In a Dream

Door Hanabisite

11.9K 1.1K 70

[Complete] Bagaimana kalau aku mengatakan Im Yoona bisa mengetahui kapan seseorang akan mati lewat mimpi? Apa... Meer

Prolog
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Epilog

Satu

1.2K 95 1
Door Hanabisite


Tiga hari berlalu dan Yoona belum sekali pun memejamkan matanya. Terkadang mimpi tentang kematian membuatnya merasa harus tetap terjaga. Entah disebut karunia atau kemalangan yang pasti Yoona sama sekali tidak menginginkan kelebihannya ini. Bagi sebagian orang, mungkin kemampuan ini adalah karunia dari Tuhan, tapi bagi Yoona, kemampuan ini tidak lebih dari sekadar mimpi buruk belakang.

Mengetahui kapan seseorang akan mati bukanlah hal yang main-main. Yoona bisa saja memilih menolong mereka, tapi gadis itu lebih memilih tidak ikut campur, walau ia selalu terlibat dalam kasus kematian setiap orang dalam mimpinya. Karena, jika Yoona ikut campur tangan dalam kasus ini, maka takdir juga ikut berubah.

Yoona sudah lupa kapan pertama kali ia mendapatkan kemampuan aneh ini. Tiba-tiba saja sudah banyak orang yang mati disekitarnya. Mungkin satu tahun yang lalu ketika seorang pria terjatuh dari lantai tiga sebuah mall atau ketika seorang gadis kecil yang jatuh terlindas di perlintasan jalur kereta api bawah tanah satu setengah tahun yang lalu. Mungkin lebih lama dari yang Yoona bayangkan.

Dan yang lebih menyebalkan, kemampuannya ternyata tidak bisa dikendalikan sesuka hati. Mimpi kematian datang tidak menentu, mau siang atau malam selama Yoona tertidur, mimpi itu bisa saja datang. Dan mimpi itu tidak bisa dipanggil layaknya hujan. Mimpi itu tidak datang setiap hari, hanya beberapa kali dalam setahun.

Dan selama yang Yoona ingat, ada lebih dari sepuluh kasus kematian yang terjadi dalam kurun waktu satu tahun ini. Selama itu pula, Yoona sudah keluar masuk kantor polisi menjadi salah satu saksi mata dan yang perlu diingat, hanya ada tiga kasus kematian dalam mimpi Yoona, kecelakaan, pembunuhan, dan bunuh diri. Karena terlalu sering dipanggil ke kantor polisi, Yoona dicap pembawa sial oleh teman sekelasnya.

Kepala yang tertopang dengan tangan beberapa kali hampir jatuh ke atas meja. Pelajaran kelima setelah istirahat makan siang adalah waktu yang tepat untuk tidur. Perut yang telah terisi penuh dengan makanan dan pendingin ruangan yang menyejukan, ditambah lagi dengan mata pelajaran sejarah dunia yang membosankan. Yoona mengantuk.

Beberapa murid laki-laki yang duduk di barisan belakang sudah membenamkan kepalanya di atas meja. Menurut Yoona bukan salah murid jika mereka tertidur di kelasnya, karena memang semua yang diucapkan guru berumur lebih dari setengah abad itu terdengar tidak jelas. Ini semua karena faktor umurnya, gigi palsu yang beradu menciptakan suara aneh yang membuat orang lain ingin tertawa mendengarnya. Walau hampir semua murid tertidur, tapi Yoo Songsaenim tetap mengoceh panjang lebar tentang Pertempuran Laut Filipina yang terjadi pada masa Perang Dunia II.

Ketukan pulpen yang beradu dengan buku, kaki yang terayun-ayun di bawah meja, atau pandangan yang teralih kesana-kemari. Yoona sudah mencoba segala cara untuk dirinya tetap terjaga, tapi sungguh ia sangat mengantuk. Ia memang selalu mengatakan bahwa ia tidak perduli dengan orang-orang yang mati dimimpinya, tapi–hey, mengetahui seseorang yang akan mati di depanmu, itu adalah mimpi buruk. Lebih baik ia tidak mengetahuinya sama sekali.

Setetika suara-suara disekitar Yoona berkelebat seperti desisan lebah dan semuanya menjadi gelap. Oh tidak, ia tertidur.

Yoona hanya berdiam diri ditempatnya berada sekarang, keadaaan disini masih gelap dan sunyi, ini adalah awal mimpi kematian. Kemudian setitik cahaya muncul dan menampakkan seorang wanita yang berdiri di tempat yang tinggi–Eru tidak begitu yakin dimana wanita itu berdiri–sambil menatap ke bawah. Matanya bengkak, dia menangis sejadi-jadinya. Mengambil satu langkah ke depan, kemudian terjun dan menghilang dibalik lebatnya kabut.

Dia bunuh diri.

.

.

.

Yoona mendapati dirinya tengah berbaring di ranjang UKS. Pukul empat lebih lima belas menit, pikirnya ketika melirik jam dinding yang berada di sisi kanan di atas jendela yang terbuka lebar. Tas yang tergantung dipaku dan sepatu yang diletakan di bawah dekat sisi ranjang sebelah kiri. Ia tertidur terlalu lama.

Ia bangkit walau kepalanya masih berdenyut-denyut, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Yoona memenjamkan mata sambil mengingat lagi kejadian di kelas, ia tertidur, tetapi orang-orang pasti berpikir ia pingsan, sampai-sampai mereka menggotongnya ke UKS.

"Oh, kau sudah bangun." Mata Yoona kembali terbuka mendengar suara lembut itu. Senyum Han Songsaenim terlihat agak menyilaukan. Agak terdengar aneh sebenarnya, tapi bisa dibilang di sekolah ini Yoona jarang sekali melihat orang lain tersenyum kepadanya. Bisa dibilang mereka tidak menyukai Yoona.

Im Yoona yang orang lain kenal adalah gadis pendiam, suram, dan tidak bisa bersosialisasi, dan kenyataan itu memang benar adanya. Tahun keduanya di Aobe High School, Yoona belum memiliki teman, ia tidak punya teman. Yoona tidak pernah berpikir bahwa mereka tidak ingin berteman dengannya, tetapi sifat Yoona yang tidak bersosialisasi dengan sekitarnya, membuat teman-temannya sulit mendekatinya. Anggap saja seperti itu.

Tapi kenyataannya, banyak murid yang tidak menyukai Yoona. Contoh kecilnya Tiffany Hwang dan para aliennya itu, Yoona tidak pernah mencari masalah dengan merka, tetapi mereka terus mengusiknya layaknya hama. Itu menyebalkan. Yoona tidak pernah ambil pusing dengan ocehan mereka, tapi kenyataan bahwa mereka sering menyembunyikan barang-barangnya, membuat Yoona sedikit geram. Tetapi pada akhirnya, ia tetap memilih diam.

Yoona membalas senyum ramah Han Songsaenim dengan senyuman kecil. Guru perempuan itu mengambil alih kursi disisi kanan ranjang. Han Yuri, wanita itu berumur dua puluh lima tahun ketika masuk Aobe High School pada awal musim dingin tahun lalu. Dia terlihat masih terlalu muda untuk seorang guru matematika yang akan mengoceh panjang lebar ditengah jam pelajaran kalau ada murid yang tidak mendengarkan penjelasannya.

Kau hampir membuat Yoo Songsaenim terkena serangan jantung," Han Songsaenim bercerita dengan semangat tentang kronologi kejadian 'pingsannya seorang murid bernama Im Yoona.' "Dan kau membuat teman sekelasmu panik."

Alis Yoona terangkat tinggi-tinggi. "Benarkah?"

"Hei, orang lain pasti akan panik melihatmu tiba-tiba ambruk di dalam kelas, apalagi kepalamu membentur lantai."

Yoona menyentuh ujung perban dikepalanya, sebelumnya gadis itu tidak menyadari dan agak sedikit terkejut. Ia tersenyum kecil. "Mereka pasti sangat panik."

Ia turun ke sisi kiri ranjang, memakai sepatunya dan meraih tas yang tergantung. Berkata bahwa ia harus pulang karena hari semakin sore. Han Songsaenim bersikeras mengatakan bahwa 'dia harus mengantarkan Yoona sampai rumah dengan selamat', raut wajahnya terlihat khawatir dan Yoona menolaknya dengan sopan. Ia tidak ingin merepotkan guru itu, lagi pula rumahnya cukup dekat dari sekolah.

Han Songsaenim masih menatap khawatir dan berdiri di ambang pintu, bahkan ketika Yoona sudah berbelok kekiri, menuruni tangga lantai tiga. Pukul empat lebih tiga puluh menit, ia sempat melirik ke arah jam dinding sebelum keluar dari ruang UKS. Satu jam tiga puluh menit setelah bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid Aobe High School sudah pulang dan hanya Yoona yang masih berkeliaran di area sekolah.

Lampu lorong koridor di setiap lantai belum ada yang dinyalakan. Lampu dalam kelas yang menyala menembus jendela panjang, menyorot lantai koridor yang sepi. Yoona berjalan dengan tenang, ia tidak takut gelap, lagi pula jendela disepanjang koridor menampakkan pemandangan langit sore musim gugur yang berwarna orange.

.

.

.

Yoona berdiri di bawah bibir langit-langit gedung sekolah di depan pintu masuk. Hujan masih turun, walau tidak sederas tadi siang. Sekolah hampir kosong, banyak murid yang bergegas pulang. Sedangkan Yoona, ia harus menunggu hujan redah lebih dahulu, ia tidak membawa payung padahal tadi pagi sebelum berangkat sekolah Yoona menoton ramalan cuaca yang katanya hujan akan turun hari ini. Meskipun terlihat dingin, sesungguhnya gadis itu pelupa dan sangat ceroboh.

Gadis itu menyadari dalam tiga minggu ini belum terjadi kasus apapun. Tidak ada orang yang mati disekitarnya, mungkin lebih tepatnya belum. Yoona tidak begitu yakin, tapi bisa saja wanita di dalam mimpinya masih hidup. Pada dasarnya, hampir semua orang yang mati dalam mimpinya adalah orang yang tidak Yoona kenal. Jadi bisa dibilang, gadis itu sedikit tidak perduli.

"Dimana rumahmu?"

Yoona mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Seorang murid laki-laki berdiri disampingnya, tubuhnya menjulang tinggi dan mungkin dimatanya, Yoona terlihat kecil. Tunggu dulu, apa maksudnya dengan mengatakan 'dimana rumahmu?' Apa dia bermaksud menjahili Yoona? Kalau memang iya, mengapa dia bertanya?

"Nugu-ya?" tanya Yoona dengan ekpresi datar.

Murid laki-laki itu terdiam dengan wajah sedikit terkejut. "Kau tidak mengenalku?" tanyanya tak percaya.

Yoona berpikir sejenak, tapi hanya ada jalan buntu di depannya. Ia tidak mengenali murid laki-laki yang kini berdiri dihadapannya. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Kau jahat sekali," katanya dengan ekpresi terluka. "Ini aku Tao, Huang Zitao. Aku teman sekelasmu. Aku yang duduk disampingmu."

"Eh? Benarkah?" Yoona sedikit terkejut dan agak sedikit merasa bersalah. Karena memang selama ini Yoona tidak menghapal nama teman sekelasnya, ia cukup kesulitan untuk melakukan itu. Tentu saja kecuali Tiffany Hwang yang memang selalu mencari-cari masalah dengannya. "Maaf, aku kesulitan menghapal nama teman sekelas."

"Setidaknya kau mengenali wajahku." Tao terlihat jengkel. Tentu saja dia jengkel. Gadis ini sungguh keterlaluan.

"Mengapa kau bertanya dimana rumahku?"

Ah, hampir saja pemuda itu melupakan pertanyaannya tadi. "Aku bertanya karena ku pikir kau membutuhkan ini," Tao menyodorkan payung lipat. "Kau menunggu hujan reda, jadi ku pikir rumahmu jauh dari sini."

Yoona menatap payung lipat yang terulur di depan dada. "Rumahku hanya lima blok dari sini, lagi pula aku tidak membutuhkan payung itu. Aku menunggu hujan reda saja."

Salah satu alis Tao terangkat. "Astaga! Gadis ini keras kepala sekali!" katanya pada dirinya sendiri. Pemuda itu menarik tangan Yoona dan meletakkan payung di atasnya. "Kau tidak boleh menolak." Katanya mengancam lalu tertawa renyah.

Tao berlari ke lapangan ditengah derasanya hujan, berbalik, menatap Yoona lalu tersenyum dan berkata. "Kau boleh mengambalikannya besok."

Yoona hanya diam ditempat ketika Tao sudah mengilang dari penglihatannya.

.

.

.

Ujung sepatu Yoona menyentuh bibir trotoar disamping tiang lampu lalu lintas bersama pejalan kaki lainnya. Tetesan air hujan dari payung Tao mengenai pundak seorang pejalan kaki disampingnya. Astaga! Yoona sedikit terkejut. Wanita itu basah kuyup dengan rambut panjang yang menutupi wajahnya. Tingkahnya sedikit aneh. Seharusnya dia menutupi kepalanya dengan tote bag yang digenggamnya sekarang.

Lampu lalu lintas masih berwarna hijau, walau saat ini hanya sedikit kendaraan yang berlalu-lalang, tapi demi keselamatan biasanya pejalan kaki tetap menunggu lampu berwarna merah menyala. Tapi, wanita itu berjalan dengan langkah gontai menyeberangi jalan. Jalannya sedikit bungkuk dan juga pelan, seperti orang mabuk.

Tiba-tiba dari arah kiri melaju mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Tubuhnya terhempas kedepan, hampir saja wanita itu tertabrak. Banyak pejalan kaki yang histeris melihatnya. Tubuh Yoona bergetar hebat ketika wanita itu menyelipkan rambutnya kebelakang telinga. Wanita itu, dia, dia adalah orang yang bunuh diri dimimpi Yoona tiga minggu yang lalu.

Dia sedang mencoba bunuh diri?

Dia menerobos mobil-mobil dari arah kanan lalu terjatuh di troroar di seberang sana. Berlari pelan menabrak para pejalan kaki disekitarnya. Ketika lampu lalu lintas berwarna merah, Yoona langsung berlari mengejar wanita itu.

Tapi, ia tidak menemukannya. Yoona tidak menemukannya. Dimana? Dimana dia sekarang? Kalau dia ingin bunuh diri saat ini, mungkin hanya ada dua tempat yang bisa dia datangi. Jembatan dan gedung atau tempat bertingkat.

Beberapa hari terakhir cuaca buruk, hujan dan topan melanda Seoul. Aliran air di sungai sangat kencang, kalau dia terjun dari jembatan. Tubuhnya pasti tidak ditemukan. Kalau dari gedung atau tempat bertingkat, dia membutuhkan waktu untuk naik ke atas sana.

Kepala Yoona mendongak ke atas, walau pandangan sedikit buram karena hujan masih turun. Sepanjang jalan ini banyak tempat yang bertingkat, bisa saja tiba-tiba dia meloncat disalah satu gedung disini. Matanya menyipit, ada sesuatu yang jatuh dari langit. Semakin mendekat ke tanah mata Yoona melebar dan suara tulang remuk membuatnya kaku.

Dia sudah mati.

Yoona tidak bisa menyelamatkannya.

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

2.5K 426 42
♡ - ᴏᴜʏᴀɴɢ ɴᴀɴᴀ x ʜᴜᴀɴɢ ʀᴇɴᴊᴜɴ "ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴋᴇᴘʀɪʙᴀᴅɪᴀɴ ɢᴀɴᴅᴀᴋᴜ ɪɴɪ, ᴀᴘᴀ ᴀᴋᴜ ʙɪꜱᴀ ᴍᴇʟɪɴᴅᴜɴɢɪᴍᴜ?" ⚠️ɴᴏɴ-ʙᴀᴋᴜ ©ɴᴀɴᴊᴜɴʏʏ_2020 ꜰɪɴɪꜱʜ: 07/05/21 ✔
50.1K 2.9K 23
Gimana jadinya kalo anak nct ama wayV jadi selebgram Yang memodyarkan hati para netizen di setiap postingan nya azeg eaaaa . . . . . . ft. nct 2018+...
41.7K 5.2K 19
karena semuanya itu palsu.
76.2K 9K 25
[end] jihoon merasakan ada sesosok cewek pembawa gunting yang berada di rumahnya. Akhirnya dia meminta bantuan teman-temannya untuk mencari tau siapa...