T R A P P E D

By eatectner

929K 69.5K 6K

[COMPLETED] One fraction of a moment you can fall in love, a love that takes a lifetime to get over | #26 in... More

Prolog
Chapter [1]
Chapter [2]
Chapter [3]
Chapter [4]
Chapter [5]
Chapter [6]
Chapter [7]
Chapter [8]
Chapter [9]
Chapter [10]
Chapter [11]
Chapter [12]
Chapter [13]
Chapter [14]
Chapter [15]
Chapter [16]
Chapter [17]
Chapter [18]
Chapter [19]
Chapter [20]
Chapter [21]
Chapter [22]
Chapter [23]
Chapter [24]
Chapter [25]
Chapter [26]
Chapter [27]
Chapter [28]
Chapter [29]
Chapter [30]
Chapter [31]
Chapter [32]
Chapter [34]
Chapter [35]
Chapter [36]
Chapter [37]
Chapter [38]
Chapter [39]
Chapter [40]
Epilog
Information
Extra Chapter
Let's talk with the cast!
Role Play

Chapter [33]

12.8K 1.2K 134
By eatectner

Adam Levine - Lost Stars

Dengan tubuh yang masih gemetar, Via turun dari mobil Gadhra. Perlahan ia berjalan dan menyandarkan tubuhnya ke pagar rumahnya. Dapat dilihatnya dengan jelas Reon yang melampiaskan amarahnya kepada Gadhra, tapi perempuan itu tidak melakukan apa-apa.

Setelah berhasil memfokuskan kembali pikiran mereka dari serentetan kejadian tak terduga barusan, Tahira dan Enda langsung turun dari dalam mobil Tahira yang berhadapan sekitar enam sampai delapan meter dari mobil Gadhra.

"Nda!" Tahira mengeluarkan suaranya. "Itu dilerai dong!"

Enda yang paham betul bagaimana keduanya bisa berakhir seperti ini, menggelengkan kepalanya.

"Gadhra salah besar," kata laki-laki itu. "Gue kalo jadi Reon juga melakukan hal yang sama."

****

"Hello!" Revan yang baru saja pulang entah dari mana menyapa Via yang sedang duduk di ruang tamu rumahnya.

Butuh waktu sekitar satu jam untuk Via menenangkan dirinya di rumah bersama Tahira, sebelum perempuan itu siap untuk menemui Reon yang tadi sempat menatap kedua bola matanya cukup lama, dan langsung pergi begitu saja tanpa mempedulikan Via yang memanggil namanya berulang kali.

Via tersenyum kecil kepada Revan yang kini sudah duduk di sebelahnya sambil memainkan ponselnya. Sekitar sepuluh menit kemudian, perempuan itu langsung berdiri dari sofa saat melihat Reon turun dari lantai atas, masih dengan pakaian yang digunakannya tadi.

Melihat Reon yang terlihat berantakan, Revan berdiri dari tempatnya duduk dan langsung menghampiri abangnya.

"Lo kenapa Bang?" tanya Revan saat dia sudah berdiri tepat di sebelah Reon.

"Ngapain ke sini?"

Tanpa mempedulikan pertanyaan Revan, kedua bola mata Reon menatap tajam Via yang berdiri tidak jauh darinya. Suaranya yang dingin sukses membuat Via diam tidak berkutik. Jantungnya berdegup kencang, tidak siap dengan apapun yang akan terjadi setelah ini.

"Yon," kata Via pelan. "Soal tadi, aku gak-,"

"Ga usah dibahas." Dengan cepat Reon memotong omongan Via. Dirinya masih butuh waktu untuk berpikiran jernih setelah apa yang dilihatnya tadi. Perasaannya masih tidak karuan, entah apa yang dirasakannya saat ini tapi itu menyakitkan.

"Yon," Via berjalan menghampiri Reon. "Tapi itu aku samasekali gak-,"

"Vi, please." Sekali lagi Reon memotong omongan Via. "Kamu kalo jadi aku, apa kamu mau dengerin apapun alasannya sekarang?"

Via diam. Perkataan Reon memang benar. Reon yang masih emosi dengan kejadian barusan tidak akan dapat berpikir jernih dengan apapun yang dijelaskan oleh Via. Perempuan itu menghela nafasnya, kepalanya tertunduk sebelum ia kembali mengeluarkan suaranya.

"Maaf Yon..,"

Reon tertawa kecil. Ia mengusap wajahnya dengan cepat. Bayangan bagaimana Gadhra mencium bibir Via tadi masih dapat diingatnya dengan jelas di kepalanya. Mengingat itu, hatinya serasa perih. Kepalanya berdenyut kencang. Reon tidak mau seperti ini, tapi saat ini perasaannya tidak dapat diajak bekerjasama.

"Maaf lo sekarang ga ada gunanya," kata Reon pelan. "Keluar Via."

"Bang!" Revan yang masih berada di ruangan itu langsung menegur abangnya saat mendengar perkataan Reon barusan.

Kalimat yang baru saja diucapkan oleh Reon membuat Via yang tadinya menunduk dengan cepat melihat ke arah Reon. Air mata yang mengalir di pipi perempuan itu membuat Reon reflek memejamkan matanya sebentar, tidak bisa melihat Via menangis.

"Yon,"

"Keluar." Sekali lagi dengan susah payah Reon mengucapkan satu kata itu.

Suaranya yang sangat dingin membuat Via tidak berani mengeluarkan sepatah katapun lagi. Bahkan Revan juga menjadi bungkam. Dia dapat merasakan abangnya yang sedang emosi besar, tanpa mengetahui penyebabnya.

Tanpa berusaha memberi penjelasan kepada Reon lagi, Via mengambil tas nya di atas sofa, dan meletakkan dokumen yang tadi dibawanya ke atas meja di depan sofa, mengingat tujuan Reon datang ke rumahnya tadi untuk mengambil tugasnya yang ketinggalan.

"Ini tugas kamu," kata Via pelan.

Masih dengan air mata yang mengalir di pipinya, Via berjalan menuju pintu rumah Reon dan menghapus air matanya.

"Lo bawa mobil Vi?"

Via menghentikan langkahnya saat mendengar suara Revan. Perempuan itu menggelengkan kepalanya pelan, mengingat mobilnya masih di bengkel dan tadi dia datang menggunakan taxi online.

"Ya udah lo gue anter." Revan bergerak mengambil kunci mobilnya di atas meja di depan sofa, dan berjalan menghampiri Via.

Via melihat ke arah Reon yang masih memandanginya dengan tatapan yang tidak bisa di definisikan sebentar, sebelum ia menggelengkan kepalanya kepada Revan.

"Gue sendiri aja Van," katanya. "Makasih ya."

Dengan cepat Revan menarik tangan Via yang sudah membuka pintu depan rumahnya.

"Ini udah jam sepuluh malem. Bahaya." kata laki-laki itu. "Pokoknya lo gue anter ga ada penolakan."

Dengan cepat Revan pamit kepada abangnya dan kembali menarik tangan Via menuju mobilnya, sebelum laki-laki itu mengendarai mobilnya untuk mengantar Via pulang.

Sepanjang perjalanan, Via tidak dapat menahan air matanya. Dia tidak terisak, Perempuan itu menghela nafasnya, sambil membiarkan air matanya keluar perlahan. Pandangannya berfokus pada jendela mobil sebelah kirinya.

Hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali di dalam mobil, baik Via ataupun Revan. Sampai pada akhirnya Via mengucapkan terimakasih kepada Revan, saat turun dari mobil laki-laki itu.

****

"Nih obatin dulu Bang muka lo." Revan memberikan kotak obat-obatan kepada Reon yang tengah duduk di balkon kamarnya.

Reon tertawa kecil. "Apaan sih, kaya gini doang lebay lo ah."

Revan tertawa. Laki-laki itu duduk di salah satu kursi di sebelah Reon.

Setelah mendengar cerita Reon barusan, Revan memaklumi perbuatan abangnya barusan. Karena kalau dia di posisi abangnya, dia juga akan melakukan hal yang sama kepada Via.

"Lo yakin ga mau dengerin penjelasan dia dulu?" tanya Revan kepada abangnya.

Reon menggeleng. "Untuk saat ini gue yakin gue ga akan percaya dengan apapun yang akan dijelasin sama dia."

Revan mengangguk paham. "Daripada giginya kering ye jelasin panjang lebar."

Reon tertawa. Tangannya bergerak menempeleng kepala adiknya. "Si bego!"

Beberapa menit ke depan tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali. Keduanya larut dalam pemikiran mereka masing-masing.

Berulang kali bayangan bagaimana Gadhra mencium Via tadi berkeliaran di pikirannya. Laki-laki itu memijat-mijat kepalanya yang berat, untuk pertama kalinya dia merasa sesakit ini.

Berulang kali Reon bertanya pada dirinya sendiri. Apa salah kalau dia selama ini terlalu percaya kepada Via?

Karena malam ini seketika kepercayaan itu hilang, karena ulah perempuan itu sendiri.

"Thanks ya Van udah anterin Via."

Mendengar perkataan Reon, Revan langsung tersadar kembali dari lamunannya dan tertawa kecil.

"Santai," jawab Revan. "Gue juga tau lo pasti khawatir dia balik sendiri."

****

"Goblok!"

Terdengar suara Enda tengah berdiri dan melihat Gadhra yang berulang kali memijat pangkal hidungnya, sambil merebahkan badannya di sofa apartemen Enda, berusaha mendapatkan secercah ketenangan. Lebam di seluruh wajahnya saat ini sama sekali tidak dipedulikannya.

"Dhra, Dhra." Enda mengeluarkan suaranya lagi. "Lo sadar ga sih apa yang baru lo lakuin? Sehat lo?"

Gadhra bungkam. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Perkataan Enda barusan memang benar. Bagaimana bisa dia sebodoh itu?

"I messed up," kata Gadhra. "Itu semua benar-benar di luar kendali gue."

Memilih untuk tidak menjawab perkataan Gadhra, Enda melangkahkan kakinya untuk duduk di sebelah Gadhra yang kini sudah membenamkan wajahnya dengan telapak tangan kanannya. Enda menyandarkan tubuhnya, saat ini dia marah dengan Gadhra. Tapi dia juga harus bisa menenangkan temannya itu, karena biar bagaimanapun dia tau Gadhra sedang tidak dapat berpikir jernih saat ini.

"FUCK!"

Suara Gadhra barusan membuat Enda yang tadinya memejamkan matanya, kini melihat Gadhra yang duduk di sebelahnya.

"Dua kali Nda," kata Gadhra pelan. "Dua kali gue ngancurin dia."

Enda tertawa kecil. Tangannya bergerak memegang pundak Gadhra.

"You got my point."

****

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi, dan Via masih terjaga dari tidurnya. Serentetan kejadian tadi berkeliaran di pikirannya. Semua itu terlalu tiba-tiba untuknya.

Kita ga tau apa yang akan terjadi sama kita, even satu detik ke depan.

Kalimat yang diucapkan oleh Gadhra sebelum laki-laki itu melakukan hal yang tak terduga tadi berulang kali terngiang di kepala Via, menyetujui kalimat itu.

Via meringkukkan badannya di atas kasurnya. Air matanya mengalir pelan saat mengingat bagaimana tubuhnya yang bergetar saking kagetnya saat Gadhra tiba-tiba mencium bibirnya, bagaimana Reon menatapnya, bagaimana Reon yang benar-benar terlihat kecewa kepadanya, dan bagaimana dia melihat dengan jelas saat Reon dan Gadhra berkelahi.

Entah apa yang dirasakannya saat ini, entah apa yang akan dilakukannya nanti, Via tidak tahu.

Via membenamkan seluruh wajahnya di dalam kedua telapak tangannya, akhirnya dia terisak di sela tangisnya. Mengeluarkan segala perasaannya melalui tangisannya.

Suara ponselnya yang berbunyi membuat Via dengan cepat mengambil ponsel di hadapannya. Dilihatnya notifikasi pada ponselnya, dan perempuan itu terdiam saat baru saja melihat notifikasi yang masuk.

Gadhra: I'm sorry, Thivia.

----⛔----

Continue Reading

You'll Also Like

805K 73.3K 38
follow dulu sebelum baca! Jung Jaemin, salah satu mahasiswa yang sudah resmi menikah dengan pria bernama Jung Jeno. Kedua orang tuanya menjodohkan Ja...