Yura cemberut, Aldrich terus saja memaksakan kehendaknya bahwa Yura harus tidur di apartemen Aldrich. Bukan apa-apa tapi untuk apa apartemen miliknya? Ia ingin tidur sendiri saja malam ini, sungguh.
"Aku hanya ingin bersama dengan kekasihku," seru Aldrich yang berhasil membuat Yura mendengus.
"Aku ingin tidur sendiri, please." Aldrich menaikkan sebelah alisnya.
"Mengapa?"
"Percuma aku memiliki apartemen sendiri. Lagipula, aku belum membereskannya." Aldrich mendengus tanda tidak setuju.
"Kalau begitu aku tinggal di apartemenmu." Yura menghela napas dalam.
"Terserah kau saja, berisik."
"Kita pergi ke apartemenku dulu, aku ingin mengganti pakaianku." Yura mengangguk.
Sesampainya di apartemen Aldrich, laki-laki itu langsung membuka bagian atas bajunya, yang sontak disambut teriakan kencang dari bibir mungil Yura.
"ALDRICH!!! APA YANG KAU LAKUKAN?!" Yura menutup matanya erat, tidak lupa kedua telapak tangannya juga ikut ia tempelkan ke sekitar area matanya.
"Mandi," jawab Aldrich singkat.
"Kau mau pamer? Buka baju di kamar mandi saja, berengsek," sanggah Yura dengan mata yang masih terpejam rapat.
"Kau sendiri pasti suka melihatku seperti tadi," cibir Aldrich. Ia kemudian melangkah menuju kamar mandi.
Setelah mendengar bunyi pintu ditutup Yura membuka matanya, duduk di sofa ruang tengah. Perempuan bersurai panjang itu mendesah pelan.
Ia mengingat kembali apa yang terjadi sore itu, Aldrich melamarnya? Tiba-tiba pipi Yura memanas. Sial.
Baru kali ini ia menemui laki-laki sefrontal Aldrich, berbicara tanpa basa-basi dan jujur sejujur-jujurnya.
Yura merasa sangsi, jawaban yang dilontarkan Yura akan sama saja efeknya bagi Aldrich. Dia pasti akan tetap memaksanya untuk menikah.
Ngomong-ngomong soal menikah ia jadi teringat ayah dan ibunya yang ada di Korea Selatan. Ayahnya seorang pengacara yang handal, sedangkan ibunya pemilik kafe yang sudah membuka beberapa cabang di berbagai kota. Fyi, orang tua Yura sudah bercerai sejak lama.
Memikirkan hal itu membuat mata Yura terasa panas, setetes air mata akhirnya mengalir. Dari kecil ia selalu berpindah-pindah karena persetujuan orang tuanya, seminggu di rumah ayah dan seminggu di rumah ibu. Benar-benar melelahkan.
Yura selalu marah dengan keputusan kedua orang tuanya untuk bercerai, apakah mereka pikir mereka yang paling menderita disini? Tidak. Anaklah yang mendapatkan efek paling besar.
Pikiran Yura kembali ke Aldrich, apakah Aldrich serius untuk menikah dengannya? Sempat terpikirkan bahwa Aldrich hanya bermain-main, tetapi Yura tidak bisa melihat apa alasan laki-laki itu berbuat demikian.
Atau psikopat memang biasanya seperti itu? Ia sama sekali tidak mengerti.
Dengan langkah gontai Yura berjalan ke arah dapur, berharap menemukan sesuatu untuk ia makan. Untungnya ada buah-buahan di kulkas, dan ia mengambil sebuah apel.
Ketika Yura berbalik ia mendapati Aldrich yang baru keluar dari kamarnya, rambut laki-laki itu masih basah dan ia tidak mengenakan atasan. Tetapi sebuah kemeja kotak-kotak menggantung di pundaknya.
"Aldrich, pakai bajumu," titah Yura sambil menghadap ke arah lain.
"Aku ingin minum," balas Aldrich asal.
"Tidak usah berbalik seperti itu, aku sudah mengenakan pakaianku." Yura berbalik dan menggigit apel yang sudah habis setengahnya.
"Kau lapar? Mau aku masakkan sesuatu?" Yura menggeleng.
"Tidak usah, lebih baik kita cepat-cepat ke apartemenku. Aku ingin makan sesuatu."
"Apa?"
"Aku ingin pop corn." Aldrich mengernyitkan dahinya.
"Aku ingin ciuman." Aldrich menunjuk sebuah tato di dekat lehernya.
"Apa itu sebuah tato?" Aldrich mengangguk bangga.
"Norak." Senyuman Aldrich seketika lenyap.
"Ini keren," ucap Aldrich membela dirinya. Lalu ia bertanya sesuatu untuk mengalihkan topik.
"Kau ingin menonton sesuatu?" Kini giliran yang Yura tersenyum.
"Oh ya, aku ingin melanjutkan menonton serial drama dari negaraku." Aldrich mendengus.
"Lebih baik kita menonton koleksi film-ku saja." Yura menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Tidak mau, koleksi filmmu itu benar-benar mengerikan."
"Mengerikan? Justru itu sensasinya." Yura berdecih.
"Itu kan untukmu tuan psikopat, bagiku tidak."
"Itu menyenangkan, apalagi melihat darah yang keluar dari tubuh yang dimutilasi." Sontak Yura tersedak potongan apel terakhirnya.
"Aku bisa mual dan muntah jika menonton film seperti itu." Aldrich menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Baiklah. Ayo kita pergi ke apartemenmu."
Mereka berjalan bergandengan tangan, tetapi setelah mereka menyebrang Aldrich tiba-tiba saja berhenti berjalan. Membuat Yura mengerutkan kening, heran.
"Ada apa?"
"Bolehkah aku membunuh malam ini?" Yura melotot dan memukul lengan Aldrich.
"Jaga ucapanmu! Ini di tempat umum!" Aldrich memasang raut muka memohon.
"Lihatlah perempuan gemuk itu, yang ada di sebelah toko buku. Aku hanya ingin membantunya menjadi kurus dengan cara memotong-motong tubuhnya. Bukankah itu perbuatan yang baik?" Yura berdecak. Tarik napas, buang napas. Sabar Yura sabar, laki-laki di hadapanmu ini tidak mengerti mana perbuatan yang baik dan mana yang tidak.
"Itu perbuatan buruk Aldrich, sangat buruk," ucap Yura sambil menarik tangan Aldrich dengan sekuat tenaga, berusaha mendekati area apartemen Yura yang tinggal beberapa meter lagi jaraknya. Aldrich mengeluh kesal.
"Korbanku!" gerutunya tidak terima.
***
Dengan laptop milik Yura diletakkan di atas meja, dan mereka duduk di lantai, akhirnya aktivitas menonton pun dimulai setelah mereka berdebat lagi tentang film yang akan ditonton. Aldrich yang ngotot ingin menonton film horror dan Yura yang ingin melanjutkan menonton drama Korea. Tetapi akhirnya pilihan film jatuh ke The Secret Life of Pets, yang jauh dari keinginan mereka berdua.
Selama kegiatan menonton tawa Yura sudah meledak beberapa kali, sedangkan Aldrich tidak terlalu fokus ke film yang mereka tonton tetapi ke wajah cantik Yura.
"Mengapa ciptaan tuhan bisa seindah ini?" batin Aldrich sambil memasukkan pop corn kedalam mulutnya.
Aldrich tertegun sebentar ketika tawa Yura meledak lagi, bisakah ia melihat itu setiap hari?
"Yura," panggil Aldrich dengan tangannya yang membelai pipi Yura.
"Apa?" balas perempuan itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.
"Lihat aku, sayang." Yura menekan tombol spasi dan menoleh ke arah Aldrich.
"Apa?"
"Ayo kita menikah." Yura melongo, untuk kesekian kalinya Aldrich mengucapkan hal itu. Dalam satu hari lagi.
"Mengapa kau selalu berkata seperti itu??"
"Salah?"
Yura mengembuskan napasnya.
"Aku tidak mencintaimu. Lagipula, kau pikir menikah itu hal yang mudah? Tidak."
Aldrich memiringkan kepalanya. "Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku dengan cepat."
"Jangan terlalu percaya diri."
"Apa kau menolakku karena aku psikopat?" tanya Aldrich to the point.
"Aku tahu aku rusak, tetapi aku ingin merasakan kebahagiaan lain dan itu adalah kau." Aldrich memeluk Yura dan menempatkan wajahnya di leher perempuan itu, mengecupnya pelan dan kembali mendesah.
"Aku juga tidak ingin menjadi seperti ini."
Yura mengernyitkan dahi berpikir, apa yang harus ia lakukan?
"Jalani saja, kau membuatku bingung." Aldrich melepas pelukannya dan tersenyum tipis.
"Ya sudah, tapi ksu harus tahu bahwa aku mencintaimu. I'm serious with you."
Entah mengapa, hati kecil Yura berharap apa yang dikatakan Aldrich itu benar.
∆∆∆
Harapan kalian untuk Aldrich versi novel?