Polaris Fukuoka

By Sinta_Yudisia

1.5K 84 39

Jisei. Omamori. Kematian tragis Isao, membuat Sofia ingin mempelajari kisah hidup rahasia pemuda itu. Nozomi... More

1. Matsu yang Menghilang
FYI
3. Omamori
5. Bonsai dan Engineer

4. Jisei milik Isao

233 11 11
By Sinta_Yudisia



Seseorang yang mendekati kematian, akan punya energi berlipat kali lebih banyak dari mereka yang hidup. Para pasien paliatif membenci tidur, walau tidur merupakan salah satu bagian dari penyembuhan. Bagi pasien-pasien sekarat, waktu tidur adalah saat yang paling dijauhi. Mereka membenci malam. Mereka membenci bulan dan hadirnya bintang. Mereka benci mengapa harus tidur, padahal waktu hidup hanya tersisa sedemikian singkat. Malam mencuri usia. Tidur memangkas kesempatan hidup lebih lama.

Orang-orang sehat menghabiskan waktu dengan tidur, bahkan rela merayakan hari libur dengan berbaring seharian di ranjang sembari mendengarkan musik atau menonton film. Orang-orang sakit bahkan ingin waktu tidur mereka ditukar dengan badan yang sehat dan kemampuan untuk menjalani hari-hari sepenuh vitalitas.

Sofia ingat, mama mudah lelah.

Bila keletihan melampaui batas, beliau tiba-tiba jatuh pingsan di kantor. Atau duduk di sofa, menyandarkan kepala, sementara kesadarannya menguap hilang. Awalnya, nenek menduga mama hanya anemia berat. Seiiring tubuhnya yang semakin menyusut, fungsi tubuh yang merosot jauh; anggota serumah menyadari mama mengidap penyakit yang tak biasa. Anehnya, walau mama sering merasakan keletihan yang tidak sama dengan orang pada umumnya; beliau bekerja keras dua kali lipat. Mencari uang tambahan. Menata rumah dan taman. Mama suka sekali mencoba berbagai menu masakan, terutama makanan yang dipesan Sofia.

Pernah, Sofia ingin blackforest bukan dengan tepung instan yang dijual per kotak di super market. Mama benar-benar memasak blackforest sendiri, termasuk menghiasi dengan pahatan-pahatan coklat yang harus dibentuk secara spesial : mencairkan cokat, menuangkannya di atas lembar plastic khusus, menggulungnya dan menyimpan di lemari pendingin. Saat mengeras, coklat-coklat itu akan berbentuk batangan tipis seperti kulit kambium yang mengering. Sesudah memasak blackforest, mama akan jatuh lunglai dan tidur sejak maghrib hingga lewat tengah malam.

Sofia tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan bersahabat dengan kematian secepat itu.

Nenek masih sehat, tante Nanda juga, mama pun terlihat tangguh. Ia pernah berpikir akan mengajak mama jalan-jalan keliling dunia dengan penghasilannya sendiri suatu saat nanti. Sofia akan merawat mama seperti mama merawat nenek. Satu-satunya perbedaan antara Sofia dan mama adalah, Sofia anak tunggal sementara mama punya adik. Dulu pun, Sofia menyangka hanya tante Nanda satu-satunya adik mama.

Kematian sungguh membingungkan.

Mengapa ia tak menjemput kakek di ujung gang yang jalannya sudah terbungkuk, mengenakan tongkat ketika sholat, bahkan jantungnya telah bolak balik dioperasi? Mengapa kematian tak menjemput anak berandalan di warung kopi depan pasar, yang tubuhnya penuh tatto, sering mengebut di jalan tanpa menggunakan helm? Mengapa kematian tak menyapa selebritis sosialita di televisi yang waktunya habis untuk dugem dan menjalani kehidupan tak sehat? Atau, mengapa kematian tak lebih dulu menyentuh nenek yang usainya duakali lipat dari mama, menyapa tante Nanda yang workacholic?

Mengapa malaikat Izrail memilih mendatangi mama, ketika Sofia tak punya siapa-siapa dan sangat membutuhkan sandaran?

Hari paling gulita adalah ketika mama mengajaknya jalan-jalan suatu sore, makan di restoran dan menonton film horror kesukaan Sofia. Dalam perjalanan pulang yang bahagia, Sofia tertidur di mobil dan tak utuh kesadaran ketika dituntun mama masuk ke kamar. Malam itu, mama terpaksa harus menceritakan kejadian sesungguhnya kepada Sofia, ketika ia terbangun malam hari dan mendapati mama sujud bersimbah airmata di atas sajadah.

Wajah mama demikian cantik dan teduh dalam balutan mukena.

Sofia iri pada hidung mancungnya, pada kulit bersihnya, pada cara mama berbicara yang anggun dan persuasif. Tidak seperti hidungnya yang bulat, pipi jerawatan, cara bicara yang meledak-ledak tak beraturan. Sofia belum sholat Isya, dan mama menungguinya hingga usai sholat.

Awalnya, mama berkisah tentang mawar-mawarnya.

"Padahal sudah disirami pakai air cucian beras, pakai cucian ikan. Tetap aja mati. Kena hama kali ya?"

"Tanahnya kali gak cocok," kata Sofia. "Mama beli mawar dari pegungungan yang dingin, dibawa ke kota yang panas. Ya, mati."

"Kadang, kita sudah menanam dan merawat baik-baik; tahu-tahu mati," kata mama. "Ya, kamu benar. Bisa jadi karena tanahnya nggak subur. Atau kena hama. Atau dimakan tikus."

"He-eh," Sofia menguap, membaringkan kepala di pangkuan mama. Ia suka sekali tertidur dalam posisi demikain, sembari mama menyisir rambut dengan jemari tangan beliau.

"Manusia juga begitu kali ya?" mama mulai memainkan anak rambut Sofia. "Dikasih makan, dirawat kesehatannya, menikmati hiburan pula supaya lahir batin prima; tetap aja bisa sakit. Bisa mati."

"He-em," Sofia menggumam.

"Kucing tetangga sebelah juga mati, Fia," kata mama.

Mata Sofia membuka tiba-tiba.

"Yang kembang telon itu? Yang bulunya lebat? Yang tempo hari mau aku pelihara?" kantuk Sofia tiba-tiba lenyap. Ia duduk. "Mati kenapa?"

"Tetangga sebelah lagi bangun rumah, kan? Tau-tau tukang yang lagi memperbaiki atap menjatuhkan kayu. Si kembang telon kejepit."

"Hiks...hiks," mata Sofia berair tiba-tiba. "Kasihan sekali. Kenapa nggak dititipkan kita aja? Kalau dititipkan disini kan gak mati."

Mama tersenyum ,"itulah. Si Lulu, putri tante Rani juga menangis tersedu-sedu. Bilangnya gitu : coba dititipkan ke kak Sofia. Gak akan mati. Tapi begitulah kematian ya? Mengejutkan. Kita berandai-andai bila begini begitu, pasti nggak akan mati."

Sofia masih tercenung.

Kucing yang manis.

Setiap pagi berjemur di depan saat pemiliknya sedang membuka pagar dan memanaskan mobil serta motor. Matanya bulat, bagian dada dan telapak kakinya berwarna putih hingga ia tampak seperti kucing bersepatu. Tubuhnya pun bulat. Tiap kali Lulu akan berangkat pengajian sore dengan bersepeda, si kembang telon akan mengantarnya, berputar-putar di depan rumah. Sofia berkali-kali mengelus dan menggendong kucing milik Lulu. Tiap kali tukang sayur lewat dan mampir di depan rumah di akhir pekan, mama dan tante Rani akan mengobrol sesaat sembari membeli sayur mayur. Sofia bertegur sapa dengan si kecil Lulu dan si kembang telon akan berada dalam dekapan Sofia beberapa menit.

"Kenapa yang mati bukan kucing garong yang suka mencuri itu sih?" Sofia mengusap mata sedih, membayangkan kucing bertubuh besar yang budukan, sakit kulit, mata sebelah buta dan sering tertangkap mencuri lauk para tetangga masih tetap berkeliaran sehat walafiat.

Membayangkan si kembang telon, tertimpa kayu, duh, sedihnya.

"Kematian memang begitu Sofia, tidak memandang pantas tidak pantas. Banyak orangtua yang masih sehat walafiat di usia 70, 80, bahkan seratus tahun lebih."

"Kayak nenek, ya," Sofia tersenyum lebar sekilas, lalu lunglai lagi mengingat kucing Lulu.

"Ya, Alhamdulillah, nenek diberi usia panjang dan tubuh sehat. Kematian itu tidak mesti berurutan. Harus nenek dulu, mama, tante Nanda, terus kamu. Tapi bisa acak. Bisa tante dulu, bisa mama dulu."

"Ih, Mama. Kok, tiba-tiba bicara kayak gitu sih," Sofia menepiskan tangan.

Ia membaringkan kepala lagi di pangkuan mama. Matanya masih terbuka, kantuk yang tadi mengiringi sholat Isya'nya, sekarang banyak berkurang. Dasar, manusia! Kalau ibadah mengantuk, giliran selesai sholat kuat menonton televisi, baca komik, juga buka gadget.

Mama mengelus tengkuk dan punggung Sofia.

Merunut kisah tentang mawar, kucing kembang telon, dan tubuh mama yang akhir-akhir ini sering lelah di luar batas normal. Tentang kondisi mama yang berada di level ujung atau tahap akhir dari batas kemampuan manusia beradaptasi menghadapi penyakit.

Suara mama jernih.

Tak ada sendat atau takut.

Sama seperti ketika mama meneleponnya bila pulang terlambat. Sama seperti ketika mama sedang tugas di luar dan menanyakan apa oleh-oleh yang diinginkan Sofia. Sama seperti ketika mama tengah berbincang dengan nenek dan tante Nanda. Intonasi yang merdu dan tenang.

Namun seperti cabikan petir di gendang telinga.

Merampas jantung Sofia langsung keluar dari rongga dada.

Mencabut semua unsur oksigen hingga Sofia kehabisan nafas dan merasakan sesak luarbiasa.

Ketika mama berterus terang akan daya tahan tubuhnya yang memburuk sekian lama dan hanya disembunyikan dari putri tunggalnya, Sofia hanya dapat berujar satu kalimat sebelum pergi, lari ke kamar, duduk membeku di pojok belakang pintu.

"Mama jahatt!!"

********


********

Menulis, seakan cara seseorang meraih keberanian menghadapi kematian.

Mama banyak menulis catatan harian enam bulan menjelang kepergiannya. Sebagaimana Isao pun banyak menulis lagu dan syair; sekalipun sebagian merupakan kutipan dari para penyair terdahulu.

tabi ni yande

yume wa kareno o

kakemeguru

~ Basho

Sakit kala perjalanan

Mimpimimpiku, bertualang sepanjang ladang

kokoro kara

yuki utsukushi ya

nishi no kumo

~Issho

Dari lubuk hatiku

Cantiknya salju

Awanawan, berada di barat

Nozomi memberikan pinjaman catatan Isao.

Tentu tidak semua. Hanya beberapa, sebagai bahan renungan Sofia. Siapa tahu, puisi-puisi atau kisah Isao menjadi pemicu ingatan Sofia apakah pemuda itu menitipkan sesuatu.

Sesungguhnya, goresan tangan Isao menimbulkan rasa ingin tahu. Ia pasti memberitahukan sesuatu, apa penyebab kematiannya. Apa pemicu terbesarnya untuk memangkas hidup yang masih banyak berisi impian-impian indah untuk diwujudkan. Sayang, yang diberikan Nozomi bukan catatan harian, tapi coretan puisi-puisi yang tidak sepenuhnya dimengerti Sofia. Benar, ia telah belajar bahasa Jepang sebagai syarat menjadi mahasiswi Joshi Daigaku di Kitakyushu. Tapi ia tak cukup mahir untuk memahami haiku para penyair! Celakanya, justru kalimat-kalimat yang harus dipelajari Sofia adalah jisei – puisi kematian. Orang-orang yang merasa sebentar lagi mati, mereka duduk tenang, menyiapkan kertas dan pena untuk menggoreskan kalimat terakir. Sebelum akirnya nyawa benar-benar terpisah.

Tapi mana jisei Isao?

Ia sepertinya sangat suka mengumpulkan kalimat-kalimat kematian para penyair dan samurai yang hidup berabad lampau. Mungkin, Isao sudah menuliskan jiseinya sendiri yang masih rahasia disimpan Nozomi.

僕たちは さまよいながら

生きてゆく どこまでも

振り返る 道をとざし

歩いてく 永遠に

Boku-tachi wa samayoinagara

Ikite yuku dokomademo

Furikaeru michi o tozashi

Aruiteku eien ni

Ini reffrain Fukai Mori yang sering disenandungkan Isao. Lagu yang mengingatkan selalu pada kematian mama, pun pada perjalanan hidupnya sendiri yang berada dalam kebisuan duka. Sebagaimana bait lagu yang dinyanyikan Do As Infinity, manusia berpetualang menjalani kehidupan hingga akhir dunia. Tak ada jalan kembali ke masa lalu, menengok ke belakang; hanya satu arah lintasan. Terus maju, melangkah, menuju titik tanpa akhir..

永遠 . Eien. Keabadian.

Isao tampaknya tertarik dengan segala simbol yang melambangkan situasi kematian : awan, salju, perjalanan, alam tiada.

Awan. Salju.

Itu simbol bagi rasa dingin yang jernih. Apakah kematian itu dingin? Ataukah dingin yang menyebabkan kematian? Mengapa sebagian besar jisei tidak menceritakan rembulan, matahari, cuaca musim panas yang diselimuti kehangatan? Apakah kematian itu berwarna putih, hitam, keduanya; terasa dingin yang membekukan?

Seperti biasa, bila dirundung kebingungan, Sofia merasa lebih baik mengambil buku catatannya yang berwarna warni. Mengeluarkan spidol warna warni juga. Membuat gambar, coretan, simbol , perumpamaan yang dapat menjadi peta bagi lalu lintas di otaknya yang simpang siur. Tumpang tindih. Ruwet semrawut.

Apa yang dipikirkan seseorang menjelang kematian?

Apa yang ada di benak orang-orang yang tengah sekarat di ruang paliatif?

Apa yang ada di pikiran mereka yang berniat bunuh diri?

Ting. Kling.

Ting. Kliiingng.

Klinting.

Tabung-tabung silinder logam yang menggantung di luar, di langit-langit apartemen tempat menjemur baju beradu. Suaranya tidak gemerisik, namun pasti tertangkap telinga. Dihari-hari biasa hanya sekedar mengingatkan adanya desau angin yang lewat. Di waktu mengingat kematian, ketika silinder logam itu berdenting berkali-kali; bayangan pet cemetery terlintas segera.

Sofia, merasakan degup kencang di dada , mendengar silinder berdenting-denting.

Harusnya tidak takut.

Tidak perlu takut.

Hanya angin.

Angin.

Bukan apa-apa.

Tingg – klintinggg.

Nada dering masuk, sepuluh jemari Sofia mengkerut seketika. Takut dan gemetar, mempersepsikan suara-suara yang baru saja hadir di ruang kesadaran seperti sebuah tanda tanya besar keghaiban.

Gadis itu mencoba tertawa kecil, demi mengatasi kegugupan dan rasa takut yang menyergap.

Bukan saat yang tepat tapi terus terang, panggilan itu lumayan mengalihkan perhatian dari sebagian riuh rendah suara batinnya.

Ia agak takut.

Juga rindu tanah air. Rindu masakan nenek. Ia kangen mama, sangat sangat, dan perasaan itu harus dibunuhnya. Ada seseorang yang mirip betul dengan mama, wajah dan perawakannya, namun tidak dengan kepribadiannya.

"Sombong banget kamu, gak nelpon-nelpon," sembur suara di seberang, setelah berucap salam.

"Sibuk, Tan!" Sofia nyengir juga. Merasakan kelegaan luarbiasa mendapatkan teman mengobrol.

"Sibuk, sibuk," Nanda di seberang mengulang. "Tante kangen, nih. Gak ada yang diajak berantem."

"Berantem sama nenek aja," saran Sofia sok bijak.

"Kurang seru," kata Nanda. "Kamu lagi ngapain?"

"Lagi nerima telpon."

"Itu Tante tau," Nanda tertawa. "Rambutmu sudah seberapa?"

"Ih, rahasia dong! Ngapain kok nanya rambut?"

"Gakpapa. Kan Tante yang suka ngepang rambut kamu dulu. Kujambak-jambak."

Bersama tante Nanda, ada bahasan seru ala cewek yang tidak dapat dilakukan bersama om Hanif. Membahas pakaian dalam, membahas asesoris, membahas tas dan sepatu, membahas kosmetik yang cocok bagi kulit. Membahas creambath rambut mulai dari cara tradisional hingga modern. Meski perempuan masa kini, Sofia banyak dapat pelajaran berharga dari tantenya. Nanda masih suka merawat rambut dengan cara tradisional : memakai kemiri, santan, daun lidah buaya, sampai membuat sendiri minyak klenthik dari saripati kelapa.

Setelah pembicaraan seputar perawatan dari ujung kaki hingga rambut, Sofia menyadari Nanda ingin membahas hal serius.

"Si Anip ada?"

Sofia menahan nafas.

Ada perseteruan berat antara tante Nanda dan om Hanif. Usia om lebih tua bertahun-tahun dari Nanda, tapi tak sekalipun Sofia pernah mendengar tantenya memanggil dengan sebutan mas, abang atau kak.

"Kenapa, Tan?"

"Ada yang ingin Tante bicarakan sih. Tapi ntar aja. Tante ngomong ke kamu dulu ya?"

"Ada apa sih?"

Terdengar helaan nafas panjang di seberang. Suara tuk-tuk-tuk jari mengetuk meja. Satu detik. Dua. Tiga. Empat. Lima.

Kling-ting-kling.

Sofia melirik pintu kamarnya yang sedikit terbuka, membiarkan angin malam masuk menyisip

"Tan?"

"He?"

"Udah ketiduran?"

"Enggak! Lagi mikir."

Sofia dan Nanda bagai kakak beradik saat berkomunikasi. Nanda ingin punya adik, Sofia ingin punya kakak. Lengkaplah kebutuhan mereka untuk saling mengisi, saling berbagi, saling mengintimidasi.

"Tan...?"

"Iya, iya."

"Ini aku bisa ketiduran sambil pegang HP."

"Tante mau nikah," Nanda buru-buru menyela.

"Haaa?"

"Iya, Tante mau nikah."

"Nggak salah nih Tan? Sama siapa? Sama Om yang nggak punya KTP itu?"

"Bukan! Sembarangan kamu!"

"Terus?"

"Ya, tante mau nikah sama orang. Kamu belum kenal dia."

"Siapa sih? Teman facebook? Teman kantor? Ketemu di café?"

"Kamu kayak nenek, deh, interogasinya," Nanda terdengar jengkel. "Ini teman lama Tante. Dulu pernah satu sekolah pas SMA, tapi nggak satu kelas."

"Oooo...CLBK."

Nanda menarik nafas panjang di seberang,"kamu yang bilang sama si Anip ya. Kapan bisa balik ke Indonesia."

"Ha? Kok aku yang ngomong?"

"Tante males ngomong sama dia," Nanda berujar pendek.

"Emang ngapain disuruh ke Indonesia?"

"Dia kan harus jadi walinya Tante."

"Ooo...cieeee. Akhirnya rekonsiliasi juga ya!"

"Nggaaak. Nggak bakal!"

Sofia menahan senyum. Tante Nanda ini, sedang butuh bantuan om Hanif, masih saja pasang tampang sombong. Padahal arusnya ia berbaik-baik dengan si Om.

"Iya deh, aku coba ngomong ke om Hanif. Tapi nanti kalau si om pingin ngomong sendiri, Tante harus mau ya?"

Nanda tidak mengiyakan, tidak juga menolak.

Pembicaraan mereka berakhir kemudian.

Sofia masih harus sok sibuk menerima beberapa pesan.

Sudah kamu baca tulisan Isao? Tanya Nozomi.

"Belum semua," gumam Sofia, berpindah ke pesan lain.

Tanpa sadar bangkit, menggeser pintu kamar menutup.

Seperti ada yang aneh.

Ada pesan lain yang masuk.

Kamu ikut ke yochien enggak? Tapi datang lebih awal ya. Kita sudah minta izin pak Hatachi, tidak ikut kelasnya. Umeko mengajaknya ikut serta.

Aku ikut, Sofia mengetik pesan.

Pesan yang lain masuk.

Kapan kita bisa bertemu?

Ya Tuhan, Sofia lupa pernah berjianji sesuatu pada Tatsuo!

Pesan itu hanya dibaca, tanpa dijawab.

Pintu berdebam. Shoji kamarnya bergetar.

Telapak tangan Sofia berkeringat dingin.

Telepon genggam hampir tergelincir. Matanya tiba-tiba menangkap hal aneh dari shoji kamar. Tabung-tabung silinder logam berdenting. Lembut, pelan. Dingin. Seperti senandung.

永遠 . Eien.

永遠 . Eien.

Mata Sofia terpaku ke satu titik.

Kling-tingg-klingg.

Kemana ofudo yang menggantung di atas shoji?

http://wasoudesign.com/shoji-screen/

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 28.2K 29
Tentang jayden cowok terkenal dingin dimata semua orang dan sangat mesum ketika hanya berdua dengan kekasihnya syerra.
916K 41.7K 49
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
16.1M 529K 30
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
863K 81.1K 21
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...