OBSESSION

By slay-v

99.7K 10.2K 6K

Bethany Chance dan Aimee Parker. Mereka gadis berusia 17 tahun yang sekilas terlihat seperti remaja pada umum... More

OBSESSION
CAST
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 30 (2)
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 34 (2)
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 36 (2)
Chapter 37
Chapter 37 (2)
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Epilog
Author's Notes
Random Part
Bonus Chapter: Through The Dark
Bonus Chapter: After
Bonus Chapter
Bonus Chapter: Tough Guys

Chapter 43

1.6K 156 112
By slay-v

"Jangan keluar sendiri," Harry mendengarkan ucapan Louis dalam diam. Kemudian, Ia berkata lagi melalui telepon. "Harry, dengarkan aku tidak? Jangan keluar sendiri."

"Mood-ku sedang buruk. Aku tidak mau menunggumu menjemputku."

"Oh, ayolah. Hanya setengah jam lagi! Briana lama sekali berada di toilet!"

"Tinggalkan dia saja kalau begitu."

"Aku akan melakukannya jika di dalam perutnya tidak ada anakku."

Senyum geli Harry muncul di mulutnya. "Salahmu sendiri," Ia bangkit dari salah satu sofa yang Ia tempati di lobby tempat pusat terapi yang rutin Ia datangi setiap minggu. "Aku akan pulang menggunakan taksi. Kau antarkan saja Briana. Bye."

"Harry—"

Harry memasukkan ponselnya ke saku celana jeans. Ia mendorong pintu kaca dan melangkah keluar. Tidak ada paparazzi yang berkerumun seperti dugaannya. Jadi Harry berbelok, berjalan menyusuri trotoar di kota London. Ia berniat berjalan-jalan sebentar, menenangkan fikiran serta batinnya yang cukup tersiksa akibat pertemuannya dengan Jolene, terapisnya tadi.

Selama berjalan, Harry tidak memikirkan apapun. Tatapannya tertuju ke tanah, tangannya berada di saku mantel hitamnya. Ia nyaris melamun, sampai seorang gadis menabraknya secara tidak sengaja.

"Oh, astaga! Maafkan aku, Tuan. Aku sangat ceroboh."

Harry secara cekatan meraih sling bag yang tergeletak di depan kakinya, kemudian menegakkan punggungnya kembali dan memberikan tas tersebut kepada gadis di depannya. Ketika mata mereka bertemu, gadis ini membelalak, mulutnya tercengang, namun tidak mengucapkan apapun selama beberapa saat.

"Ha—Harry?" Ia menyebut namanya dengan terbata. "Maaf, a-aku menabrakmu."

"Kau tidak perlu meminta maaf, Angel," gadis itu tersenyum lebar ketika mendengar sebutan Harry untuknya. "Kau tidak terluka?"

"Tidak ..."

Harry menyaksikan gadis ini yang menggantungkan sling bag di atas pundaknya. Ia memerhatikan wajah si gadis yang mengingatkannya dengan seseorang di hari yang sebenarnya, sama sekali tak mau Ia bahas lagi.

"Aku pernah melihatmu di O2," kata Harry. "Kau yang datang bersama Beth ke atas panggung."

Si gadis membelalakkan matanya, lagi. Ia tersenyum gugup, "y—ya."

"Syahna."

Gadis itu tak khayal berusaha mengontrol jeritannya karena Harry mengingat namanya. "Ke—kenapa kau mengingat namaku?"

"Uhm," Harry tak mau mengatakan kalau Ia mengingat dengan detail semua peristiwa di hari itu. Sebenarnya Ia tak mau mengingatnya. Itu semua karena mimpi buruk yang datang setiap malam. "Kau mau pergi ke suatu tempat?"

Syahna menyadari perubahan sikap Harry. Ia sengaja mengubah topiknya dan Syahna paham itu. Jadi Ia pun mengikuti  alur perbincangan Harry. "Ke toko buku."

Syahna membetulkan posisi sling bag di pundaknya. Saat itulah Harry melihat luka di pergelangan tangan Syahna. Luka goresan yang lebar namun sudah mengering. Ketika menyadari apa yang Ia lihat, Syahna segera menurunkan tangannya kembali dan menarik ujung lengan jaket untuk menutupi pergelangan tangannya.

"Kenapa kau melakukannya?" tanya Harry lirih.

Syahna enggan menjawab. "Maaf, Harry. Aku terburu-buru."

"Kumohon," Harry merentangkan tangan kanannya ke samping agar Syahna tidak kabur darinya. "Apa yang terjadi? Kau bisa menceritakannya padaku. Aku mempunyai waktu banyak."

Tanpa Harry duga, Syahna meresponsnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau tidak perlu tahu ini, Harry. Aku tahu kondisimu dan aku tidak—"

Perasaan Harry menjadi jengah. Tentu saja fans sudah tahu tentang gangguan psikologis yang Ia alami sejak hari itu. "Kau sudah membuatku penasaran. Katakan saja padaku."

Syahna mengusap ujung matanya ketika cairan bening keluar dari sana. "Chyntia Quentin. Dia sahabat baikku sejak empat tahun yang lalu. Ketika aku tahu bahwa dia bunuh diri, aku begitu hancur. Namun saat aku tahu kenyataannya, bahwa Shahid yang membunuhnya, aku semakin—"

Syahna secara spontan membungkam mulutnya ketika sejumlah paparazzi mengerubunginya dan Harry. Blitz kamera mereka menyilaukan pandangan mereka berdua. Secara spontan, Harry merangkulkan pundaknya pada Syahna, berusaha membebaskan gadis itu dan dirinya dari kerumunan. Namun mereka terjebak.

"Harry Styles, bagaimana kondisimu sekarang?"

"Gadis ini yang juga melindungimu saat penyerangan di O2, bukan begitu?"

"Syahna!"

"Harry Styles, bagaimana perasaanmu mengenai hari itu?"

"Apakah kondisimu memburuk atau—"

"Astaga, stop!" Syahna menjerit frustasi. Ini membuat paparazzi bungkam. Syahna pun berdiri menghalangi Harry dari para paparazzi. "Bisakah kalian berhenti membicarakan hal itu?! Dimana respect kalian?! Jangan bertanya mengenai kondisi Harry maupun hari itu! Dasar orang idiot!"

Paparazzi tak rela dimarahi oleh seorang remaja. Mereka mulai mengumpat, meneriaki Syahna dan mulai menyerang dia dan Harry dengan ucapan yang buruk. Ini membuat Syahna marah, namun juga semakin tertekan.

"Stop," suara Harry melemah. Ia merasakan kepalanya pening. "Jauhi kami berdua ..."

"Kau hanya fans tidak berguna!"

"Menjauh dari sini!"

"Harry Styles dan ketiga temannya itu tidak memedulikanmu maupun fans lainnya!"

"Tidak!" Syahna berang. "Hentikan!"

"Itu semua benar! Buktinya, mereka masih melanjutkan tour. Mereka sama sekali tidak berkabung atau—"

Harry ingin pergi dari sini. Namun Ia tak mampu. Ia membeku di tengah kerumunan paparazzi. Kepalanya pening, jantungnya berdebar dan terasa sakit atas semua yang Ia dengar dan Ia alami selama beberapa bulan terakhir.

"Kau tidak berguna, Gadis! Pergi dari sini! Enyahlah!"

Dan setelah itu, Harry melayangkan pukulannya pada paparazzi tersebut. Pukulannya begitu kencang dan kuat hingga menyebabkan orang itu langsung tersungkur ke atas tanah. Rahangnya lebam, dan mengeluarkan sedikit darah.

Tindakannya membuat suasana di antara mereka menjadi hening total. Semuanya terlalu terkejut. Paparazzi lainnya memandangi teman mereka tanpa memberikan bantuan. Syahna masih berdiri di sisi Harry, tak mampu berkata-kata.

"Kaulah yang seharusnya enyah dari sini!" Harry berteriak, begitu marah. Kepalan tangannya bergetar menahan emosi. "Hentikan semua omong kosongmu mengenaiku dan ketiga saudaraku, juga mengenai fansku! Kau tak tahu apapun tentang kami! Enyahlah dari sini!"

"Harry ..."

...

"HARRY!"

Ia mendongakkan kepalanya, menatap Liam yang menyodorkannya secangkir teh hangat. Harry pun segera mengabaikan lamunannya atas peristiwa yang terjadi beberapa bulan silam. Ia menerima teh dari Liam, menyesapnya dengan pelan.

"Maaf aku mengacaukan konser tadi," ungkap Harry ketika menyadari kedatangan Niall dan Louis ke ruangan itu.

"Harry, jangan meminta maaf," Louis menggeleng.

"Tentu saja aku harus. Aku membuat kalian panik, juga fans—"

"Fans sudah aku tangani. Aku sudah menjelaskan keadaanmu pada mereka melalui twitter. Mereka paham."

Harry terdiam. Ia mengenggam erat cangkir di tangannya. Ia berkata dengan suara bergetar, "a—apa mereka membenciku karena ini?"

"Kau bercanda? Fans macam apa yang membenci Harry Styles?" Niall mendengus sambil mengangkat kedua tangannya.

"Niall," Liam menatap Niall tajam. "Bukan saatnya."

"Maaf."

"Mereka tidak mungkin membencimu," Louis menggeleng. "Apa yang kau lakukan untuk mereka selama beberapa bulan terakhir benar-benar membuat mereka semakin menghargaimu. Itu yang kutahu."

"Ya," Harry mendesah. "Aku memukul seorang paparazzi."

"Karena orang itu pantas menerimanya," sambung Liam. "Dia menghinamu, kami bertiga dan fans. Kau memukulnya karena membela kami dan ... aku cukup terharu atas itu."

Harry tersenyum geli mendengarnya.

Lalu, keadaan di antara mereka hening kembali.

"Kita harus melakukan sesuatu," ujar Niall. "Maksudku ... banyak yang ingin kukatakan kepada mereka sejak semua hal itu terjadi. Aku ingin mereka mendengarnya dan mengetahuinya."

"Sama," Louis mengangguk setuju. "Kita tidak bisa diam."

Ketiganya menatap Harry yang masih tertunduk. "Bagaimana menurutmu, Harry?" tanya Liam.

Harry mendongakkan kepalanya. Tanpa senyuman, Ia mengangguk.

"Ya."

***

Beth telah sadar.

Ia telah membuka matanya, namun sama sekali tidak menggerakkan lehernya yang terasa kaku. Ia langsung tahu bahwa sekarang, dirinya sedang di rumah sakit. Ia mendengar suara pendeteksi detak jantung, serta perban yang membalut pelipis dan gips di kakinya.

"Mom?" Beth memanggil dengan parau. "Mom? Dad?"

"Kau telah sadar. Syukurlah."

Gadis batin Beth kaget ketika mendengar suara orang ini.

"Kedua orang tuamu sebentar lagi akan kemari, Beth. Bersabarlah, oke? Mereka pasti akan datang."

Ia tahu suara ini. "James—"

"Ya," Beth melihat pria itu duduk menyamping di sisi kasurnya. "Kau masih kesakitan?"

"Y-ya," Beth meringis ketika secara tak sengaja Ia menggerakkan tangan kanannya. "Uh, tolong tinggikan sedikit kasurku ..."

James menekan tombol di bawah ranjang hingga posisi kasur bagian atasnya terangkat sedikit demi sedikit. Kini, Beth dapat melihat James lebih jelas dalam posisi yang nyaman.

"Sudah cukup?"

Beth mengangguk. Ia melirik James. Selama beberapa detik pertama keduanya hanya saling bertatapan tanpa bersuara.

"Kenapa kau disini?"

James tersenyum masam. "Menemui gadisku," pipi Beth menghangat ketika James mengusap dagunya. "Tetapi aku tak pernah mengira kalau aku akan menemuimu di rumah sakit dalam keadaan babak belur seperti ini."

Beth enggan meresponsnya. Ia menolehkan kepalanya ke setiap sudut ruangan, mencari keberadaan orang tuanya yang tak ada disana.

"Ayah dan Ibuku," suara Beth merengek. "Dimana mereka? Seharusnya mereka disini—"

"Mereka ke sekolahmu."

Beth tercengang. "Mereka mengetahuinya?"

"Kami, Beth," ekspresi James menjadi jauh lebih serius. "Kami bertiga sudah tahu. Tentangmu yang mengidap PTSD namun kau sama sekali tak memberitahunya kepada kami. Kami pun sudah tahu tentang penindasan yang kau alami di sekolah tadi, juga pertemuan dan usahamu untuk bunuh diri."

Beth bungkam.

Ia menundukkan kepalanya. Sebelumnya, Beth melihat sorot mata kemarahan dari James, namun pria itu menahannya.

"Kenapa kau menyembunyikannya dari kami, Bethany?" suara James memelan. "Baiklah, kau menyembunyikannya dariku, Harry dan yang lainnya. Namun setidaknya kau beritahu Greyson dan orang tuamu."

"Aku tidak mau membuat kalian semua khawatir ..."

"Selalu seperti itu, bukan?" James merespons dengan cepat. Ia terdengar gusar, yang menjadikan Beth kembali mendongak guna menatap pria di hadapannya. "Kau sama sekali tidak berubah. Kau mementingkan keadaan orang lain padahal disini yang membutuhkan bantuan adalah kau."

"Kau tidak mengerti," Beth menggeleng. "Aku tidak mau menjadi beban ... lagi."

"Beban? Apa lagi maksudmu dengan itu?"

"Aku tidak mau membicarakannya ..."

Beth kembali tertunduk, namun James memegang dagu Beth, menengadahkan wajahnya agar Ia dapat melihat Beth secara langsung. Ia semakin merasa gelisah sekaligus khawatir dengan Beth. Dari tatapan matanya, Beth tampak begitu terluka.

"Dear," James berkata selembut mungkin. "Katakan semuanya padaku. Apa yang terjadi?"

Beth menggeleng.

"Hei, katakan padaku," James memaksa. "Aku kemari untuk mengetahui keadaanmu."

"Aku ... aku takut ..."

"Karena ...?"

"Kalau kau, Greyson, juga Harry, Niall, Liam dan Louis akan pergi dariku," Beth sesenggukan.

"Beth, kami memang jauh darimu tetapi apakah kami pernah tidak memedulikanmu? Justru kaulah yang mendorong kami menjauh darimu."

"Kau tidak memahami perasaanku!"

"Beth—"

"Aku kehilangan sahabat-sahabatku! Apa kau bahkan mengerti?" jerit Beth pedih. "Aku tak lagi mempunyai teman disini! Walaupun begitu, aku memiliki sahabat terbaik yang jumlahnya dapat kuhitung dengan jari di kedua tanganku. Ya, ada yang jauh dariku, namun aku menghargai setiap hal yang kami lakukan bersama walaupun kami terpisah jarak. Walaupun jumlah mereka tak banyak, aku sangat menghargai dan menyayangi mereka karena mereka sahabatku satu-satunya ..."

Bendungan air mata di balik kelopak mata Beth tumpah, menetes ke pipinya. Beth menangis tersedu saat Ia melanjutkan, "ta—tapi ... ke-kenapa dia merebut mereka semua dariku? Padahal hanya mereka yang kupunya, yang membuatku merasa tidak sendirian. Aku tidak bisa menanggung ini semua. Aku membutuhkan Johana, Carly, Olivia dan Aimee. Aku membutuhkan mereka di dekatku. Aku ingin mereka disini, menemaniku dan tidak lagi meninggalkanku ..."

James mendesah sedih. "Bethany ..."

"Sungguh, James. Menjauh darimu, Greyson, Niall, Louis, Liam dan Harry sama sekali bukan keinginanku," nafasnya tersendat saat berbicara. "Aku terpaksa menjauh agar PTSD-ku tidak semakin parah, agar mimpi buruk tidak akan datang dan menggangguku lagi setiap malam. Namun ternyata itu semua sia-sia. Obat, terapi dan pertemuan membosankan itu tidak berguna. Aku tak dapat tertolong.

Dan ... dan, apa yang terjadi di sekolah tadi, ketika teman-teman sekolahku mengatakan semua hal buruk tentang Aimee dan kalian membuatku semakin hancur. Kalian jauh dariku dan aku disini tak mempunyai siapapun! Aku mau mati saja! Aku ingin bertemu dengan sahabat-sahabatku dan meninggalkan kalian agar aku tidak menyusahkan siapapun disini! Aku tidak akan mempersulit kedua orang tuaku. Aku tak akan menghambat Greyson mencapai impiannya, aku pun tidak akan mengganggu pekerjaanmu dan aku tak akan membuat Harry, Niall, Louis dan Liam khawatir padaku!"

Beth menangis tersedu-sedu, bahkan nyaris menjerit karena histeris. James tidak dapat mengungkapkan betapa perihnya perasaannya sekarang karena melihat kondisi Beth. Ia melihat langsung bagaimana diri Beth seperti hancur berkeping-keping, rusak, dan tak dapat utuh kembali. Semua yang Ia alami di London; penyerangan yang membahayakan nyawa, menyaksikan orang-orang berharga baginya terluka dan nyaris tewas dan kehilangan banyak sahabat baiknya, menghancurkan Beth seperti kertas yang terbakar api.

"Kau bodoh jika mengira kalau Harry, Niall, Liam dan Louis tidak peduli padamu," James berkata sambil menangkup kedua pipi Beth. "Mereka berempat sangat ingin kemari untuk menemuimu namun mereka tidak bisa membatalkan konser karena alasan penting. Namun alasan itu bukan berarti mereka tidak memedulikanmu. Mereka khawatir padamu sejak kau lost contact dengan mereka. Greyson meneleponku, Ia nyaris menangis karena tidak dapat pulang untuk menemuimu langsung karena pekerjaannya. Louis, Liam dan Niall selalu berusaha menghubungimu namun kau menolaknya. Kau kira mereka melakukan itu semua bukan karena mereka peduli?" James mengatakan itu semua dengan ironi. "Kau sama pentingnya bagi mereka, Bethany. Kaulah alasan mereka tetap bertahan."

Bethany menangis, dan itu membuat batin James semakin tersiksa. Beth yang tahan banting dengan segala ancaman, terlihat kuat dan tegar seakan tidak ada lagi di dalam dirinya. Segala hal tentang Beth itu lenyap dan hancur. Berganti menjadi sosok yang begitu rapuh dan tenggelam di dalam memorinya yang gelap dan menakutkan.

"Maaf," James tersenyum pedih. Tangannya mengusap air mata yang mengalir ke pipi Beth. "Aku tahu yang kau butuhkan sekarang bukanlah aku. Kau membutuhkan Harry, Niall, Liam dan Louis."

"Tidak. Kenapa kau mengatakannya?" Beth menggeleng. Ia menatap James langsung di kedua matanya, "aku senang kau berada disini. Aku tak lagi sendirian."

"Beth ..." James tidak mempercayai ucapan Beth. "Banyak sahabatmu memang pergi namun kau tak pernah sendirian. Ingat itu."

Beth menghela nafas dan bertanya, "kenapa aku?"

"Apa maksudmu?"

"Kenapa kau menyukaiku?" Beth bertanya lagi, menekan perasaan malu yang sempat menghampirinya.

"Itu pertanyaan aneh."

"Tentu saja tidak," Beth menggelengkan kepalanya sebelum kembali menatap James nanar. "James, kau seorang pria 23 tahun, memiliki pekerjaan mapan dan secara fisik, kau sempurna. Terutama sikapmu lembut dan penuh perhatian. Dengan segala kepunyaanmu itu, aku tahu banyak wanita seusiamu yang tertarik padamu. Wanita yang lebih baik dan sempurna dariku. Maka aku bingung saat kau menciumku dan mengajakku makan malam. Aku remaja 17 tahun, aku lemah, terpuruk dan tak berdaya. Aku seorang fans fanatik yang tak waras, yang rela melakukan hal segila apapun agar Niall, Liam, Louis, Zayn dan Harry baik-baik saja—"

"Tidakkah kau mengerti, Bee?" James berkomentar cepat. Suaranya yang meningkat beberapa oktaf membuat Beth langsung merapatkan mulutnya dan menatap James. "Itulah alasan aku tertarik padamu. Kau selalu membela dan melindungi mereka, sama sekali tidak merasa takut jika kehilangan nyawa demi mereka. Itu semua membuatku kagum dan tanpa sadar, aku tertarik dan menyukaimu."

Beth bengong kuadrat.

Ia tak menyangka James akan mengatakan itu semua padanya. Tepatnya—Ia tak menyangka, justru alasan James menyukainya adalah segala sikap dan tindakan dirinya yang menurut dirinya sendiri, aneh dan tak wajar.

Mereka bertatapan. Perlahan, James merasakan suhu wajahnya meningkat. Ia malu, karena, dia tak sepenuhnya sadar saat mengungkapkan itu semua.

"Caramu melindungi dan mencintai mereka membuatku berfikir, bagaimana jika akulah yang mendapat itu semua darimu." James melanjutkan, namun suaranya semakin memelan saat mendekati akhir kalimatnya. "Jadi, Beth ..." tangan kanan James terangkat guna menggapai pipi Beth, mengusapnya lembut. "Jangan pernah berfikir kau sendirian. Karena pada kenyataannya, kau tidak pernah sendirian. Banyak orang yang masih peduli dan mencintaimu. Jadi, jangan menyia-nyiakan semua itu."

Terjadi keheningan diantara mereka sebelum James kembali melanjutkan.

"Aku mencintaimu."

Dua kata itu membuat Beth semakin terisak. Kepalanya tertunduk, tidak membiarkan James melihat ekspresinya yang menyedihkan saat menangis. Tetapi dengan itu, Beth melihat James memajukan posisi duduknya semakin mendekat padanya.

Beth memejamkan matanya, terlalu malu untuk mendongakkan kembali wajahnya. Tetapi dengan cepat matanya terbuka, merasa jengah ketika merasakan bibir James yang lembap mencium keningnya, dengan lembut dan jangka waktu yang cukup lama.

Beth mencoba mengatur nafasnya agak teratur. Ia menggapai tangan James di pipinya, menggamitnya erat dan berkata— "Don't go," suaranya sepelan angin. "Stay."

"Maaf," James menyahut. "Kau tahu aku tidak bisa menetap disini terus."

Beth tersenyum tipis. "Boleh kutanya satu hal?"

"Tentu saja."

"Ka—kau tidak keberatan dengan "status"-ku?"

"Huh?"

"Fangirl ...?" Beth menatap James. "One Direction? Ayolah ... kau pasti paham ..."

"Oh," James tersenyum mengiyakan untuk sesaat. "Sebenarnya ... well, aku merasa agak keberatan. Aku merasa kesal saat Louis, Liam dan Harry protektif padamu selama kau di London. Aku pun ingin menonjok Niall saat Ia membuatmu pergi dari basecamp—"

"James," Beth menatap James serius. "Itu masalah lama. Aku sudah melupakannya."

"Ya, aku tahu," James mendengus. "Ya ... jadi ... Setelah kufikir-fikir lagi, aku tidak bisa memutuskan "hubungan"-mu dengan mereka. Kau sudah terikat dengan Harry, Niall, Liam, Zayn dan Louis sejak lima tahun yang lalu. Ikatan kalian begitu kuat dan aku tak mau merusak hal itu."

"Aku tidak percaya ada seseorang yang masih berfikiran seperti itu," James memutar kedua bola matanya ketika mendengar respons dari Beth. "Hei, aku serius. Kebanyakan cowok di sekolahku malah meledekku. Padahal mereka tidak memahami seberapa besar pentingnya One Direction bagiku."

"Well, aku memahaminya. Karena aku melihat secara langsung bagaimana kau membela dan melindungi mereka habis-habisan," James mengangkat kedua pundaknya. "Dan, hei, aku bukan 'cowok' (boy). Aku pria."

"Oke," Bethany tergelak geli. Tanpa aba-aba, Beth melingkarkan lengan kirinya ke punggung James, memeluknya erat. Rasanya kurang nyaman karena Beth hanya dapat memeluknya dengan satu lengan saja, berhubung lengan kanannya mengalami patah tulang dan tidak dapat digerakkan untuk sementara.

Namun kemudian Beth merasakan batinnya menghangat, saat James memeluknya.

"Kalau pun aku pergi, kau masih tetap gadisku. Aku mau kau ingat itu."

***

( Beth's Pov )

Menjelang malam, tepatnya pukul enam, Ayah dan Ibu juga belum datang. Aku menunggu kedatangan mereka sambil menonton televisi. Sedangkan, James sedari tadi berbincang dengan seseorang melalui telepon.

"Dasar sial," James memasukkan ponsel ke dalam saku celana jeans yang Ia kenakan. "Bethany, aku harus kembali ke Inggris."

"Apa?" aku menatapnya kaget. "Kau baru tiba disini siang tadi, bukan?"

"Ya. Dan seharusnya aku mendapat cuti panjang. Namun ada kejadian darurat di Birmingham dan M memerintahkanku kesana sekarang juga," ekspresinya kontras, tampak kesal. Ia memakai mantel panjangnya sambil menatapku, "aku sudah menghubungi kedua orang tuamu dan mereka sedang dalam perjalanan kemari. Maaf sekali aku tidak bisa berpamitan langsung kepada mereka."

"Tidak apa-apa," gadis batinku sebenarnya merengut tak rela mendengarnya akan pergi sekarang juga. Itu artinya, aku akan sendirian lagi disini.

James berjalan mendekat padaku, dan menyodorkanku sebuah amplop. "Ini surat dari Aimee."

Aku mendongak. "Aimee?" kuterima amplop itu darinya dan mendapati tulisan tangan khas Aimee di sana, menuliskan namaku. "Bagaimana bisa?"

"Kudengar dari M, Peter menemukan ini saat membersihkan rumah Aimee di Oxford," ujar James seraya duduk di sampingku. Aku sedang mengamati amplop ini dan Ia tiba-tiba merangkul pundakku. "Sebenarnya ada juga surat untuk Zayn. Namun ... yah, kau ingat perbincangan kita tadi, bukan? Karena itu dia harus masuk panti rehabilitasi dan menjalani terapi untuk waktu lama. Jadi aku tak bisa memberikan surat dari Aimee untuknya sekarang."

Aku mengangguk. Kuletakkan surat ini di sampingku, lalu menatap James. Aku dikagetkan dengan perbuatannya yang membuatku merinding karena tak terbiasa menerimanya; yaitu mencium pipiku. Kemudian Ia menyentil ujung hidungku. Sebelum aku protes, Ia berkata, "buka blokiran pada nomor ponselku. Juga nomor sepupumu dan Harry, Niall, Louis dan Liam."

"Oke, oke," aku mengangguk paham. "Maafkan aku."

"You don't need to," James tersenyum. "Oke, aku harus pergi sekarang ..." Ia turun dari kasur, melingkarkan tas di atas pundaknya. "Jaga dirimu, Bee."

James mencium keningku sebelum beranjak keluar kamar. Aku baru saja akan mengambil remote control untuk menyalakan televisi, namun James tiba-tiba masuk kembali. Kali ini Ia sambil membawa laptop.

"Lah?" aku menatapnya bingung. "Ini laptop siapa?"

"Suster di depan," James meletakkan laptop ini di pangkuanku. Di layarnya telah tertampil YouTube. "Harry mengirimkanku pesan. Dia baru saja mengirimkan rekaman dirinya bersama Louis, Niall dan Liam. Rekaman video untukmu serta fans lainnya—itu katanya."

Aku tertegun mendengarnya.

"O-oke," aku melirik layar laptop. Di bagian beranda utamanya, terdapat video yang baru saja di upload sepuluh menit yang lalu dan telah ditonton sebanyak jutaan ribu kali. Judul video tersebut membuat gadis batinku setengah menangis.

'Our Message To The Best Fans of All Time'.

Seketika saja aku merasa sangat merindukan mereka.

"Aku tahu, dengan video itu, kau akan merasa lebih baik," James mengusap pundakku. "Oke, aku benar-benar akan pergi sekarang. Take care, Darl."

Aku tersenyum kepada James saat Ia beranjak keluar kamar (untuk kedua kalinya). Ketika pintu kembali tertutup, aku pun menekan video tersebut. Ketika videonya terputar, langsung menayangkan Harry, Liam, Niall dan Louis yang duduk berjejer di atas sofa hitam.

( Putar lagu di multimedia )

"Hai, guys. One Direction's here," Niall menunjukkan senyuman khas-nya sambil melambaikan tangannya. Sedangkan Harry, Liam dan Louis hanya tersenyum di sampingnya. "Kami baru saja menyelesaikan konser kami di London, tepatnya di Wembley Arena. Sebenarnya rencananya awalnya kami akan konser di O2. Namun berhubung tempat itu sedang dalam tahap renovasi, um, jadi ..."

Niall terdiam. Warna wajahnya memucat. Ini membuatku resah. Kurasa Ia mengingat peristiwa hari itu dan hari-hari sebelumnya. Ia takut, sepertiku.

"Tahun ini rasanya sangat berat bagi kita, bukan?" Liam tersenyum ironi. "Terutama sejak hari itu terjadi, di tanggal 23, ketika kami menggelar konser. Aku yang lainnya sadar bahwa saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk menggelar konser. Namun karena beberapa hal yang pasti kalian ketahui—mengenai Simon dan Donald, kami pun melakukannya. Kami melakukannya hanya untuk kalian dan seharusnya, saat itu kalian bersenang-senang bersama kami. Namun ternyata yang kalian dapatkan adalah ... peristiwa buruk yang sulit kalian lupakan hingga sekarang ..."

"Kalian tidak berhak menyalahkan diri sendiri karena kalian menceritakan perasaan kalian tentang hari itu kepada kami. Baik melalui Instagram atau Twitter," Louis menggeleng. Ia tersenyum tipis, "aku, juga Liam, Harry dan Niall memahami perasaan kalian. Bagaimana rasanya ketakutan dan kehilangan. Kita semua merasakannya bersama-sama, bukan?" dia akhir kalimatnya, senyuman Louis menjadi pedih. Kuharap aku salah lihat namun matanya kemudian berkaca-kaca. "Da—dan kami meminta maaf atas itu. Kami membuat kalian kecewa, takut dan merasakan sesuatu yang buruk seperti kehilangan seseorang. Karena peristiwa disana, kalian kehilangan sahabat dan keluarga kalian. Aku tahu kalian akan mengatakan ini bukan kesalahan kami karena itulah yang kalian katakan setiap kita berpapasan di konser maupun tempat lainnya. Namun ketahuilah, itu masih kesalahan kami. Kami tidak mampu menentang Donald hingga terpaksa melakukan konser yang akhirnya malah menyebabkan malapetaka."

Keempatnya terdiam. Ekspresi yang ada pada Harry, Niall, Louis dan Liam membuatku tersiksa. Mereka terlihat sedih.

"Sejak peristiwa itu terjadi, kami menerima banyak kebencian namun jujur saja, kami sama sekali tak peduli. Banyak orang yang mengatakan kami sama sekali tidak peduli dengan kematian banyak fans di hari itu hingga tega melanjutkan OTRA tour. Namun mereka tidak mengetahui apapun, termasuk alasan kami masih melakukannya," Harry menghela nafas, lalu tersenyum lebih lebar. Tetapi di sisi lain senyumannya bagiku terkesan pedih. "Pertama-tama, ya, karena peristiwa di hari itu aku mengalami PTSD akut yang membuatku kacau setiap malam. Namun aku tak mau menjadikan itu alasan untuk menghentikan tur OTRA. Aku tak peduli dengan omelan Louis, Niall dan Liam yang menasehatiku karena kondisiku namun aku bersikeras untuk melanjutkan tur. Dan aku melakukannya hanya untuk kalian. Aku serta Niall, Louis dan Liam tidak mau membatalkan deretan konser OTRA karena itu akan membuat lebih banyak fans kecewa pada kami dan kami tak mau melihat kalian seperti itu untuk kesekian kalinya."

"Dan lihat apa yang kalian lakukan padaku?" Harry tersenyum suportif. Dan entah kenapa melihat senyuman manisnya itu membuatku turut tersenyum. Senyumannya begitu menenangkanku. "Kalian membuatku sembuh secara perlahan. Mendengar dan menyaksikan dukungan serta cinta kalian untukku, Liam, Niall dan Louis membuatku bersikeras untuk kembali bangkit."

"Lalu, kami pun tahu sebagian besar dari kalian mengalami anxiety karena kami. Jangan kaget mendengarnya karena aku membaca setiap tweet kalian di twitter. Aku yang paling aktif di twitter dibanding mereka bertiga, bukan?" Beth tertawa melihat ekspresi Niall yang seakan membanggakan hal itu. Namun kemudian Niall tersenyum tenang dan kembali berujar, "kalian mengalami anxiety karena cemas dengan keselamatan kami dan ... astaga, aku tak dapat mengatakan seberapa menyesalnya aku karena telah membuat kalian seperti itu. Angels, semua ini benar-benar telah berakhir. Aku tahu beberapa bulan ini waktunya berat bagi kita semua namun aku yakin, kita semua akan bangkit dan lebih kuat bersama-sama. Kita masih di dalam team yang sama, bukan?"

Lalu, hening kembali.

Dan sejauh ini semua ucapan mereka berempat membuat batinku menangis terharu.

"Uh ..." Harry menunduk, menggaruk kulit kepalanya. "Entah apa lagi yang harus kukatakan ..." Harry menghela nafas. "Intinya, kami berempat merasa sangat beruntung memiliki fans sehebat kalian. Kalian tak pernah meninggalkan kami walaupun orang-orang mulai menyerang dengan ucapan mereka yang tidak dapat dimaafkan. Kalian tetap bertahan disini, memberi kami dukungan dan cinta yang tak cukup hanya dibalas dengan ucapan terima kasih. Karena kalian pantas menerima yang lebih baik dari itu. Kalian pantas menerima yang lebih baik dari ini semua.

Aku, Niall, Louis dan Liam sama sekali tak mau diantara kalian ada yang terluka bahkan membunuh diri kalian demi kami. Aku ... aku bahkan sampai sekarang masih mengingat apa yang Lily, Georgia, Olivia, Carly dan Kenya alami. Juga Bethany, Greyson dan Aimee ..."

Harry menatap kamera hingga seakan-akan Ia menatapku langsung. Ia tersenyum, dan meneteskan air matanya yang membuat perasaanku semakin sedih.

"Greyson, Bethany, kami berempat tidak henti-hentinya mengucapkan maaf," Harry menangis. "Kami melanggar janji kepada kalian untuk menyelamatkan Aimee. Kami gagal melakukannya. Aku tahu seberapa pentingnya Aimee bagi kalian. Dan aku ... aku sungguh minta maaf atas itu ... Maafkan aku, Greyson ... Beth ..."

Kenapa dia meminta maaf?

Janji yang mereka ucapkan hari itu memang membuatku tersanjung namun aku tak marah saat tahu janji mereka gagal ditepati. Karena aku tahu, itu bukan kesalahan mereka berempat. Janji mereka sudah sangat berarti bagiku dan Greyson. Dan mengenai meninggalnya Aimee itu adalah sepenuhnya kesalahan Shahid.

"Dengarkan aku, Angels," Harry memajukan posisi duduknya. Ia mengusap air matanya dan berkata, "setelah OTRA tour berakhir kami memang akan break selama 18 bulan. Walaupun kami tak lagi berkeliling dunia untuk bertemu dan menghibur kalian, aku ingin kalian tahu, bahwa aku, Louis, Liam dan Niall tidak pernah meninggalkan kalian. Jangan dengarkan setiap berita buruk tentang kami hingga kami mengkonfirmasinya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Kami akan selalu bersama, menjadi kebanggaan kalian dan tetap menjadi One Direction hingga kapanpun."

"Kalian kira, kami dapat berhasil hingga sekarang karena usaha kami sendiri?" Liam tersenyum. "Ayo, fikirkan. Seberapa banyak orang yang meraih juara ketiga, yang mampu berkeliling dunia dan memiliki fans terbaik sepanjang masa? Itu semua kami dapatkan karena kalian. Dukungan dan cinta kalian yang tak terhitung yang membuat kami semakin bangkit dan bangkit. Dan semua yang kami lakukan hanya untuk kalian, bukan untuk yang lain."

Tanpa aku sadari, air mataku pun merebak keluar, menetes ke pipiku terus menerus.

Aku tidak dapat mengungkapkan seberapa beruntungnya aku memiliki Niall, Harry, Louis dan Liam. Aku sangat mencintai mereka.

"Jadi, Angels," Niall menghela nafas dengan semangat. "Kami memang akan "libur" untuk sementara namun kami tak pernah meninggalkan kalian. Ini janji kami, dan kami berempat sama sekali tak ada niat untuk melanggarnya dan membuat kalian kecewa lagi ..." Ia mengulurkan jari kelingkingnya. Ia tersenyum manis. "We're go for a while but we're never leave. We're still here. We still gonna be together because this is not the end of our stories. Okay, Angels?"

Aku tersenyum haru.

"Setiap kalian merasa gelisah, ketakutan dan merindukan seseorang, ingatlah dengan kami berempat. Karena kalian tidak mengalaminya sendirian. Kami memahami perasaan kalian. Kami akan selalu ada untuk kalian," ujar Louis. "This is not the end," Louis mengulang, mengatakannya begitu tulus. "Promise."

Hening selama beberapa detik, lalu Liam melanjutkan.

"We're still your boys, and you guys still our girls," ujar Liam tulus. "We love you guys so much."

Begitu video berakhir, aku menutup laptop.

Aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku.

Aku menoleh, menyadari amplop di sisi bantalku. Aku meraihnya, lalu merobek bagian ujungnya. Saat aku membukanya, tidak ada surat di dalamnya. Hanya dua lembar foto.

Aku mengeluarkannya. Foto pertama, adalah fotoku bersama Aimee sedangkan foto kedua adalah fotoku bersama Aimee dan Greyson ketika kami mendatangi konser musik di kota kami.

Aku tersenyum melihatnya. Ketika aku membalikkan fotonya, aku menyadari ada tulisan tangan Aimee disana.

Terima kasih untuk kenangan yang kalian berikan padaku. Ketahuilah hal ini; walaupun aku pergi meninggalkan kalian, sesungguhnya kalian tetaplah sahabat terbaikku.

-Aimee

Aku semakin menangis.

Aku sedih karena kehilangan Aimee, juga Olivia dan Carly. Dan aku pun sedih karena orang-orang yang berharga bagiku jauh dariku.

Tetapi kini aku menyadarinya. Sejauh apapun mereka dariku, aku tahu mereka masih memikirkanku. Mereka pun tidak akan meninggalkanku walaupun aku sedang tenggelam dalam memori buruk, seperti yang sedang kualami sekarang.

Itu karena mereka adalah sahabat sejatiku. Mereka akan selalu ada di dalam hatiku.

Dan aku tahu, setelah ini, aku akan jauh lebih kuat dan bangkit. Aku tidak bisa terus bersedih karena aku tahu, pasti sahabat-sahabatku pun tak mau melihatku dalam kondisi seperti ini.

Walaupun banyak peristiwa buruk yang kualami saat aku di London, sesungguhnya, aku tidak terlalu menyesalinya.

Ya, aku kehilangan Aimee, Olivia dan Carly.

Namun aku mendapatkan banyak hal baru yang sangat berharga bagiku.

Aku memiliki tiga teman baru; Syahna, Deandra dan Azza.

Aku mendapatkan Greyson kembali. Walaupun untuk sekarang, dia pergi lagi, namun aku tahu dia akan kembali dan bersamaku lagi.

Aku pun bertemu James.

Dan jangan lupakan bahwa aku dapat bertemu dengan idolaku.

Niall, Louis, Liam, Zayn dan Harry.

Aku tidak menyesal telah mengidolakan mereka setelah apa yang terjadi. Aku sangat beruntung dapat bercengkrama langsung dengan Niall, Liam, Louis dan Harry. Aku dapat merasakan perhatian mereka yang selalu membuatku terharu dan bahagia. Aku benar-benar mencintai mereka berlima dan aku tidak akan pernah menyesali perasaan itu.

Semua yang terjadi disana memang buruk, membuatku tertekan dan ingin mengakhiri semuanya.

Namun setelah menonton video mereka tadi dan mendengarkan ucapan Louis, aku tahu aku harus bangkit dan mencoba lebih kuat dari sebelumnya.

Ya, seperti ucapannya.

This is not the end of our stories.

***

Semoga feels-nya dapet :')

Next week: EPILOG


Continue Reading

You'll Also Like

621 119 11
"Sebelum sedingin es, kita pernah sepanas salonpas." Sebelumnya Syua dan Djatmiko adalah sepasang sahabat yang berubah haluan menjadi musuh. Bertahu...
440K 8.2K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
27.8K 4K 53
COMPLETED Cerita ini berlatar pada jaman penjajahan kolonial Belanda, di mana seorang perempuan yang lahir dari hasil pernikahan campuran antara Bang...
71.5K 4.3K 27
Ketika cinta tidak memandang status sosial, fisik, kekayaan dan kesempurnaan adalah cinta yang tulus. Ketika cinta tidak melihat lagi siapa mereka ar...