“Anda perempuan tercantik yang pernah kulihat, Milady,” bisik Űbeltat lembut, menundukkan kepalanya sedikit. Falcon muda tersebut tersipu-sipu. “Benar-benar cantik, maksudku... wajahmu, tubuhmu, apa yang ada di dalamnya.”
Perempuan itu menegakkan wajahnya dan berusaha terdengar setenang mungkin saat berbicara, meskipun hatinya berbunga-bunga. “Terima kasih, tapi... ah. Anda bangsawan, sementara aku hanya... rakyat biasa.”
Ini Pyrretraff, jantung Pyrrestia. Tidak ada satupun warga yang curiga terhadap pemerintahan Űbeltat yang terkesan membuang-buang uang. Membuat pesta ini, membuat pesta itu. Semua rakyat yang memiliki pakaian mewah dan wajah lumayan diperbolehkan menghadiri pesta—hanya itu syarat yang dikenakan sang pemimpin baru. Manor yang sebelumnya diduduki sang pengendali api kini diambil alih oleh Űbeltat. Pria itu mengecatnya ulang dengan emas dan kemewahan yang berlebihan, mengadakan pesta hura-hura di dalamnya, dan duduk di singgasana barunya yang nyaman. Para falcon bahkan tidak mempermasalahkannya sedikitpun. Pikiran mereka telah diracuni sesuatu—hal sama yang terjadi dengan para elf.
Perempuan itu salah satunya. Gadis itu bukan wanita tercantik yang pernah ia lihat, sebenarnya—tetapi tetap cantik, dan ucapan tadi hanya bualan sambil lalu. Űbeltat dengan singkat meninggalkan kios pecah-belah tersebut dan meneruskan perjalanannya. Hiruk-pikuk Pyrretraff membuatnya tersenyum masam. Berpuluh-puluh falcon berhenti dan menepi di pinggir jalan, anak-anak yang bertubuh mungil mengepakkan sayapnya agar bisa melihat sang pemimpin baru dengan jelas. Para pengawal Űbeltat memberi jalan untuk tuannya di tengah kepadatan desa.
Penduduk Pyrretraff menyambutnya dengan suka cita, confetti sewarna merah darah ditebarkan, sorak-sorai dielu-elukan. Űbeltat menyingkirkan sepotong confetti dari bahu kanannya dan kembali tersenyum palsu. Senyumnya yang asli jauh lebih menakutkan.
***
Mereka tiba di bagian utara Etheres ketika langit sudah berubah oranye kemerahan, dengan semburat ungu yang samar. Takumi menatap sekilas pohon-pohon rimbun yang berjejer di kanan-kiri jalan utama sebelum Sakura berbelok ke kanan, menelusuri jalan yang lebih sempit dan berkelok-kelok.
Tempat ini, seperti kata Sakura, benar-benar semacam perumahan. Ukurannya kira-kira lebih besar dari perumahan biasa, jenis pohonnya kebanyakan seragam, dengan bentuk rumah pohon yang tidak jauh berbeda. Jalan utamanya sangat lurus, mengarah ke depan, tanpa belokan atau putaran sedikit pun, sampai-sampai Takumi bisa melihat semacam gerbang mungil di ujung jalan, tepat di hadapannya. Jalan itu bercabang-cabang dan masing-masing cabang mengarah ke suatu tempat. Satu-satunya hal yang membedakannya dengan desa para elf di luar pusat Etheres adalah keadaan jalannya. Di sana, jalannya kebanyakan hanya berupa tanah atau jalur setapak mungil ditumbuhi ilalang. Tempat ini memiliki jalan lebar yang lebih licin dari tanah di sekitarnya, lebih terawat, dan dipagari batu-batu besar. Bunga hollyhock raksasa tumbuh di sisi-sisi jalan, menambah kesan semarak. Warnanya yang cerah membuat Takumi sedikit tenang. Semuanya sudah selesai, ‘kan? Soal synthesis-synthesis itu.
Takumi menelan ludah mendengar jawaban hati kecilnya sendiri. Belum. Kita lihat saja nanti.
Diselipkannya pisau itu ke dalam ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit pohon, tiba-tiba sadar bahwa pisau itu sudah dipegangnya sedari tadi. Diam-diam, ia mengagumi ikat pinggangnya yang, menurut Amabilis, dirancang untuk menahan segala jenis sejata. Sayangnya Maurice tidak memiliki sarung pisau atau semacamnya. Takumi mengedikkan bahu.
Tiba-tiba, kerumunan itu berhenti. Sakura berbalik ke hadapan teman-temannya.
“Vai Lown adalah rumah duka,” katanya. “Kalau kita datang bertujuh, kita bisa dianggap lancang—terutama karena kita hanya tujuh anak muda yang berseliweran ke sana-ke mari,” sambungnya dengan tajam. Matanya melirik ke arah Genma. “Ayo.”
Sepeninggal Sakura dan Genma (dan Paschalis), kelima orang yang tersisa tersebut hanya diam. Mereka berdiri di depan Vai Lown, sebidang tanah pekuburan. Sebuah pohon besar terpancang di depan tanah itu dan menutupi sebagian besar pemandangan pekuburan. Pohon itu gemuk dan rimbun, mirip pohon yang ditinggali Maurice dan cucu-cucunya. Pintunya hanya berupa ukiran di dinding kayunya yang cokelat tua, dan tanpa atap maupun jendela. Terdapat papan nama bertuliskan ‘VAI LOWN’ terpaku di atas pintu. Di belakang pohon, terbentang pekuburan para elf. Nisan-nisan batu sejauh mata memandang. Takumi merinding.
“Maaf,” katanya tiba-tiba. “Tapi... maaf—apa pengendali elemen bisa meninggal?”
Semua yang ada di sekitarnya—Ayumi, Higina, Tabitha, Rira—mengerutkan alis mendengar pertanyaannya, tetapi hanya satu yang menjawab. “Tentu saja,” jawab Higina. “Kita jauh lebih mudah mati daripada Anda, malah. Anda, Pangeran Takumi, pernah terpeleset dari kuda sewaktu umur 83 tahun kurang 5 bulan 3 hari dan hanya mengalami patah tulang dan infeksi parah; semua dokter dan ahli medis sudah angkat tangan menangani Anda. Mereka berencana memotong kaki kiri Anda. Ajaibnya, patah tulang dan infeksi itu sembuh sehari kemudian,” jelasnya panjang lebar.
Takumi menelan ludah. Wow. Mereka tahu segalanya tentang masa laluku, dan aku tidak.
“Tapi kalau kalian bisa meninggal,” sela Takumi, membawa mereka ke awal pembicaraan. Ia akan meneruskannya dengan “apa gunanya kalian mengendalikan elemen?” tetapi diurungkannya. “Di mana kal—di mana kuburan para pengendali elemen?” tanyanya akhirnya.
Tidak ada yang menjawab lagi. Keempat pengendali elemen tersebut menatap lurus ke depan, setengah menerawang, dan Takumi menemukannya di mata mereka. Tatapan dingin dan mati rasa. Seolah-olah mereka sudah mati dalam waktu yang lama. Tatapan asli para pengendali elemen.
“Bukan dikubur. Kami tidak membusuk,” jawab Rira pelan. “Keturunan pengendali elemen atau makhluk biasa sekalipun harus dikubur sesaat setelah kematiannya, tapi kami tidak. Hanya memejamkan mata dan tidak bernapas lagi, itu saja.”
Takumi tersentak, menggigil. Ia memutuskan untuk diam saja sekarang. Sudah cukup. Ditatapnya gerbang mungil itu di kejauhan, gerbang yang tepat berada di ujung jalan lurus itu. Ia sadar bahwa gerbang itu jauh lebih besar dari yang dilihatnya—gerbang itu tidak mungil sama sekali. Sama seperti masalah-masalah yang akan menghampirinya.
***
Kunjungan Genma dan Sakura ke Vai Lown terasa lebih lama dari yang seharusnya. Takumi mulai menebak-nebak. Mungkin mereka harus menghadiri proses pemakaman pria itu dari awal sampai akhir, demi kesopanan dan penghormatan. Mungkin seseorang yang tinggal di dalam pohon itu—siapapun dia—menanyai Genma dan Sakura macam-macam karena tiba-tiba muncul sambil membawa jasad tak bernyawa. Takumi mengerutkan kening. Bahkan, siapa pria itu dan bagaimana caranya mati pun tidak diketahuinya. Sakura memanggilnya Paschalis, jadi itu pasti namanya. Bagaimana cara Paschalis meninggal, di dalam koridor sempit itu? Ia melihat Sakura ada di koridor itu juga, dengan darah dan cairan hitam mengotori terusan hijaunya. Jangan-jangan....
“Kita punya dua tujuan sekarang,” perkataan datar Higina mengagetkannya. “Pyrrestia atau Lunaver. Dua-duanya bisa membawa kita ke Efthralier.”
Takumi tercenung. “Luna apa?”
“Lunaver,” jelas Higina tak sabaran. Gadis itu memeluk perutnya sendiri sambil berputar-putar gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di hadapan mereka, sesekali menengok ke arah perumahan yang sepi. Perumahan itu lurus, simetris, dan teratur, tetapi juga sepi dan sunyi. “Lihat warna biru di ujung sana, Yang Mulia? Itu laut. Pyrrestia terletak bersebelahan dengan laut, di atas tebing yang tinggi.”
Takumi tidak bisa melihatnya dari tempatnya berdiri. Ia bahkan tidak tahu harus melihat ke arah mana. Pohon-pohon yang berbaris teratur itu menghalangi pandangannya.
“Gerbang yang di sana itu,” lanjut Higina, menunjuk gerbang mungil yang sudah dilihat Takumi sejak awal. “Gerbang menuju Vidar, hutan pembatas antara Etheres dan Pyrrestia. Semoga langit masih terang sewaktu kita sampai di sana.”
Mereka berlima terdiam lagi. Tidak ada yang bisa dibicarakan. Bahkan Metsuki hanya mengeong malas sambil bergelung di dalam pelukan Rira, kelaparan dan bosan. Kucing itu belum makan apa-apa kecuali tikus liar dan kadal-kadal mungil akhir-akhir ini. Bulunya berantakan dan kotor, membuatnya terlihat seperti kucing gelandangan. Penutup mata pemberian Marabel terpasang longgar di seputar kepalanya. Cakarnya kotor oleh tanah lembek dan darah tikus yang dicabik-cabiknya, dan bahkan Rira masih menggendongnya tanpa merasa jijik.
Kalau Takumi ada di posisi Rira saat ini, mungkin ia sudah menurunkan kucing itu dan memandikannya.
“Sakura,” bisik Ayumi tiba-tiba. Dan ia benar. Gadis itu baru keluar dari pohon—atau rumah—yang berpapan nama Vai Lown tersebut, dengan Genma di belakangnya. Sorot mata gadis itu membuat Takumi mengernyit. Semacam campuran letih, putus asa dan panik. Pertanda bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan semestinya.
***
“Ada yang tidak beres,” gadis bermata pelangi itu membuka percakapan. Mereka berjalan menyusuri jalanan yang licin dan dilapisi tanah lembut, diapit pepohononan rimbun. Suara hewan-hewan hutan bersahut-sahutan di sekeliling mereka, pertanda bahwa Vidar semakin dekat. “Penjaga pemakaman tidak mengenali kami. Para elf masih tidak mengenali kita.”
“Berarti, penyebab sintingnya mereka bukan karena pengendali angin pengganti,” simpul Tabitha.
Sakura bergegas mempercepat langkahnya, dengan hati-hati melangkahi seekor tupai yang sedang mengendus-endus jalan sambil mengepit biji kenari. “Yah.... tapi dia bilang, para elf menghilang entah ke mana beberapa saat yang lalu. Baru saja. Dia bilang... beberapa elf langsung pingsan di tempat dan... ah. Mereka jatuh ke tanah ‘seperti boneka yang kehilangan dalangnya’, katanya. Mengerti, ‘kan? Beberapa elf lainnya melarikan diri ke arah selatan. Tempat ini jadi sesepi hantu,” jelasnya panjang lebar. Sakura menggosokkan telapak tangannya pada bahunya yang telanjang, menggigil kedinginan. “Anginnya sudah berubah lagi.”
“Katamu di sini banyak serigala,” gumam Higina. Sambil berjalan, disingkirkannya kerikil-kerikil yang berserakan ke pinggir jalan, dan mulai mengusap-usap perutnya. “Aku lapar,” bisiknya lirih.
“Para elf melarikan diri sambil membawa serigala dan anjing-anjing yang tersisa,” jelas Sakura, mengabaikan pernyataan terakhir Higina. “Semua anjing yang bisa ditemukan di Etheres. Metsuki bisa bernapas lega sekarang.”
“Mungkin mereka ke Gaelea?” celetuk Ayumi sambil berpikir-pikir. Pipinya yang kemerahan bertambah merona karena udara dingin. “Mungkin ada sesuatu di sana—kecelakaan, atau....”
“Stop,” potong Rira tajam, membungkam mulut semua yang ada di sana. “Kita sudah dekat.”
Decitan burung-burung hutan menggantikan desingan angin dan suara kepakan sayap kupu-kupu yang sedari tadi mereka dengar. Udara bertambah dingin. Seiring berlalunya waktu, para pengendali elemen mengerti maksud Rira sebelumnya—beristirahat di Vidar. Hutan adalah tempat yang tepat untuk berkemah, mencari makanan, dan... bersembunyi. Hari semakin gelap. Cepat atau lambat, mereka harus menghentikan perjalanan tanpa akhir ini dan berlindung di tengah rimbunnya hutan (dan memijat kaki mereka yang pegal, tentunya).
Para pengendali elemen tidak menoleh sewaktu melewati pepohonan dan rumah pohon di atasnya. Mereka sudah melewati jalan ini berkali-kali. Hanya Takumi yang menatap pohon-pohon itu dengan kagum sewaktu ia lewat di depannya, memerhatikan setiap bunga yang tumbuh di cabang-cabang pohon. Tidak semua pohon memiliki bunga. Namun hampir semua pohon memiliki burung-burung yang bertengger di rantingnya dan tupai yang meringkuk di sela-sela akarnya. Takumi menghela napas. Sebelumnya, Etheres bukan apa-apa selain pohon-pohon yang kisut dan bau polimer yang memuakkan.
Begitu ia mengalihkan tatapannya ke depan, gerbang “mungil” itu terlihat jauh lebih dekat dari yang disangkanya—dan jauh lebih besar. Gerbang itu tidak lagi mungil. Tingginya kurang lebih tiga meter, terbuat dari besi hitam karatan yang menguarkan bau apak. Bentuknya menyerupai setengah lingkaran, dipenuhi ornamen-ornamen klasik dan jeruji-jeruji vertikal. Berbeda dengan gerbang menuju Etheres, gerbang yang satu ini tidak terkunci.
Seberapa lagi? pikir Takumi, diam-diam menghentikan langkahnya, mengistirahatkan kakinya yang sakit. Dengan enggan, disusulnya para pengendali yang semakin jauh meninggalkannya. Seberapa jauh Efthralier dari sini?
“Nah, selamat datang di Pyrrestia,” celetuk Genma tiba-tiba, iseng. Seulas senyum entah-apa-artinya tertempel di mulutnya. “Semoga tempat ini masih aman terkendali,” tambahnya, setelah ia mempercepat langkahnya dan menghampiri gerbang karatan itu, memeriksa kondisinya sekilas, dan akhirnya mendorongnya hingga terbuka. “Anak-anak di sini suka menendang gerbang sampai engselnya lepas,” komentarnya sambil lalu.
Padahal, ketika menggesekkan jemarinya pada permukaan gerbang yang kasar dan berbau seng, Genma merasakan sesuatu yang lain di tempat ini, seolah-olah hutan yang terbentang di depannya mendesis ke arahnya dan menyuruhnya pergi. Ada pengendalian lain yang bekerja di tempat ini. Genma menyentuhkan telunjuknya pada gagang pedang kepercayaannya, tersenyum tipis. Diam-diam, ia bersumpah untuk menghabisi siapapun yang berlindung di balik pengendalian lain tersebut. Ia akan mengusir orang itu pergi, seperti mencabut hama dari padang rumput. Ia akan membunuh... ah. Paling tidak mencungkil satu bola matanya.
***
Puas bermain dengan seorang wanita penjaga kedai makanan di pinggiran desa, Űbeltat memutuskan menghentikan jalan-jalan sorenya—atau paling tidak, menurutnya, melihat-lihat keadaan desa dan menggoda semua wanita cantik yang dilihatnya tergolong jalan-jalan sore—dan kembali ke manor-nya yang berdiri di pusat Pyrrestia. Disuruhnya pasukan pengawal agar kembali ke manor sementara ia sendiri masih mematung di tempatnya, tertegun.
Kedai makanan tersebut adalah tempat paling terpencil di Pyrrestia, berbatasan langsung dengan hutan perbatasan antara Pyrrestia dan Etheres. Vidar. Hutan itu bukan tempat asing untuknya. Űbeltat biasa berburu di sana, menangkap beberapa kijang, biasanya di pagi hari. Namun sekarang sore, dan ia tidak ingin berada di depan hutan itu lebih lama. Ada sesuatu di sana yang membuatnya risih. Sesuatu yang hidup dan bergerak.
Dan bersenjata.
Űbeltat mengetatkan rahangnya dan menatap hutan itu sekali lagi. Sesuatu yang hidup, bergerak, dan bersenjata itu juga merasakan kehadirannya, mengejeknya tanpa kata-kata. Űbeltat melepaskan topengnya yang hanya membingkai kedua mata dan menutupi hidung lentiknya. Disentuhnya kelopak matanya perlahan-lahan, merasakan... sesuatu yang ada di sana, sesuatu yang sebisa mungkin ditutupinya dengan topeng. Űbeltat berbalik menghampiri pasukan pengawalnya dan meninggalkan hutan pinggiran desa tersebut setelah memasang topeng itu kembali ke tempatnya.