ke ortu kalo doi mau khitbah..

Deg-degan dan mata berkaca-kaca saking takutnya 😂😂

Happy reading ^^

Voment please 😘

Continue Reading

You'll Also Like

6.6K 433 12
Ikrar yakin Binar adalah jodohnya, dalam hal itu, tidak ada yang dapat mengubah pendiriannya. "Karena jodohlah maka kita bertemu", katanya. Tapi Bin...
3.3M 28.7K 29
Tentang jayden cowok terkenal dingin dimata semua orang dan sangat mesum ketika hanya berdua dengan kekasihnya syerra.
47.3K 6.2K 40
END Mendapat masalah saat kita menyukai seseorang adalah jalan buntu. Sampai detik ini aku pun tak tahu apakah semua akan berjalan baik-baik saja--se...
1.5M 169K 47
"Kartu Keluarga saya masih banyak yang kosong Rin, cuma berdua dengan Ibu." "Terus?" "Saya mau nulis nama kamu disitu." 😛😛😛 Namaku Karina Putri...