It's Always Been You [Selesai...

By AludraSa

128K 9.9K 204

[ Completed - 22 Juli 2017 ] Faine Armajaya menghabiskan satu tahun belakangan menjalin hubungan tanpa status... More

Hai!
Blurb
Prolog
Bab 1 - Sebuah Pertemuan
Bab 2 - Tuan Baik Hati
Bab 3 - Kikuk
Bab 4 - Tertampar Kenyataan
Bab 5 - Patah
Bab 6 - Kejutan
Bab 7 - Rayuan
Bab 8 - Sebuah Kegilaan
Bab 10 - Gerak Cepat
Bab 11 - Perlahan
Bab 12 - Tuan Penggoda
Bab 13 - Api
Bab 14 - Penyesalan
Bab 15 - Kekacauan
Giveaway!

Bab 9 - Usaha Tanpa Akhir

4.6K 653 10
By AludraSa

     Kalau saja mencari pekerjaan semudah membalik telapak tangan, Faine pasti sudah melayangkan surat resign-nya pada Steve. Kesabarannya benar-benar diuji. Makin hari kelakuan pria satu itu semakin menjengkelkan. Ada saja hal yang ia kritik.

     "Mas Steve abis nikah jadi rese ya. Mendingan dia ngebujang aja deh, daripada jadi bos monster macam sekarang."

     Faine melirik singkat pada sumber suara. Ucapan barusan berasal dari mulut rekan kerjanya yang baru saja keluar dari ruangan Steve. Seharian ini sudah lebih dari tiga kali gadis itu dipanggil ke sana, dan setelahnya keluar dengan repetan serupa.

     Dari sisi kanannya, Faine bisa mendengar gesekan roda kursi dengan lantai. Tanpa perlu menoleh, Faine tahu Diana yang jadi pelakunya. Temannya itu tanpa permisi masuk ke wilayahnya yang mungil.

     "Gue rasa sebentar lagi anak-anak bakalan bikin tabel 'Jadwal Dimarahin Mas Steve'," bisik Diana begitu kursinya menempel dengan tempat Faine duduk.

     Mau tak mau Faine terkikik. Ia tidak akan heran bila hal yang diucapkan Diana barusan menjadi kenyataan. Steve dan hobi barunya sejak satu minggu yang lalu—marah-marah—memang kelewat meresahkan. Tepatnya, sejak hari Faine mengatakan dengan lantang bahwa ia akan menikah dengan Arbie.

     "Mungkin enggak sih dia kesel karena gue mau nikah?" gumam Faine tanpa sadar.

     "Heh, katanya udah jadi suami orang." Diana menoyor Faine. "Masih ngarep lo ya?"

     "Enggak!" sergah Faine keras. Ia buru-buru merundukkan kepalanya, menghindari tatapan rekan kerjanya yang lain. "Kata siapa gue masih ngarep?" desisnya pada Diana.

     Bola mata Diana memutar malas. "Apa sih yang lo lihat dari Steve—"

     "Sst!" Faine membekap mulut Diana panik. Dipelototinya temannya itu. "Ember banget mulut lo, asli!"

     Diana menepis tangan Faine. Gantian ia yang memelotot. "Make up gue geser jadinya!" sungutnya. Tanpa berucap apa-apa, ia menggeser kursinya kembali ke meja. Dari dalam laci ia mengeluarkan cermin berdiameter lima belas sentimeter. Dipastikannya riasan wajahnya tidak rusak sebelum kembali menjulurkan kepala ke arah Faine.

     "Kata orang, sebelum nikah itu emang banyak setan pengganggunya," ujar Diana.

     "Kayak lo udah pernah nikah aja," gerutu Faine, mengalihkan fokusnya pada layar komputer, menyudahi bisik-bisik tetangganya dengan Diana.

***

     Semenjak bisa dan legal untuk mengendarai kendaraan roda dua, Faine tidak pernah absen menggunakan kendaraan turunan dari Kafin. Meskipun sudah berusia nyaris sepuluh tahun, motor warna hitam yang dikendarai Faine belum pernah mogok. Setidaknya, tidak ketika Faine yang mengendarai.

     Sialnya, sore ini mesin roda dua itu menolak hidup. Alih-alih mengeluarkan suara khasnya, motor Faine hanya mengeluarkan bunyi cegukan tidak jelas, kemudian kembali hening. Berulang kali Faine berusaha menghidupkannya, sebanyak itu pula kendaraan tersebut menolak.

     Mau tidak mau akhirnya Faine menitipkan motor pada penjaga keamanan yang bertugas. Ia kemudian melangkah gontai menuju pintu keluar area kantor. Disusurinya jembatan penyeberangan untuk mencapai tempat pangkalan ojek. Untungnya, masih ada kendaraan yang kosong, sehingga ia bisa langsung pulang ke rumah.

     Faine tiba di tujuan tepat satu menit menjelang jam sembilan. Di depan rumah terparkir kendaraan roda empat milik Kafin. Hal tersebut membuat Faine mengernyitkan kening. Pasalnya kakaknya itu biasanya hanya pulang di akhir pekan.

     "Baru pulang, Fai?"

     Tanpa bisa dicegah, sapaan tersebut membuat Faine menganga. Bukannya Kafin yang menyambutnya, tapi Arbie. Lelaki itu duduk santai di sofa ruang tamu.

     "Kok Mama nggak dengar suara motormu, Fai?" Mama yang duduk di seberang Arbie mengernyitkan kening pada putrinya.

     Faine menghampiri Mama, kemudian mencium punggung tangan wanita itu. "Motor Fai mogok, Ma. Jadi, Fai tinggal di kantor," jelasnya seraya menyandarkan tubuh di sofa. Pandangannya tertuju pada Arbie. "Kok kamu bisa di sini?"

     "Mama yang nyuruh," ucap Mama. "Tadinya mau makan bareng, sekalian sama Fai juga. Taunya kamu pulangnya lama banget."

     "Belum juga jam sembilan, Ma," protes Faine pelan.

     Kafin muncul dari dapur. "Lah, kapan pulang kamu?" tanyanya seraya melangkah mendekat.

     "Barusan. Motornya Fai mogok," kata Mama mendahului Faine. "Kamu teleponin bengkel langganan kamu ya, biar besok bisa diangkut ke sana," perintah Mama.

     Kafin mengangguk paham. Dengan sigap ia mengeluarkan ponsel. Dihubunginya salah satu kenalannya, menyebutkan informasi yang dibutuhkan mengenai lokasi dan jenis kendaraan. Setelahnya, ia menatap Faine.

     "Besok kamu ngantor gimana?"

     Faine mengangkat bahunya cuek. "Ngojek. Atau naik bus."

     "Aku jemput aja."

     Tiga kepala di ruangan tersebut menoleh pada Arbie. Mama yang paling cepat buka suara. "Searah sama kantor kamu?"

     "Iya, Tante," sahut Arbie. "Nanti biar Arbie juga yang nganter pulang." Ia mengalihkan pandangan pada Faine. "Kamu enggak masalah, kan?"

     Faine hendak menolak, namun Kafin menyela lebih cepat. "Lebih aman daripada naik kendaraan umum," katanya. Diliriknya Arbie singkat. "Jangan sampai lecet adek gue ya!"

     Nolak ini aja gue enggak bisa. Gimana mau nolak rencana nikah coba?! sungut Faine dalam hati.

***

     Setelah dua hari merasa tentram karena tidak kena semprot Steve, akhirnya hari ini Faine kebagian juga. Bahkan perkara masuk ruangan tanpa mengetuk pintu juga dipermasalahkan.

     "Edan!" maki Faine sambil menghentakkan kaki kembali ke mejanya. Ia mendesah gusar begitu melihat bahwa penghuni ruangan tersebut hanya tersisa dirinya dan Diana. Temannya itu bahkan asyik menelungkup di atas meja, tidur nyenyak.

     Setidaknya kehadiran Diana sedikit membuat Faine tenang. Meskipun gadis itu mendengkur cukup keras, gangguannya tidak seberapa besar dibandingkan jika Faine harus tinggal berdua saja dengan Steve. Faine tidak tahu apa yang dikerjakan lelaki itu dalam ruangannya. Sepenglihatan Faine, Steve sama sekali tidak terlihat sibuk. Beda dengan dirinya yang harus berulang kali menyesuaikan dokumen, mengerjakan laporan ini-itu, dan berbagai macam hal lain yang harus ia selesaikan malam ini juga.

     Faine melirik sudut kanan atas layar komputernya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan, tapi ia masih terjebak dengan revisi yang diminta oleh Steve. Dengan keganasan jalan Jakarta, Faine tidak mungkin bisa tiba di rumah sebelum pukul sembilan. Jadi, ia mengirimkan pesan singkat pada Mama juga Arbie.

     Betul, Arbie.

     Sudah satu minggu ini lelaki itu bersikeras mengantar-jemput Faine. Padahal motor gadis itu sudah kembali sehat. Dengan bantuan Mama, Arbie berhasil membuat Faine mau tak mau manut saja naik-turun mobil lelaki itu.

     Setelah selesai dengan ponselnya, Faine kembali menekuri layar komputer. Ditulikannya telinga, menghalau suara dengkuran Diana yang mengudara.

     Pekerjaan Faine hari itu akhirnya baru selesai pukul setengah sembilan lewat. Ia nyaris bersorak kegirangan ketika Steve hanya mengangguk singkat saat membaca kertas hasil kerjanya.

     Faine bergegas merapikan barang-barangnya, mematikan komputer, kemudian membangunkan Diana. Ditariknya temannya yang masih setengah sadar itu menuju lift. Dalam hati ia berharap tidak harus menghabiskan waktu selama beberapa detik, terperangkap dalam ruang berbentuk kotak itu bersama dengan Steve—meskipun ada Diana juga.

     Sayangnya, harapan Faine pupus karena Steve muncul tepat ketika pintu lift terbuka.

     "Pulang juga, Mas Steve? Saya kira mau nginep di kantor," celetuk Diana. Matanya yang masih separuh ngantuk langsung membelalak begitu merasakan cubitan di pinggangnya. "Aduh!"

     Faine memelotot, memperingatkan Diana agar tidak berulah. Sayangnya, temannya itu justru melakukan hal sebaliknya.

     "Istrinya apa kabar, Mas?"

     Sisi bagian dalam lift yang berupa logam mengilat memantulkan wajah Steve. Faine bisa melihat lelaki itu justru meliriknya, bukannya Diana, yang melontarkan pertanyaan.

     "Sehat," sahut Steve akhirnya, masih fokus pada Faine.

     Faine mengalihkan pandangannya pada layar di bagian pojok kanan atas. Angka yang tertera menandakan bahwa hanya tersisa empat lantai lagi sebelum akhirnya ia tiba di tujuan, lantai dasar.

     "Calon suami kamu apa kabar, Faine?"

     Ruangan tersebut seketika penuh dengan suara batuk. Bukan Faine yang menjadi sumbernya, melainkan Diana. Mengabaikan Steve yang masih menatapnya, Faine buru-buru menyodorkan botol minumnya pada Diana.

     Denting lift mengalihkan perhatian Faine. Pintu membuka.

     "Botolnya bawa aja, Di. Gue duluan ya." Faine bergegas keluar dari lift. Tungkainya melangkah cepat menuju pintu utama. Jangan nengok ke belakang, jangan nengok, jangan—

     "Aku antar kamu pulang ya." Steve berhasil menahan langkah Faine tepat di depan pintu otomatis. "Kamu enggak bawa motor, kan?"

     "A-aku—"

     "Faine!"

     Kepala Faine menoleh cepat. Sosok Arbie berjarak beberapa meter darinya, muncul dari balik tanaman artifisial berukuran cukup besar. Lelaki itu melangkah ke arahnya dengan wajah tidak terbaca.

     "Udah selesai kerjanya? Mau makan dulu atau langsung pulang?" tanya Arbie begitu tiba di depan Faine. Ia beralih menatap Steve. "Oh, maaf," ia memasang wajah terkejut, "saya enggak sopan. Perkenalkan, saya Arbie, calon suaminya Faine."

- - -

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 36.5K 49
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.4M 70K 69
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
1.4M 134K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
3.4M 36.5K 31
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...