[KYU✔] But, I Love You

By jejechx

38.2K 2.1K 488

Apa yang mendekap rindu saat cinta pun tak pernah ada dihati? Hanya hujatan dan hinaan yang terperangkap dala... More

Visual of Cast
다섯
여섯
일곱
여덟
My Heart
아홉
I'm Sorry
Spoiler 열하나
❌Bukan Update❌
열하나
열둘
열셋
열넷
열다섯
열다섯 - B ENDING
열다섯 - 끝
The Other Story about Yoora and Kyuhyun
DELETE THIS STORY
GA JADI HAPUS+NEW STORY?
PROMOTE CERITA BARU
I'm A Secret is Coming
Kangen

하나

3.2K 116 11
By jejechx

Seoul, 2015

"Sayang? Kau sudah siapkan berkasku?" terdengar teriakan seorang pria menggema dirumah ini, dengan tergesa ia memakai kemejanya dan berjalan kesana kemari guna mencari map yang berisi berkas-berkas penting itu.

"Aku menaruhnya diatas meja kerjamu" jawab seorang wanita.

"Eomma, bisakah kau ikat rambutku. Aku tidak suka melihat mereka tergerai" lalu disusul oleh teriakan gadis kecil yang berdiri didepan kaca, ia tengah memegang sisir dan mencoba untuk mengikat rambut ikal panjangnya. Inilah kesulitan paginya, merapikan rambutnya yang begitu kusut.

"Sudah kukatakan untuk belajar mengikat rambut-mu sendiri sayang" balas wanita itu.

"Eomma, lusa adalah hari penting. Tolong izinkan aku untuk pergi kesana." Rengek seorang laki-laki yang telah rapih mengenakan seragam SMP nya. Ia menarik-narik baju wanita itu, merengek seakan usianya masih tiga tahun.

"Sudah kukatakan, meminta izinlah pada ayahmu. Jangan padaku" wanita itu berusaha mengabaikan rengekan laki-laki itu. Ia terus saja berjalan mondar-mandir memasukkan bahan-bahan yang diperlukan kedalam panci berwarna merah itu.

"Aish dia pasti tak akan mengizinkan" laki-laki itu melipat tangannya, mencoba berfikir adakah cara yang mampu membuat orang tuanya luluh akan acara camping sekolah yang akan diadakan lusa.

Gadis kecil yang masih memegang sisir itu keluar kamarnya menghampiri kedua orang itu didapur, memang sejak tadi ia mendengar apa yang mereka bicarakan. "Oppa, usiamu bahkan jauh diatasku, tapi mengapa merengek seperti itu? Bahkan Chansoo saja tidak merengek seperti mu" ucap gadis kecil itu sambil membandingkannya dengan Jung Chansoo tetangga mereka yang baru menginjak usia 4 tahun.

"Aish, diamlah. Seharusnya kau bantu aku." Ucap laki-laki itu, sedangkan gadis kecil itu hanya mengedikkan bahunya tak acuh, lalu beralih kearah Eommanya. "Eomma, kapan rambutku disisir?"

"Sebentar sayang" jawab wanita itu.

"Jiae-ya, biar Appa yang menyisir rambutmu" ucap seorang pria yang baru saja keluar dari kamarnya menghampiri mereka bertiga atau lebih tepat nya kearah Jiae yang tengah berlari menghampirinya. "Appa!"

"Aigoo, my princess" ucapnya setelah ia menangkap Jiae kepelukannya. Sedangkan lelaki muda tadi hanya memperhatikan mereka dalam keterdiamannya, masih takut jika Appa nya mendengar pembicaraan rahasia tadi.

"Appa, Appa tahu bahwa...Jino Oppa..." gadis kecil itu melirik kearah Jino-lelaki yang lebih muda tadi-dengan tatapan mengancam. "Yak! Jiae!!" pekik Jino, ia tahu apa yang akan dibicarakan gadis kecil itu. Jino paham sekali, dibalik tubuh kecilnya, Jiae selalu punya rencana fantastik yang tak pernah terbayangkan. Termasuk selalu merencanakan hal untuk mengancam Jino.

"Apa sayang?" jawab pria itu, ia menggiring Jiae untuk duduk dikursi didepan meja makan, lalu mulai menyisiri rambutnya. "Anni-ya, Appa. Jiae tidak ingin mengatakan apapun." Jawab Jino cepat, ia segera mendekati mereka berdua lalu mengambil alih tugas Appanya yang tengah menyisiri rambut Jiae.

"Eoh? Mengapa?" tanya pria itu bingung.

Jino memasang senyum tak berdosa, lalu sambil membekap mulut Jiae. "Dengar, aku akan mengrimkan suratmu pada Lee Jiyong, tapi kumohon tutup mulutmu." Bisik Jino pada telinga Jiae, setelah itu ia melepaskan bekapan mulutnya dan melanjutkan menyisiri rambut adiknya itu.

"Assa!" pekik Jiae membuat pria yang sejak tadi memperhatikan kedua anaknya bertambah bingung.

Ia menggeleng frustasi, "Yeobo, sebenarnya ada apa dengan mereka?" tanya pria itu pada wanita yang masih sibuk memasak.

"Molla­-yo­." Jawab wanita itu, kemudian ia menghampiri mereka ke meja makan dan meletakkan sup yang baru saja selesai ia buat kemudian ia kembali lagi kecounter dapur untuk mengambil beberapa mangkuk nasi. "Jja, makanlah!" ucap wanita itu.

Dengan sigap mereka mengubah posisi duduk mereka dengan benar, lalu menikmati sarapan mereka dalam diam. Sudah menjadi tradisi, tak boleh ada satupun yang berbicara saat makan hingga ia menghabiskan makanannya.

"Jino-ya, Jiae-ya, sudah kalian masukkan bekalnya?" teriak wanita itu dari counter dapur, "Nde" balas Jino dan Jiae bersamaan dari arah depan, mereka tengah memakai sepatunya. Dengan cepat, wanita itu membereskan peralatan makan mereka tadi lalu menyusul ketiganya didepan.

"Ige, jangan sampai lupa" ucap wanita itu setelah memberikan tas kerja suaminya. Lalu kemudian beralih membantu memakaikan tas kedua anaknya, "Jangan nakal ya, terutama kau Jino-ya!" ucapnya lalu menciumi kepala anaknya satu-satu.

Wanita itu mengalihkan pandangannya kearah suaminya, "Aku akan mengantarkan makan siang nanti" ucapnya. Pria itu tersenyum lalu mencium kening wanita itu, "Jangan membuatku menunggu"

"Jja, kids, ayo kita berangkat" lanjut pria itu sambil membuka pintu mobil. "Dahh Eomma" ucap Jino dan Jiae sambil melambaikan tangan mereka. Wanita itu juga melambaikan tangannya sambil terus memperhatikan mobil itu hingga hilang ditikungan perumahan mereka.

Ia menghela nafas, kembali lagi kesuasana sepi dan kesendirian yang membuatnya begitu enggan. Begitu resah karena rasa tak nyaman yang selalu menggerogoti hatinya, rasa yang selalu membangkitkan kenangan lama menoreh luka yang dalam.

-=JJ=-

Yoora PoV

Cinta? Kau tau apa itu cinta? Ya, cinta. Satu kata sederhana tetapi begitu banyak mengandung arti. Cinta itu sebenarnya nyata, cinta bukan hanya sekedar omong kosong belaka. Bukan hanya dari sekedar ucapan, tapi tumbuh dari sebuah perasaan dan sulit untuk dijelaskan secara logis.

Menurutku, cinta itu sangat indah. Bagaikan aku terbang bebas di udara, melayang-layang seperti awan. Tetapi ketika aku ingat aku tidak mempunyai sayap untuk terbang dan aku ingat aku bukanlah sebuah awan, aku akan terjatuh dari ketinggian angan-angan cinta. Kau tidak perlu membayangkannya, karen itu akan membuatmu gila!

Namaku Shin Yoora, wanita yang kini berusia 35 tahun. Aku memiliki 2 orang anak, putra dan putri yang begitu kucintai. Dan seorang pria yang rela menghabiskan sisa hidupnya bersamaku, suamiku.

Pada awalnya, definisiku tentang cinta itu adalah sebuah omong kosong belaka. Mereka bilang, banyak yang mencintaiku, semua orang mencintaiku. Nyatanya, tak pernah ada yang mencintaiku. Tak satupun, termasuk orang tuaku.

Dulu, aku percaya sekali. Sangat percaya bahwa mereka-orang tuaku-sangat sayang padaku. Anak kecil mana yang tak yakin disayang oleh orang tuanya? Hanya mereka tempatku mengadu, tempatku berlindung, hanya mereka yang memberikan pelukan hangat saat hatiku terhunus pilu. Apalagi? Bukankah itu sempurna?

Namun, hari itu datang. Datang begitu cepat, bahkan sebelum aku bisa mendapatkan kedewasaan. Mereka semua pergi, satu per satu. Mereka bilang, mereka mencintaiku-sangat. Tapi yang saat itu kufikirkan, bagaimana mereka mencintaiku tapi mereka malah pergi meninggalkanku hingga aku terjebak dalam kegelapan? Tidakkah mereka kejam?

Daegu, 1985

Saat itu hujan turun begitu deras, hingga suaranya mampu menusuk gendang telingaku yang saat itu tengah diselimuti bedcover tebal. Petir menyambar bersautan, membuat kakiku gemetar ketakutan. Aku ketakutan, sangat, entah malam ini mengapa begitu mencekam? Membuat seluruh tubuh kecilku menggigil dibalik bedcover.

Dengan segala ketakutan itu, aku memilih keluar dari kamar menuju kamar orang tuaku. Mungkin disana tidak akan semenyeramkan sendirian disini, setidaknya ada mereka yang akan memelukku.

Dengan kaki kecilku aku turun dari tempat tidur dan melangkah kecil menuju kamar orang tuaku yang tak jauh dari kamarku ini. Sesekali aku membeku ditempat karena terkejut dengan suara petir yang menyambar, namun aku tak pernah gentar, terus kulanjutkan langkah kecil ini mengayun hingga kedepan kamar orang tuaku.

Langkahku terhenti, saat tinggal sedikit lagi aku menggapai gagang pintu kamar ini. Tubuhku membeku, saat sayup-sayup telingaku mendengar suara seperti orang tengah bertengkar. Aku mengerjap, merasa bingung darimana asal suara itu. Aku menajamkan telingaku, mencoba mencari tau suara siapakah ini.

Seketika aku terhenyak saat menyadari ini adalah suara kedua orang tuaku. Tapi apakah mungkin mereka bertengkar? Mereka belum pernah bertengkar sebelumnya. Merasa tak percaya dengan pendengaranku sendiri, aku membuka sedikit pintu tersebut dan terkejut saat mataku menangkap siluet Appa dan Eomma yang tengah beradu mulut.

Mungkin memang aku hanyalah anak kecil yang tidak tau apa-apa, namun aku tidak bodoh. Aku tau bagaimana ekspresi seseorang jika sedang bertengkar, dan ekspresi itu kini tergambar diwajah damai orang tuaku.

Meski aku tau mereka sedang bertengkar, namun aku tidak mengerti apa yang mereka ributkan. Apakah Appaku nakal atau Appa membuat kesalahan hingga membuat Eomma begitu marah? Aku tidak tau, namun telingaku sangat jelas menangkap kata-kata 'cerai' dari adu mulut mereka.

Aku mengerjap dan segera mundur dua langkah saat menyadari Eomma akan keluar dari kamar itu. Dan tak lama, pintu itu terbuka lebar, menampilkan Eomma dengan dua tas besar ditangannya. Wajahnya berantakan, terlihat bengkak dibagian mata karena menangis begitu keras.

Pada awalnya, Eomma terlihat terkejut mengetahui aku berdiri disini. Namun tak lama ia tersadar dan segera menghampiri ku yang masih membeku ditempat, sedang mencoba memahami situasi apa yang terjadi diantara mereka berdua. Atau mungkin kita bertiga?

"Yoora sayang, kamu baik-baik saja ya bersama Appa. Jangan nakal dan dengarkan apa kata Appa." Ucapnya. Apa yang beliau inginkan? Mana mungkin anak berusia 5 tahun sepertiku akan paham maksud dari ucapannya.

Eomma tersenyum menatapku, namun aku hanya menatapnya sedih seakan aku tau betapa sakitnya Eommaku ini. Aku menjawab dengan tatapan polos, "Eomma bertengkar dengan Appa? Apa karena Yoora nakal?" tatapanku beralih kearah dua tas besar yang dibawa Eommaku. "Eomma ingin pergi? Kemana? Apa Yoora boleh ikut?"

Air mata langsung kembali mengalir membasahi pipi eomma, membuat tanganku kembali bergetar ketakutan. Ia menggeleng sambil menahan sekuat tenaga airmatanya agar tidak tumpah terlalu banyak, "Anni, anni-eo. Yoora tidak nakal sama sekali" jawabnya.

Kemudian ia segera mengecup puncak kepalaku dan juga ia mengusak rambutku. Ia mengambil tasnya lalu segera pergi begitu saja. Aku memandangnya nanar, entah kenapa aku merasa berbeda, aku segera menyusulnya namun appa menahan tubuhku, "Eomma, Yoora ingin ikut eomma"

Dan benar firasatku, belum ada setengah menit sejak eomma melepaskan ciumannya, ia terguling begitu saja ditangga sana membuat aku serta appa melotot tak percaya. "Eomma!" teriakku, aku segera melepas pelukan appa dan segera menyusul eomma yang sudah tergeletak tak berdaya dilantai bawah.

"Eomma!" teriakku saat melihat begitu banyak darah bercecer dilantai. Aku sangat takut, takut terjadi apa-apa pada eomma. Aku mendongak, menatap appa yang bergeming ditangga terakhir.

Ia mematung menatap eomma yang berlumuran darah, tatapan redup dan menyesal tergambar jelas. Aku tidak tau mengapa ia terlihat begitu menyesal, namun yang aku tau appa begitu sedih melihat eomma seperti ini.

Keesokan harinya, dirumahku begitu ramai. Orang-orang datang dengan memakai baju berwarna hitam, ada juga yang membawa bunga lili ditangannya-bunga kesukaan eomma. Pada saat itu aku masih belum paham apa yang terjadi, meski aku menangis begitu keras malam itu, namun aku tidak tau dan juga tidak mengerti apa yang terjadi.

Aku melihat peti coklat itu dalam diam, disana ada eomma. Begitu cantik dengan gaun putihnya, ia menggenggam bunga lili kesukaannya-bunga dari appa. Tiba-tiba aku teringat dengan appa, aku menoleh dan menatapnya yang tengah menggenggam tanganku erat.

Gurat-gurat kesedihan tergambar jelas menyelimuti auranya, bahkan airmata nya tak henti-hentinya mengalir. "Appa, mengapa menangis?" tanyaku sambil menarik-narik tangannya membuat perhatiannya teralihkan padaku.

Ia menoleh menatapku, lalu ia mengusap airmatanya seakan ingin menyembunyikan kesedihan itu dariku. Ia berjongkok dan memegang kedua lenganku. "Lihat, aku tidak menangis" jawabnya disertai senyum tipis, bahkan ia berbohong dengan jelas.

"Mengapa banyak sekali orang disini?" tanyaku lagi sambil pandanganku menyusuri setiap sudut rumah kami. Dan tepat didepan peti itu, pandanganku kembali berhenti, menatap lurus kearah sana, "Kapan eomma bangun? Tidakkah pegal tertidur dipeti sempit seperti itu?" tanyaku lagi.

Appa memejamkan matanya, terlihat bingung harus menjawab apa. Hingga beberapa menit kemudian aku menangkup wajahnya, "Appa, jawab" kataku.

Appa kembali menatapku, kemudian ia beralih menggenggam tangan mungilku. "Yoora-ya, kau harus menerimanya ya" aku hanya mengerjap bingung, tidak mengerti apa maksud dari ucapan appa.

Ia memandang jauh kemanik mataku, mencoba menyiratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Yoora-ya, eomma telah pergi jauh sekali meninggalkan kita semua. Dia telah pergi ketempat yang paling indah, bahkan lebih indah daripada disini"

"Kenapa eomma pergi? Kenapa ia harus pergi padahal disini ada kita yang begitu mencintainya appa?"

"Karena Tuhan lebih menyayanginya daripada kita Yoora"

"Tapi eomma akan kembali 'kan?" tanyaku yang mulai meneteskan airmata, terlalu sedih ketika tau bahwa eomma pergi meninggalkanku begitu saja.

"Anni-ya, eomma akan disana selama-selamanya" ucap appaku membuat tangisanku semakin kencang. Aku berlari kearah peti itu, dan berteriak dengan keras meminta eomma untuk segera kembali. Namun Tuhan berkata lain, Dia tetap mengambilnya meski aku telah berlutut memohon dan meminta eomma dikembalikan.

Appa mengangkatku kegendongannya, lalu ia menepuk-nepuk punggungku. "Sayang, jangan seperti ini. Yoora harus terima kepergian eomma. Appa janji akan terus bersama Yoora, arra?" ucap appa, aku memberontak dengan airmata yang terus berjatuhan dipipiku.

Mulai saat itulah semua hidupku berubah, lebih menyakitkan, dan begitu sulit. Membuat airmata ku hampir kering begitu saja. Entah mengapa, setiap mengingat eomma, air mataku terus saja bergulir tak peduli betapa lelahnya aku sudah menangis.

Hidupku begitu kacau, aku terpuruk dengan kesedihan. Aku tidak mau makan, bahkan untuk berbicara pun terasa enggan.

Hingga, suatu hari appa mendatangiku dan berkata, "Yoora-ya, jebal jangan seperti ini. Memang eomma telah pergi, tapi disini masih ada appa yang begitu menyayangimu. Tolong kembali menjadi Yoora yang dulu, ayo kita lanjutkan hidup kita sayang. Appa tidak akan meninggalkanmu." ucapnya.

Aku menatapnya dengan seksama, mencari kebohongan dari mata appa. Namun nihil, appa begitu tulus mengatakan itu, "Yaksokhae?" tanya ku ragu-ragu sambil mengulurkan jari kelingkingku.

Appa melebarkan senyumnya, hari yang ia tunggu akhirnya tiba, dengan semangat ia berkata, "Appa berjanji" diikuti dengan jari kelingkingnya yang melingkar ditanganku, kemudian ia segera memelukku erat mengucap beribu syukur karena pada akhirnya aku kembali bicara.

-=JJ=-

Daegu, 1992

Tahun-tahun pun berlalu, menyisakan kenangan-kenangan kecil yang tersimpan disebuah tempat kecil diotakku. Tak banyak kenangan indah yang bisa ku simpan. Hanya luka yang begitu banyak menusuk jiwa. Masih kusimpan dengan rapi, masih kuingat baik-baik. Tidakkah aku bodoh?

Remaja adalah awal bermula suatu cerita, mungkin juga dengan diriku. Masih dengan latar belakang yang sama, masih dengan kenangan buruk yang tersimpan. Aku terus melangkah maju tanpa peduli bagaimana nantinya diriku ini. Hanya terus berharap hari ini adalah hari terakhir, entah untuk kesedihan ku atau bahkan untuk hidupku. Aku benar-benar tidak peduli.

Rasanya begitu sakit hingga menusuk tulang, bahkan jika digantikan dengan beribu tawa pun rasanya tetap sama.

Hari yang kujalani tak lebih baik sejak 5 tahun lalu.

Pada awalnya memang terasa lebih baik, dengan Appa. Namun, semakin hari, semakin aku tumbuh besar, Appa mulai melupakan janji yang ia ucapkan dengan begitu manisnya. Menyisakan luka pedih yang mendalam dihatiku.

Ia pergi kesana kemari, namun tidak pernah benar-benar melihatku. Aku yakin, ia bahkan sebenarnya tidak akan tau bahwa aku menjuari pertandingan renang saat SD jika Han Ahjumma tidak memberitahunya.

Ah ya,

Han Ahjumma.

Wanita yang menemaniku setelah Eomma tidak ada.

Ia memang hanya pembantu rumah tangga, namun aku tidak pernah memperlakukan ia seperti itu, begitupun dirinya. Tidak ada batasan diantara kami, aku selalu bercerita apa saja padanya. Mungkin tidak tepat jika disebut pengganti Eomma, tapi aku selalu menganggap nya sebagai ibu kedua untukku.

Ck.

Lucu rasanya jika aku berfikir tentang ini semua, tidakkah ini terlihat aku dibesarkan oleh seorang pembantu dibanding dengan Appa ku sendiri?

"Ah chogi, chogi-yo?" aku terkesiap saat menyadari suara itu, sontak aku mendongak dan langsung mendapati seseorang yang baru kulihat pagi ini. Ia tersenyum.

"Boleh aku duduk disini?" tanyanya lagi, aku melirik bangku kosong yang ada disampingku, kemudian mengangguk sekilas tidak terlalu menanggapinya. Ia mengucapkan terima kasih lalu meletakkan nampan makan siangnya disamping nampanku dan mulai duduk disampingku.

"Ah ya, Aku Cho Kyuhyun. Murid pindahan dari SMP Sekan, kau?" aku menoleh saat melihat uluran tangannya. Ck, bocah ini.

"Yoora" jawabku tanpa membalas uluran tangannya, tetap terus melanjutkan makanku.

Ia terlihat kecewa, maka dari itu ia hanya bisa menurunkan uluran tangannya sambil mengangguk berulang kali. Aku tidak peduli.

"Seharusnya kau tidak bisa seperti pada sunbae, tapi terserah-"

"Mwo?!" aku melebarkan mataku sambil menatapnya tidak percaya, apa yang dia bilang? Sunbae? Bagaimana bisa? Bahkan wajahnya itu masih terlihat seperti anak SD!

"Ya, aku pindah ke kelas 2-2. Kau tidak tau hah? Dasar anak kelas 1" ucapnya. Cih, dia fikir dia siapa? Meski aku masih kelas 1, tidak seharusnya ia berkata seperti itu. Walau bagaimana pun, aku lebih dulu masuk kesini, jadi sebenarnya siapa yang harus disebut senior?

"Ya! Apa maksudmu?!" ucapku dengan lantang membuat perhatian beberapa siswa teralih kearah kami.

"Molla" ucapnya, lalu ia kembali fokus pada nampan makan siangnya.

Aku menggeram marah, gila! Bagaimana bisa orang ini tiba-tiba berlaku seperti itu? Tidakkah ini masuk akal? Ah, aku bisa gila.

"Aku tau aku tampan, tapi jangan terus-terusan memperhatikanku." Ucapnya yang membuat kepalaku makin panas, "Mokgo!" lanjutnya.

"Ya!" pekikku, namun aku hanya bisa menahan amarahku dalam hati. Walau bagaimana pun dia berada ditingkat 2, bisa berbahaya jika aku berhubungan dengan tingkat 2. Ingat Yoora-ya, kau masih ditingkat 1.

Aku kembali memfokuskan pada nampan makan siangku, dan mulai memakannya dengan cepat, tidak ingin lama-lama berada didekat orang aneh ini.

-=JJ=-

Daegu, 1995

Setelah hari dimana Kyuhyun sunbae-sekarang aku memanggilnya begitu karena dipaksa olehnya-datang menghampiriku, aku menjadi lebih merasa memiliki arti hidup didunia ini. Meski Appa masih tetap sama, namun dengan adanya Kyuhyun, aku menjadi lebih kuat.

Ternyata rumah kami dekat, hanya beberapa rumah dari rumahku. Ia seringkali menemaniku pulang, aku pun tidak terlalu mengerti mengapa ia mau maunya seperti itu. Padahal aku bukanlah anak populer, berbeda dengannya yang baru saja masuk kesekolah ku langsung menjadi populer karena selain wajahnya tampan-aku harus akui ini-ia juga termasuk siswa yang pintar.

Dia begitu baik padaku, meski selama ini aku selalu menolak kehadirannya, ia tetap berusaha-memaksa-untuk mendekatiku. Lama-lama aku jengah juga terus mengusirnya, toh ia sebenarnya tidak benar-benar menggangguku malah ia selalu melindungi dan menjagaku.

Kini, aku dan dia sudah berada di SMA. Aku ditahun pertama dan dia di tahun kedua. Entah apa yang ada diotakku saat itu, aku juga tidak mengerti kenapa aku malah memilih SMA yang sama dengannya. Padahal aku bisa memilih SMA yang lebih bagus lagi, hanya saja, aku merasa, jika berada didekatnya aku terlindungi. Terasa aman, mengetahui bahwa ia berada ditempat yang sama denganku.

Sempat terlintas difikiranku, apakah aku menyukainya? Namun aku menepis dengan tegas fikiran itu. Kyuhyun sunbae adalah seorang yang tidak boleh aku sukai, bukan, bukan karena hal penting seperti misalnya Appa melarang atau Kyuhyun sunbae ternyata gay. Hanya saja, Kyuhyun sunbae terlalu sempurna jika disandingkan denganku. Aku tidak ingin merepotkannya lebih dalam lagi jika ternyata aku menyukainya.

"Yoora-ya! Palliwa!" aku tersentak begitu menyadari suara Kyuhyun sunbae didepan sana, ia melambai-lambaikan tangannya seperti anak kecil. Aku terkekeh, meski usianya sudah memasuki usia 16 tahun, tapi tingkahnya masih seperti anak kecil. Terkadang gila.

Aku masih terdiam di tempatku berdiri, hanya terkekeh tanpa menghampirinya. Ia menurunkan tangannya, lalu menggeleng dengan ekspresi kesalnya. Aku kembali tertawa melihat kelakuannya, ia bertolak pinggang lalu berlari menghampiri ku.

"Ya! Apa yang kau lakukan? Ayo, kita terlambat!" ucapnya, ia segera menarik tanganku dan kami-dengan aku yang diseret olehnya-berlari cepat untuk sampai kesekolah. "Ya! Siapa suruh terlambat bangun, eo?" ucapku.

Pagi ini, biasanya aku sudah menemukannya berdiri didepan rumahku, tapi ia tidak ada. Dengan sabar, aku menunggunya didepan rumahku. Tak mungkin aku berangkat terlebih dulu, karena kami sudah biasa berangkat bersama. Dan tak pernah sekalipun Kyuhyun sunbae berangkat terlebih dulu.

Beberapa menit kemudian, ia datang dan segera menarik tangannku untuk berlari bersamanya. Saat kutanya-masih sambil berlari-ia menjelaskan bahwa ia terlambat bangun karena baru saja menyelesaikan tugas rumahnya jam 12 malam. Dasar, meski ia termasuk orang yang pintar namun dia itu terlalu malas. Selalu menunda tugas hingga tugasnya menumpuk tinggi dan selalu menyelesaikannya saat sehari sebelum tugas itu dikumpulkan.

Setelah beberapa ratus meter kami berlari, akhirnya kami sampai juga didepan gerbang sekolah. Namun sayang, usaha kami terasa sia-sia karena pintu gerbang itu sudah ditutup. Dengan besar hati, kami harus memohon kepada guru piket yang berada disana untuk masuk. Untungnya beliau mengijinkan, namun dengan satu syarat, kami harus menerima hukumannya.

Ya, disinilah kami, kembali berlari lagi mengitari lapangan sepak bola. Ck, double sialan kan?

"Hah! Aku lelah!" ucapku lalu merebahkan tubuhku dilapangan berumput ini tanpa kupedulikan tentang bajuku yang akan kotor.

"Hah!" Kyuhyun sunbae pun mengikutiku dengan merebahkan tubuhnya disampingku. "Tau begini, lebih baik aku bolos sekalian" ucapnya.

Aku menoleh, lalu ketepuk perutnya yang buncit itu, "Nilai mu itu sudah turun, kau tau! Jika kau melakukan itu, akan ku adukan pada Song Ssaem!" ancamku.

Dia terkekeh, "Heh, memangnya aku tidak tau kemana kau minggu lalu. Kau tidak sakit 'kan? Han Ahjumma bilang kau berangkat pagi-pagi"

Aku melotot tak percaya, aish Han Ahjumma tidak seharusnya membocorkan rahasia ku, sudah ku bilang untuk mengatakan bahwa aku sakit. Tapi tetap saja ia memberitahu pada setan sialan ini.

"Setelah kufikir-fikir, apa boleh ya aku bilang ini pada Kim Ssaem?" ledeknya, "Ya!" pekikku yang langsung berdiri dan memukul bahunya serta mencubiti perutnya dengan brutal. Ia hanya memekik kesakitan, dan aku tidak peduli.

"Ya! Ampun Yoora-ya!"

-=JJ=-

Daegu, 1996

Aku menatap langit diatasa sana yang dipenuhi bintang, rasanya malam ini begitu cerah hingga aku ingin terus menatapnya. Aku sendirian malam ini, tidak biasanya memang. Ck, aku merasa lucu saat merasa kesepian seperti ini. Sebetulnya, kesepian sudah menjadi teman lamaku, namun rasanya setelah Kyuhyun sunbae memasuki hidupku, kesepian itu sudah jarang sekali datang.

Tahun, ini adalah tahun tersibuk untuk Kyuhyun sunbae. Kelas 3 memang tahun dimana semua murid begitu sibuk dengan berbagai macam kegiatan. Dan sama seperti siswa kelas 3 lainnya, Kyuhyun sunbae pun juga.

Saat memasuki kelas 3, sifat nya berubah. Ia tidak lagi menungguku berangkat sekolah bersama, atau bahkan mengantarku pulang seperti biasanya. Sulit sekali untuk bertemu dengannya, aku juga tidak tau, apa sebenarnya ia menghindariku atau memang sibuk seperti yang anak kelas 3 lainnya lakukan.

Tapi jika memikirkan ia menghindariku, memangnya apa alasannya? Kami tidak bertengkar sebelumnya, ah, maksudku kami tidak bertengkar hebat, hanya pertengkaran kecil yang tidak serius seperti biasa kami lakukan. Aku hanya bisa berfikiran positif, bahwa ia memang sibuk layaknya anak kelas 3 lainnya.

Dan...

Ini adalah saat mendekati kelulusan, bahkan ujian akhir pun sudah berlangsung. Namun Kyuhyun sunbae belum juga bisa menemuiku seperti biasanya, pesanku sama sekali tidak dibalas. Bahkan jika ku telepon pun tidak pernah diangkat. Lama-lama, aku khawatir juga jika seperti ini terus.

Apakah ia baik-baik saja? Atau memang ia memiliki masalah besar dan menyembunyikannya dariku. Entahlah, aku pusing memikirkannya.

"YOORA-YA!" aku tersentak saat seseorang meneriakkan namakku, kepalaku langsung menoleh keasal suara dan ya, kutemukan Kyuhyun sunbae berada disana. Melambaikan tangannya menyuruhku untuk menemui nya.

Astaga, tidakkah ia gila menemuiku malam-malam seperti ini? Untung Appa sedang ke Seoul, jadi ia tidak akan kena damprat dari lelaki tua itu. Aku segera berlari keluar dari balkon dan menuruni anak tangga hingga berhasil keluar pagar dengan nafas terengah.

"Ya! Apa yang kau lakukan?" pekikku kesal lalu memukul lengannya. "Mengapa kemari tidak bilang? Terlebih ini malam hari, bodoh!" ucapku lagi. Namun ia hanya terdiam, memandangku dengan begitu serius, tidak seperti Kyuhyun sunbae biasanya. Ada yang aneh.

"W-wae? Kenapa diam saja?" ucapku dengan suara yang pelan pada akhirnya. Namun dia tetap terdiam sambil terus menatapku, karna kesal akhirnya aku bertanya dengan suara yang lebih kencang, "Wae?!"

Tak lama, ia menggeleng. "Hanya ingin melihatmu" jawabnya yang membuatku terkekeh tak percaya.

"Hahaha Kyu sunbae, tidakkah ini terdengar lucu?" kataku masih tertawa.

"Aku serius" ucapnya membuatku terdiam dan memandangnya bingung. Sebenarnya apa yang terjadi pada Kyuhyun sunbae? Ia terlihat aneh, apa ujian akhir membuatnya gegar otak?

"M-mwo?" tanya ku dengan bingung.

Kemudian ia tersenyum kecil, lalu mengusap kepalaku. "Kau percaya padaku 'kan?" tanyanya yang membuatku bingung, namun aku hanya mengangguk dengan sorot mata bingung yang kentara, "Geurom, apapun yang terjadi nanti. Tetaplah percaya padaku."

Aku terdiam menatapnya, terlihat begitu serius dengan sorot mata yang terlihat begitu sungguh-sungguh. "Y-ya, kau gila?" tanyaku mencoba untuk tidak terlalu serius. Sungguh ajaib sebenarnya bisa melihat Kyuhyun seserius ini, dan terasa aneh.

"Tidak" ucapnya, ia telah menurunkan tangannya. Kemudian dengan masih tersenyum, ia berkata, "Kemarilah" ia melebarkan tangannya. Aku kembali bingung dengan kelakuannya sehingga aku masih tidak bergerak ditempatku.

"Ya! Pabo! Kemari!" ucapnya sambil menarik tubuhku dan masuk kepelukannya. Ia memelukku erat seakan tidak ada kesempatan lain untuk memelukku. Sementara aku, hanya bisa diam tanpa berani membalas pelukannya.

"Aku akan merindukanmu" ucapnya sebelum melepaskan pelukan kami. Ia mengusak rambutku, sebelum berbalik pergi sambil melambaikan tangannya. Yang aku fikirkan saat ini adalah seperti, aku akan kehilangan seseorang lagi.

Beberapa hari kemudian, aku menemukan fakta bahwa apa yang aku fikirkan pada malam itu terjadi, Kyuhyun sunbae pergi. Meninggalkanku yang rapuh sangat jauh. Ia pergi entah sampai kapan, mungkin tak akan kembali.

-=JJ=-

ToBeContinued

Continue Reading

You'll Also Like

473 321 18
"Apa Mama lo perduliin lo?" Ucap Larva bertanya dengan emosi tertahan. "-Apa Mama lo anggap lo ada?" "Sadar! Jangan bego! Lo cuman dijadiin bayang-ba...
28.3K 4.3K 200
NOVEL TERJEMAHAN || Novel di tl sendiri jadi harap maklum.
17.9K 1.4K 7
Deskripsi Cerita itu apa? Judul sebelumnya ALAN, Jangan Balikan!
1.1K 51 17
Aksara berjalan dengan cepat untuk bisa menyamai langkah Biru yang hampir mendekati gerbang sekolah. Menahan lengan Biru agar gadis itu tetap di temp...