Jujur, Yura merasa sedikit terganggu dengan salah satu perlakuan Aldrich padanya. Laki-laki itu sangat gemar menghirup aroma di sekitar lehernya dan sesekali mencium sehingga membuat Yura merasa geli.
Berbagai macam protes sama sekali tidak Aldrich anggap, seolah protes Yura hanya angin lalu.
"Tolong hentikan!"
"Mengapa aku harus berhenti sayang? Ini menyenangkan bukan?"
"Tidak! Aku sama sekali tidak menyukainya. Tolong hentikan!" Aldrich akhirnya berhenti dan mengerucut bibirnya kesal.
"Bau tubuhmu enak." Yura mendengus dan segera bangkit, lalu berjalan mendekati pintu.
"Ke mana?"
"Pulang."
Aldrich menaikkan sebelah alisnya.
"Apa aku mengijinkanmu untuk pergi?" Aldrich mendekati Yura yang hanya diam sambil memegang kenop pintu.
"Tapi aku ingin pulang." Yura membuka pintu tetapi Aldrich mendorong kembali pintu itu dengan keras.
"Kau tidak bisa pergi tanpa ijinku." Aldrich mencengkram tangan Yura dan menariknya kasar, mendorong perempuan itu ke tempat tidur. Yura mengernyitkan kening bingung, kemana Aldrich yang lembut tadi?
"Kau tidak akan kemanapun," tegas Aldrich.
Yura menggeliat tidak nyaman karena Aldrich memeluknya asal, ia berhenti bergerak ketika posisi tubuh Yura berhadapan dengan Aldrich.
"Tidak usah melihatku seperti itu, aku tahu aku tampan." Yura berdecih.
"Dasar gila."
"Sshh... jangan mengatakan hal yang aneh lagi atau aku akan menciummu."
"Dasar mesum."
"Memang." Yura berdecak kesal.
"Aku ingin pergi dari sini."
"Apa kau bilang? Kau menentangku?"
"Ya aku menentangmu."
"Begitukah? Tidak berguna."
"Dasar psikopat gila, mesum, sakit jiwa, otoriter! Aku membencimu! Bunuh saja aku!" Yura menonjok dada bidang Aldrich berkali-kali, tetapi laki-laki itu hanya tertawa pelan.
"Pukul saja terus sayang, itu tak akan ada efeknya untukku." Aldrich mencengkram tangan Yura hingga ia mengaduh kesakitan.
"Iya, aku memang psikopat gila, sakit jiwa dan segala yang kau ucapkan tadi. Apa kau ingin melihat itu semua hmm?" Nyali Yura menciut. Ia ternyata salah menduga, ia kira Aldrich akan seterusnya bersikap lembut. Yura mencoba melepaskan cengkraman Aldrich tetapi tidak berhasil.
"Apa aku harus mengikatmu agar kau diam?" Yura menggeleng cepat, ia mulai ketakutan sekarang.
"Ti-tidak." Aldrich menyeringai.
"Tapi aku ingin mengikatmu sekarang." Aldrich bangkit dan segera berjalan menuju lemari, Yura yang melihat itu segera beralih ke kamar mandi dan mengunci pintu.
Yura yang panik bisa diam, tidak adanya suara yang terdengar malah membuat Yura menggigil ketakutan.
Ia mengeluh. Seharusnya ia tidak percaya begitu saja apa yang dikatakan Aldrich. Laki-laki itu mengatakan ia menyayanginya? Lalu apa yang dilakukannya sekarang?
"Buka pintunya." Suara berat laki-laki terdengar bersamaan dengan kenop pintu kamar mandi yang dipaksa untuk dibuka.
"Buka pintunya," ulang Aldrich lebih keras sambil menggedor-gedor pintu. Yura malah mundur menjauhi pintu.
"BUKA PINTUNYA JALANG!!" Yura terkejut bukan main ketika mendengar teriakan Aldrich, ia berjalan dengan pelan mendekati pintu. Membuka kunci dan membuka pintunya.
Yura melihat Aldrich yang berdiri di hadapannya dengan tangan mengepal, wajahnya jelas terlihat menahan emosi.
"A-ada apa denganmu?" Aldrich mendecakkan lidahnya kesal.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu! Ada apa denganmu?! Sekarang kau berani menentangku?!" Yura menunduk, air matanya mulai mengalir.
"Kau harus menerima hukumanmu, Nona Shin." Aldrich menarik tangan Yura dengan kasar, mendorongnya ke atas tempat tidur dan segera menarik rambut Yura hingga dia kesakitan.
"Ini adalah hukumanmu sayang." Aldrich mengambil tali yang sudah ada di dekat tempat tidur, mulai mengikat tangan dan kaki Yura ke ujung ranjang. Sehingga perempuan itu kesakitan karena kencangnya ikatan yang dibuat Aldrich.
"Kau tidak akan kemana-mana dengan keadaan seperti ini." Aldrich tersenyum sinis dan pergi keluar kamar, lalu membanting pintu dengan keras.
Yura meringis kesakitan. Ia menangis sesenggukan, mengapa harus ia yang mengalami semua ini?
Ia salah telah mempercayai apa yang diucapkan Aldrich. Laki-laki itu menyayanginya? Atau bahkan mencintainya? Kebohongan yang manis.
Lalu apa tidak berlebihan kalau Yura berharap ia mati saja? Kesabarannya sudah habis.
Karena merasa lelah, Yur yang masih sesenggukan tertidur dengan posisi yang masih terikat ke ujung tempat tidur.
***
Yura mengeluh ketika membuka matanya yang bulat, ia merasa pusing, dan punggungnya terasa sakit karena ia tidur dengan posisi membungkuk.
Ia hendak mendongak, tetapi ia malah melihat wajah damai Aldrich yang tertidur pulas. Sesekali laki-laki itu melenguh pelan, dan Yura menyadari bahwa sekarang ia tidur dengan posisi dipeluk erat oleh Aldrich.
Seingatnya ia tidur dengan posisi diikat, apa ia berkhayal atau bermimpi malam tadi? Tidak. Ketika Yura melihat pergelangan tangannya ia melihat bekas kemerahan karena ikatan tali yang kencang. Ia juga masih bisa merasakan sakit karena tangannya itu berkedut terus menerus.
Apa Aldrich yang melepas ikatan itu?
Perhatian Yura kembali beralih ke wajah Aldrich, wajahnya tenang. Sama sekali tidak nampak kemarahan besarnya semalam.
Merasa terganggu dengan pergerakan sesuatu yang dipeluknya, Aldrich bangun. Dan mendapati Yura yang berusaha bersikap seperti masih tidur. Tanpa sadar senyuman terbentuk di wajah tampannya.
"Sudah bangun?" tanya Aldrich dengan suara serak khas orang bangun tidur.
Yura yang ketahuan membuka matanya perlahan, tidak berani melihat Aldrich karena masih takut dengan kejadian tadi malam. Tubuhnya saja masih tegang.
"Jangan tegang seperti itu sayang. Aku tidak akan menyakitimu."
"Bohong." Ucapan itu keluar begitu cepat dari mulut Yura. Aldrich menaikkan sebelah alisnya.
"Apa?"
"Bohong. Kau bilang tidak akan menyakitiku tapi nyatanya apa? Kau malah mengikatku di tempat tidur! Apa itu sebuah perlakuan yang lembut?!" Aldrich diam menatap kedua mata bulat Yura, menghela napas dalam lalu mengecup bibir Yura sekilas.
"Maaf."
"Maafkan aku, emosiku sangat tidak stabil."
"Aku menyakitimu kan? Aku minta maaf."
"Apa kau pikir dengan meminta maaf semuanya selesai?" sinis Yura kemudian.
"Tidak, tetapi tolong maafkan aku."
"Aku emosi. Tetapi asal kau tahu semua perlakuanku padamu juga terpengaruh dari perlakuanmu padaku.
"Aku akan bersikap manis ketika kau menurut dan menjadi perempuan yang patuh."
"Tetapi maaf, aku tidak bisa mengontrol emosiku jika kau membuatku marah."
"Tolong maklumi psikopat gila ini." Yura melihat mata Aldrich yang berkaca-kaca dengan bingung. Apa ia akan mempercayai ucapan Aldrich begitu saja? Tidak, tidak akan. Ia harus lebih waspada, takut-takut sikap Aldrich berubah lagi.
"Lebih baik kita bersiap-siap untuk kuliah hmm? Ini sudah pagi." Aldrich melepaskan pelukan eratnya dan duduk, menunggu Yura mengikuti apa yang dilakukannya.
"Ayo, aku akan mengantarmu setelah aku bersiap-siap."
***
Aldrich hanya mendesah pelan melihat Yura yang melamun dan melihat keluar jendela. Apa yang dilakukannya semalam memang keterlaluan, ia merutuki dirinya sendiri yang tidak mampu mengontrol emosi.
"Yura." Yura menoleh dengan pelan, tatapannya kosong.
"Apa... kau menginginkan sesuatu?" Yura menggeleng, lalu kembali memerhatikan sesuatu di luar jendela mobil.
"Apapun yang kau inginkan aku akan membelikannya, katakan saja padaku."
"Tidak usah."
"Aku merasa sangat bersalah padamu, tolong katakan apa yang kau inginkan." Yura kembali menggeleng lemah.
"Apa kau lapar? Atau kau menginginkan sesuatu? Katakan padaku," rajuk Aldrich dengan lembut.
"Kalau begitu tunggu disini ya." Yura mengernyitkan dahi ketika Aldrich menghentikan mobil dan berhenti di depan jejeran toko yang menjual beberapa macam benda, mulai dari bunga hingga buah-buahan.
Beberapa saat kemudian Aldrich masuk kembali ke mobil dengan membawa satu kantung penuh buah, sedang tangan yang lainnya memegang satu tangkai bunga mawar yang masih segar.
"Aku hanya tahu kau menyukai buah apel, jadi aku hanya bisa membelikan ini. Dan... anggap saja mawar ini sebagai permintaan maafku." Yura tertegun melihat apa yang disodorkan Aldrich padanya.
"Darimana kau tahu aku menyukai pir apel?"
"Kulkasmu penuh dengan buah itu sayang."
Dengan lambat Yura menerima mawar dan mengambil satu buah apel, Aldrich tersenyum senang.
Aldrich kembali menghidupkan mobilnya, mendekatkan wajahnya ke wajah Yura dan mencium bibir Yura lembut.
"Belajar yang baik ya, bukankah hari ini ada tes? Mari kita bertaruh." Mau tidak mau Yura menaikkan alisnya karena tertarik.
"Taruhan apa?"
"Jika nilaiku lebih besar maka kau harus menuruti apa yang aku inginkan, begitupun sebaliknya. Deal?"
"Deal."
"Baiklah, apa yang kau inginkan?" Yura menggigit bibirnya sambil berpikir.
"Aku ingin kau menyediakan semua makanan yang aku inginkan setiap harinya dalam satu bulan, baik itu untuk sarapan hingga makan malam." Aldrich mengangguk.
"Dan aku, aku menginginkan ciuman tiga kali sehari dalam satu bulan. Bisa? Atau... aku ingin bercinta denganmu." Yura membelalak kaget. Lalu ia mengangkat tas kecilnya tinggi-tinggi.
"ENYAHLAH KAU!!!" Yura memukul Aldrich berkali-kali dengan bernafsu hingga Aldrich kesakitan.
***
Next or no?