Inevitable Destiny

By pinetreeforest

2M 198K 8.1K

[Partially Deleted - Read the Full Story on Dreame] JUDUL SEBELUMNYA : TOI ET LE DESTIN Permainan klise sebua... More

Prolog
Part 1.5
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 16
Part 18
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 24.5
Part 24.- + Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37 - END
++ Epilog
Dibaca Pahit, Dibuang Sayang
START OF SOMETHING NEW
Ssst... Secret 🚫
TELD Pindah Rumah

Part 1

133K 7.7K 161
By pinetreeforest

Halo. Salam kenal.

Semoga berkenan, selamat membaca.

____

KIANY

Haaahh 2 tahun lagi, dan semuanya akan tercapai...

Pikir Kian. Ia menyelonjorkan kakinya ke bawah meja, merentangkan tangannya lemas, dan mendongakkan wajahnya menatap langit-langit ruangan kerjanya. Pikirannya masih melayang, berputar-putar, mencari cara agar ia dapat menghasilkan uang banyak dengan cepat. Jangan berpikir Kian mencari uang karena terlilit hutang, tolong, tinggalkan pikiran kolot seperti itu. Ia ingin mewujudkan mimpinya untuk travelling ke Eropa. Beberapa kali ia memejamkan mata dan menghembuskan nafas panjang.

Tapi dengan pekerjaan sebagai pegawai rumah sakit biasa, tentu punya banyak uang akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Bahkan terlihat tidak mungkin. Paham bagaimana maksudnya, kan? Ya, begitulah. Gajinya terlalu sedikit. Tak sebanding dengan pekerjaan yang tak kalah sibuk, berkutat dengan berkas-berkas rekam medis pasien rumah sakit yang setiap harinya dikunjungi rata-rata 2000 orang.

"Mbak Kian, ini berkas dari UGD. Tolong segera input datanya ya!" Bu Sumarni datang dengan wajah sumringah menghampiri meja kian. Di tangannya terdapat setumpuk berkas rekam medis milik pasien UGD yang datang sejak semalam.

"Eh, Bu Sumarni. Ngagetin saya aja, Bu," balas Kian sambil meringis pada Bu Sumarni. Bu Sumarni ini Jawa tulen, bicaranya medhok. Banyak huruf 'h'-nya dan kadang sedikit muncrat di sana sini. Tubuh gempalnya menambah pancaran aura keibuan beliau miliki. "Taruh di sini saja, Bu. Nanti saya input setelah berkas dari Klinik Anak selesai. Sudah dianalisis kan, Bu?"

Bu Sumarni mengangguk. Kian hendak meneruskan pekerjaannya ketika mengira Bu Sumarni akan pergi.

"Eh, mbak Kian, ini sekalian ada undangan dari Dokter Anjas untuk pegawai di ruangan ini. Anaknya menikah." Bu Sumarni mengobok-obok isi tasnya sebelum kemudian menyerahkan beberapa undangan berwarna perak ke arahnya. 'Yudis dan Mahira'. Begitu tulisan di atasnya, dilengkapi dengan sulur-sulur indah yang membuatnya terlihat elegan.

"Wah? Anaknya Dokter Anjas menikah, Bu? Yang ganteng itu?" Kian bertanya pada Bu Sumarni. Ia pernah bertemu dengan anak Dokter Anjas yang beberapa saat lalu sempat bekerja sebagai dokter di sini. Menjadi bahan bincangan harian seluruh rumah sakit karena kebaikan hati dan kebaikan parasnya. Singkatnya, Dokter Yudis ini ganteng sekali.

"Iya, mbak. Sayang sekali ya?" kata Bu Sumarni sambil tertawa cekikikan, tapi tawanya tiba-tiba berhenti berganti dengan senyum malu-malu. "Eh? Lha kok saya jadi begini? Kalau suami saya tahu, bisa cemburu buta ini. Ya sudah mbak, saya mau ke depan lagi ngawasi mahasiswa PKL ngisi KIUP."

(Baca: PKL : Praktik Kuliah Lapangan, KIUP: Kartu Indeks Utama Pasien)

"Iya, Bu. Silahkan," Jawab Kian. Bu Sumarni pun berjalan pergi meninggalkan mejanya.

"Apa nih, Ki?" Ana yang baru saja kembali dari kamar kecil menghampiri meja Kian. Ia juga bekerja di bagian coding, sama seperti Kian. Jangan bayangkan coding di sini sama dengan coding IT, ini sama sekali berbeda.

Kian mengenal Ana saat mulai kuliah. Awalnya mereka tidak terlalu dekat saat masa perkuliahan. Namun, karena sekarang memiliki meja kerja yang bersebelahan, mau tak mau keduanya menjadi dekat juga.

Ana menarik undangan yang tertulis namanya. Setelah membuka undangan yang ia pegang, ia terpekik sendiri karena terkejut.

"WHAT!! Ini dokter Yudis yang itu? Yang ganteng itu? Ya ampun, patah hati gue, Kiii.." sahut Ana hiperbolis sambil memegangi dadanya.

"Sini gue siap nyembuhin. Hahaha.." Tiyo, pegawai bagian reporting yang telah usai makan siang, datang dengan tertawa-tawa. Kemudian ia ikut mampir di meja kerja Kian untuk mencari tahu yang terjadi.

"Yee, najis!" balas Ana malas.

"Nggak usah lebay deh, Na. Biasa aja. Emang udah waktunya nikah dia. Ganteng-ganteng gitu masa jomblo terus." jawab Kian santai menanggapi Ana yang sudah terkenal lebay sejak jaman kuliah dulu. Ia kembali meneruskan pekerjaannya yang tertunda akibat kedatangan Bu Sumarni tadi.

"Tapi kan harusnya nikah sama gue, Ki." Ana yang terduduk di kursinya, merenungi nasib mirisnya akan cinta tak terbalas. Bahkan tidak akan pernah terbalas.

"Ngimpi, lo! Mau di kemanain si Dani?" balas Tiyo sambil tertawa-tawa. Ia mengambil undangan miliknya sebelum ngacir ke meja kerjanya sendiri. Ana memang sudah berhubungan dengan Dani, teman kuliah Tiyo serta kakak tingkat Ana dan Kian. Mereka berpacaran hampir dua tahun lamanya.

Kian juga ikut tertawa, tapi tiba-tiba ia terdiam, teringat akan dimana posisi mobilnya sekarang. "By the way, tebengin gue ke nikahan mas Yudis, ya?"

"Oke. No Problem. VW lo ke mana, emang?" Ana bertanya, pandangannya tetap pada komputer di depannya untuk menginput data dari bagian Obgyn.

"Mau gue jual, udah nggak sanggup ngrawatnya. Buat tambah-tambah tabungan gue juga lah."

"Oke. Gue ke kontrakan lo hari Minggu."

***

"Sudah, pak! Berhenti di depan situ saja." Sahut Kian. Ia sedang berboncengan mesra dengan tukang ojek, berduaan menaiki motor membelah jalanan kota.

Ketika tukang ojek itu menepikan motornya dan berhenti, Kian melompat turun dari motor. Sesaat ia merogoh-rogoh tasnya, mencari uang untuk membayar jasa ojeknya dan menyerahkannya pada tukang ojek tersebut.

"Makasih ya, neng." Sahut tukang ojek tersebut sebelum melajukan motornya kembali.

Kian melangkahkan kakinya, menyusuri trotoar. Di pinggirnya berdiri beberapa café, restoran, dan tempat makan. Namun, tujuannya di wilayah ini hanya satu. Kian tak pernah berniat untuk mampir di cafe yang lainnya.

'TeCo Bar'

Begitulah tulisan yang terpampang di depan café yang Kian masuki. Tempat itu menjual banyak sekali jenis teh dan kopi. Dari yang mahal hingga yang paling murah ada di sana. Tempat favorit Kian semenjak ia datang merantau di kota ini.

"Hai, Jo." Sapa Kian setelah memarkirkan tubuhnya di dekat meja bar. Benar, bentuk tempat ini sudah seperti pub, lengkap dengan bar dan kursi-kursi tinggi, juga beberapa meja dan kursi. Bedanya, di sini tidak akan bisa menemukan beer, namun hanya teh dan kopi. Lengkap dengan dekorasi grinder lawas dan koleksi cangkir-cangkir antik. Dan pastinya, FREE WI-FI.

"Hmm.. Kalau gue liat dari ekspresi lo, lo mau lavender?" tebak Joshua yang nyengir melihat kedatangan salah satu pelanggan setianya itu, sok sekali bak peramal.

Kian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue butuh chrysanthemum, pakai madu."

"Tumben." Joshua menaikkan alisnya. "Tapi oke, tunggu sebentar."

Joshua dengan cekatan meracik teh pesanan Kian. Mengira-ngira ketepatan suhu air yang ia tuang dan menyerahkannya pada Kian. Ia kemudian memberikan Kian dua sachet gula, sudah hafal dengan selera Kian.

"Gue ke meja pojok, ya Josh." Pamit Kian sambil membawa cangkir berisi teh pesanannya yang mengepul.

BRUK.. PRANNG..

Seseorang menabrak Kian yang sedang membawa teh panasnya. Teh yang dibawanya terbalik, dan seluruh isinya sukses meluncur ke tangan dan kaki Kian. Refleks, cangkir bening beserta lepeknya terlepas dari genggaman Kian dan jatuh ke lantai.

Kian meringis, rasa panas membakar kulit di beberapa bagian tubuhnya. Ditatapnya seseorang yang menabraknya itu dengan kesal. Seseorang berpotongan cepak dengan muka merengut hingga kedua alisnya menyatu.

"Maaf, saya buru-buru," kata seseorang yang menubruk Kian. Ia dengan cepat mengeluarkan dua lembar kertas merah bergambar mantan presiden itu. Setelah itu ia melengos begitu saja, pergi.

Kian hanya melongo, menatap kepergian laki-laki itu dan uang yang ditinggalkannya bergantian. Bah! Uang. Menyenangkan sekali jadi orang kaya kalau begitu caranya. Laki-laki kok tidak punya unggah-ungguh.

"Woi!! Woi Mas! Saya nggak butuh duitnyaa!" teriak Kian tepat saat laki-laki itu keluar. Entah pura-pura tidak dengar atau memang tidak mendengar, Kian tidak tahu. Hal itu membuat Kian misuh-misuh sendiri di dalam hatinya. "Songong banget!"

"Lo nggak papa?" Tanya Joshua panik. Ia segera menyuruh Derek, baristanya, untuk mengambil salep luka bakar di kotak P3K.

"Nggak. Cuma perih dikit tangan gue." Jawab Kian.

Riko dengan sigap memberi Kian handuk dingin dan membersihkan pecahan cangkir dan teh yang tumpah. Para pengunjung yang kaget melongok-longok ingin tahu. Setelah berbisik-bisik sebentar, mereka kembali lagi ke aktivitas mereka sebelumnya.

"Sini, disalepin dulu mbak tangannya." Derek datang tergopoh-gopoh, di genggamannya terdapat salep dengan kemasan berwarna putih. Ia memberikannya pada Kian.

"Makasih, ya," ucap Kian. Ia berjalan ke kamar mandi yang terletak di ujung ruangan. Di oleskannya salep tersebut ke punggung tangannya. Dan beberapa lagi ke kakinya yang terkena tumpahan teh.

Sial sekali nasibnya hari ini.

"Simpan aja itu duit, Josh. Kembalikan kalau orang itu nanti ke sini. Atau lo ambil saja untuk ganti rugi cangkir yang pecah." Kian kembali dari kamar mandi. Ia memungut jaket yang di tinggalkannya di meja bar dan memakai tas selempangnya. "Gue pulang dulu."

"loh? nggak jadi minum?" tanya Joshua.

"Nggak deh, hari ini. Besok-besok gue mampir lagi." Kian melambaikan tangannya pada Joshua setelah sebelumnya membayar tagihan teh-nya. Mood-nya untuk bermanja-manja dengan tehnya sudah hilang sempurna.

***

"Pagi, Mbak Kian." Sahut seorang bapak-bapak berbadan gembul yang kebetulan berjalan di belakang Kian. Pakaiannya rapi, licin tanpa kerutan. Ia menenteng tas kerja berwarna hitam, sama warnanya dengan sepatu mengkilat yang dipakainya. Wangi. Rambutnya juga disisir rapi.

"Eh, pagi juga, Dok," jawab Kian kikuk. Dokter Anjas adalah satu-satunya dokter yang disukai oleh Kian. Oh, anaknya juga, jangan lupa.

"Loh, itu kenapa tangannya merah sekali? Luka bakar?" tanya dokter Anjas yang tak sengaja melihat luka di tangan Kian. "Sudah diobati?"

"Ini tersiram air panas, Dok. Sudah diberi salep yang saya beli di apotik kemarin, walaupun masih perih sedikit." Kian jadi ikut memperhatikan tangannya yang sedikit bengkak dan berkilauan karena olesan salep.

"Ditutup kasa, mbak. Biar tidak terkena sinar matahari dan debu. Ah, tidak, ke ruangan saya saja dulu, lah." Putus dokter Anjas. Mau tidak mau, Kian pun menurut. Lagipula, kapan lagi dia bisa mendapat pengobatan gratis seperti ini. Kesempatan pasti tidak datang dua kali, kan?

Dokter Anjas meletakkan tasnya di meja kerjanya, kemudian menyapa perawat yang membantu Dokter Anjas di ruang prakteknya. "Selamat pagi."

"Pagi, Dok." Jawab mbak Ine, perawat yang bekerja dengan dokter Anjas, tak kalah sumringah. Kemudian ia memandang Kian yang berdiri di belakang Dokter Anjas dengan pandangan sedikit bertanya-tanya. Tidak biasanya Kian berada di sini pagi-pagi dan berdiri di sana dengan senyum sungkan yang agak memaksa. "Eh, Kian? Ada perlu apa?"

"Oh, saya mau minta tolong untuk mengobati luka bakar di tangan Kian. Hampir saja lupa. Bagaimana?"

"Baik, Dok." Mbak Ine mengangguk pada dokter Anjas dan mengajak Kian masuk ke ruang periksa di dalamnya.

"Terimakasih banyak, Dok, Mbak Ine. Maaf merepotkan." Kian mengucapkannya ketika Mbak Ine selesai membalut luka bakar di tangannya dengan kasa tipis.

"Halah, cuma begini jangan dipikirkan, Kian. Betul tidak, Dok?" Jawab Mbak Ine sambil membereskan beberapa alat yang tadi di pakainya. Seandainya ada semua dokter di dunia ini baik hati seperti dokter Anjas, dan perawatnya seperti Mbak Ine, pasti damai sehat sentosa dunia ini.

"Kalau begitu saya akan kembali ke ruangan saya, Dok, Mbak. Pasiennya sudah banyak yang datang." Pamit Kian pada Dokter Anjas dan Mbak Ine.

"Ngomong-ngomong, bagian rekam medis sudah terima undangan pernikahan anak saya, kan?" Tanya Dokter Anjas ketika Kian hendak membuka pintu untuk keluar. Kian menganggukkan kepalanya dan menggumamkan kata 'sudah' sebagai jawaban. "Kalau begitu, jangan sampai tidak datang, ya."

"Baik, Dok." Kian mengangguk lagi. Ia melenggang keluar ruangan Klinik Bedah, tempat Dokter Anjas bekerja.

Dokter Anjas selalu baik kepada semua orang. Mulai dari tukang kebun rumah sakit hingga direktur, beliau mengenal seluruh pegawai di rumah sakit di rumah sakit ini. Tidak seperti kebanyakan dokter yang sombong, hanya mau mengenal orang-orang di lingkungannya saja. Dokter Anjas pula yang meredakan kebencian Kian pada dokter, membuat Kian berpikir bahwa masih ada dokter yang baik seperti dokter Anjas. Walaupun Kian belum menemukan selain Dokter Anjas dan anaknya.

***

Sinar matahari pagi menelisik melalui sela-sela korden kamar Kian. Tak ada suara burung bercicit-cuit indah, namun yang terdengar malah alunan lagu band rock amerika yang menghentak-hentak. Tangannya bergerak-gerak mencari benda menyebalkan yang setiap hari mengganggu paginya, membangunkannya dari alam mimpi dan kembali ke realita hidupnya.

"Lima belas menit lagi..." gumamnya masih setengah tidur. Badannya bergerak-gerak mencari posisi nyaman untuk tidur lagi. Tapi entah kenapa, sepertinya tubuhnya menolak untuk tidur kembali. Matanya mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya di kamarnya yang terang. Kian melirik jam kecil di atas nakasnya. "Jam berapa ini?"

09.10

Kian menyibakkan selimutnya dan bangun. Ia menyikat gigi, merapikan sedikit rambut merahnya yang mencuat kesana-kemari, dan mencuci mukanya sebelum keluar untuk membuat sesuatu yang bisa di makan. Lambungnya sudah meronta-ronta minta diisi. Kian menatap dapurnya dan tersenyum lebar. Inilah alasannya ia betah mengontrak di sini. Walaupun tidak ada meja pantry seperti yang dimimpi-mimpikan, tetapi setidaknya fasilitas dapurnya tercukupi.

Tok.. Tok.. Tok... "Kiaaan!"

Kian hampir melompat kaget. Siapa yang datang di hari minggu paginya yang menyenangkan ini? Bagi Kian, hari minggu sebelum jam 12 akan selalu menjadi waktu berharganya untuk bersantai-ria menikmati hidup. Tapi setelah jam 12? Tanda bahwa Senin suramnya akan tiba.

"Kiaaaaann!"

Kian tergagap, tersadar dari lamunannya dan segera berlari ke depan untuk membuka pintu. Dilihatnya Ana berdiri di depan kontrakannya dengan tatapan aneh. Kenapa? Lihatlah dari bawah ke atas. Wedges-nya, gaunnya, clutch-nya, rambutnya sudah ditata sedemikian rupa, hingga make-up-nya, sudah seperti ibu-ibu yang akan pergi.... Kondangan.

ASTAGA!!

***

Terimakasih sudah mau membaca. Regards, Ily.

Continue Reading

You'll Also Like

167K 464 4
bocil diharap menjauh
97.5K 19.2K 24
Swipe right. Dua kata yang tidak asing untuk pengguna dating apps. Bermula saat Liora merasa iri dengan teman-temannya yang sudah punya pacar, akhirn...
1.4M 114K 55
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
744K 1.4K 5
Kumpulan Cerita Pendek, penuh gairah yang akan menemani kalian semua. 🔥🔥🔥