Elementbender

By sciamachy

295K 13.5K 529

Seorang pangeran amnesia, percobaan pembunuhan yang gagal, dunia yang sekarat, dan enam pengendali elemen sin... More

Pre-Prologue
Prologue
1.1: Lost Discovery
1.2: Tea Party of Gloom
1.3: Ame Matsuzaki
1.4: Snowfalls and Fire
2.1: Five Mundane Years Later
2.2: Portal of Mundanity
3: The Arrival
4.1: Job Openings
4.2: Livestream Dream
4.3: Job-applyings
5.1: The Illusionbender: Founded
5.2: The Illusionbender: Childhood Friend Founded
6: Absurd Evening
7.1: Midnight Noises
7.2: A (Not-So) Light Conversation
8.1: And Evaliot Crambles
8.2: Early Morning
9: Prince-hunting
10: The Lifebender: Founded
11: The Windbender: Founded
12.1: Evidence Gathered
12.2: Evidence Stolen
13: The Wedding Organizers
14: Preparations
15: Forgive Me, Princey
16.1: The Elementbenders: Founded
16.2: Gotcha!
17: Welcome to Elemental Realm
18: First Strike of Corruption
19. The Rule Has Changed
20: Angels with Sharp Weapons
21.1: Painting the Roses Red
21.3: Wonder Lea
22.1: Okuto
22.2: A Broken Statue of a Broken Bloke
23.1: Tea Party of Doom
23.2: Exhausted
25.1: The Lair of Arashi
25.2: Soldiers Mobilized
25.3: Wait What?
26: Gaelea Outskirt
27.1: A Little Snack
27.2: Broken Sanctuary
28: An Unpleasant Visit
29: We Thought You Were...
30: Pool of Paint, Fire, and Corpses
31: Retaliate!
32. Eradicate!
33: The Helpers
34: Medicament
35: The Origin of Elementbenders
36.1: Mindwasher
36.2: The Morning After
37: Puppetshow
38.1: Run! Watch Out!
38.2: Poisoned Arrows
39.1: ... No, They're Not.
39.2: Dangerous Sanctuary
40.1: Rotten Roots
40.2: His Little Servant
41: Her Loyal Servant
42.1: Think, Takumi, Think!
42.2: Paschalis Returns
43: The Puppet Master
44: Final Payback
45: The Rebirth of Sanctuary
46: First Spark of Hatred
47: Vidar
48: Disturbances
49: Leaving Vidar
50: Pyrrestia and Thievery
51: Hide
52.1: Searching Genma
52.2: The Town Square Tragedy
53: Tea and Accident
54: Bounderish Soldiers
55: Gang Battle
56.1: End of a Dead End
56.2: Hide's Mansion
57.1: North Shore
57.2: The Six Separationists
58: Cloudy Morning
59: Elegant is Weird
60: Golden-Clad Masquerade
61: Sugar-coated Lies
62: Someone Whom You Loved...
63.1: Mad Masquerade
63.2: A Fair Bargain, A Fair Play
64: Strugglers
65.1: Revelation
65.2: Neutralization
66.1: Final Shot
66.2: Wounded, Sane and Alive
67: On The Way To The Shore...
68: Swim, Little Prince, Swim!
69.1: Shoreals and Their Troubles
69.2: Seas and Bloods Shan't Mix
70: The Illusive Prince
71: Witches All Around Me!
72: Of Knives and Roses
73. Kill His Majesty, Kill His Illusion
74. The King Strikes Back
75: Undamarie
76: Heart and Lungs
77: Mad Symphony
78: Innocence Lost
79: Crimson Floors and Stone Basements
80: Wanted Alive
82: Mirror, Mirror on the Wall
83: Prelude to a Downfall
84: The Dark Ascent
85: Mourning on a New Day
87: Ruined Rendezvous
88: Obligatory Hallucinatory
89: A Gift of Guilt
90: Incognito
91: Decadent Deluge
92: All You Can Eat...
93: Blood-Soaked Revelations
94: Face of a Goddess

81: Cookie Clairvoyance

719 47 5
By sciamachy

Pagi yang "tenang" di halaman depan menara pusat.

"Eh... apa-apaan ini?" tanya Takumi pelan, sebelah tangannya masih memegang poster sayembara itu. Dibacanya tulisan "DIINGINKAN SEGERA HIDUP-HIDUPKECUALI NOMOR 7" berulang-ulang. "Ini... benar-benar wajahku, 'kan?"

Seraut wajah dingin Takumi menatapnya balik dari poster itu. Dia tidak terlihat ramah.

Sakura segera merebut kertas tersebut, suaranya bergetar karena ngeri. "Yah, wajahmu. Memang." Kemudian tatapannya beralih pada teman-temannya yang lain, berpindah ke poster itu lagi, dan akhirnya tertuju pada Takumi. "Kalau kami berenam yang jadi buronan, itu... wajar. Tapi, kau?"

Giliran Ayumi yang menyambar poster tersebut. Namun alih-alih membacanya, gadis itu justru meremas-remasnya jadi bola, kemudian memasukkannya ke saku pakaian. "Ingat kata Grey Froth waktu itu? Yang katanya, dia... mengenal Pangeran tapi tidak ingin melaporkannya pada Denki?"

"Itu berarti kau sudah tidak aman lagi," simpul Genma cepat. Didorongnya bahu Takumi, menyuruhnya agar terus berenang. "Mungkin kita harus sembunyi dulu sebelum ke Muiridel. Bagaimana?"

Yang lain setuju. Lagipula Ayumi telah membawa mereka ke menara pusat; entah apa yang bisa dilakukan di tempat ini, berhubung Grey Froth juga tidak ada di sini lagi. Ayumi berenang mendahului mereka. Keenam temannya mengikuti, bergerak melewati rumpunan koral dan rumput-rumput laut kusut yang tumbuh tidak beraturan di halaman depan. Air di sini jauh lebih jernih dan biru dibanding air di pertambangan tadi.

Namun, bahkan ketika mereka telah sampai di pintu depan, tidak terlihat tanda-tanda kehidupan dari dalam menara. Segalanya serba sunyi. Ayumi mengetuk pintu berkali-kali, menunggu dengan sabar—tetapi pelayan yang diharapkannya akan membuka pintu tidak kunjung datang. Aneh. Akhirnya, didorongnya pintu itu perlahan. Tidak dikunci.

Ayumi menghela napas berulang kali sebelum memberanikan dirinya untuk—

"Cepat, cepat, cepat, cepat!"

"Kenapa harus patroli sepagi ini, sih—"

"Pasang mata yang benar! Jangan ngelantur! Heh, kamu—bicara apa tadi?"

Ada yang datang.

Ketujuh remaja tersebut refleks menoleh. Tidak jauh dari mereka, hanya beberapa jengkal dari gerbang depan, sepasukan duyung berseragam penjaga berenang melintas—suara kibasan ekor yang bersamaan membuat lautan seolah bergemuruh ketika mereka tiba. Pasukan itu berhenti sebentar di depan gerbang menara pusat. Seorang duyung yang berada di paling depan pasukan—kelihatannya berperan sebagai ketua pasukan—terlihat membelakangi menara, menatap jauh ke perairan tenggara Lunaver. Masih belum menyadari ketujuh buronan yang hanya beberapa meter dari tempatnya berada. Belum.

Ayumi membuka pintu depan menara itu cepat-cepat, tetapi sekaligus tanpa suara—yakin bahwa setelah pembaruan status mereka sebagai buronan tadi, lebih baik menghindar daripada mati sia-sia. Didorongnya teman-temannya memasuki bangunan satu persatu. Si hiu betina ia tinggal di luar, tetapi hewan itu juga mengerti dan langsung berenang ke bagian belakang menara, bersembunyi. Gadis itu sendiri masuk, dengan mata terus terpaku pada pasukan di depan gerbang—untuk jaga-jaga. Jantungnya memburu.

"Eh, tunggu, Bos.... Bukannya itu...."

"Apa?"

"Rasanya tadi aku lihat ada orang di depan bangunan—"

"Mana? ... Sialan, kau, Hoger. Tidak ada siapa-siapa!"

"Tapi, tadi...."

Ayumi menghela napas lega. Huh, untung saja—

"Bos! Bos! Ada hiu di belakang menara itu! ... I-itu dia!"

"Hiu? Mana bisa ada hiu di sini?"

—mampuslah kita.

***

Ruangan itu gelap. Dengan segala debu yang menempel di furniturnya—melapisi setiap buku dan perkamen seperti selaput tipis kulit—aneh melihat satu-satunya makhluk di ruangan tersebut tidak merasa terganggu, tetapi memang begitulah dia. Seorang pria berambut kelabu pucat terdiam di tengah-tengah lantai. Kaki-kakinya yang telanjang mencecap lantai dingin, kotor dan basah.

Pria itu menghembuskan napas perlahan. Tidak ada udara yang keluar.

Tatapannya mengarah ke atas—ke arah gantungan lampu yang telah lama tidak dinyalakan—berpikir-pikir apa hari ini ia harus menyalakannya juga, meskipun api hitam mungkin tidak akan menerangi ruangan ini sebaik api kuning. Tidak usah. Tempat ini punya listrik. Listrik yang terlalu remeh dan lemah, mungkin, tetapi lebih baik daripada api yang menyusahkan.

Dia akan datang hari ini. Harus bersiap-siap.

Dengan mantap, digerakkannya kaki ke arah salah satu rak buku; suara decap-decap basah timbul dari telapak kakinya begitu ia berjalan. Dibaliknya rak tersebut. Sekotak akuarium kaca pun terlihat, diisi cairan penuh energi elemen, menampung sosok tak bernyawa—belum lagi bernyawa—di dalamnya.

Ia berpindah ke rak buku lain, menganalisis satu demi satu spesimen di setiap kotak kaca. Akuarium kelima masih kosong. Pria itu terdiam sejenak, memandangi air kehijauan tersebut, berpikir.

"Apa gunanya ini?"

Dia pengendali pengganti yang paling sempurna. Denki sendiri berkata demikian. Namun ada saat-saat di mana Maero tertegun, menyadari jalan pikirannya sendiri yang tidak lengkap—seolah ia hanya benda yang diberi kuasa laksana sang Pengendali Tunggal. Tidak berguna setelah Denki "selesai" dengannya. Tidak ada artinya.

"Lois, coba jelaskan," Maero bersuara. Diketuk-ketuknya kaca akuarium yang kosong. "Betapa lucunya kita—bertarung melawan refleksi kita sendiri? Dasar bodoh. Hah."

Namun, pikiran itu tidak pernah berlangsung lama. Toh ia punya tujuan yang lebih penting dibanding sekadar bertanya, bertanya, dan bertanya. Lakukan saja tugasmu dan diamlah, ia terus mengingatkan diri sendiri.Sang Raja tidak suka anak yang membangkang. Idiot.

Maero tersentak. Pintu depan kastil terbuka.

Ayahnya sudah tiba. Bersamaan dengan kedatangannya, ia merasakan energi sihir baru di udara—selain listrik dan keseimbangan miliknya—ilusi, api, angin, kehidupan. "Teman-teman"-nya sudah datang. Ia harus segera menyambutnya.

***

"Siapa sih itu?" tanya Higina dengan napas tersengal-sengal begitu Ayumi akhirnya menutup pintu, meskipun ia sebenarnya tahu siapa orang-orang di luar sana; pasukan patroli, apa lagi? Ia hanya gugup tidak keruan. "Pertama senjata, kemudian jadi buronan mendadak, dan sekarang ini."

Tidak ada yang membalas. Pagi ini sudah cukup membingungkan bagi mereka.

Takumi refleks menarik sebuah sofa dari sudut ruangan, mengganjalkannya ke pintu, membuat barikade bagi siapa pun yang hendak mendobrak dari luar. Rira dan Genma membantu. Beberapa menit kemudian, satu set sofa yang tadinya menghiasi ruang tamu kini bertumpukan tidak keruan di dekat pintu. Lebih baik jaga-jaga daripada menyesal.

Tempat ini amat senyap kecuali untuk suara deburan laut yang kadang terdengar. Ruangan lingkaran dengan tangga melingkar di tengah-tengahnya—marmer lantainya berwarna hitam-putih seperti papan catur, dan dindingnya dihiasi pola abstrak ungu dan emas. Hamparan karpet putih menutupi lantai di beberapa tempat. Bagian sisi kiri ruangan dikhususkan untuk menerima tamu, sementara bagian kanan menyimpan patung-patung rusak dan sebuah pintu ganda yang kelihatannya mengarah ke dapur. Ayumi segera berbelok ke kanan.

"Kalian harus makan," katanya singkat. Yang lain mengikuti.

Keadaan dapur ternyata tidak lebih baik dibanding ruang tamu. Lantainya ditumbuhi alga hijau; kotor dan pecah-pecah. Sebuah cabang pohon laut memaksa masuk ke dalam ruangan melalui jendela yang berlubang, membuat siapa pun yang berada di luar bisa melihat dapur dengan leluasa—yang membuat Higina ngeri. Gadis itu refleks menutup jendela tersebut rapat-rapat. Sementara itu, teman-temannya telah duduk di kursi meja makan, melepas lelah. Si kecil Metsuki dibiarkan bermain-main di bawah meja.

"Apa lagi setelah ini?" tanya Sakura pelan. Ditumpukkannya siku ke permukaan meja. Rambut keemasannya kini tergerai, mengambang lepas di sekitar wajahnya. "Harusnya kita ke Muiridel. Tapi setelah ada poster itu.... Astaga."

"Yah, kita harus ke sana." Tabitha meliriknya. "Menurutmu aku tidak ingin melihat rumahku juga, apa?"

Tidak ada yang berkomentar lagi. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri—atau, untuk Metsuki, dengan semak-semak alga yang kini digigit-gigitnya dengan antusias. Higina memutuskan membantu Ayumi mencari makanan. Tidak banyak yang tersisa di lemari penyimpanan kecuali beberapa biskuit dan sayur laut kering.

"Atau—oh iya!" Suara semangat Tabitha tiba-tiba terdengar lagi—sekaleng biskuit di tangan Ayumi nyaris jatuh karena kaget. "Ada jalur bawah tanah di Muiridel! Kalau kita bisa ke sana...."

"Bawah tanah? Seperti Gaelea Imavea?" Higina berkomentar. DItaruhnya setoples sayur kering ke atas meja, setelah memastikan benda itu cukup berat untuk tetap di permukaannya. "Kau yakin tidak ada penjaganya?"

Tabitha mengangkat bahu. Ditatapnya toples tersebut, seolah menimbang-nimbang akan makan atau tidak. Rasa laparnya menang. "Bekas peperangan. Para duyung bilang jalan itu berhantu. Tapi itu hanya desas-desus para pengendali agar tidak ada yang terluka di sana," sang gadis air menjelaskan. "Mereka suka... berbohong demi kepentingan rakyat. Entahlah."

Mereka terdiam beberapa saat. Masing-masing sibuk mengunyah biskuit dan sayur kering—entah kapan terakhir kali mereka makan. Ini pun tidak terlalu mengenyangkan, tetapi tidak banyak pilihan lain di dapur ini. "Terluka, hmm?" Sang pangeran bergumam. Mulutnya penuh dengan makanan. "Memangnya ada apa di sana?"

"Ada belut raksasa yang suka makan korban," tandas Tabitha serius. Takumi mengerjap-ngerjap, berusaha mencerna. "Maksudku...tempat itu sudah lama tidak diurus. Gelap, bertekanan tinggi, hal-hal semacam itu—"

"—kalau begitu kenapa kita harus lewat sana?" potong Sakura tajam, alisnya mengerut heran.

Si gadis air mati kutu. Tidak tahu harus menjawab apa, akhirnya ia hanya mengambil lebih banyak biskuit, memasukkannya ke mulut. Keenam-enamnya tidak menyadari Ayumi yang telah meninggalkan ruangan, sibuk dengan urusannya sendiri—bahkan tanpa mengambil satu pun biskuit dari kaleng. Metsuki telah lama bosan dengan alga hijaunya. Kucing itu kembali ke dekat kaki Rira, menggosokkan bulu kelabunya pada sang majikan.

Tabitha menatap Metsuki diam-diam (sambil berharap Rira tidak memerhatikannya—tapi tentu saja pemuda itu telah menyadarinya sejak tadi), menghela napas kesal dan akhirnya melanjutkan. "Hanya itu ide yang aku punya," katanya pelan. "Janji tidak akan ada apa-apa. Atau mungkin kita bisa... pura-pura menyerahkan diri, tapi bagaimana nasib Takumi nanti?"

Kali ini, giliran Takumi yang mendengus kesal. Genma menyikut bahunya.

"Aku setuju," pemuda berambut merah itu berkata tiba-tiba. Tabitha segera menoleh ke arahnya, senyum terkembang lebar.

"Terlalu beresiko, tapi... boleh," gerutu Sakura akhirnya. Diambilnya potongan biskuit kelimanya, langsung menjejalkannya ke mulut. "Itu berarti kita benar-benar butuh senjata baru sekarang. Sialan kau Grey Froth."

"Aku dan Ayumi mungkin setuju," Higina mengangkat bahu. Gadis itu sempat mengernyit melihat cara makan Sakura yang sangat-bukan-lady, tetapi ia diam saja—dan lagipula biskuit itu sekarang sudah lenyap ditelan si gadis angin. "Menjelajahi terowongan sudah biasa buatku. Kau, Rira?"

Semuanya menoleh ke arah pemuda itu. Ruangan mendadak dingin. Sang pengendali listrik menatap jendela yang tertutup tirai sejenak, seolah memikirkan sesuatu—kemudian bersuara.

"Tidak."

Senyum Tabitha melenyap.

"... Maksudmu?"

"Pengendali air pengganti. Jangan bunuh dia." Keheningan yang janggal mengisi udara. Masing-masing dari mereka menunggu pemuda itu melanjutkan kalimatnya, tetapi ia diam saja—seolah memang hanya itu maksudnya. Tabitha mencengkeram kepingan biskuitnya erat-erat. Hampir saja meremukkannya.

"Kenapa? Mereka semua, 'kan, harus diusir. Tanpa kecuali." Ia tidak berani menatap mata tajam Rira—yang selalu membuatnya gelisah—jadi ia hanya mengarahkan pandangannya lurus ke puncak hidung pemuda itu, membuatnya seolah tengah menantang balik. Tabitha menelan ludah. Benaknya tidak habis pikir. Ia menunggu salah satu temannya yang lain untuk ikut membela—mungkin Higina atau Sakura—tetapi mereka pun hanya bungkam, dan situasi di dapur ini bertambah canggung dari detik ke detik. Sial.

Jangan bunuh pengendali pengganti. Di saat itulah yang tengah mereka lakukan selama ini.

"Ya, tapi...," Rira bersuara lagi, kemudian terdiam. Perkataannya menggantung di udara. "Aku punya firasat—maksudku—"

"Firasat?" Genma buru-buru memotong. Tidak biasanya si pemuda api terdengar seheran itu. "Kau ini masih Rira, 'kan?"

Memang aneh bagi yang telah lama mengenal Rira—para pengendali listrik terbiasa menggunakan otak dan bukannya perasaan mereka, mengabaikan segala penilaian personal dan pemikiran subjektif seperti yang dimiliki pengendali-pengendali lainnya. Cara berpikir seperti itulah yang menjaga kestabilan elemen hingga sekarang.

Dan Rira? Yah, ini bukan pertama kalinya pemuda itu berbeda pendapat dengan teman-temannya—tetapi ini jelas pertama kalinya pemuda itu tergagap saat bicara.

"Entahlah. Lupakan."

Ia membuang muka. Tabitha melepaskan cengkeramannya pada remukan biskuit tersebut perlahan-lahan, entah merasa lega atau bertambah bingung. Apa yang salah dari membunuh orang yang (pastinya telah) mengacak-acak Muiridel, sama seperti Sakura menghabisi Synthetic Elf atau Ayumi dengan Grey Froth? Memangnya siapa dia—memangnya Rira pernah lihat pengendali air pengganti secara langsung, apa? Gadis itu masih gusar. Untungnya, Higina telah kembali dari perburuan singkatnya di dapur dan datang dengan toples sayur kering kedua. Lebih baik mengunyah daripada berpikir macam-macam.

Mungkin dia melihat sesuatu, mungkin dia bisa meramal, mungkin dia....

Percuma. Makanan sedikit ini sama sekali tidak membantu.

Diliriknya Rira sekali lagi (sambil berharap pemuda itu tidak memergokinya—tetapi tentu saja Rira telah menyadarinya sejak tadi). Ada yang aneh dari si pemuda listrik hari ini. Seperti lebih ragu, lebih waspada. Entah karena apa.

"Hei, aku sudah siapkan baju buat kalian," suara lembut Ayumi tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Keenam temannya menoleh. Sang gadis ilusi telah berganti pakaian sekarang—gaun cokelat-hitam polos yang sekilas mirip gaun pelayan minus celemeknya. "Ada di kamarku... di atas. Buat yang laki-laki, coba cari... di kamar pelayan; di lantai dua. A-aku tidak yakin soal pakaian kalian." Tangannya menunjuk ke arah tangga dengan canggung. "Kalian sudah selesai makan, 'kan?"

Akhirnya, sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Tabitha menjadi yang pertama berdiri dari meja. "Ada warna putih?" Ia langsung bertanya; setengah berbisik pada Ayumi. Gadis itu menggeleng.

"Warna terang tidak cocok untuk penyamaran, Tabitha."

"Bagaimana soal senjatanya?" Sakura ikut nimbrung. Dilemparnya kaleng yang telah kosong di atas meja, lupa bahwa benda itu kini terlalu ringan untuk ditaruh di sana. "Satu lagi: kali ini tidak ada rangka besi di rok kita, 'kan? Kalau iya, lebih baik aku terus saja pakai selimut ini."

"Oh, ayolaaah," gerutu Higina. Diangkatnya tubuh dari kursi meja, dan dengan satu tangan yang tidak memegang toples, didorong-dorongnya punggung Sakura agar mengikuti Ayumi. "Ini lautan, bukan Pyrrestia! Dasar nenek-nenek bawel." Dalam waktu singkat, para gadis itu pun telah meninggalkan dapur menara. Kini tinggal tiga orang dan satu kucing kelabu yang tersisa.

Takumi mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa irama, mengisi kekosongan. Genma mencari remah-remah biskuit yang tersisa di kaleng makanan. Rira memandangi jendela yang tertutup tirai. Masing-masing dari mereka hanya terdiam; bingung mau berkata apa.

"Heh, kalo dipikir-pikir," gumam Genma tiba-tiba. Wajahnya termangu, dengan sebelah tangan menyangga dagunya. "Kenapa Denki ingin kita 'hidup-hidup', ya?"

Continue Reading

You'll Also Like

254K 777 11
CERITA DEWASA KARANGAN AUTHOR ❗ PLIS STOP REPORT KARENA INI BUKAN BUAT BACAAN KAMU 🤡 SEKALI LAGI INI PERINGATAN CERITA DEWASA 🔞
624K 37.8K 63
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
2.3M 137K 49
•Airis Ferdinand. Aktris cantik dengan puluhan mantan pacar, baru saja mendapatkan penghargaan Aktris terbaik di acara Awards international. Belum se...
363K 20.9K 25
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...