Shine and Shadow (Dark and Li...

By Mandascribes

99.3K 9.9K 1.8K

Sequel of Dark and Light by Mandascribes. ROMANCE - FANTASY - ACTION - ADVENTURE *** Mempertahankan sebuah du... More

Copyright
Prolog
Chapter 1 - Light Asylum
Chapter 2 - Lost Love
Chapter 3 - Rainbow Gateway
Chapter 4 - Is This a Dream?
Chapter 5 - Her True Power
Chapter 6 - Long Awaited Journey
Chapter 7 - Welcome Back, Ziella!
Chapter 8 - The Last Party
Chapter 9 - Claumere's Loss
Chapter 10 - Rising Darkness
Chapter 12 - Briquette Attes
Chapter 13 - The Cave of Emeritus
Chapter 14 - Poseidon Thorne
Chapter 15 - Julius Cain
Chapter 16 - Braxton Keegan
☆彡 INTERMEZZO ☆彡
Chapter 17 - Refreshment
Chapter 18 - Zveon vs. Forest
Chapter 19 - Scattered Hearts
Chapter 20 - Emit
Chapter 21 - The King of Monsters
Chapter 22 - The Engagement
Chapter 23 - Abduction
Chapter 24 - A Sign
Chapter 25 - Homecoming
Chapter 26 - Farewell, Old Friends
Chapter 27 - Void

Chapter 11 - I Shine for You

2.9K 395 76
By Mandascribes

         Balada Monster Merah - I

Kulitmu menyerpih seperti percikan api

Selama kapak perak itu menoreh tubuhmu

Apa kau menatap bara yang memanggang matamu?

Gigi taring itu mengunyah daging lembekmu

dan kau hanya bisa meronta

Apa kau melihat warna darah pada sosoknya?

Tanduk-tanduk hitam itu menghancurkan kerangkamu

Sampai kau bersujud pada kuasa kegelapan

Apa kau menyaksikan kematianmu sendiri?

Monster Merah,

durja Sang Misteri.

Belah nyali serigala,

menjadi kancil yang berlari.

Kisar baskara membina adu domba

urungkan ganjaran abu para peri.

Menunda jamuan siksa, kata masa padanya,

"Sejenak menanti."

dan aku menanti

makhluk neraka mengemuka.

- A. E.

*

Soundtrack: Lala Land - City of Stars

---

Langit Demozre nampak cerah malam itu. Di tengah taburan bintang, bulan purnama membalas tatapanku dengan terik peraknya. Sayup angin sedikit menghantam kaca jendela di hadapanku, ingin merasuk ke dalam kamarku yang gelap. Cahaya oranye berkerlip mengelilingiku bagai senja di atas gelombang air.

Aku meletakkan telapak tanganku pada kaca jendela yang dingin itu. Malam hari di Demozre tidak pernah sesunyi ini. Beberapa kilometer jauhnya, puncak menara Istana Kegelapan tersaji di langit, mengibarkan bendera West yang dipasang setengah tiang. Kastil Sang Raja yang mereka sebut Pangeran Kegelapan. Bangunan kota berjulangan dengan kelap-kelip kehidupan. Ketika aku mengembuskan napas, uap napasku berembun di jendela, mengaburkan bayangan istana itu.

Apa yang sedang dilakukannya sekarang?

Penyihir-vampir berambut biru itu menampakkan diri di benakku. Masih dengan rupa yang selalu kukagumi. Hanya saja, aku tak dapat membayangkan keadaan lain selain ketika ia sedang bersama Noola—di pesta itu, di ruang perawatan Raja, dan di pusara Claumere. Mengapa sesuatu terasa seperti membelit paru-paruku? Kutahu Zveon hanyalah ingin menyambung tali persahabatannya dengan Putri Noola, terutama saat gadis itu sedang sangat berkabung saat ini.

Tahun demi tahun aku mengharapkan kesempatan untuk kembali menjejak tanah Fantasia Cosmo. Aku hanya ingin terlibat dalam misi mendamaikan dunia dengan kekuatan yang kulatih selama ini. Aku memegang teguh keanggotaanku di dalam Fantasy Warrior, dan aku masih merasa memiliki hutang untuk terus berjuang bersama kawan-kawanku. Begitu kuhargai kepercayaan Azelia kepadaku. Kelak, aku sungguh berharap para hellbender dapat mengarungi apa yang aku telah arungi di sini.

Ketika aku memandang kekelaman Istana Kegelapan, hari-hariku bersama Zveon di masa lampau masih terputar jernih di otakku. Salah satunya, ketika ia tengah merawat lukaku, tepat sebelum Anna menggelar sebuah pesta untuk merayakan kemenangan mereka melawan Damagus.

"Aku tidak ingin lagi berdansa dengannya."

"Kakak hanya ingin berdansa dengan Ziella ya?" sahut Stella saat itu.

"Begitulah."

Kemudian Zveon membawaku berdansa di tengah pusaran kunang-kunang dengan melodi musisi yang mengalun khusus untuk kami. Aku berlarian mengejarnya di bawah labirin penuh bintang, hingga kembang api meletup dan menyinari ciuman kami.

Hal yang sama terjadi di Pesta Fancy kami yang terakhir—Pesta Fancy satu-satunya tahun itu. Hanya saja, ia tidak bersamaku. Ia bersama Noola. Sampai berita duka itu menyayat hati belahan timur dunia, meninggalkan Noola dalam lautan pilu hingga Zveon harus selalu berada di sisinya untuk menjaganya agar tidak tenggelam.

Aku berada di tengah Warrior dan dibilas luruhan air mata langit ketika Zveon dan Noola saling berpelukan di samping makam mendiang Raja Claumere. Jubah kelamnya melingkupi tubuh mungil Noola ketika putri itu bertangkup di lehernya, dan hujan sama sekali tak menyentuh Noola—tak menyentuh siapa pun yang Zveon lindungi. Gigiku bergemeletuk ketika kurasa dingin meretakkan bagian yang terkuat dari tulang-tulangku, dan aku hanya bisa menggigil sebelum Forest menghalangi pandanganku.

"Cepat atau lambat, ia harus memiliki permaisuri yang mengantarkan generasi pemerintahannya. Dan ia, aku, atau siapapun juga tidak bisa menjamin keberhasilan hubungan kalian, Ziella. Kau juga tidak."

Aku ingat, Maggie sedikit membantuku berjalan pulang karena kakiku sangat sulit digerakkan saat itu. Alhasil, aku tak menghadiri acara penobatan Pangeran Forest karena Maggie menyuruhku beristirahat sejenak. Sampai malam itu, aku sama sekali tak berbicara dengan Zveon. Aku bahkan tak tahu lagi bagaimana aku bisa berinteraksi dengannya. Ia adalah Raja Dunia Kegelapan. Kupikir, inilah saatnya bagiku untuk menyadari betapa tak berharganya diriku.

Aku menutup kedua tirai jendela yang sedikit transparan, tak ingin menatap istana kegelapan itu lagi. Cahaya jingga mengarak jalanku menuju tempat tidur dengan selimut putih yang siap membalutku dengan mimpi. Akan tetapi, sebelum aku meringsut di atasnya, aku mendengar sebuah suara auman panjang dan menggema. Aku menoleh ke atas atap, mengira-ngira dari mana suara itu berasal. Sang Pyrenix tidak pernah mengeluarkan suara semacam itu; ia selalu berkaok, dan lagi pula, aku tahu ia sudah terlelap di pekarangan kami berjam-jam yang lalu.

Kemudian, sesuatu yang berkeretak terdengar samar. Seketika, aku merasa takut bila ada seorang penyusup yang berniat menyerbu kediaman kami. Namun, itu tidak mungkin, karena aku tahu Maggie telah mengaktifkan keamanan mansion itu dengan lingkupan sihir proteksi yang kuat. Aku membalikkan badan ke arah jendela kamarku lagi dengan siaga. Tirai-tirai transparan bergeming sambil menembuskan sedikit cahaya gemintang malam.

Sebuah bayangan terlihat menyelinap dari bagian luar jendela itu. Ia berdiri diam di depan kaca, terlihat begitu tinggi dan besar. Aku menarik napas dan hampir berteriak, sebelum bayangan itu mengetuk kaca jendelaku tiga kali dan mengeluarkan suara yang amat kukenal.

"Ziella, kumohon buka jendelanya..."

Mataku membelalak ketika aku mendengar suara bisikan lembut itu. Sebelum aku dapat kembali bernapas, bayangan itu kembali berkata.

"Ini aku. Zveon."

Kusingkap tirai itu ke samping. Panorama Demozre ditutupi oleh tubuh seorang pria yang mengenakan jubah hitam malam. Kontur tulang pada wajahnya begitu simetris dan tegas. Telapak tangan kanannya terpampang di permukaan kaca. Kedua netra merahnya mengobar ke arahku. Sementara itu, angin meniupnya dari arah timur, membuat rambut birunya tersibak ke depan, dan jubahnya berkibar beriringan dengan bendera West di istananya. Zveon menatapku dengan wajah memelas. Aku terkejut begitu lama, dan ia masih mengharapkan reaksiku.

Kubuka perlahan jendela itu, dan ia merayap masuk, selangkah-dua langkah dipijaknya lantai kamarku dengan lincah. Jendela itu masih terus terbuka, mengembuskan hawa yang membekukan.

Dan di sanalah ia berada, berdiri di hadapanku, membiarkanku tercenung pada wujudnya. Ia pun merenungiku, tersesat dalam antah berantah di balik warna matanya yang menajam. Kali ini aku menggeligis bukan karena dingin, tetapi karena takut ia takkan melihatku dengan cara yang sama lagi. Aku memaksa diri untuk menstabilkan pernapasanku. Tak ingin ia mengetahui sisi rapuhku.

"Ziella, kuharap kau tidak keberatan bila aku mendatangimu tiba-tiba. Aku hanya merasa bahwa akhir-akhir ini..." Tangan Zveon terangkat untuk meraihku. "akhir-akhir ini kita tak pernah bertemu. Aku merasa, kau menghidar dariku. Aku merasa jauh darimu, Ziella."

"Aku tak memiliki pilihan," bisikku padanya. Zveon mendekat di lingkup sinarku. Aku berpikir, aku tidak pernah berniat menjauhimu. Aku ingin mendekat, namun aku tak bisa melakukannya.

"Aku minta maaf bahwa semua ini harus terjadi saat kau datang..."

"Berhentilah meminta maaf untuk sesuatu yang bukan merupakan kesalahanmu," Aku menatapnya sambil mengangkat alis. "aku di sini untuk merasakan gejolak Fantasia Cosmo bersama kalian, termasuk duka yang kini dirasakan Claumere. Ini ketetapan takdir yang harus kita terima dengan sabar."

"Baiklah, baiklah." Jemari Zveon terkait pada jemariku, sementara ia menarikku mendekat. "Bisakah aku menghabiskan waktu denganmu sekarang?"

Sambil menahan gelenyar sipu, aku menolak untuk melangkah lebih dekat. Aku mengalihkan wajah darinya.

"Entahlah," kataku akhirnya.

Zveon mengerutkan kening heran. "Mengapa?"

"Aku hanya ... tidak. Tidak apa-apa."

Aku menggigit bibir. Figur pria elf bermata hijau zamrud kembali terbersit di benakku. Perkataan Pangeran Forest. Hubungan kami tidak terjamin. Semua karena masa depan West Wing. Semua karena kewajiban besar Zveon. Semua karena seseorang yang lebih pantas untuknya.

"Bagaimana aku dapat mengatakan bahwa aku tak bisa melepaskan diri darimu seberapa kuatnya aku mencoba? Bagaimana aku bisa menjelaskan rasa sakit itu ketika kau mendekap gadis lain di depan mataku? Aku mencintaimu, Zveon. Dan aku hanya ingin kau tahu bahwa cahayaku tetap bersinar untukmu, sekalipun kegelapanmu melebihi kekelaman antariksa yang menenggelamkan pelita para matahari."

Aku menjawab dalam hati sambil menelan rasa pahit di pangkal lidahku. Selama itu, tak sepatah kata pun keluar dari mulutku.

Zveon menyejajarkan wajahnya pada wajahku. Ia menggenggam kedua bahuku dan menekuni ekspresiku sampai aku tak bisa bernapas dengan tenang.

"Ceritakanlah padaku apa yang membuatmu gundah, Ziella. Aku tahu sesuatu mengganggu hatimu. Kumohon ... katakanlah padaku."

Aku menatap kedua manik merah yang bergetar itu. Ia menungguku berucap. Aku menarik napas untuk mengumpulkan kekuatan. "Aku selalu berharap agar kita bisa bersama." Akhirnya aku mengatakan sesuatu. Zveon hanya menaikkan alisnya sambil menyimpulkan senyuman lega.

"Tentu saja kita bisa bersama. Kita tidak akan terpisah lagi. Tidak akan pernah." Zveon mendenguskan tawa pelan. Senyumku sedikit mengandung keraguan.

"Benarkah?"

Zveon memandangku serius. "Itu benar. Aku tak ingin melepaskanmu lagi, Ziella." Kali ini ia benar-benar menarikku kuat, ke dalam rangkulan lengannya sampai wajah kami hanya berjarak beberapa senti. "Aku akan menjagamu hingga detak terakhir quartz pada dadaku. Aku hanya mencintaimu. Dan aku hanya ingin berada di sisimu."

"Zveon..."

Zveon tak memberiku kesempatan bernapas saat ia mencondongkan wajahnya dan mengunci kedua bibir kami. Dingin di sekujur kulitku tak kuhiraukan lagi. Aku memejamkan mata dengan erat, tak ingin membiarkan air mataku menerobos keluar. Zveon makin memperkuat pelukannya di saat aku ingin melepaskan diri, dan aku akhirnya menyerah, menerima seluruh afeksi yang dilampiaskannya.

Bagaimana aku dapat mengatakan bahwa aku tak bisa melepaskan diri darimu seberapa kuatnya aku mencoba?

Bagaimana aku bisa menjelaskan rasa sakit itu ketika kau mendekap gadis lain di depan mataku?

Aku mencintaimu, Zveon.

Dan aku hanya ingin kau tahu bahwa cahayaku tetap bersinar untukmu,

sekalipun kegelapanmu melebihi kekelaman antariksa yang menenggelamkan pelita para matahari.

BRAK!

Zveon melepaskan kecupannya, dan kami berdua menoleh serentak ke arah pintu kamarku yang dibuka mendadak. Seorang wanita hellbender berambut magenta tengah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi enas. Maggie membawa sebuah sapu di tangan kanannya.

"P-pangeran Zveon?" Maggie memekik kalang-kabut. "A-apa yang ... Pangeran lakukan pada Tuan Putri?"

Masih merangkulku, Zveon hanya memandangnya dengan kecut. "We're in the middle of something. Mengapa kau selalu menggangguku?"

"Z-Zveon," Aku melepaskan diri dari pelukannya sambil merasakan gejolak malu di pipiku. Kupaksakan tawa canggung pada Maggie. "ti-tidak Mag, kami tidak melakukan ... umm ... apa-apa. Hahaha."

Namun, Maggie tetap menatap Zveon penuh curiga. Ia menderap maju dengan sebatang sapu yang ia genggam kuat-kuat di tangannya.

"Akan kau apakan sapu itu, Mag?" tanya Zveon dengan heran.

"Pangeran Zveon!" Maggie berdiri di hadapannya sambil sedikit menggeram. Aku khawatir ia benar-benar akan mengayunkan sapu itu ke arahnya. "Maafkan hamba, Yang Mulia, tetapi dengan segala hormat, aku menginginkan Pangeran untuk meninggalkan kamar Tuan Putri sekarang juga."

"Apa?" Zveon menyahut tak percaya.

"M-Maggie ..." Buru-buru aku berada di hadapan Maggie sebelum ia benar-benar akan mengayunkan sapu itu. "T-tenanglah ... Maggie."

Maggie tetap memicingkan matanya. Kamarku kini diterangi dengan binar magentanya yang membara. "Aku tak percaya Yang Mulia berhasil masuk. Lingkup sihir telah lama kuaktifkan. Jebakan ranjau juga telah kupasang di sekitar gerbang. Aku berjaga di depan rumah hingga larut. Mengapa Baginda tetap bisa masuk juga?"

Aku terperangah mendengarnya. Apakah itu berarti Zveon telah mencoba untuk mengunjungiku dengan susah payah?

Zveon hanya mendengus congah. "Aku hanya ingin menemuinya. Mengapa tidak boleh?" Dilihatnya sapu pada genggaman Maggie. "Apa kau akan mengusir seorang pangeran dengan sebatang sapu? Di mana sopan santunmu, Magenta Heather?"

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya, Pangeranku yang terhormat," Magenta tetap memicingkan matanya. "Aku hanya ingin mengusir seorang pria yang menyelinap masuk ke dalam kamar Tuan Putri dan malah mengganggu waktu tidurnya. Aku tetap harus mengusirmu, meski kau seorang pangeran. Aku harap kau mengerti, Yang Mulia."

"Maggie," desahku sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Zveon mengerutkan alisnya dan menatap Maggie kesal. "Baiklah, aku akan pergi. Lain kali biar kuculik saja Tuan Putrimu ini, agar kau tidak mengganggu kami lagi."

Aku menahan rona yang mewarnai seluruh wajahku. Zveon mulai mendaki keluar jendela dan bersiul keras untuk memanggil Orion. Naga raksasa itu datang dari balik atap dan mengaum sampai menggetarkan dinding mansion.

Aku menjulurkan tubuhku keluar jendela. Deru angin akibat kepakan sayap Orion begitu memekakkan telinga, dan aku menyipitkan mata untuk menghidari debu yang berterbangan. Zveon melemparkan senyum lembutnya padaku dan meraih tanganku sebagai sebelum ia pergi.

"Selamat malam. Aku mencintaimu," katanya dengan keras di antara ributnya suara tiupan angin. Aku melemparkan senyumku padanya. Sedikit rasa raguku lenyap, begitu terhibur dengan keberadaannya.

"Aku juga mencintaimu." Suaraku tidak terlalu keras, tetapi aku tahu ia dapat mendengarnya. Zveon mengangguk. Dalam waktu sekejap, ia mengambil kesempatan untuk mendorong tubuhnya ke arahku. Menciumku selama beberapa detik. Lalu meninggalkanku yang merona kemerahan.

Zveon sudah melandas dengan Orion sebelum Maggie melayangkan sapunya dari jendela.

Dan aku terus mengamati bayangannya mengecil dari kejauhan, tak mampu memacu pelan detak quartz di dadaku. Senyum yang ada pada bibirku perlahan menyurut. Mengharap kegelapan itu tidak akan pernah menghilang dari sorotku.

*

*

*

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 97.2K 33
18+ Kayla tidak tahu, bagaimana bisa prolog yang ia baca dengan yang teman-temannya baca dari salah satu web-novel bisa berbeda. Prolog yang Kayla ba...
1.7M 136K 102
Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Thalia mengalami kecelakaa...
152K 10.5K 14
Liviana sangat mencintai Xaverius, mereka sudah menjalin hubungan selama 4 tahun lamanya. Lalu tepat di hari ulang tahunnya Xaverius justru menikahi...
93.5K 9.3K 13
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...