Polaris Fukuoka

By Sinta_Yudisia

1.5K 84 39

Jisei. Omamori. Kematian tragis Isao, membuat Sofia ingin mempelajari kisah hidup rahasia pemuda itu. Nozomi... More

FYI
3. Omamori
4. Jisei milik Isao
5. Bonsai dan Engineer

1. Matsu yang Menghilang

629 38 11
By Sinta_Yudisia



春, haru. Musim semi, tahun kedua.

hitodama

yuku kisan ja

natsu no hara

~Hokusai

Sebuah kartu sederhana yang manis. Dengan guratan puisi yang tak dimengerti. Gadis itu menyimpannya hati-hati, ia masih harus banyak berbenah dan belum sempat memperhatikan surat menyurat yang masuk ke toko. Lengah sedikit saja, pamannya yang lebih kaku dari pohon matsu dan lebih lurus dari take akan menegurnya tanpa ampun.

Fukuoka berseri setiap Maret.

Dunia yang merekah bersama sakura somei yoshino, warna merah muda pucat merajai rimbun pucuk pepohonan. Biru lazuardi langit sebagai latar belakang, cabang-cabang menjulang tanpa daun yang merunduk bersama mahkota bebungaan warna cemerlang.

Ia selalu ingat setiap kali aroma khas ini tiba.

Keindahan yang dingin, senyum-senyum yang terpahat kaku di wajah orang-orang. Rindu dengan wajah-wajah yang dicintainya. Hati ini dipenuhi tumpukan rasa bagai warna warni sakura. Gembira dengan petualangan baru yang menjanjikan terhampar di hadapan mata, sekaligus cemas akan benturan budaya dan tentu saja kesal dengan kerumitan-kerumitan kecil yang harus dipelajari sebagai pendatang.

Di toko, Sofia mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya. Mengatur barang, melap rak, merapikan pesanan yang baru tiba. Ia akan selalu ingat kapan pertama kali tiba di Fukuoka, Kyushu. Sebelum mengerjakan pekerjaan-pekerjaan utama di akhir pekan, seluruh indera seperti kompak menyusun kembali patahan-patahan memori.

Mengapa ia datang kemari.

Mengapa ia memutuskan kemari.

Mengapa ia berani menghadapi semuanya sendiri.

Semua folder ingatannya kadang mencuat seketika, lalu diredam dengan kesadaran bahwa ada saatnya masa lalu sama seperti rahasia yang lebih baik disimpan. Terkunci bagai file yang diberi password rumit. Password dengan kata kunci dengan kategori very very strong hingga ia sendiri lupa apa kombinasinya!

Maka, ketika kelopak mata terbuka uuntuk kembali pada relaita dan menguburkan semua, dunia masih tetaplah sama.

Tangkai-tangkai tertancap di ranting-ranting yang menempel pada cabang-cabang. Dahan ramping menjulur, memayung, membentuk kubah-kubah tempat berteduh. Bersilangan, merapat, merangkai anyaman. Batang-batang kelabu kecoklatan yang basah, hidup, serta berembun. Dedaunan belum bersemi, bahkan tak bertunas. Namun kambium-kambium itu tak menepi sendiri.

Di setiap tangkainya, zakura berkelompok, mengerling genit. Mahkota bunga setipis tissue, secerah mutiara, berhias putik-putik sari kuning serta pangkal mahkota warna merah jambu menggoda. Bergoyang bersama belaian angin musim awal semi.

Momiji!

Sakura.

Musim empat warna. Dunia baru. Sepi yang asing. Hening yang penuh riuh rendah suara di kepala.

Ini aku, desah Sofia.

Inilah musim terbaik di Fukuoka, setiap Maret tiba. Bunga-bunga cherry berwarna pastel yang rimbun di pepohonan membentuk mahkota bertumpuk-tumpuk. Orang-orang akan berduyun mencari tempat terbaik di bawah pohon cherry –sakura- sembari menggelar tikar lipat dan menikmati makanan minuman yang dibawa dari rumah. Taman-taman dipenuhi orang-orang, para kekasih berucap janji.

Pagi hari di akhir pekan, waktu tepat untuk menikmati suasana. Sofia tidak bisa memiliki waktu lebih luang, bila paman memintanya bekerja. Ia hampir saja meledak bagai balon kelebihan nitrogen, terhimpit pipih setipis sashimi. Kalau saja bukan di negeri orang, ia tak akan sepatuh ini pada pamannya. Kalau saja tidak ada hiburan di toko, pasti ia membeku layu setua ibu tiri Rapunzel.

Dalam setiap kesulitan terselip kemudahan, dalam setiap tekanan tercipta kelucuan. Filosofi itu didapatnya saat berkutat kedinginan, beberapa bulan lalu ketika menggigil di depan kaca wastafel apartemen paman. Wajahnya yang kuyu dan pucat tampak lucu dalam kubangan busa pasta gigi. Ia mentertawakan diri sendiri dan sejak saat itu, bertekad, akan selalu mencari cara untuk tertawa meski pamannya lebih menakutkan dari Toyotomi Hideyoshi. Memangnya di Fukuoka ini hanya pamannya satu-satunya sosok yang ditemuinya?

Sofia melirik pergelangan tangan. Sudah jam sembilan lebih sedikit. Bila musim dingin, waktu seperti ini terlalu dini untuk beraktivitas. Tapi di musim semi, jam sembilan lebih sekian belas menit seharusnya mulai dipenuhi kicau orang-orang yang lalu lalang di jalan atau masuk ke tokonya.

Biasanya, ada sosok unik menyambanginya.

Diam. Tegak. Tenang. Seperti matsu di tepian pantai Karatsu. Ia tidak banyak berkata-kata. Hanya mengantar barang, menyerahkan faktur, menyelesaikan urusan keuangan, lalu berlalu begitu saja. Seingat Sofia, sosok itu hanya pernah berkata-kata beberapa patah kalimat. Gadis itu bahkan menyangka ia bisu, tuli, atau keduanya; sampai Sofia mendengarnya bersenandung. Tidak, tidak. Tepatnya menyanyi. Mungkin, ia sendiri tak sadar mengeluarkan suara sebab kedua telinganya tersumbat headset. Sofia mengenal baik lagu yang dinyanyikannya hingga ketika mereka berhadapan di meja kasir, sontak tanpa sadar Sofia pun berucap,

"Fukai mori?"

Untung pemuda itu melepas headsetnya, hingga ia mendengar Sofia berucap. Lalu mereka bertukar sapa. Selanjutnya pertemuan-pertemuan lebih hangat walau tak lebih dari sekedar senyuman, anggukan dan kalimat diskusi singkat.

Sofia bahkan tak tahu namanya, kecuali menyebutnya si-fukai mori. Kepada pamannya, Sofia menyebut si fukai mori telah menyerahkan barang. Fukai mori telah mengambil uang. Fukai mori tidak bisa mengantar barang beberapa pekan sebab harus menyelenggarakan matsuri bersama keluarganya. Fukai mori bisa menyanyi dan fukai mori ternyata makhluk menyenangkan meski lebih banyak membisu.

"Ya, ampun!" paman Sofia takjub. "Sembarangan ganti nama orang. Dia Yamagata Isao."

Sofia menyimpan nama itu dalam hati. Tak berani memanggil pemuda itu dengan nama sebenarnya, sebab mereka memang belum pernah saling bertukar nama! Tak dapat dipungkiri, Sofia ingin mengenalnya lebih jauh. Setidaknya ingin tahu, apakah Yamagata Isao benar-benar namanya. Jangan-jangan paman sok tau dan nama pemuda itu sebenarnya fukai mori. Hahaha.

Sayangnya, beberapa pekan ia tak hadir. Si matsu, fukai mori, atau Yamagata Isao menghilang usai pamit akan menyelenggarakan matsuri. Sofia tenggelam dalam kesibukan, tenggelam dalam studinya dan juga arahan ketat pamannya yang lebih teliti dari perempuan manapun di atas muka bumi. Kadang-kadang, gadis itu berpikir, jangan-jangan ada jiwa yang tertukar tempat. Ia merasa tak mengapa berantakan sedikit (atau bahkan banyak!), namun jangan sampai pamannya melihat pasta bawang putih tercecer di lantai dapur atau wajan datar tidak tersusun sesuai ukuran kecil ke besar. Dinding apartemen mereka bisa jebol mendengar omelan paman!

Hm, lantas kemana si fukai mori?

Sofia tidak terlalu keberatan ia menghilang, sebab sosok unik lain hadir menggantikan. Pemuda yang tak kalah asing dan menyimpan tanda tanya, mengatakan sebagai teman si Isao (jadi benar namanya Isao!) sepanjang ia tidak bekerja. Sofia menerima saja hantaran barang, merapikannya di rak, mencatat barang keluar masuk dan menyerahkan uang penjualan pada si pengganti Isao.

Sofia tak tau lebih banyak tentang Isao, hingga hari ini.

Ketika si pengganti Isao menemuinya dan menanyakan apa Sofia menerima undangan.

"Undangan?" Sofia berkerut kening.

"Ya. Kartu kecil. Dengan puisi jisei di depannya."

Gadis itu masih buta tentang jisei dan berharap dapat mencari maknanya lewat google translate; tapi teman Isao mengingatkan bahwa undangan itu berlaku esok Minggu. Ia pun mengingatkan dengan penekanan, akan menjadi sebuah kehormatan bila Sofia datang. Artinya, bila tidak datang, maka dianggap tidak menghormati alias pengabaian alias penghinaan.

"Aku...aku akan datang," Sofia agak gugup. Insyaallah, ia tambahkan dalam hati. "Tapi, aku tidak tahu dresscodenya. Aku...khawatir salah kostum."

Teman Isao menatapnya aneh selama beberapa detik.

"Kamu punya baju hitam?" tanyanya.

Sofia teringat outer tanpa lengannnya yang berwarna kelam.

"Jadi dresscodenya hitam ya?" Sofia menggumam, mengulang. "Baik. Aku perlu bawa kado atau apa , gitu?"

Pemuda di depannya menarik nafas pelan.

"Maafkan," Sofia menundukkan badan, menghormat. "Aku masih harus banyak belajar."

"Tidak perlu hadiah. Kamu datang saja di alamat yang tertera disitu. Hanya dua stasiun, naik subway."

Larut malam, Sofia tak dapat memicingkan mata membayangkan menghadiri pesta yang ia belum pernah bayangkan. Seumur-umur di Indonesia, pesta ulang tahun yang dihadirinya adalah saat taman kanak-kanak. Ingin bertanya pada paman, tapi lelaki itu telah tertidur pulas. Dengkur halusnya terdengar dari balik sekat pintu.

Jemari Sofia mengetik sebuah kata di mesin laptopnya yang bukan produk Nippon. Beban berat di folder yang berpuluh-puluh, ribuan file musik dan film juga tulisan-tulsian terserak yang masih tersimpan, belum terunggah ke blog. Jaringan internet yang sudah mengantuk ditambah laptop tuanya terlalu banyak beban pikiran, membuat satu kata yang diketikkan bagai mencari jarum di jerami.

Jisei.

Bip-bip-bip.

Death poem?

Kelopak mata yang terasa tebal nan panas, seakan mencuat naik. Menempel di alis. Teringat wajah aneh teman Isao. Dresscode yang harus dikenakannya. O, tidak. Ini musim sakura di musim semi! Haru yang harus dirayakan. Ia tidak ingin merayakan dalam kedukaan. Punggung Sofia seakan dialiri air beku, yang membuat telapak kakinya berjinjit, berusaha menjauhi sifat tanah yang menyimpan suhu. Ia datang jauh-jauh dari Indonesia untuk merayakan kehidupan yang baru. Kehidupan. Bukan kematian. Cukup sekali ia menghadapi kematian di masa lalu dan itu tak akan terulang lagi.

Sofia menatap langit-langit kamar.

Rasanya ia tertidur dengan mata terbuka.

Gurat kayu di langit kamar membentuk raut muka dua orang dengan sangat jelasnya : mama dan Isao.

Ini musim semi yang mulai hangat. Namun Sofia menarik selimut hingga menutupi sekujur tubuh, pipi dan separuh matanya tenggelam. Gigil yang lebih dingin dari musim dingin yang telah lewat.

*******

Ia suka warna hitam.

Bagi seorang gadis, warna hitam terlihat elegan, misterius, dan menyamarkan bentuk tubuh yang sesungguhnya. Rok, blus, celana panjang, scarf, tas, sepatu, didominasi warna hitam. Sofia tak pernah setuju seorang gadis dilambangkan dengan warna pastel : pink atau ungu muda. Warna-warna itu terlihat kekanakan dan menunjukkan kelemahan. Meski berkulit coklat, ia tak pernah ragu mengguunakan warna hitam. Sesungguhnya Sofia tak menolak warna pink, biru atau kuning namun semuanya haruslah mengandung unsur legam. Entah sebagai asesoris atau sebagai padanan utama.

Sofia ingat, ia justru menolak menggunakan gaun hitam di pemakaman mama. Ketika semua orang menggunakan pakaian berkabung, ia justru memilih pakaian putih. Pakaian yang sama dikenakan mama, hingga diturunkan ke liang lahat. Sofia ingin menjadi bagian dari mama, maka ia tidak memilih gaun yang sama dikenakan orang-orang. Nanda, tante Sofia, adik bungsu mama sempat menegurnya namun Sofia tegas menggeleng.

"Orang menggunakan pakaian gelap saat berkabung, Fia."

"Aku sudah berkabung sejak lama, Tante," Sofia mencoba tegar.

Bayang mama yang sakit, bolak-balik radiasi dan kemoterapi, samar mengendap di kenangan. Yang teringat jelas adalah : senja itu, hujan rintik, ia berdiri di taman belakang rumah. Mawar-mawar mama masih tetap berkembang sekalipun si empunya telah pergi menjauh, sangat jauh hingga tak terlihat mata, tak tercium indera. Mawar-mawar mama beraneka rupa, mulai yang berukuran telapak tangan hingga yang mungil sebesar uang logam. Mama gemar mengoleksi mawar yang unik : yang berwarna kehijauan hingga yang kehitaman. Beliau rajin merawatnya, mulai memangkas daun-daun dan dahan kering, hingga memotong bunga yang telah mekar agar tanaman tetap subur. Tidak itu saja, mama rajin menyirami mawar-mawarnya dengan air bekas cucian beras atau cucian ikan. Tak heran, tanaman mama sengaja di letakkan di kebun belakang, dekat dapur, agar lebih mudah disirami.

Sofia tidak terlalu suka bunga.

Baginya, lebih baik, memelihara kucing daripada merawat tanaman yang butuh berkali-kali perawatan.

Seiiring kepergian mama, mawar-mawar itupun layu, gugur, enggan berbunga. Yang tersisa adalah dedaunan yang menolak untuk berputik, bahkan tumbuh merambat menjadi pohon mawar yang panjang, melilit tiang jemuran. Ketika Nanda berniat membuang bunga-bunga itu, Sofia mencegah.

"Jangan, Tante! Itu tanaman Mama!"

"Tante sudah nggak bisa merawatnya. Kamu juga nggak telaten, kan?"

"Tapi biarkan saja, buat kenang-kenangan."

"Jadi rimbun begini di kebun belakang, rungsep, Fia. Lagipula apa gunanya mawar kalau nggak berbunga?"

Sofia terdiam.

Pada akhirnya ia mengalah ketika Nanda membuang pot-pot yang terguling, sebagian batangnya mati dimakan tikus. Sebagian batangnya kuning dan membusuk. Hanya mawar yang tumbuh membesar dan merambat itu, Sofia memohon agar dibiarkan saja.

"Ya, yang satu itu Tante biarkan," kata Nanda. "Tapi kalau kamu pulang dari Jepun nanti, Tante nggak bisa pastikan apa tanaman itu masih ada. Mungkin mati, mungkin dimakan tikus. Mungkin juga Tante buang karena lebih banyak ruginya."

Mawar-mawar di kebun belakang rumah mereka, layu dan mati setelah pemiliknya pergi. Apa begitu juga tanaman-tanaman Yamagata Isao?

Sofia mengenakan pakaian terbaiknya yang berwarna kelam, demi memenuhi undangan keluargaYamagata.

Rumah pemuda itu sebagaimana rumah-rumah Jepang pada umumnya, membujur dari utara ke selatan, dengan ruang utama menghadap ke arah selatan. Biasanya, pemandangan yang terhampar dari ruang utama adalah gunung atau air; bila tidak, maka yang menjadi pemukau pandangan adalah taman. Air merupakan elemen utama, andai tidak ada air, pasir putih sebagai pengganti.

Sofia mengamati area taman di rumah Isao.

Roji, taman yang menghubungkan dengan bangunan chashitsu yang biasa digunakan sebagai upacara minum teh tertata demikian tepat sempurna baik pemilihan tanaman dan pelengkap taman, hingga variasi bentuk tumbuhan. Roji memiliki elemen utama machiai, tempat tamu menunggu sebelum dipersilakan masuk. Tsukubai, berupa basin berisi air tempat tamu membasuh tangan dan mencuci mulut; lentera dan batu sebagai jalan setapak. Sebelum masuk, Sofia mencuci tangan dan mengambil sedikit air dari gayung batok untuk mencuci mulut.

Umumnya, hanya tumbuhan hijau yang diperkenankan tumbuh seperti lumut, pakis dan pepohonan yang rimbun sepanjang tahun. Tanaman berbunga mencolok tidak diperkenankan, mengingat tujuan upacara minum teh adalah sebagai langkah menuju meditasi. Warna warni meriah hanya akan mengalihkan perhatian dari pikiran yang tenang.

Meski demikian, Sofia menemukan pohon hibai ume di pelataran. Jika musim dingin, bunga-bunga mungil berwarna merah akan merekah di dahan.

Menunggu di machiai, memberikan para tamu kesempatan untuk merenung sebelum hadir di upacara minum teh. Menikmati keindahan roji dan suara udara yang mendesah pelan, Sofia merasa tersingkir jauh seperti ketika ia berdiri di ujung keranda mama. Mata gadis itu tertumpu pada sudut taman yang tak biasanya. Tanpa sadar tubuhnya bergerak kesana, menunggu tuan rumah mempersilakan masuk.

Sofia menunduk.

Bonsai-bonsai ini terliat murung, merunduk, patuh pada perintah. Batang-batang kokoh mereka tertahan kawat-kawat baja, tertancap ke tanah, diberikan pemberat batu-batu cadas yang menahan laju pertumbuhan. Beberapa tanaman mulai memperlihatkan putik bunga.

"Dia suka bonsai."

Sofia terdiam, mengamati lebih dalam akar-akar kokoh yang keluar dari permukaan tanah, menjulur dan berkelindan satu sama lain. Dedaunannya rimbun dan hijau, meski tak akan bisa menjulang tinggi. Bukankah seharusnya pepohonan besar menjulang ke langit, daunnya rimbun menaungi, akarnya teguh menancap bumi dan buahnya memberikan hasil? Kehadirannya menjadikan tonggak penopang. Tidak seperti bonsai ini yang indah dipandang, namun tak bisa memberikan keteduhan.

"Dia suka bonsai," suara itu terulang lagi, membuat Sofia menolehkan kepala. Matanya menyipit, tidak mengenali.

"Kamu...?"

"Yang kemarin mengingatkanmu tentang acara ini, di toko pamanmu."

"Oh," Sofia mengangguk.

Kemarin rambutnya ikal panjang melewati bahu, sekarang terikat rapi di belakang. Mengingatkannya pada toko Batusai, Himmura Kenshin.

"Aku tidak tahu harus berbuat apa," jujur Sofia berkata.

"Kamu datang, itu sudah satu kehormatan. Selanjutnya tinggal menunggu arahan tuan rumah."

"Aku belum pernah hadir acara upacara minum teh," Sofia melanjutkan.

Pemuda itu tidak menyahut, sebaliknya memberikan isyarat kepada Sofia untuk menghormati kedatangan seseorang.

"Tatsuo," gadis itu menunggukkan badan, memanggil nama pemuda di sisi Sofia. "Terimakasih sudah datang."

Saat gadisyang baru tiba itu menunduk, Sofia dapat melihat rambut halus berkilau hitam yang disanggul tinggi, memperlihatkan leher jenjang putih. Tubuh rampingnya terbalut kimono hitam berbunga kuning mencolok. Hidungnya runcing, dengan bibir segar berwarna buah cherry. Matanya bersinar seperti bintang.

Gadis itu menatap Sofia dan tersenyum, menundukkan badan sebagai tanda hormat. Sofia pun membalas dengan gaya serupa.

"Ini Sofia, yang sering menerima barang-barang Isao," jelas Tatsuo, pemuda itu.

"Ya, aku yang mengantarkan undangan itu sendiri."

"Maaf, aku belum tahu namamu," Sofia menjulurkan tangan. "Aku turut berduka cita atas kematian Yamagata Isao."

Jujur, Sofia bahkan merasakan duka citanya hambar.

Ia dapat melihat wajah gadis itu berubah-ubah dari pucat, merah, pias, lalu berkabung. Sama seperti dirinya dulu yang demikian hancur ditinggalkan mama; namun harus tersenyum ketika orang-orang melawat dan memberikan uang duka. Sabar, tabah, tetap kuat, jangan menangis, pantang menyerah. Sederet kata-kata motivasi seperti racun di telinga.

Sofia tahu rasanya kehilangan. Dan ia benci orang yang berpura-pura sedih ketika hadir di makam mama; tapi bolak balik melihat jam tangan. Seolah takziah telah menghabiskan waktunya sedemikian rupa.

"Tatsuo?" Sofia memanggil nama pemuda yang belum lama dikenalnya itu, ia menaikkan alis tanda mempertanyakan beberapa hal.

"Ohya," Tatsuo mengangguk pelan. "Ini Yamagata Nozomi, adik Isao."

Kali ini Sofia membungkuk dalam.

"Tidak banyak teman-teman Isao yang datang," kata Nozomi. Bahasa Inggrisnya cukup fasih untuk dapat dimengerti Sofia. Jelas ia gadis berpendidikan, seperti Isao. "Aku sengaja mengundang teman-teman Isao atas insiatifku sendiri."

Aku bukan teman Isao, Sofia berkata dalam hati.

"Isao tidak punya banyak teman," Nozomi seakan mendengar percakapan hati Sofia dan meliriknya. "Aku juga tidak tahu siapa saja temannya. Maka aku mengundang beberapa orang yang ada di kontak teleponnya. Atau yang tertulis di kertas di dinding kamarnya."

Tatsuo mengangguk. Sofia juga mengangguk.

"Terimakasih sudah mengundang, nona Yamagata."

"Panggil namaku Nozomi. So-fi-ya, benar? Isao beberapa kali menyebutkan nama dirimu."

Sofia tersenyum, tak menyangka pertemuan singkat mereka membuat Isao mengingatnya dan menyebutkan namanya di depan saudara perempuan Isao.

"Aku harus segera masuk ke chashitsu dan menyiapkan upacara. Kalian akan hadir bersama tamu yang lain."

Nozomi pamit undur diri.

"Tatsuo, terimakasih sudah membawaku kemari," Sofia berujar pelan.

"Nozomi yang mengundangmu," Tatsuo mengingatkan.

"Ya, maksudku, aku hadir karena doronganmu."

"Kamu nggak berniat hadir di acara ini?" Tatsuo mengerutkan kening.

"Bukan begitu," Sofia menggeleng. "Aku...hanya belum terbiasa dengan chanoyu."

"Chanoyu, upacara minum teh, tidak sesulit yang kamu kira. Putar mangkuk keramiknya, hirup teh hijaunya dan makan wagasi," Tatsuo mengedipkan mata, tersenyum ramah.

Sofia tampak gugup.

Mengangguk dan angkat bahu kemudian.

"Aku nggak pernah tahu upacara minum teh untuk memperingati kematian seseorang, Tatsuo. Setahuku, upacara ini untuk merayakan pergantian musim."

Tatsuo terdiam.

Sejurus kemudian ia bergumam, "aku juga tidak tahu mengapa Nozomi memintaku datang."

******

Malam musim semi berhias titik samar gemintang.

Tidak terlalu terlihat jelas, sebab benderang lampu suppa dan apartemen mengalahkan kerlip mata bidadari di beludru malam. Suara kendaraan para pekerja samar di kejauhan. Sofia mempersiapkan bahan kuliah esok hari namun matanya tak dapat berkonsentrasi pada pekerjaan.

Paman tadi tidak berbicara apa-apa ketika melihat Sofia pulang gontai.

"Kamu nggak lupa mengunci toko dan mengecek barang-barang?"

Seolah-olah bahan perbincangan mereka dari waktu ke waktu adalah toko.

Di kamar, Sofia tak dapat melupakan pertemuannya dengan keluarga Yamagata. Dengan Nozomi. Dengan Tatsuo juga.

Upacara chanoyu itu berlangsung khidmat, di ruang dengan tatami berukuran 4.5. Sebelum masuk ruang perayaan minum teh, mereka berjalan merangkak melewati pintu, dengan kedua belah tangan mengepal sebagai tumpuan sebelum mengayunkan tubuh masuk. Nozomi menyajikan teh. Menghantarkan satu demi satu mangkuk keramik dengan lukisan tertentu ke hadapan para tamu. Sofia hanya perlu memutarnya dengan kedua telapak tangan, meminumnya hingga habis, dan mengembalikan mangkok itu ke tempatnya dengan memutarnya sekali lagi.

Nozomi ada disana, menyambut tamu-tamu.

Wajah cantiknya tidak kehilangan seri, tetap tersenyum ramah.

Usai rangkaian minum teh yang panjang dan demikian sunyi, waktu merayap dalam dinding dimensi. Hati bertanya kapankah segalanya usai. Bukan tidak ingin menghadiri upacara ini namun bayang wajah Isao, dendang fukai mori dan bonsai-bomnsai bermain di kepala.

Mereka dijamu makan siang kemudian.

Tuan rumah menyampaikan terimakasih, menjelaskan bahwa putra mereka telah diperabukan dan siap diantarkan ke kuil. Acara bincang-bincang usai makan siang itu, yang lebih ditunggu Sofia. Ia tidak terlalu mengerti percakapan orang-orang dalam bahasa Jepang. Telinganya masih terbiasa menerima dengan cepat perbincangan sinetron Indonesia. Sebelum semuanya berakhir, Sofia ingin memberikan sesuatu kepada Nozomi.

Ia menunggu di samping bonsai-bonsai.

Di seberang taman, di bawah pohon ume, Tatsuo terlihat berbincang bersama beberapa pemuda. Rambut mereka warna warni ala harajuku, dengan telinga bertindik. Gerak tubuh mereka terlihat layu, wajah-wajah dingin yang menyimpan sejuta tanya.

Sofia mengamati dalam diam, sembari matanya tertuju bergantian ke arah bonsai-bonsai. Ia tidak tau berapa lama memperhatikan para pemuda itu ketika tanpasa sadar Nozomi telah berdiri di sisinya.

"Teman-teman Isao," gumamnya pelan.

Sofia tidak menangkap suara pelan Nozomi, "excuse me?"

"Isao's best friends."

"Aku tidak melihatnya diundang di acara minum teh."

"Memang tidak diundang," jelas Nozomi. "Orangtuaku akan marah besar tatami mereka diduduki anak-anak seperti itu."

"Padahal, mengundang mereka adalah kehormatan bagi Isao," Sofia berpendapat. Menatap Tatsuo dan teman-teman percakapannya dengan tajam.

Nozomi gadis yang ramah. Ia tidak memperlihatkan kelelahan dan kesedihan meski kematian Isao telah membuat hari-harinya berubah. Sofia bahkan belum sempat menanyakan kapan Isao meninggal, karena sakit apa, bagaimana diketemukannya. Wajah ayah Isao terlihat tegar, namun wajah ibu Isao bagai terpenjara dalam dinding-dinding kuil. Ia selalu di samping suaminya, dengan wajah yang melayangkan pandangan jauh ke arah roji, tanpa tertuju ke titik manapun.

Saat berpisah, Sofia mengulurkan sebuah bungkusan rapi.

"Aku membuat sendiri hadiah ini."

"Ohya?" mata Nozomi membelalak. "Tapi undangan ini baru disampaikan kemarin, kan?"

"Aku membuatnya sudah lama. Semoga bermanfaat. Kalau kamu sudah tenang dan punya waktu, akan kujelaskan mengapa aku membuat benda itu."

Malam ini di depan laptop, sebetulnya Sofia menunggu pesan masuk dari Nozomi. Apakah gadis itu sudah membuka bungkusannya? Apakah ia tertarik menggunakannya? Apakah ia bertanya-tanya atau malah benda itu dibuangnya begitu rupa.

Mata Sofia nyaris terpejam saat mengerjakan tugas dan hampir saja seluruh kesadarannya terlempar ke alam mimpi ketika suara bip masuk. Tangannya gontai meraih ponsel dan terbelalak ketika membaca layar.

"Hadiahmu cantik. Terimakasih, ya. Aku tahu itu seperti dompet besar, tapi untuk apa? Terlalu kecil untuk tas, terlalu besar untuk tempat pensil."

*****

Aku seorang gadis yang penuh energi dan imajinasi. Selalu menginginkan banyak aktivitas mulai bela diri, naik gunung, menari, menjahit, main musik, menyanyi, termasuk menguasai semua mata pelajaran. Bagiku hidup ini demikian menggairahkan. Tak ada yang terlihat buruk di mataku.

Ketika guru marah akibat aku tak mengumpulkan pekerjaan rumah, aku terheran-heran. Mengapa beliau marah? Bukankah aku benar-benar lupa. Ketika nenek marah besar saat aku menyenggol teko Belanda yang konon kabarnya buatan dinasti Ming Cina (kok bisa?) maka aku menatap pecahan itu tanpa rasa bersalah. Bukankah keramik tak tahan banting? Ketika mama, om Hanif dan tante Nanda bertengkar luarbiasa hebat; aku bertanya-tanya. Apakah semua orang harus berbicara lantang, saat mengutarakan pendapat? Aku lebih suka menyimpan pendapatkau, tidak terlalu suka mengumbarnya dan lebih memilih bekerja.

Mama suka buku. Aku suka buku. Mama suka menulis diary. Aku suka menulis diary. Mama suka ketrampilan. Aku suka ketrampilan juga. Ada mesin jahit di ruang belakang. Meski sebagai anak SMA yang suka menghabiskan waktu hang out bersama teman-teman, naik gunung Merapi atau Arjuno, aku tetap bisa memasak dan menjahit. Aku suka, titik.

Salah satu pekerjaan yang kusuka adalah justru pekerjaan yang butuh kesulitan tingkat tinggi.

Mama membelikanku buku patchwork, kerajinan yang mengkombinasikan kain-kain bekas, menjahitnya dengan teliti sesuai ukuran dan bentuk yang diinginkan. Gabungan segitiga. Gabungan segiempat. Gabungan hexagon. Atau gabungan kain dipotong bundar-bundar. Aku membuat taplak meja, keset, tempat pensil dari patchwork.

Teman-teman memujiku.

"Cakep tempat pensilmu!"

Aku membuat sebuah dompet besar, patchwork dua buah. Seukuran kertas A 4, yang kuperuntukkan bagiku dan mama. Sengaja kupilih kain-kain polkadot, bunga-bunga kecil, daun-daun kecil. Aku sendiri puas melihat karyaku. Dompet patchwork itu tak sempat digunakan mama. Malah, kubawa jauh ke negeri seberang tanpa tahu untuk apa. Baru ketemukan gunanya ketika mendengar Isao meninggal dan bertemu Nozomi.

Semoga gadis itu suka.

"Buat apa?" tanya Nozomi.

Itu untuk menyimpan barang kenangan dari orang yang kita cintai, jawabku.

Aku menyimpan foto mama bersamaku, foto ketika lulus sekolah, cincin bermata mirah yang dibelikan mama di ulangtahunku yang sweet seventeen, kalung best friend forever bersama sahabatku Sania. Tiket karcis bioskop menonton film bersama lelaki yang kucintai diam-diam tapi ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan. Sebuah tempelan kulkas berbentuk boneka mengenakan baju hanbuk, Korea. Sebuah potongan kuku berbentuk kepala singa, hadiah dari Sania saat ia berkunjung ke Singapura dan sebuah bros berbentuk gajah bertatahkan intan imitasi, hadiah dari seorang teman yang diam-diam mengagumiku. Cieee.

Dompet patchwork itu masih tersimpan dan kubawa kemana-mana seperti jimat. Mungkin, karena dompet itu mengingatkanku pada mama selalu.

Menatap dompet patchwork itu membuatku teringat nasehat Steve Jobs. Hidup itu seperti rangkaian red dots - titik-titik merah yang saling terhubung. Kadang kita tidak tahu mengapa titik itu ada, namun ketika polanya sudah terbentuk dalam sejarah hidup ini, barulah kita sadari mengapa titik-titik itu perlu muncul di hari-hari yang lampau.

Mama membelikanku buku patchwork, sebuah kerajinan Jepang yang ternyata menjadi salah satu bumi yang kupijak. Tuhan memberikan anugerah di tengah keluarga kami om Hanif, saudara lelaki mama yang membuatku hadir ke Fukuoka. Lamat-lamat pertengkaran keluarga besar kudengar, namun aku masih terlalu belia untuk menyadari.

Red dots.

Melihat wajah Tatsuo dan Nozomi, aku penasaran akan rangkaian mata rantai hidup yang penuh rahasia di hari-hari ke depan. Aku teringat Yamagata Isao. Aku sungguh ingin mengenalnya lebih dalam, meski ia telah mati kini. Sosoknya yang menjulang tegap bagai matsu, mengingatkanku pada orang yang membelikanku tiket. Mengingatkanku pada om Hanif. Mengapa tubuh kekar seseorang tidak mencerminkan jiwanya?

Mengapa dalam tubuh kekar seseorang tersimpan semangat bayi yang cengeng dan selalu menangis? Mengapa hidup yang dianggap sulit diakhiri dengan bunuh diri, bukannya dengan tindakan sepertiku : tutup telinga?

Larut malam, diary, di musim semi. Ume telah gugur, sakura menanti.

Sofia.

*********

Continue Reading

You'll Also Like

347K 22.3K 49
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
516K 21.1K 36
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.4M 12.1K 23
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
2.7M 288K 49
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...