“Rumah!” teriak Genma. Dibentangkannya tangannya lebar-lebar, seolah memeluk hutan itu dalam sekali rengkuhan. Sayapnya ikut terbentang di balik punggungnya.
Jadi selain aneh, dia juga sinting, Takumi bergidik. Keenam pengendali elemen telah memukaunya sepanjang hari ini, bahkan dari pertama kali ia menjejakkan kakinya di dunia elemen. Sifat mereka unik dan sulit ditebak. Takumi menatap ke dalam mata mereka satu persatu dan menemukan... teman. Enam orang teman yang rela melakukan apa saja untuknya. Bayangan Jules berkelebat di otaknya. Gadis hippie itu satu-satunya teman yang Takumi punya di Fukui, dan satu dari sekian orang yang pernah menariknya ke dalam masalah besar. Katana curian itu....
Takumi memandang keenam temannya diam-diam. Para pengendali elemen juga menariknya ke dalam masalah besar, tetapi Takumi hanya tertawa begitu mengingatnya. Membawa keranjang bola basket dari lantai lima ke lantai satu lebih melelahkan daripada menyingkirkan boneka-boneka sinting itu. Ia tersenyum getir. Jadi ini sifat “Takumi” sebenarnya. Pangeran tanpa perasaan. Tidak merasa bersalah setelah membunuh orang. Takumi mengedikkan bahu, kemudian berlari menyusul teman-temannya.
Anehnya, semakin ia memikirkannya, semakin ia yakin bahwa “Takumi” yang sebenarnya adalah seorang laki-laki jahat berpikiran licik, bukan seorang pangeran. Atau mungkin itu hanya pengaruh Fukui yang sudah lama ditinggalinya? Takumi sudah menjadi bagian dari manusia selama lima tahun lebih. Selama itu, ia menghabiskan waktunya mempelajari biologi dan anatomi manusia. Dia masuk Fakultas Kedokteran dan bercita-cita menjadi dokter bedah suatu hari nanti. Begitu ia pulang ke rumah dari kampusnya, benaknya langsung disuguhi berita-berita kriminal dan laporan bunuh diri yang ditayangkan stasiun-stasiun televisi swasta Jepang lewat televisi 21 inci yang dibeli Aya dengan harga miring di sebuah supermarket kecil. Banyak orang bunuh diri di Jepang. Takumi menutup matanya erat-erat, enggan mengingat-ingatnya lagi.
Yang lalu sudah berlalu.
Begitu ia membuka mata, dilihatnya Genma menganggukkan kepalanya ke arah pepohonan rimbun di sekeliling mereka dan menyuruh teman-temannya agar diam. Gerombolan kecil tersebut berhenti berjalan, mengikuti instruksi Genma. “Kita bisa istirahat di sini sampai besok.”
Takumi tidak memedulikannya. Ia lebih tertarik akan hutan itu sendiri; hutan yang sedari tadi tidak diacuhkannya karena terlalu lama melamun. Hutan itu terlihat mengagumkan dibanding pohon-pohon raksasa yang dilihatnya sepanjang hari di Etheres. Pepohonan di sini tinggi menjulang dengan cabang-cabang kokoh yang berjalinan satu sama lain, beberapa cabangnya tertunduk ke bawah dengan ujung ranting menyentuh tanah cokelat. Jarak antara pohon-pohon tersebut tidak terlalu rapat, tidak terlalu renggang; seseorang berbadan ramping bisa menyelinap di antaranya dengan mudah. Warna kayu cokelat tua dan daun hijau muda membuat Takumi bertanya-tanya, betapa miripnya hutan ini dengan hutan-hutan lain di Fukui... atau di bumi. Satu-satunya perbedaan adalah warna daunnya. Beberapa pohon memiliki daun cokelat terang hingga merah keunguan, mewarnai hutan rimbun tersebut dengan corak warna-warni yang semarak.
Semak-semak setinggi mata kaki tumbuh menjalar di lantai hutan yang subur. Ketujuh orang itu mencari-cari daerah yang tidak ditumbuhi semak-semak, menemukan sebidang tanah cokelat polos yang hanya dirambati sulur-sulur mungil, dan menatap satu sama lain. Sebidang tanah itu dipagari semak-semak berduri setinggi lutut yang pernah dilihat Takumi di Etheres. Takumi menyiapkan pisaunya, baru akan membersihkan semak-semak itu dari jalannya ketika Genma menggeleng. “Tidak usah. Kita bisa bersembunyi di baliknya kapanpun mereka datang.”
Para pengendali mulai menjatuhkan senjata mereka dan bersimpuh di atas tanah, kemudian perlahan-lahan duduk di lantai hutan, seolah-olah jebakan berduri bisa muncul kapan saja dari bawah kaki mereka. Telinga Takumi mulai gatal ketika seekor capung beterbangan di sekitarnya, mengganggunya dengan suara dengungan sayap. “Mereka?” tanyanya, menatap Genma denga alis terangkat.
Genma mengedikkan bahu. Pemuda itu ikut melepaskan sabuk yang menahan sepasang pedang dan botol minumam pemberian Salvatrix, membalas tatapan Takumi sekilas sebelum matanya teralih pada seekor burung liar yang bertengger tanpa suara di salah satu cabang pohon. “Mereka. Siapapun yang akan datang,” jelasnya singkat. “Tempat ini terbuka untuk umum, dan kadang-kadang ada anak-anak bermain di sini.”
Oh, jadi tempat ini tidak sepenuhnya aman. Takumi mengangkat bahu sambil menatap ke sekeliling hutan. Tidak ada yang bisa dilakukannya, sementara langit semakin gelap. Mungkin Genma benar. Mereka perlu istirahat untuk semalam, dan melanjutkan perjalanan mereka besok.
Tapi ke mana setelah ini? hati kecil Takumi berteriak panik. Kalau mereka bahkan tidak disambut baik di desanya sendiri....
“Minum?”
Takumi tersentak. Sebotol air pemberian Salvatrix diangsurkan ke arahnya oleh sepotong tangan putih berkuku pucat kemerahan. Tabitha memiringkan kepala, menatapnya. “Anda mau dipanggil “Yang Mulia” atau “Takumi-sama”?” tanyanya pendek. Mulutnya mengerucut. “Aku suka lupa memanggil Anda Takumi-sama.”
Takumi membatalkan niatnya menerima botol minuman tersebut dan terhenyak mendengar perkataan Tabitha. Cukup sudah. Ia muak diperlakukan seperti orang mulia di hadapan orang-orang yang sudah menyeretnya ke dalam masalah besar ini. Mungkin para pengendali memanggilnya “Yang Mulia” untuk memicu ingatannya akan masa-masanya di “istana”, tapi siapa peduli? Ia benar-benar butuh teman di sini. Seseorang—atau enam orang—yang bisa tertawa bersamanya tanpa merasa canggung. Ia bukan pangeran. Paling tidak, bukan sekarang.
“Takumi,” jawab Takumi pendek. Ditekuknya kedua lututnya dan dengan hati-hati mendudukkan dirinya di antara para pengendali, berhati-hati agar tidak menginjak sulur-sulur berduri yang merambat di dekatnya. “Panggil aku Takumi. Anggap aku orang biasa. Jelas?”
Keenam pengendali terdiam. Tatapan mereka menerawang.
“Kami selalu dibiasakan untuk bersikap segan terhadap keluarga kerajaan,” kata Tabitha akhirnya, meliriknya dengan ekspresi datar. Sepasang mata silvernya seolah tersenyum hormat meskipun mulutnya terkatup hingga segaris. “Kami hanya... harus segan terhadap orang-orang mulia, atau para orang tua. Ini sudah tradisi. Para pengendali yang sebelumnya juga begitu.”
“Tapi kalian bukan pengendali yang sebelumnya,” bantah Takumi. Tabitha tertegun. “Berhentilah bersikap seperti anak-anak yang terikat aturan. Kita masih muda! Menjadi pengendali elemen ternyata semembosankan itu, ya?”
Takumi nyaris akan tergelak dan menampar mulutnya sendiri. Siapa yang bicara tadi? Seperti bukan dirinya sendiri. Untuk sesaat, suaranya terdengar lebih lantang dari suara aslinya, lebih tegas dan berwibawa.
Seperti seorang... ah, sudahlah.
Keheningan yang janggal menggantung di langit-langit hutan ketika para pengendali elemen menatap jauh ke depan, tertegun akan perkataan Takumi. Bahkan suara burung yang mencicit riuh pun tidak terdengar lagi. Takumi menyambar botol minuman itu dan meneguk isinya yang tinggal sedikit. Rasanya lumayan. Andaikan di sini ada sumur yang airnya jernih, pasti masalah kekurangan minuman bisa diatasi.
“Oke, ... Takumi,” gumaman pelan Genma mengagetkannya. “Saatnya kita berhenti pura-pura hormat, teman-teman. Kami muak memanggilmu “Yang Mulia” terus,” seringaian anehnya terkembang, tetapi sekarang Takumi bisa menerjemahkan artinya. Seringaian seorang berandalan kecil yang baru saja diberitahu bahwa dia tidak usah belajar hari ini. “Sebaiknya kita nyalakan api unggunnya sekarang.”
Cahaya matahari meredup dan keseluruhan hutan itu mulai gelap. Takumi berusaha menebak-nebak arah mata angin berdasarkan posisi matahari—barat pasti berada di tempat matahari menghilang, dan timur berada di sisi yang berlawanan. Apa matahari di dunia elemen tenggelam di barat? Takumi mengedikkan bahu.
Genma dan Rira menjelajah masuk ke dalam hutan, kembali dengan setumpuk kayu bakar. Kayu-kayu kering sehitam jelaga yang menerbangkan debu dan kerak-kerak tanah ketika Rira menjatuhkannya di tengah-tengah mereka. Genma meniup-niup udara di atasnya, dan api berwarna putih cemerlang muncul entah dari mana, berkobar-kobar menerangi hutan yang gelap. Api putih dan kayu hitam. Takumi ternganga melihat api yang menari-nari, mengagumi warna putihnya. Seolah didatangkan langsung dari surga. Namun, ia tidak berkomentar banyak. Segala hal memang aneh di dunia elemen.
“Ada kolam di ujung sana,” kata Genma, menunjuk ke arah kedalaman hutan. Ke arah timur. “Kalian bisa mandi kalau mau,” lanjutnya sambil menelan sebutir beri liar. Ia juga memetik beberapa makanan selain mencari kayu bakar.
Mereka hampir mengangguk, tetapi langsung menggeleng melihat betapa gelapnya hutan sekarang ketika matahari sudah terbenam. Sulit menemukan sebuah kolam kecil di tengah rimbunnya hutan dan gelapnya malam.
Higina duduk bersilang di antara mereka, menarik sayapnya lebih rapat ke seputar tubuhnya. “Pyrrestia hanya beberapa menit terbang dari sini,” gumamnya datar. “Kita perlu makan yang lain selain beri liar. Air minum bisa diambil dari kolam.” Gadis itu menggigit berinya, mencernanya, terhenyak mendapati rasa asam beri tersebut masih tertinggal di bibirnya. “Seperti gelandangan,” bisiknya getir.
Tabitha menelan berinya bulat-bulat dan langsung tersedak. Ditepuk-tepuknya perutnya sambil memuntahkan biji beri ke tanah. “Maaf,” desisnya. “Lapar—ukh—sekali.”
Sisa malam itu dilalui mereka dengan melamun. Suara kepakan sayap kelelawar samar-samar terdengar. Semak-semak di sekitar mereka bergerak-gerak sekilas, tetapi para pengendali bahkan tidak memerhatikannya. Takumi mengangkat alis. Palingan hanya kelinci.
Di kegelapan, siluet pepohonan terlihat menakutkan—seperti sebarisan tentara yang mengepung ketujuh remaja itu dan mengancam membawa mereka ke hadapan sang Raja. Ranting yang mencuat-cuat lebih mirip tangan kurus dengan jemari lentik yang bisa menarik mereka kapan saja, sesekali bergoyang tertiup angin. Mereka duduk lama, tanpa bicara apa-apa, hingga akhirnya menyerah dan memutuskan untuk tidur—api unggun dipadamkan dan sebidang tanah di tengah hutan itu kembali gelap gulita. Para pengendali elemen meluruskan sayap mereka, merebahkan diri di tanah, mencari posisi ternyaman untuk tidur dan langsung terlelap. Kepala mereka berbenturan langsung dengan lantai hutan yang keras. Takumi membaringkan tubuhnya di dekat mereka, berpikir-pikir.
Bahkan tidak ada “selamat tidur”, Takumi mengerutkan kening. Ia banyak mengerutkan kening akhir-akhir ini. Siapa mereka sebelumnya? Manusia, atau... atau...
Takumi menyerah, membiarkan kantuk menguasainya.
***
Pagi hari. Matahari sudah sepenuhnya terbit ketika aktivitas hewan-hewan hutan dimulai. Tupai-tupai melongok keluar dari sarangnya, bergegas turun dari pohon dan menghilang di balik semak-semak. Burung-burung kecil bertengger malas di ujung ranting sambil bersiul asal-asalan, memanggil teman-temannya. Seekor kijang berlari-lari menghampiri kolam kecil tersebut, menundukkan kepalanya dan minum. Setelah puas, ia berbalik kembali ke keluarganya.
Rira menjadi yang pertama kali bangun hari ini (dia selalu menjadi makhluk yang pertama kali bangun di dunia ini, selain hewan-hewan hutan) dan terdiam sesaat, menatap semak-semak berduri di dekatnya. Sinar matahari menyorotnya, membuatnya benar-benar terjaga. Matahari belum terlalu tinggi. Langit masih berwarna biru dengan semburat ungu dan merah. Segumpal awan kecil melayang di langit, sendirian. Rira menatap teman-temannya yang tidur pulas. Senyum tipis terukir di wajahnya—senyum yang malah membuatnya mengernyit. Ia nyaris tidak pernah tersenyum. Tidak semudah itu.
Rira menengadah, menatap awan kecil itu, kemudian menatap teman-temannya lagi.
Awan kecil itu memekat dan mengambang lebih rendah, massanya bertambah berat dan padat. Gumpalan-gumpalannya bergesekan dengan langit yang perlahan menghitam. Kemudian, secepat jentikan jari, awan itu memuntahkan petirnya. Kilat petir terlihat lebih awal sebelum suaranya terdengar. Petir itu membelah udara dalam gelegar keras yang membangunkan keenam orang tersebut seketika, memaksa mereka terjaga. Petir itu menyambar tubuh Rira, terserap ke dalamnya, dan lenyap. Awan kecil itu meringan. Langit kembali cerah seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Tidak ada hujan setetes pun.
Rira menutup mata dan sebisa mungkin meredam guncangan dalam tubuhnya, merasakan muatan listrik menyerap ke dalam pembuluh darahnya. Ia membuka matanya kembali.
Aktivitas pagi itu dimulai dengan memakan beri liar yang tersisa di genggaman mereka dan memetik lebih banyak beri sebagai perbekalan. Semak-semak beri bertebaran di sekitar mereka, di sepanjang hutan—sumber makanan yang selalu tersedia dan tidak pernah habis. Setelah tangan dan rompi mereka penuh oleh beri liar, mereka berkumpul di sekeliling api unggun yang padam, membentuk lingkaran, memakan sedikit lagi beri tanpa berbicara sedikit pun. Higina mengelus-elus perutnya sambil tertawa kecil.
“Jangan dimakan semuanya, dasar rakus. Kemarin aku selapar singa, dan sekarang sekenyang kuda nil.”
“Mmmh,” gumam Sakura, mulutnya menggembung. Dicernanya sebutir beri yang masih tertinggal di rongga mulutnya, meninggalkan bijinya di sisi kanan mulutnya, kemudian berbalik dan memuntahkannya. “Itu namanya kau yang rakus.”
Higina memelototinya, tetapi tidak berkomentar apa-apa.
Setelah itu, mereka harus—terpaksa—mandi. Genma mengantar mereka ke kolam kecil itu, tempat kijang dan burung biasa minum. Katanya, perjalanan ke sana hanya memakan tiga menit. Takumi menebas semak-semak berduri yang menghalangi jalan mereka beberapa kali, dengan pisau yang dibawanya. Ia bergidik ketika sepotong kecil duri tertancap di ujung rompinya. Bagaimana cara Genma dan Rira melewati duri-duri ini kemarin malam? Terbang, mungkin. Mereka punya sayap. Aku tidak, pikirnya. Namun ia punya sayap sebelumnya, bekas dua sayatan itu masih membekas di punggungnya. Membayangkan dirinya sendiri dengan sepasang sayap membuatnya mengernyit.
Lamunannya terhenti ketika kakinya menginjak sesuatu. Seekor landak. Takumi tersentak, buru-buru mengangkat kakinya dan membiarkan hewan kecil itu lari terbirit-birit ke arah semak-semak. Telapak kakinya nyeri.
“Di sebelah sana,” kata Genma, menunjuk suatu tempat di depan mereka. “Itu kolamnya.Tempatnya aman—dikelilingi semak tinggi. Airnya bisa diminum. Hanya satu hal,” Genma menarik napasnya, melirik ke arah pakaian Sakura, dan mengedikkan bahu. “Jangan mencuci darah di situ. Darah apapun.”
Sakura menggetarkan sayap capungnya dengan kesal. Ditendang-tendangnya kerikil selama ia berjalan. Sambil bersedekap, gadis itu berkata, “suaramu mirip nenek-nenek, Genma. Bawel.”