Losta Connecta 「END」

Oleh andhyrama

629K 53.1K 37.4K

[12+] Semua akan menjadi sulit jika kami berdua Losta Connecta. Pemenang THE WATTYS 2016 kategori #Ce... Lebih Banyak

0] PREVIEW
0] PROLOG
1] PULANG
2] TELAT
3] PASI
4] PESAN
5] MARAH
6] FOKUS
7] PANGGIL
8] CEBAN
9] TAHU
10] CABAI
11] SURAT
12] BUBUR
13] BAKSO
14] DAFTAR
15] PESTA
16] PECAH
18] KONSER
19] HUJAN
20] BINGUNG
21] DEMAM
22] BOHONG
23] JUJUR
PEKA BANGET!
24] JAKET
VERSI CETAK!
25] KORAN
INFO BUKU!
26] BELIUNG
VOTE COVER!
27] PUNCAK
H-3 OPEN PO!
28] ASTAGA
OPEN PO!
READ IT!
29] KACAU
30] RENUNG
31] BONGKAR
32] KEPUNG
33] SADAR
00] EPILOG

17] PUSING

11.4K 1.3K 969
Oleh andhyrama

Ilustrasi tokoh-tokoh di Losta Connecta (bagian dua)

***

Losta Connecta by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

***

Aku masih memikirkan rapat itu, aku masih memikirkan bagaimana Radit bersikeras akan menjadikan Adnan menjadi ketua OSIS. Aku membicarakan anak itu bersama Gio, Risa dan Erna sebelum pulang. Anak itu memang anak orang kaya. Ayahnya seorang pejabat dan punya usaha besar, aku tidak mengetahui lebih lanjut yang jelas ayahnya orang yang terpandang. Selain itu, aku tahu kalau Adnan ini anak ekskul musik, jadi Gio dan Risa sudah pasti kenal.

Menurut pandangan Gio dan Risa, Adnan memang bukan anak berandalan. Anak itu katanya punya pendirian tinggi dan berkemauan keras. Gio pikir Adnan ini ingin mengubah OSIS, tetapi anak itu terlalu menggampangkan dengan meminta bantuan orang tuanya. Seharusnya anak itu tak perlu minta bantuan juga kalau dia memang benar-benar berpendirian dan berkemauan keras. Akan tetapi, bisa juga dia memang punya pendirian, tetapi tidak punya moral untuk mengikuti aturan. Sama saja bohong. Bisa juga dia berkemauan keras, tetapi juga keras kepala, sama saja dusta.

Di rumah, setelah makan malam bersama Nala, Eldo meneleponku. Dia bilang kalau dia kangen, aku hanya bisa tertawa karena gaya bicaranya memang lucu. Dia banyak cerita tentang cewek-cewek di sekolahnya, katanya dia sudah punya incaran lagi setelah ditolak enam belas cewek dalam periode sebulan ini. Dasar Eldo konyol!

"Gimana lu? Udah ada gebetan? Kalau enggak ada mending tuh muka gue sewa dulu, mubazir," kata dia diikuti tawa singkat.

"Enak aja! Kamu cuma perlu keramas doang, Do! Ketombe jangan dipelihara!" kataku menyarankan sembari tertawa.

"Ah lu, gue kan pengin di sini ada salju juga kayak di luar negeri. Eh, lu belum jawab pertanyaan gue tadi," kata dia yang ternyata ingat.

Ah kayaknya memang aku butuh curhat tentang masalah pendekatanku dengan Hana, Eldo mungkin bukan penasihat yang baik, tetapi setidaknya dia pendengar yang baik, mengingat kupingnya yang punya ukuran di atas rata-rata.

"Aku pernah bilang aku pengin cari cewek polos, sekarang aku malah menemukan yang bukan cuma polos, tapi juga cantik dan menggemaskan, beruntung banget kan aku?" kataku agak membanggakan diri.

"Enggak usah dusta lu! Mana fotonya, gue pengin lihat!" ucapnya tak percaya.

"Aku kirim via Line, lihat ya," kataku sembari mengirim foto Hana pada Eldo.

Tidak ada suara untuk beberapa detik. "Do, sudah lihat belum?" tanyaku.

"Bangke! Ini mah bidadari, cantik benar! Enak sekali lu pegang-pegang pundaknya," kata Eldo yang membuatku merasa semakin bangga.

Aku ceritakan juga tentang susahnya untuk berkomunikasi dengannya, tentang abangnya Hana yang juga sudah mencatat namaku menjadi calon pendamping Hana, dan masalah kandidat-kandidat lain yang misterius. Pertama, dia kayak Risa menganggap Hana punya masalah pendengaran, tetapi setelah aku jelaskan dia mulai mengerti. Aku tentu saja minta pendapatnya tentang sebaiknya apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

"Gue rasa lu perlu tahu lebih lanjut tentang Hana, lu tanya aja ke temannya. Lu juga introspeksi, lu udah kasih apa ke dia? Lu udah usaha apa ke dia? Respons dia gimana ke lu? Intinya lu kaji semua yang udah terjadi antara lu sama si Hana ini," kata Eldo menyarankan.

Apa yang dikatakan Eldo benar juga. Sebenarnya apa yang sudah aku berikan padanya? Aku bukan orang yang suka mengungkit kebaikan diriku sendiri, tetapi kali ini aku harus melihat lagi apa yang sudah aku lakukan.  Aku menutup telepon Eldo setelah salam dan basa-basi lain. Aku segera mengingat hal-hal yang sudah aku lakukan untuk Hana.

Pertama, aku sudah menolongnya dari orang yang mau melakukan hal tidak pantas padanya di kereta. Kedua, aku sudah mencoba menjadi pembimbing MOS yang baik baginya. Ketiga, aku sudah mencoba mengajarinya bermain anggar. Akan tetapi, hal-hal itu sepertinya cuma modus. Apa aku ikhlas melakukan hal itu tanpa imbalan? Bukannya memang pendekatan itu isinya memang modus ya? Setidaknya aku sudah sedikit menunjukkan kalau aku memang peduli padanya.

Apa yang sudah aku tahu tentang Hana? Sudah sekitar sebulan dari awal aku bertemu dengannya dan yang aku tahu tentangnya sangat sedikit. Aku hanya tahu dia punya paman dan bibi, saat di stasiun dia bilang pamannya sudah menunggu. Aku yakin dia tinggal bersama paman dan bibinya, walau yang aku temui hanya bibinya yang bohay itu. Hana dari Bogor dan pasti rumahnya ada di sana, Ibunda dan Ayahanda—karena dia panggil kakaknya dengan Kakanda—juga ada di sana pastinya. Dia punya abang dan sepertinya kuliah di Jakarta, tetapi tinggalnya beda, bisa diketahui dari kemunculan Bang Haris yang cuma dua kali itu. Hana anaknya sangat menjaga kebersihan dengan selalu sedia antiseptik, tetapi kenapa dia sakit ya? Hana suka nonton berita, sudah jelas pengetahuannya tentang kecelakan atau tragedi Situ Gintung tidak diragukan. Hana anak akuntansi sekelas dengan Sella. Hana umurnya delapan belas tahun, dia tidak naik kelas tiga kali sepertinya. Dan satu-satunya yang benar-benar aku tahu tentang Hana adalah dia yang sudah berhasil menggetarkan hatiku yang terluka dan mencuri semua kapasitas otakku untuk memikirkannya.

Besok aku tidak mau ikut rapat-rapat lagi, aku mau fokus mencari Hana karena tadi Nala bilang dia mau diantar ke Tangerang, jadi aku tidak akan berangkat ekskul besok. Lagi pula, aku mau mengajaknya nonton konser di mana Kumis Salmon bakal tampil di sana. Aku tidak boleh kalah langkah sama saingan-sainganku nih! Hana pasti masih bimbang harus memilih siapa, eh iya semoga saja sudah ada yang gugur lagi.

Aku mencari foto Hana yang sudah aku cetak sebelumnya. Aku akan menempelkannya ke bantal guling sehingga memeluk guling akan berasa memeluk dirinya. Biarkan saja terkesan seperti jones. Asal hati bahagia, tidaklah mengapa. Ahay!

"Hana, Selamat tidur ya! Semoga kamu bermimpi tentangku, aku sayang kamu," kataku yang kemudian mencium foto Hana yang sudah kutempel di bantal guling dan kemudian aku peluk mesra bantal itu seperti Jack memeluk Rose di film Titanic.

***

Gio sama Risa sudah pacaran! Kok aku senang ya? Gio gerak cepat sih minta maaf ke mantan-mantannya, padahal aku tahu Risa pengin mengulur-ulur waktu biar dia yang sudah melabelkan dirinya sebagai cewek mahal tidak terasa mudah didapatkan. Akan tetapi, yang menawarnya sudah memenuhi syarat yang diminta, Risa pun tidak boleh jadi Roro Jonggrang yang mencurangi Bandung Bondowoso.

Sekarang aku ada di kantin bersama Gio dan Risa yang ada di hadapanku.

"Rambut gue jangan diacak-acak," kata Risa kesal, tetapi kayak senang juga.

"Dari dulu gue pengin lakuin ini ke lu," kata Gio terus saja mengacak-acak rambut Risa yang hanya beberapa senti lebih panjang dari rambutnya.

"Sudah Ris nikmati saja, siapa tahu kutu-kutumu nanti loncat ke rambut Gio, kan biar tahu rasa," kataku terkekeh. 

"Sayang, lu punya kutu?" tanya Gio yang wajahnya tiba-tiba panik.

"Iya," jawab Risa seperti menahan tawa.

"Pantas! Lu bisa menyekutukan hati lu sama hati gue," gombal Gio yang kemudian mencubit pipi Risa yang sudah memerah.

"Goblok!" jawab Risa yang aslinya pengin bilang, 'Ih Sayang bisa aja!'

"Iya gue jadi goblok gara-gara lu," kata Gio yang kemudian mengacak-acak rambut Risa lagi. "Goblok mikirin lu, goblok mau-maunya ikutin perintah dari lu, goblok karena kecanduan lu juga!"

"Baguslah kalau sadar," kata Risa terkekeh. "Mending lu sambil mijet kepala gue daripada acak-acak rambut doang," kata Risa menyarankan.

"Siap Komandan!" kata Gio yang mau-mau saja memijat kepala Risa.

Aku hanya senyum-senyum sendiri melihat tingkah mereka. Kapan ya, aku bisa merasakan seperti itu lagi dengan cewek yang aku suka. Hana, di mana sih kamu? Aku menunggu di depan rusun aku tidak lihat kamu. Aku sudah cari ke kelasmu tadi, tidak ada kamu juga. Di mana gerangan kamu berada? Jangan-jangan lagi sembunyi di hatiku, ya? Keluar cepat keluar! Aku rindu!

"Angga kapan lu pacaran lagi?" tanya Gio. "Gue kangen kencan ganda sama lu," tambahnya mengingatkanku saat aku mengajak Ratna kencan dengan Gio dan pacarnya saat itu.

"Sabar ya, lagi proses," kataku.

"Ditunggu, jangan kelamaan, keburu Risa bosen sama gue," kata Gio masih memijat kepala Risa.

"Kalau lu goblok terus, gue enggak bosen kok," kata Risa terkekeh.

"Siap Komandan! Saya siap jadi goblok selalu!" kata Gio yang buat aku ikut terkekeh juga bareng Risa.

"Eh, Rizal suruh kita kumpul di ruang musik," kata Risa menunjukkan pesan di ponselnya ke Gio.

"Gue batalin pesanannya ya," kata Gio segera berdiri dan beranjak untuk membatalkan pesanannya.

"Ngga, kami tinggal enggak apa-apa kan?" tanya Risa.

"Pergi aja, Ris! Kalian butuh koordinasi pasti buat konser besok," kataku mempersilakan Risa untuk pergi.

Sekarang aku sendiri, menikmati mi ayam ini. Sedih juga sendirian di meja kantin. Kayaknya aku bakal bolos pelajaran Bu Markonah buat mencari Hana. Kayaknya tidak perlu bolos juga, masuk telat aja. Kalau Bu Markonah marah paling cuma disuruh mengerjakan soal di papan tulis. Tidak ada apa-apanya dibanding kepikiran Hana terus-terusan karena belum ketemu.

"Kak Angga!" panggil seseorang yang membuatku menoleh.

Di depanku kini ada Ratna yang sepertinya sudah tidak sedih lagi karena masalah ulang tahunnya yang jadi bencana. Dia masih cantik dengan penampilannya. Lalu di sebelahnya, ada seorang cewek yang aku tidak kenal. Tidak, aku kenal dia! Cewek yang pipinya tembam, tetapi ukurannya kini pas dan lebih imut, wajahnya kini bening dan segar. Dia meringis menunjukkan barisan giginya yang putih. Penampilannya pindah dari kelas C naik ke kelas B.

"Sella," kataku yang kurang percaya.

"Aku jadi unyu, kan?" kata Sella berpose sok imut di depanku.

"Lihat Angga! Aku memenuhi janjiku pada anak ini. Aku membantunya agar terlihat lebih cantik. Pondok Kecantikan Grantika yang membantunya, dengan perawatan dari staf profesional, ahli kecantikan yang telah teruji dan peralatan kecantikan yang terbukti secara klinis, membuat pelayanan di Pondok Kecantikan Grantika tidak bisa diragukan," kata Ratna dengan bangga.

"Semuanya yang ada di kantin aku mau ngomong penting!" kata Sella pada semua yang ada di kantin.

Semuanya kemudian menoleh pada Sella dengan bingung. 

"Sebelum aku mengunjungi Pondok Kecantikan Grantika, pipiku bergelambir seperti adonan roti, kulitku kusam dan gigiku kuning seperti yang lewat di kali, sekarang setelah mengunjungi Pondok Kecantikan Grantika hanya dalam waktu satu minggu pipiku menjadi lebih kencang, kulitku menjadi secerah mentari pagi dan gigiku jadi seputih kain kafan. Terima kasih Pondok Kecantikan Grantika," kata Sella menjelaskan dengan bau-baunya seperti berpromosi.

"Kirain apa," kata yang lain langsung kembali ke posisi semula.

"Ratna, kamu yang bayar semuanya?" tanyaku ke Ratna karena penasaran dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengubah panda menjadi koala.

"Tenang saja, semuanya gratis kok. Pondok itu milik tantenya Albi, jadi aku mah gratis kalau ke sana," kata Ratna yang membuatku sedikit lega.

"Bagaimana Kak Angga? Sekarang jadi suka sama aku kan?" kata Sella mengedip-kedipkan matanya seperti merayu.

"Aku tinggal dulu ya, selamat bermesra-mesraan," kata Ratna yang kemudian pergi.

"Dah! Pahlawan cantikku!" kata Sella pada Ratna.

"Habiskan mi ayamku nih! Aku jadi tidak lapar," kataku ke Sella.

"Maaf, Putri Sella, harus diet dan menjaga pola makan," jawab Sella menolak.

"Gratis," kataku.

"Baiklah kalau tunanganku memaksa," kata Sella yang kemudian menyantap mi ayam itu dengan sok anggun.

Aku hanya bisa menepuk-nepuk kepalaku saja. Ada-ada saja kelakuan anak ini, ternyata dia tidak kirim pesan, tidak kirim chat, tidak membuat panggilan-panggilan mengganggu karena sedang sibuk mempercantik diri di Pondok Kecantikan Grantika.

"Kak Angga kangen aku kan?" tanya Sella sembari menyeruput mi ayam.

"Tidak," jawabku singkat sembari masih memerhatikan wajahnya yang benar-benar berubah.

"Bohong! Aku aja kangen banget," katanya yang kini menghabiskan kuah mi ayam itu.

Aku hanya tertawa untuk formalitas. Akan tetapi dia kemudian bicara panjang lebar tentang perawatan kecantikan bersama Ratna itu. Aku hanya diam karena aku tidak tertarik dengan hal-hal macam begitu. Dulu waktuku sudah banyak tersita hanya untuk menunggu Ratna di salon.

Oh, iya mumpung ada Sella kenapa aku tidak tanya-tanya soal Hana saja? Daripada dia bicara terus, tetapi tidak ada gunanya buatku, lebih baik aku buat agar kata-kata yang keluar dari mulutnya punya faedah setidaknya untukku.

"Sella, kamu sekelas dengan Hana, kan?" tanyaku langsung tancap gas sebelum dia mulai cerita tentang pijat-pijat di pipinya.

"Iya, kenapa dengan Hana?" balas Sella balik bertanya.

"Aku pengin tahu aja kabarnya, aku kan bekas pembimbingnya juga pas MOS," kataku berasalan.

"Bekas? Kak Angga bagiku selamanya menjadi pembimbingku loh. Bedanya dulu pembimbing MOS sekarang pembimbing hati," katanya yang kemudian mengedip-kedipkan matanya mencoba merayu.

"Sella, jawab pertanyaanku ya," kataku.

"Panggil yang mesra dong," katanya menawar.

"Sella Sayang, jawab pertanyaan Abang ya," kataku yang sudah tidak tahan dengan kelakuannya.

"Eh, Kak Angga aku mau paling Kakak dengan panggilan Bangga aja, ya! Kependekan dari Abang Angga," katanya yang kemudian tersenyum senang.

"Terserah, sudah jawab aja," kataku yang kini sedang geregetan dengan tingkah Sella.

"Oke, Bangga!" ucap Sella. "Kabarnya Hana baik-baik saja, dia sering difoto di kelas," jawab Sella pada akhirnya.

"Difoto?" tanyaku bingung.

"Anak-anak pada memanfaatkan Hana. Cowok-cowok minta foto sama Hana buat pamer ke orang ngaku-ngaku Hana itu pacarnya. Sedangkan cewek-cewek memotret Hana buat dijadikan foto profil mereka, ya mereka ngaku-ngaku itu foto mereka," kata Sella yang tiba-tiba membuatku kesal.

"Mereka memanfaatkan kepolosan Hana, tidak bisa dibiarkan," kataku yang tersulut amarah.

"Lagi pula Hana punya wajah cantik begitu malah sekolah di sini, seharusnya di luar negeri aja yang anak-anaknya enggak kampungan," ucap Sella ada benarnya juga.

"Tapi Hana tidak diapa-apakan kan? Enggak ada yang foto macam-macam kan?" tanyaku khawatir.

"Enggak ada, kan aku manajernya. Aku yang menentukan tarif, gaya foto dan jumlah foto. Cukup banyak juga uang yang masuk ke aku dan Hana, lumayan buat beli tahu bulat," kata Sella yang membuatku menganga.

"Ternyata kamu yang memanfaatkan Hana, ya?" kataku yang kemudian kesal pada Sella.

"Bukan begitu, aku cuma membantu biar Hana tidak diapa-apakan. Lagi pula, jadi terstruktur. Tadinya semrawut banget, setiap hari banyak sekali yang minta foto ke Hana, sekarang kan pakai tarif jadi tidak sebanyak dulu yang gratisan," kata Sella menjelaskan.

"Hentikan! Pokoknya berhenti memanfaatkannya! Aku tidak suka," kataku pada Sella.

"Eh, Bangga kenapa?" balas Sella malah bertanya.

"Hana bukan barang jualan, dia tidak boleh dimanfaatkan apalagi buat cari uang, kamu jangan macam-macam ya," kataku sedikit mengancam.

"Ok, Bangga! Aku akan tutup jasa foto itu, tetapi sudah ada yang pre order. Duitnya sudah aku pakai, bagaimana dong?" tanya Sella.

"Berapa?" tanyaku.

"Dua ratus ribu," jawab Sella.

"Aku nanti ke ATM, aku yang ganti," kataku yang sudah tidak bisa tinggal diam dengan ulah Sella, "jangan pernah lagi memanfaatkan Hana, atau siapa pun demi uang," kataku menasihati.

"Ketemu di depan kelas Fisika saja pulang sekolah, Bangga," kata Sella.

"Iya, aku ke sana nanti," kataku yang kemudian berdiri ingin pergi untuk bayar mi ayam.

Sepulang sekolah aku langsung menuju ke ATM di depan sekolah. Terpaksa aku harus mengambil uang tabunganku untuk mengganti duit pre order jasa foto Sella yang sudah dipakai. Aku masih tidak menyangka dengan semua ini. Kenapa Sella melakukan itu pada Hana? Bisa saja dia berasalan agar Hana tidak diapa-apakan, tetapi dia sendiri malah mengambil kesempatan dalam kesempitan.  Seharusnya dia pakai jurus pencak silatnya ke cowok-cowok yang pengin foto bareng Hana hanya untuk pamer itu.

Setelah mengambil uang dua ratus ribu, aku langsung menuju ke kelas Fisika. Sella ternyata sudah berdiri di depan sana bersama Hana, aku memberikan uang itu ke Sella dan mengatakan padanya agar dengan cepat memberikan uang itu ke orang-orang yang sudah bayar pre order untuk membatalkan pesanan karena jasa foto sudah tutup.

"Aku langsung bayar ke mereka sekarang?" tanya Sella seperti bingung.

"Iya, sana secepatnya," kataku seakan mengusir.

"Baik Bangga, jangan marah-marah begitu cepat tua nanti enggak ganteng lagi," kata Sella yang kemudian pergi.

Aku melepaskan napas lega. Sekarang aku berdiri di depan Hana yang sedang memandangku dengan bingung. Aku mendekatinya dan sejujurnya aku ingin mengatakan banyak hal. Ingin mengatakan bahwa dia jangan mau dimanfaatkan, jangan mau diperalat, jangan mau diapa-apakan orang lain. Aku khawatir padanya, benar-benar khawatir jika terjadi apa-apa padanya. Akan tetapi, aku bingung dari mana memulainya.

"Hana."

"Lap."

"Apa kabar?"

"Tadi pagi pesawat yang jatuh sudah ditemukan," jawab Hana senang dan kemudian cemberut, "banyak korban jiwa."

"Jiwaku juga jadi korban karena jauh darimu," kataku.

"Iya, korbannya memang dari jauh-jauh. Orang luar negeri juga banyak," jawabnya.

"Hana, aku peduli dengan korban pesawat jatuh semoga yang meninggal diberi ketenangan, keluarganya diberi ketabahan, yang selamat cepat ditolong juga. Akan tetapi, sekarang aku ingin membicarakanmu, aku ingin membicarakan tentangmu. Aku benar-benar khawatir padamu," kataku kepadanya dengan pandangan fokus ke dua bola matanya yang cantik itu.

"Aku tidak apa-apa," jawabnya.

"Bang Haris tidak selamanya ada di sampingmu, dia tidak bisa selamanya melindungimu. Aku ingin melindungimu di sini, setidaknya di sekolah ini. Katakan padaku siapa orang yang melukaimu, yang menyakitimu. Katakan padaku jika ada yang membuatmu sedih. Aku akan menghajarnya walau aku tahu aku akan kalah, walau aku tahu aku akan terluka, tetapi aku tidak ingin tinggal diam jika hal seperti itu terjadi padamu. Mengerti?" kataku memegang kedua pundaknya sembari menatapnya.

"Lap, kamu jangan menangis," kata Hana.

"Aku tidak menangis," kataku yang sedang menahan air mataku untuk tidak turun. 

"Kalau mau menangis bilang ya," katanya tersenyum.

"Hana, kamu mengerti apa  yang aku katakan barusan?" tanyaku lagi.

"Mengerti tidak mengerti tidak masalah asal datang saja," kata dia.

"Iya juga, sekolah memang yang penting datang," kataku yang kemudian tersenyum.

"Sekolah jangan dibuat pusing."

"Tapi aku pusing di sekolah kalau tidak ketemu kamu."

"Sekolah itu ketemu banyak teman dan guru."

"Aku maunya ketemu kamu," kataku yang kemudian terkekeh.

"Sekarang kita bertemu," katanya.

"Kenapa kamu polos banget, Hana! Aku khawatir padamu," kataku yang kemudian menurunkan tanganku untuk memegang kedua tangannya.

"Antiseptik milikku ketinggalan, anggap saja hari ini adalah hari tanpa antiseptik," katanya padaku.

Aku tidak bisa mengerti. Dia seperti manusia yang sudah lama tidak keluar dari gua. Dia tidak mengerti banyak hal tentang orang-orang di sekitarnya. Dia terlalu positif menilai orang. Aku benar-benar takut dia dimanfaatkan lagi. Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi padanya dan aku tidak mau itu terjadi.

Memegang tangannya seperti ini setidaknya membuatku sedikit tenang. "Besok mau nonton konser?" tanyaku.

"Nonton?"

"Konser."

"Kakanda suka nonton, tanya Kakanda saja," kata Hana yang kemudian merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya. "Tanya Kakanda!" pintanya menyodorkan ponselnya padaku.

Aku mengerti. Aku segera mencari kontak Bang Haris, aku menyalinnya ke ponselku dan aku langsung meneleponnya. Tidak perlu waktu lama, Bang Haris mengangkat teleponku.

"Bang Haris, ini Angga," kataku setelah kami saling mengucapkan salam.

"Ada apa, Angga?"

"Aku mengajak Hana nonton konser, dia bilang aku suruh tanya Bang Haris," jelasku.

"Dia mau?" tanya Hana sembari menaruh kembali ponselnya ke saku.

"Kapan?"

"Besok malam, di Taman Kesatria," jawabku.

"Ayo! Ketemu di tempat saja ya, aku bareng Hana," ucapnya.

"Dia mau," kataku ke Hana yang segera membuat Hana tersenyum lebar. "Baik, Bang! Sampai bertemu besok," kataku yang kemudian menutup panggilan ini.

"Kita akan nonton film apa besok?" tanya Hana seperti senang.

"Kita bukan nonton film, tapi nonton konser. Menyanyi, musik, lagu-lagu, band, acara musik beramal," kataku agar dia paham.

"Film tentang musik, ya? Film India, ya?" tanya Hana bingung.

"Aku bungkus kamu saja ya," kataku yang gemas padanya.

Dia cemberut dan wajahnya jadi lucu banget. Karena saking gemasnya aku mencubit pipinya pelan-pelan.

"Nakal," katanya sontak.

"Maaf," kataku merasa bersalah.

"Lagi," jawabnya malah menyodorkan pipinya.

Ih gemas! Ini cewek kalau enggak bisa aku miliki sepertinya aku akan menyesal seumur hidup. Ah Hana! Kapan kamu sadar aku suka kamu? Aku ingin jadi pacarmu! Kalau perlu langsung nikah aja! Eh, pacaran aja, belum kerja sih.


---------

Andhyrama Note

Aku kalau nulis cerita ini penginnya lanjut terus, jadi kepanjangan malahan hahahaha. 

Aku pengin tanya, yang baca cerita ini sebelumnya pernah baca ceritaku yang mana aja ya? Apa baru cerita ini aja? Hahahah

Question Time

Yang diingat dari Angga itu apanya?

Ada gak pelajaran yang sudah kalian dapat dari cerita ini?

Menurut kalian ini cerita masuk kategori ringan, sedang atau berat? Berapa kilo beratnya kira-kira?

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

411K 64.4K 37
Anna selalu merasa cukup. Baginya, hidupnya yang sederhana sudah sangat sempurna. Bukan harta berlebih yang membuatnya bahagia, melainkan saat ia mam...
1.4M 118K 49
Mencuri umpan bola dari lawan? Itu sih gampang! Mencuri mangga tetangga sebelah? Duh, cetek banget. Tapi mencuri perhatian Dila? Delo harus mati-mati...
84.6K 6.9K 50
(Book #1 F.Y.M Universe) Kisah empat orang remaja dengan masalahnya masing-masing. Rean Kainand, laki-laki berkemampuan Hyperacusis yaitu kepekaan t...
1.2M 60.2K 25
Disclaimer: Cerita ini adalah cerita pertamaku yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Nina harusnya tahu sejak awal. Sejak...