Beauty Love Adeline

Por KeavyCollins

15.5K 856 100

Ben dan Alec, mereka sepasang anak kembar. Tinggal di sebuah panti asuhan, tanpa kekuarangan rasa cinta dan k... Más

Beauty
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian15
Bagian 16
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21

Bagian 17

549 41 16
Por KeavyCollins


Hai hai, kukembali untuk meneruskan Beauty Love.  Mungkin untuk beberapa chapter ke depan ...

Well, enjoy it, hope you still following this story, ans still like it it :)

Happy reading :)


Bagian 17

Sementara Alex baru memulai untuk hidup di kehidupan barunya sebagai Adeline, jauh di sana menyeberangi lautan, Ben sudah menikmati kehidupan barunya sebagai bagian dari keluarga Wright.

Keluarga Wright bukanlah keluarga bangsawan ataupun keluarga kaya, tapi mereka memiliki sebidang lahan untuk mereka tanami jagung, dan peternakan sapi dan ayam, yang lebih dari cukup untuk menghidupi mereka. Ben cukup bersyukur mendapat Oliver dan Patricia Wright sebagai orang tuanya. Mereka benar-benar pasangan suami istri yang baik dan sangat menyayangi Ben.

Sebagai satu-satunya putra mereka yang telah mereka tunggu setelah 10 tahun pernikahan mereka, Ben menjadi pusat perhatian dan kasih sayang mereka. Setiap malam, Patricia selalu menemani Ben dan membacakan cerita sebelum tidur, meski menurut Ben dia sudah terlalu besar untuk hal-hal seperti itu. Dia sudah 11 tahun!

Setiap pagi, Ibunya menyiapkan sarapan yang sangat menyehatkan, roti, telur, dan susu murni, langsung dari peternakan mereka. Juga Oliver yang mengajarkan bagaimana memerah sapi, atau memilih telur-telur yang bagus, atau melihat telur-telur itu menetas. Semuanya menjadi hal-hal baru untuk Ben, dan ia sangat menikmatinya. Namun yang lebih membuatnya senang adalah Ayah dan Ibu angkatnya senang bermain musik dan bernyanyi.

Sang Ayah mahir dalam memainkan alat musik piano, bodran dan flute, sementara Ibunya pandai bernyanyi dan memiliki suara yang bagus, hingga hampir setiap malam selepas makan malam, ada pertunjukan kecil di rumah dengan Ben dan Ibunya bernyanyi bersama diringi sang Ayah. Ben sangat menyukainya. Dia sangat bersyukur mendapatkan mereka, dan tentunya berharap Alex di sana.

Satu haripun Ben tidak pernah melupakan Alex. Setiap ia mulai belajar hal-hal baru, ia tidak pernah lupa untuk mengirimkan apa yang ia pelajari dan ia lihat kepada Alex melalui hatinya, dan berharap Alex dapat menerimanya. Ia semakin tidak sabar untuk segera tahun depan, karena Ayah Ibunya sudah berjanji untuk kembali ke Nelincia menjemput Alex. Terlebih setelah satu bulan berlalu sejak ia mengirimkan surat pada Alex, memberi kabar tentang keadaannya dan keluarga barunya. Tapi belum juga ada balasan dari Alex, dan membuatnya sangat cemas.

Pertanyaan-pertanyan muncul di kepalanya. Apakah suratnya tidak sampai, ataukah memang Alex tidak mau membalasnya? Apakah Ben masih marah padanya? Ben tidak akan memaafkan dirinya jika memang Alex membencinya. Tapi memang Alex pantas membencinya, bukankan dirinya yang melanggar janjinya. Ben sudah mengkhianati janji mereka sendiri untuk tetap selalu bersama. Ben sudah pasrah jika Alex memang membencinya.

"Alex tidak akan membencimu, Ben, terlebih jika membaca suratmu." Patricia Wright menenangkan putranya.

"Lalu kenapa dia tidak membalas suratku?"

"Sabarlah, Sayang, jarak Irelucia dengan Nelincia tidaklah dekat, membutuhkan waktu lama untuk mengirimkan surat."

"Ataukah memang tidak sampai suratnya?" Ben menduga.

"Mungkin saja. Tapi kau menuliskan alamatnya dengan benar, kan?"

Ben mengangguk. "Berarti pasti sampai."

"Atau mungkin, Ben sudah diadopsi?" Ben menjadi pucat dengan dugaan lain.

Patricia tersenyum tipis, "Kalau Alex sudah ada yang mengadopsi, tentunya akan ada berita untukmu, kan, dari St. Peter."

"Kalau mereka tidak mau memberitahuku?"

Patricia tersenyum lagi, ini yang hal lain yang membuatnya jatuh hati pada Ben, Ben anak yang cerdas, dia selalu bertanya, dan tidak pernah puas dengan jawaban yang diberikan. "Mereka pasti memberitahumu, Sayang."

Ben mengigit bibirnya. "Berarti Alex memang membenciku, dan dia tidak mau membalas suratku."

"Ayolah, Sayang, jangan begitu. Kita tunggu satu bulan lagi, mungkin memang belum sampai."

Ben terdiam, dan menoleh pada Ibu angkatnya, "Kalau memang tidak ada kabar yang memberi tahu Alex sudah diadopsi atau belum, masih maukah Ma menjemputnya?" Dengan sedikit takut.

Patricia menghela nafas dan tersenyum, "Tentu kalau kita ada rezeki untuk pergi ke sana. Kita akan jemput Alex seperti janji kami padamu. Alex akan menjadi bagian dari keluarga kita."

Ben harus tersenyum lega, dan langsung memeluk Ibu angkatnya.

"Terima kasih, Ma."

"Sama-sama, Sayang, Ma sayang kau, Ben."

"Ben juga sayang Ma," Ben merona dengan menyebutkan kata Ma, sesuatu yang sangat ingin ia ucapkan seumur hidupnya. Kini dia memiliki Mama. Alex aku punya Mama, kau juga punya nanti, tunggu aku, Alex.'

********

Setelah malam itu, Alex perlahan-lahan mulai menerima dan menjadi kehidupannya sebagai Adeline. Setiap ia bangun pagi, akan selalu ada pelayan yang siap dengan sarapan paginya dan memandikannya, kemudian mendadaninya seperti anak perempuan. Setelah itu menemani Milady Mary di kamar.

Seorang guru kepribadian didatangkan untuknya. Jane Watson, seorang guru kepribadian keluarga yang sudah mengajarkan Sir Byron, Sir Tristan dan Adeline. Alex pun baru mengetahui jika anak lelaki pun membutuhkan guru kepribadian selain guru kepribadian untuk ilmu pengetahuan sebelum mereka masuk ke sekolah tingkat lanjut bersama anak bangsawan dan orang kaya lainnya atau langsung masuk ke universitas.

Miss Jane akan mengajarkan tata krama dan membentuk kepribadian untuk menjadi seorang Lady sejati. Alex sampai pusing membayangkan dirinya akan menjadi seorang Lady. Ya Tuhan! Miss Jane sama sekali tidak berkomentar dengan dirinya yang dijadikan Adeline dan harus menyerupai Adeline, karena Miss Jane tahu benar keadaan Milady Mary.

Semua Alex pelajari, bahkan cara berkuda pun, Alex akan belajar. Bagaimana layaknya seorang putri yang memakai gaun duduk di atas Kuda dan belajar mengendarainya. Ini yang membuat Alex bingung. Bagaimana ia bisa naik Kuda dengan gaun panjang, sementara ia belum pernah naik Kuda sekalipun? Dan sebenarnya ia ingin bisa naik Kuda seperti anak laki lainnya, gagah, seperti Sir Byron dan Sir Tristan. Tapi tidak akan mungkin terjadi, Alex harus bersikap sepenuhnya layaknya anak perempuan.

Hubungan Alex dengan Sir Tristan masih sangatlah dingin. Alex sama sekali tidak ingin berdekatan dengan Kakak angkatnya yang satu itu. Selain wajahnya yang selalu masam, juga ia yang selalu membentak-bentak pelayan. Alex tidak akan berani mendekatinya, meski sesungguhnya Alex ingin sekali dekat dengan Tristan seperti Byron. Sosok Tristan yang dingin menjadi suatu hal yang menarik untuknya.

Diam-diam Alex memperhatikan Tristan dari jauh. Cara ia berjalan, cara ia makan yang sangat sopan, cara ia naik Kuda, bahkan ia ingin sekali masuk ke dalam kamar Tristan . Ia sempat melihat dari jauh, ada mainan di atas meja yang tak jauh dari tempat tidur Tristan, juga buku-buku tebal di lemari dan meja belajarnya. Alex jadi semakin ingin tahu buku-buku apa saja itu sampai disimpan di kamarnya dan tidak disimpan di ruang baca?

Dari pelajaran-pelajaran yang telah diajarkan Miss Jane, ada satu yang belum diajarkan pada Alex dan Alex sudah sangat menunggunya. Tapi sepertinya Miss Jane tidak mahir di bidangnya, jadi sepertinya tidak akan diajarkan oleh Miss Jane, meski Alex ingin sekali belajar. Alex ingin bisa seperti Sir Byron dan Sir Tristan memainkannya. Akhirnya Alex hanya bisa memandanginya dari jauh dengan keinginan yang membludak.

Namun akhirnya dia tidak dapat menahannya. Diliriknya dari jauh benda tersebut dan pelan-pelan didekatinya, dan duduk di sana. Alex membuka penutupnya dan melihat tuts hitam putih. Sudah sejak dulu Alex mengagumi alat musik ini dan ingin bisa memainkannya. Bukan karena Sir Byron atau Sir Tristan yang memainkannya, tapi karena memang Alex suka akan suaranya. Di St. Peter ada piano yang biasa mengiringi mereka paduan suara. Beberapa anak bisa memainkannya, Alex-pun ingin bisa memainkannya. Tapi sekali lagi, karena kesehatanannya, Alex tidak pernah diizinkan untuk berlatih.

Dengan malu-malu Alex menekan salah satu tutsnya. Satu tapi sudah terdengar indah. Ia menekan tuts yang lain, kemudian yang lain lagi, sampai Alex tersenyum sendiri. Dia bermain piano!

"Tertarik dengan benda hitam cantik ini?" Suara hangat Byron mengejutkannya.

Alex pun tersenyum manis.

"Kenapa tak kaumainkan?"Byron bertanya.

Alex menggeleng, "Aku tidak bisa memainkannya."

Byron tersenyum, "Tidak bisa memainkannya?"

Alex menggeleng.

Byron menghela nafas dengan tersenyum dan duduk di samping Alex. "Mau dengar satu lagu?"

Alex mengangguk pasti dengan tersenyum girang.

Dan Alexpun mendengarkan sebuah lagu yang dimainkan secara lembut, dan enak terdengar, berbeda sekali dengan waktu itu yang ia dengar. Pastilah yang itu Sir Tristan yang memainkannya, bukan Sir Byron.

Alex tersenyum kagum, hingga akhir lagu dan langsung memberi tepukan tangan.

"Kau suka piano, ya?" tebak Byron.

Alex mengangguk, "Tapi aku tidak bisa mainnya."

"Bagaimana kalau aku yang mengajarimu," tawar Byron tiba-tiba mengejutkan Alex.

"Mengajariku?" Alex terpaku.

Byron mengangguk. "Yah, sebenarnya Tristan yang lebih cocok mengajarimu. Dia jauh lebih pintar memainkannya dibanding aku. Kuberi tahu, Tristan itu pandai dalam segala hal, kepandaiannya melebihi aku," Byron tersenyum geli. "Tapi jangan takut, aku juga bisa mengajarimu, kok."

Alex masih terpaku, Kakaknya ini mau mengajarinya bermain piano?

"Bagaimana, kau mau?" tanya Byron lagi, karena belum ada jawaban dari Alex.

Alex tersenyum dan mengangguk pasti.

"Baiklah, kita mulai besok."

Alex tersenyum lagi.

"Kumainkan satu lagu lagi, ya." Byron tersenyum dan memulai lagi satu lagu yang membuat Alex terpana dan semakin kagum.

Alex mendengarkan permainan Kakaknya, dan membuat Byron lengkap di mata Alex sebagai Kakak yang paling hebat di dunia. Alex mendekap lengan Kakanya dan dipeluknya erat.

Byron merasakan lengannya didekap Alex, ia harus tersenyum. Alex memang seperti anak perempuan.

Dari jauh, sepasang mata memperhatikan mereka dengan rasa cemburu. Setelah Ibunya diambil anak itu, sekarang Kakaknya diambil juga. Lama-lama ia mencuri seluruh perhatian dan kasih sayang dari semua orang yang ada di sini. Anak itu harus disingkirkan. Tapi harus dengan cara yang halus.

Di suatu siang, Alex baru saja menyelesaikan pelajarannya bersama Miss Jane. Rumah kelihatan lengang. Ia tahu Ayahnya dan Kakaknya, Byron sedang pergi, hingga tinggal Tristan dan dirinya yang berada di rumah, dan tentu saja Ibunya yang berada di kamarnya.

Perasaannya masih kalut dengan pelajaran yang baru saja ia pelajari. Ia sebenarnya menyukai pelajaran-pelajaran baru yang diberikan Miss Jane, baru dan menarik dan iapun menyukai Miss Jane, hanya saja ia sedikit mulai tertekan dengan segala peraturan dan tata krama yang diajarkan.

Bagaimana cara ia berjalan, bagaimana cara ia duduk, bagaimana cara ia makan di meja makan yang besar, dan bagaimana cara ia berbicara pada orang yang lebih tua dengan pemilihan-pemilihan kata yang tepat.

Sungguh menyesakkan. Masih kurangkah sopan santun yang diajarkan di St. Peter? Ia tahu bagaimana cara bersikap dan berbicara di depan orang yang lebih tua, karena kalau tidak begitu, tidak akan ada yang mau mengadopsi mereka dengan cap anak tidak tahu sopan santun. Tapi tentu ia tahu, yang ia perankan adalah anak perempuan, bukan anak lelaki.

Mungkin tidak terlalu sulit jika dia harus memerankan anak lelaki kaya dengan segala peraturan yang ada, tapi ini, dia memerankan Adeline, seorang putri bangsawan! Alex hanya bisa menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk lebih menerimanya.

Dan Alex baru akan kembali ke kamarnya, saat melihat pintu kamar Tristan sedikit terbuka. Sudah lama ia ingin masuk ke dalam kamar Kakaknya yang satu ini, dengan rasa keingin-tahuan yang besar. Ia tahu, Tristan tidak ada di kamarnya, entah ke mana. Alex melirik kiri kanan untuk memastikan keadaan aman, dan masuk ke dalam.

Alex langsung ternganga dengan mainan di atas meja lebar, setinggi dadanya. Mainan yang lengkap dengan prajurit–prajurit kecil, meriam, pasukan berKuda, dan benteng pertahanan, bahkan ada sebuah kapal perang di sebelah sisinya. Alex takjub melihatnya. Ia membungkuk untuk melihat detail dari unit-unit kecil ini. Alex belum pernah melihat mainan seperti ini. Ia bahkan tidak tahu ada mainan seperti ini.

"HEH, JANGAN PEGANG MAKETKU!!!" hardikan keras mengagetkan Alex membuatnya melonjak, terlebih dengan tahu suara siapa itu.

Alex langsung mundur menjauh dari meja itu, "Aku nggak pegang apa-apa, aku cuma lihat!" sahutnya langsung.

Tristan langsung memeriksa maket perang kesayangannya, apa ada unit yang hilang atau rusak? Butuh beberapa hari untuk menyusun kembali maket ini seperti strategi yang diterapkan sebelumnya, sebelum ia meluluh lantakkan karena anak ini. Dan sekarang anak ini beraninya masuk ke kamarnya. Anak nggak tahu sopan santun! Ia semakin membenci anak ini.

"Ngapain kamu di sini?" hardiknya lagi.

Alex mengkeret. "Maaf. Cuma mau lihat itu. Mainannya bagus," ucap malu-malu.

"Ini bukan mainan, tahu, ini adalah Medan Pertempuran. Nggak bisa lihat apa, ada prajurit dan meriam?" sahut Tristan sinis.

"Aku tahu, itu perang –perangan. Aku baca di buku. Aku juga pengen main."

Tristan terkatup. "Kamu nggak boleh main ini. Kamu kan anak perempuan, mana boleh main ini."

Alex tercekat dengan ucapan Tristan. Ucapan yang sangat mengena untuknya. Ia sekarang adalah anak perempuan. Setelah sebelumnya tiga jam lamanya terkungkung dalam pelajaran tata krama seorang perempuan yang membuatnya sesak, kini kalimat itu semakin menguatkan dirinya kini, siapa Alex sekarang. Ia terpucat, dan tubuhnya langsung bergetar.

Tristan melihat perubahan Alex, anak ini termakan ucapannya. Tristan tersenyum kemenangan.

"Ya, kan, kamu sudah jadi anak perempuan, nggak boleh mainan beginian. Mainanmu itu boneka kepunyaan Edele, dan rumah bonekanya yang tingginya saja setinggi badan kamu. Itu mainan kamu, bukan ini."

"Aku bukan anak perempuan," ucap Alex lirih.

Tristan menengok dan melihat sosok Edele yang ada di hadapannya, dari ujung rambut hingga ujung Kaki.

"Pakai baju Edele, rambut ikat Kuda, berpita pula, apa bukan anak perempuan namanya?"

Bibir Alex semakin bergetar. Ia anak perempuan, begitu kuat di telinganya. Bukan, ia bukan anak perempuan.

"AKU BUKAN ANAK PEREMPUAN!" pekiknya tiba-tiba dengan berlari keluar kamar, mengagetkan Tristan.

Tapi Tristan tersenyum dengan puasnya.

Alex masuk ke kamarnya dengan menangis, dan langsung melepas gaun yang dipakainya.

"Aku bukan Adeline, aku bukan Adeline, aku bukan Adeline!" desisnya dengan berurai air mata membuka seluruh pakaiannya .

"Adeline!?" seruan kaget mengagetkanya. Dilihatnya guru kepribadiannya terkaget dengan apa yang dilakukannya. "Apa yang kau lakukan, Sayang?" dengan paniknya.

"Aku bukan, Adeline, aku bukan anak perempuan, aku Alex, dan aku anak lelaki!" pekik Alex  menangis.

Jane terkatup. "Ow, Alex." Dan langsung mendekati bocah yang hampir histeris. Langsung dipeluknya erat untuk menghentikan dirinya membuka seluruh pakaiannya hingga tak tersisa.

"Shss, Alex, Sayang, Alex, Sayang..., kenapa, Sayang?" Dengan menenangkannya.

Alex langsung jatuh di pelukan guru kepribadian keluarga ini, dan menangis di sana.

"Aku bukan Adeline, aku Alex, aku anak lelaki!" tangisnya.

"Tentu kau bukan Adeline, Nak, kau, Alex, dan kau anak lelaki."

"Lalu kenapa aku berpakaian seperti Adeline, seperti anak perempuan?"

"Karena Milady menginginkanmu menjadi Adeline, dia membutuhkanmu, Alex, Milady membutuhkanmu menjadi Adeline."

"Tapi itu tidak normal!"

"Memang tidak normal."

Alex terkatup.

Jane menghela nafas. Sejak pertama ia bertemu Alex sebulan yang lalu, dan melihat penerimaan Alex sebagai Adeline, Jane tahu cepat ataupun lambat hal ini akan terjadi. Dan memang terjadi. Untunglah saat ini Lord Waldegrave dan Byron sedang keluar, dan hanya ada Tristan, sehingga tidak akan menyakitkan mereka jika mendengar ini.

Jane melepaskan pelukannya dan berhadapan dengan bocah yang sudah merah wajahnya karena menangis.

"Alex, ingatkah kau, saat pertama kali kita bertemu, dan aku menanyakan sebuah pertanyaan padamu?"

Alex terdiam dan mencoba untuk mengingatnya.

"Kau akan dipanggil Adeline, dan menjadi Adeline, kau tidak akan apa-apa dengan semua itu?'

Alex mengangguk lirih.

"Dan kau ingat apa jawabannya saat itu?"

Alex mengangguk lirih, Untuk Lord Waldegrave dan Milady.

"Dan kau pun masih ingat apa alasanmu?"

Sekali lagi Alex mengangguk. "Aku menyayangi mereka. Mereka mengadopsiku. Mereka orang tuaku, orang tua yang tak pernah kumiliki. Aku menyayangi mereka."

Jane Watson mengangguk, "Dan kau bersedia melakukannya untuk mereka, meski itu artinya kau menjadi Adeline?"

Alex mengangguk lirih.

"Untuk berapa lama?" Jane mengulang pertanyaan yang dulu pernah diberikan pada Alex.

Alex terkatup dan mengingat jawabannya dulu.

"Selama yang mereka butuhkan." Dan ia langsung tercekat sendiri. Alex menghambur ke pelukan gurunya, kembali menangis di sana.

"Tidak apa-apa, Alex, tidak apa." Jane mengusap-ucap punggungnya penuh kasih sayang.

Cukup lama Alex menangis di sana, hingga akhirnya berhenti dan mau untuk memakai baju Adeline lagi.

Jane mengusap airmata Alex, dan tersenyum.

"Kau anak yang kuat, Alex. Meski kau menjadi Adeline, hatimu dan di dalam sini haruslah tetap Alex." Jane menyentuh dadanya. "Karena itulah kau yang sebenarnya, tidak boleh berubah."

Alex mengangguk, dan memeluknya lagi.

"Kau ingin bertemu Milady? Semoga beliau tidak sedang istirahat."

Alex hanya mengangguk, dan pasrah saat Ny. Jane menggendongnya keluar kamar.

Dan untunglah Milady tidak sedang istirahat. Beliau duduk di tempat tidur bertumpu pada beberapa bantal besar di belakang. Dan tentu saja Milady Mary terkaget dengan sosok digendong oleh Jane.

"Edele?" Wajah cemas tampak di wajahnya. "Kenapa, Sayang?" Dengan mengulurkan tangannya meminta putrinya.

Alex naik ke tempat tidur dan langsung meringkuk di pelukan Ibu angkatnya yang menerimanya dan mendekap erat putri kesayangannya ini.

"Ssh... mama di sini, Sayang... mama di sini..." Mary mengusap-usap kepala Adeline, dan Alex pun tertidur di sana.

Jane tahu siapa yang memulai hal ini dan membuat Alex gundah, tapi tak bijak pula bila ia melaporkannya pada Lord Waldegrave. Ia tahu bagaimana Lord Waldergrave, dan Jane tidak ingin memberi masalah pada Tristan, karena sebenarnya Tristan pun terluka, dengan perhatian yang kini tertuju pada Alex.

Sepasang mata kembali melihat dengan rasa cemburu dan amarah yang memuncak. Melihat sosok yang dibencinya itu meringkuk manja di pelukan Ibunya yang belum sehat benar. Adeline dulu pun tidak semanja ini. Ini sudah kelewat batas. Dan sekarang jelas, seluruh rumah ini sudah terperdaya dengan kebohongan ini semua. Bahkan Miss Jane, yang ia harapkan menjadi orang yang paling rasional dibanding semua orang di rumah sini. Tapi nyatanya Miss Jane pun mendukung bahkan melindungi anak itu. Mereka semua mendukung anak itu menjadi Adeline. Sungguh memuakkan!

Tristan mendengus kesal tingkat satu merasakan kemarahan yang tidak bisa ia tahan lagi, dan langsung menuju kamar Adeline dan membuka lemarinya. Dilihatnya gaun dan pakaian Adeline yang masih tersimpan rapi selama tiga tahun. Memang sudah salah, menyimpan gaun dan pakaian Adeline, sementara Adelinenya pun sudah tidak ada. Ini harus dienyahkan.

Dengan penuh emosi ia mengambil semua pakaian itu semampu tangannya mendekapnya, dan langsung membawanya keluar.

"Tuan Muda Tristan?" Emma tercekat dengan sosok penuh amarah keluar dari kamar nona mudanya dengan membawa pakaian Adeline. "Mau kau bawa ke mana, Tuan?" serunya seraya mengejar Tristan yang keluar dari rumah melalui pintu belakang.

Panggilan pengasuhnya tidak ia hiraukan. Tristan tidak peduli apa akibatnya jika ia melakukannya ini, tapi yang pasti apa yang dipegangnya ini harus dimusnahkan.

Sampai di halaman samping dekat dapur, Tristan menjatuhkan tumpukan pakaian-pakaian Adeline begitu saja ke tanah. Nafasnya masih memburu saat ia masuk ke dapur untuk mengambil kayu bakar dari kompor.

"Tuan? Apa yang akan kau lakukan?" Emma semakin panik, terlebih dengan melihat Tristan membawa kayu bakar yang membara dan menuju tumpukan pakaian Adeline. Dia sudah menduga apa yang akan dilakukan Tristan

"TUAN MUDA!? JANGAN!!! TUAN!!!"

Terlambat, Tristan sudah terlanjur melempar kayu bakar itu ke atas tumpukan pakaian Adeline, dan dengan cepat lidah api itu menyambar kain-kain bagus yang berbentuk gaun milik Adeline.

"NAH, BIAR KALIAN TAHU, ADELINE SUDAH TIDAK ADA, ADELINE SUDAH PERGI TIGA TAHUN YANG LALU!!!" pekiknya histeris.

Seluruh pelayan terpaku menyaksikan sesuatu yang di luar dugaan mereka. Mereka melihat kemarahan tuan muda mereka yang baru berusia 13 tahun, sudah mendekati di luar kewarasan. Mereka pun cemas, Tuan Mudanya memiliki penyakit yang sama dengan Milady.

"TRISTAN!!!!" hardikan keras dan lantang terdengar tak jauh dari mereka.

Semua mata menoleh ke sumber suara dan terpaku, terlebih Tristan. Di sana Ayahnya menatapnya penuh kemarahan! Ayahnya lebih marah besar. Juga Byron yang berada di sebelah Ayahnya yang memandangnya kecewa. Dunia Tristan terasa hancur menimpa kepalanya.


TBC

sooo, you still enjoy it and like it ? :)

Keep following, and let me know what you're thingking :)

See yaaaa !!!


Seguir leyendo

También te gustarán

15.8K 1.9K 17
Seorang pengacara dari kalangan bangsawan yang memiliki status sebagai *Omega*, ia sangat membenci para bangsawan yang ada di sekitar nya, sang ayah...
539K 69.6K 55
Jenaka adalah seorang kutu buku yang tengah mempersiapkan Ujian Akhir Sekolah. Jenaka tinggal bersama nenek buyutnya yang mengidap Dementia. Suatu ha...
Ken & Cat (END) Por ...

Ficción histórica

7.1M 762K 53
Catrionna Arches dipaksa menikah dengan jenderal militer kerajaan, Kenard Gilson. Perjodohan yang telah dirancang sejak lama oleh kedua ayah mereka...
5.7M 459K 68
Olivia, seorang mahasiswi tingkat tiga meninggal akibat tertabrak mobil saat dalam perjalanan pulang ke rumah untuk merayakan ulang tahun adik nya...