Na!

By iyaiyayas

667K 24K 977

"Na, tau nggak bedanya kipas sama elo?" "Apa?" "Kalau kipas bikin angin. Kalau lo, bikin angen." "....." *** ... More

1. Karenina Ayunda
2. Arjuna Adinegara
3. Serendipiti?
4. Nina Punya Juna
5. Kebetulan Keterlaluan
6. Usaha Juna
7. Calonnya Nina?
8. Nina Kecelakaan?
9. Perhatian Juna
10. Arjuna Sakit Parah
12. Pedekate
13. Jalan Bareng
14. Toge Goreng
15. Dikira Maling

11. Gara-gara Rangga

13.4K 1.5K 109
By iyaiyayas

Juna


Ada dua hal yang bangunin gue dari bobo ganteng gue sore ini. Yang pertama, suara notifikasi ponsel gue yang datang beruntun.

"Mang, tungguin Mang! Iya tunggu di situ sebentar saya mau beli!"

Yang kedua, itu.

Suara Nyonya Besar yang gue yakin lagi manggil tukang bakso yang emang suka lewat depan komplek setiap sore menjelang malam. Dan, tau sendiri yang mana yang lebih berarti dan jadi alasan gue bangun.

Jelas yang kedua.

Gue duduk dari posisi tidur gue seraya meregangkan otot-otot tubuh gue yang lagi kaku banget sekarang. Gue mengedarkan pandangan dan sadar kalau gue udah ada di kamar sekarang. Kepala gue agak sakit. Pusing-pusing nggak jelas gitu. Maklum, jetlag. Abis naik pesawat kemaren. Ke Singapura. Pesawat beneran kok, suer. Bukan pesawat telepon. Masa iya pesawat telepon gue naikin? Yang ada gue ditampol pake panci gosong sama Nyonya Besar.

Tapi, gaya banget ya, gue ke SG? Ngapain coba gue ke sana? Pasti pada kepo, kan? Tapi, nanti aja ya gue kasih taunya. Sekarang masih jetlag, hehe.

Gue ngambil ponsel gue buat lihat notifikasi beruntun tadi.

Dan ternyata, si Rangga.

Rangga Pratama

Bro

Rangga Pratama

Lo mending buruan siap-siap

Rangga Pratama

Your princess is coming, you better be ready

Rangga Pratama

WOY KUNYUK BANGUN

GUE TAU LO LAGI TIDUR

Gue langsung garuk-garuk kepala. Ini bocah kesambet apa gimana, sih? Siap-siap apaan? Princess apaan pula? Princess Syahrini? Emang kadang suka rada-rada itu bocah.

Gue nggak bales chat dari Rangga dan langsung bangun. Laper, gue. Gue buka pintu kamar dan hampir aja gue teriak pas lihat Nyonya Besar lagi berdiri di depan pintu kamar gue. Ini kenapa? Gue salah apaan?

Princess Syahrini nggak beneran datang, kan?

"Apaan, Mi?" tanya gue agak takut. Ini Nyonya Besar mukanya udah kayak macan nemu kancil soalnya.

"Jono!" katanya agak bisik-bisik. Buset, dah. Di rumah sendiri kenapa pake bisik-bisik sih, Nyonya? Jangan-jangan beneran ada Princess Syahrini?!

"Kamu kenapa nggak bilang punya temen cantik kayak Mami!" katanya lagi, masih bisik-bisik.

Ini apa maksudnya? Cantiknya kayak Mami gimana? Emang temen gue ada yang secantik itu? Kalaupun emang ada, ya cuma Nina seorang lah. Tapi, kalau emang Nina, Nyonya Besar kok tau Nina? Dari mana?

Gue mikir—kayak punya pikiran aja. Seolah baru sadar apa yang sebenernya terjadi. Rangga bilang princess gue datang. Nyonya Besar ngomong nggak jelas begitu. Berarti...

Gue langsung lari lewatin Nyonya Besar dan turun tangga, kamar gue ada di lantai dua. Dan, bukan berarti rumah gue ada lima lantai. Cuma dua kok.

Gue memperlambat langkah pas mata gue jatuh di sofa. Bukan di sofanya, tapi, di seseorang yang duduk di sofa. Ini nggak tau efek jetlag atau apa, tapi kok Nina duduk di sofa rumah gue? Lagi ngapain? Lagi duduk, lah.

Ini gue nggak lagi mimpi, kan?

"Sana samperin. Udah Mami bikinin minum." Tepukan di bahu gue dan suara Nyonya Besar bikin gue sadar kalau ini bukan cuma mimpi.

Gue menelan ludah. Beresin rambut sebentar sebelum jalan ke arah Nina. Ini gue nggak belekan atau ileran, kan? Ah, gue mandi dulu boleh nggak? Biar gantengan dikit?

"Arjuna," katanya sambil berdiri pas dia lihat gue dateng.

Aduh, pake berdiri segala. Sopan banget sih. Makin cinta Dek, Abang jadinya.

"Duduk aja," kata gue sok kalem. Yah, semenjak dibentak Nina kemaren, gue jadi nggak mau lebay. Pokoknya jangan sampe Nina bilang gue keluar batas lagi.

Dia langsung mengangguk sebelum duduk lagi. Gue ikutan duduk di sofa lain di depan Nina. Pengennya sih langsung aja di samping Nina. Kalau bisa jangan di sofa, tapi di pelaminan.

Hehe.

Astagfirullah, Jono!

Buat beberapa detik pertama, kita sama-sama diem. Kalau gue diem karena lagi jaim alias jaga image—jaga gambar dong hehehe, maaf iklan—kalau dia kayaknya diem karena bingung mau ngomong apa.

Gue berdeham. Bikin Nina langsung kelihatan gelagapan. Dia ngambil sesuatu di bawah meja yang langsung dia simpen di atas meja.

Itu plastik yang gede banget, sumpah.

"Gue nggak tau lo suka buah apa, jadi gue beli macem-macem. Gue juga nggak tau lo suka roti rasa apa, jadi gue beli semua rasa. Terus, gue nggak tau lo suka minuman vitamin yang kayak gimana, jadi gue beli banyak. Makan aja yang lo suka. Kalau ada yang lo nggak suka, nggak apa-apa kok gue bawa lagi," katanya ngejelasin sambil nunjuk-nunjuk isi plastik.

Ini apaan sebenernya?

Gue masih bingung kenapa Nina bisa tiba-tiba ada di rumah gue dan sekarang dibikin tambah bingung sama isi plastik yang udah kayak isi pasar itu.

"Ini apaan, Na?" tanya gue bingung setengah mati.

"Buah, roti, sama minuman vitamin," katanya polos.

Aduh, emang ya, kalau soal jadi gemesin, si Nina ini jagonya. Aaak! Mau cubit. Dan dia nggak komen gue panggil Na, kemajuan banget ini Jono!

Gue ketawa pelan. "Bukan gitu maksudnya. Kenapa lo bawain ini buat gue?"

Nina berdeham beberapa kali, dia menatap gue dengan tatapan yang nggak bisa gue artikan. "Gue mau minta maaf. Soal kemaren itu. Gue minta maaf."

Pas ngomong gitu, mukanya malu-malu gitu. Kayak si Pororo kalau ketauan pup di celana. Tapi, sumpah, ini versi cantiknya! Sebenernya, pengen banget gue ngerjain dia pura-pura nggak maafin atau apa deh, tapi nggak tega banget lihat mukanya.

"Nggak apa-apa, Na," kata gue sambil senyum. Bawaannya pengen senyum terus kalau ke dia.

"Beneran?"

"Emang maunya bohongan?"

"Eh, enggak gitu."

Gue ketawa lagi. "Ini kenapa bawa ginian?" tanya gue lagi untuk ketiga kali. Harusnya dapet piring cantik, nggak sih? Berhubung di dapur banyak piring, dapet yang cantik aja boleh nggak?

Dia garuk tengkuk, kayak ragu-ragu buat ngomong. "Lo tiga hari nggak masuk. Dan... gue baru tau tentang penyakit lo dari Rangga. Kalau aja gue tau lebih awal, gue... ke elo.. gue pasti bakal lebih—"

"Ha?" gue menyela. "Penyakit?"

"Eh, sorry. Lo pasti nggak mau gue bahas ini ya?" katanya kelihatan nggak enak.

Lah? Ini dia ngomongin apaan, sih? Kenapa jadi penyakit? Emangnya gue sakit? Loh masa dia tau gue sakit guenya enggak? Emang gue sakit apaan?

"Bahas apa?" tanya gue masih bingung. Ini gue nggak bakal kelihatan oon di depan Nina, kan? Gue kan aslinya... emang oon, hehehe.

Nina mengejap, mulai ikutan bingung. "Penyakit lo."

"Penyakit gue?"

"Rangga bilang lo sakit parah dan kemaren kambuh, jadi lo harus dirawat di rumah sakit tiga hari, makanya nggak sekolah," jelas Nina hati-hati, kayak takut gue tersinggung sama penjelasannya.

Satu detik.

Dua detik.

Dan di detik ketiga, gue ngakak. Ngakak yang bener-bener ngakak sampai air mata gue keluar. Di depan gue, Nina masih kebingungan.

"Dan lo percaya?" tanya gue di sela-sela tawa gue.

Nina ngangguk.

"Astaga, Nina." Gue berhenti ketawa. "Emang gue kelihatannya kayak orang penyakitan ya?"

"Enggak," jawabnya cepat.

"Terus kenapa percaya?"

Nina berdeham. Dia membuang tatapannya dari gue beberapa detik sebelum akhirnya natap gue lagi. "Jadi, bentar, ini maksud lo... Rangga bohong?"

"Mm—hmm." Gue manggut-manggut. Masih geli banget. "By the way, makasih lo buah sama rotinya. Dan, minuman vitaminnya."

Nina berdeham keras, mukanya merah. Pasti dia malu. Aduh, lagi malu aja cantik, anak siapa, sih?

Dia berdiri. "Ya udah, kalau gitu gue pulang dulu," katanya sambil jalan ke arah pintu masuk.

Gue geleng-geleng kepala sambil berdiri, terus ngejar dia.

"Mau ke mana?" tanya gue. Masih geli banget. Bisa-bisanya dia dikadalin si Rangga!

"Juna, please. Gue sekarang malu banget," katanya sambil nunduk.

Gue nahan ketawa dengan berdeham. "Hei, lo manggil gue Juna lagi," kata gue nyoba ngalihin pembicaraan.

Dia menatap gue sambil mengejapkan mata.

"Panggil gitu aja, ya."

Dia ngangguk cepet-cepet. Kayaknya dia bener-bener pengen pulang karena malu. Emang parah si Rangga. Bohongnya nggak kira-kira! Kalau omongannya jadi doa emang dia mau nanggung biaya pengobatan gue?!

Ya, kemaren gue ke Singapur emang buat ketemu sama Dokter, tapi bukan karena gue sakit parah. Ya kali, ah!

"Kok diem di pintu? Masuk dong, nanti masuk angin." Itu suara Nyonya Besar, datang dari arah tangga.

Gue ngangguk dan ngajakin Nina masuk lagi. Berkat keberadaan Nyonya Besar, kayaknya Nina jadi susah nolak karena dia ngikutin gue dan duduk lagi di sofa. Rumah Nina kan jauh, sayang banget kalau di sini cuma sebentar. Lagian, it's been three days, man! Gue kangen banget sama dia. Jadi, dia nggak akan gue bukain pintu buat pulang sebelum kangen gue ilang.

Sekarang Nyonya Besar ikutan duduk di sofa. Di samping gue. Ah, emang nggak ngertiin banget ini Ibu-Ibu, ya? Gue kan pengen berduaan aja sama Nina.

"Nina udah makan?" tanya Nyonya Besar, membuka pembicaraan.

"Udah, Tante."

"Bohong, ya?"

"Enggak, Tante."

"Kok kayak bohong?"

"Enggak, Tante. Serius."

"Bohong?"

"Enggak."

"Bohong."

"Enggak."

"Enggak?"

"Bohong."

Gue ngakak. Ya Allah, emang ya Nyonya Besar ini.

Nina nunduk malu. Uuuuh, sekarang gemesinnya ngalahin si Pororo.

"Mami apaan deh, malu-maluin banget," kata gue pas udah berhenti ketawa.

"Nggak apa-apa, kan kalau Nina belum makan kita bisa makan bareng."

"Emangnya Mami belum makan?"

"Belum."

"Bukannya udah? Tadi kan, beli bakso?"

"Belum, Jono."

"Udah juga?"

"Belum."

"Udah?"

"Belum."

"Udah?"

"Belum!"

"Belum?"

"Yaelah, Jono. Nggak berlaku cara ini sama Mami. Udah ah. Iya-iya Mami emang udah makan. Puas?"

Nah, kan. Emang tukang bohong. "Mami kalau kebanyakan makan malem nanti gendut. Papi nanti cari yang lain gimana?"

Nyonya Besar geleng-geleng kepala, terus menatap Nina. "Nina, kamu jangan mau nikah sama si Jono, ya. Nanti kalau kamu tiba-tiba gendut dia bakal cari yang lain."

Nina ketawa sambil lihatin Mami seolah Mami gue adalah mahluk yang harus dilestarikan.

Eh. Tapi seriusan ini Nina ketawa?

Nina beneran ketawa. Ketawa yang beneran ketawa sampe giginya kelihatan dan matanya menyipit.

Makin cantik deh, kalau ketawa.

"Makin cantik ya kamu, kalau ketawa," kata Nyonya Besar. Ini kenapa dia pikirannya sama banget sih sama gue? Lagian harusnya gue yang ngomong gitu, elah.

Nina berhenti ketawa. "Bisa aja, Tante," katanya sebelum melanjutkan. "Tapi Nina nggak usah makan di sini, ya? Nanti takut kemaleman."

"Loh? Nggak apa-apa. Rumah kamu jauh? Nanti biar si Jono yang anter."

Buset. Udah kayak nyuruh sopir pribadi gitu, ya. Tapi, bener sih.

"Iya, gue anter kok. Makan dulu aja."

"Nggak usah, bawa mobil kok," tolak Nina sopan, ke Mami, bukan ke gue.

Yah, gagal dong gue?

Nggak apa-apa, yang penting, hari ini Nina ke rumah gue, bawain makanan karena dia mikir gue sakit, dan manggil gue Juna.

Akhirnya Nyonya Besar ngangguk. Nina pamitan dan keluar dari rumah dan masuk ke mobilnya. Setelah melambai satu kali, Nina membawa mobilnya keluar dari rumah gue sampai nggak kelihatan lagi.

Ah, gue seneng hari ini. Kayaknya, gue harus berterimakasih sama Rangga. Si koplak yang satu itu berperan besar dalam kejadian hari ini.

Continue Reading

You'll Also Like

5.2M 372K 48
"Lo tahu teori chaos?" "Efek kupu-kupu?" "Hmm... sensitive dependence on initial condition. Kayak lo yang di sini mampu ngerubah gue saat di Finlandi...
945K 91.9K 51
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
4.8M 282K 46
[SUDAH DITERBITKAN OLEH GRASINDO] Jujur saja, saat di balkon tadi Bani sama sekali tidak membalas pelukan Dinda. Bukan karena dirinya yang tidak mau...
276K 60K 38
Ketika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima kemungkinan terburuk untuk diganggu kemb...