"Meong!" teriak Metsuki, tiba-tiba melompat dari gendongan Rira. "Meong!"
Kucing kurus bermata besar itu berlari secepat kilat meninggalkan ruang galeri, melintasi ruang tengah kantor pusat, dan berhenti di depan sebuah dinding kayu polos di sebelah kiri ruangan, satu-satunya dinding yang tidak dihiasi apa-apa di ruangan itu. Metsuki meregangkan badannya dan mulai mencakari dinding, hidungnya mengendus-ngendus dengan curiga.
Rira menghampirinya, ikut mengetuk-ngetuk dinding kayu yang keriput dan hitam. Terdengar gema dari balik dinding. Ada semacam rongga di balik dinding ini—mungkin sebuah ruangan lain.
"Meong," Metsuki bertanya pelan, yang artinya "kenapa Tuan ikut-ikutan?"
"Dia di sini," kata Rira. Setengah menggumam, setengah berteriak memanggil teman-temannya. "Pasti sebelumnya ada pintu di sini."
Teman-temannya berdatangan menghampirinya. Dari wajah-wajah mereka, hanya Genma yang kelihatannya tidak terlalu terkejut. "Memang ada di sana. Aku melihatnya sendiri. Orang itu memasukkan Sakura ke...." Perkataannya menggantung di udara. Diketuknya dinding kayu tersebut dengan tidak yakin. "Sakura?" panggilnya.
Genma menempelkan telinganya ke permukaan dinding, berusaha menangkap setiap suara yang terdengar dari baliknya. Beberapa saat kemudian, ia menegakkan tubuhnya kembali dan beralih pada teman-temannya. "Setelah Sakura dan monster itu masuk ke dalam," ia terdiam sejenak, berusaha mengingat-ingat. "Ada orang lain yang masuk ke sana. Seorang elf. Dan saat aku kembali, pintunya tidak ada."
"Itu sihir," celetuk Ayumi tiba-tiba. "Ada yang menghilangkan pintu ini, padahal sebenarnya pintunya masih ada," jelasnya. "Dan menutupinya dengan dinding kayu biasa. Itu salah satu jenis ilusi. Sihir sederhana."
"Kalau begitu, kau tinggal meraba-raba di mana kenop pintunya," potong Tabitha dengan bersemangat. Dilihatnya Ayumi menggeleng-geleng kecewa.
"Ilusi memengaruhi semua indra, Tabitha. Maaf."
Tabitha tertegun beberapa saat sebelum memahami maksud Ayumi. Apabila suatu benda diselimuti sihir, siapapun tidak bisa melihat atau menyentuhnya. Kalau ia mencoba mencari-cari kenop pintunya dengan meraba-raba sekalipun, ia hanya akan menemukan dinding kayu biasa, seolah-olah tidak pernah ada pintu di sana. Semangatnya pun menguap. "Ada ide lain?"
Mereka bertukar pandang satu sama lain. Higina, yang sedari tadi masih memikirkan seraut wajah mungil berekspresi memelas, berkulit sepucat pualam yang selalu membuatnya merinding setiap malam, tiba-tiba berkata.
"Kau bisa menangani yang satu ini, Ayumi. Ini, 'kan, hanya ilusi. Mengerti maksudku?"
***
"Lihat," kata Sakura, berusaha agar suaranya terdengar setegar mungkin. "Kami bukan petinggi kecil yang sok." Meskipun terkadang aku memang sok, tambah Sakura dalam hati. Terkadang aku memang gadis kecil yang sombong. Umurku baru 126—setara dengan 180 atau 170 tahun bagi perhitungan umur di dunia elemen, karena 6 tahunku dihabiskan di bumi—
"Kau gadis cantik yang sadis," tampik Ælfric, matanya menelusuri lekuk-lekuk tubuh Sakura dari atas sampai bawah. Sakura mundur beberapa langkah, dan tiba-tiba merasa tidak nyaman dalam balutan pakaian elf pemberian Salvatrix yang sekarang berlumuran darah. Mungkin setelah ini ia harus ganti baju. "Terlalu cantik sebagai seorang pengendali, malah. Lebih cocok dipajang bersama boneka-boneka yang lain sebagai pengganti Arashi-ku yang hilang."
"Sinting!" teriak Sakura keras-keras. Suaranya memantul-mantul di dinding koridor, menimbulkan gema panjang berulang-ulang. "Kau bajingan sinting yang memutarbalikkan otak semua rakyatku, iya, 'kan? Mengirimkan musik penghipnotis, pertunjukan boneka, menghalangi jalan kami dengan menumbangkan pohon dan membunuh anak-anak yang bermain di bawahnya... dan... dan... dan mengambil perempuan dengan imbalan fasilitas mewah!" Diteriakinya pria itu bertubi-tubi, untuk sekian kalinya dalam hari ini kehilangan kontrol atas emosinya. Sakura terkesiap mendengar perkataannya sendiri. Monster itu melakukan semuanya, pikirnya. Dia melakukan semuanya ditambah membunuh Paschalis. Dia pantas mati.
Ælfric hanya memperbaiki posisi kacamatanya, sepasang mata tanpa pupilnya mash menatap Sakura lekat-lekat.
"Memutarbalikkan otak rakyatku?" tanyanya, dengan nada kaget yang kentara. Untuk sesaat Sakura mengira pria itu hanya berkomentar sinis, tetapi tidak. Pria itu benar-benar terkejut. "Aku pengendali angin, Sakura-ku yang tolol, bukan pengendali pikiran. Musik itu juga bukan ciptaanku." Kemudian, dengan nada tanpa dosa, ia melanjutkan. "Pertunjukan boneka itu hanya jebakan laba-laba, Sakura, tidak lebih. Tapi pohon yang tumbang itu sama sekali bukan urusanku," nadanya berubah marah, seolah teringat sesuatu. "Aku butuh tempat untuk menaruh cat minyakku—tapi si boneka rongsokan itu menghancurkannya! Dia melempar bom apinya ke segala tempat, membumihanguskan segalanya!" Ælfric mengepalkan kedua tangannya erat-erat sampai jemari plastiknya bergemeretak. Ada nada sinting yang aneh pada kalimat terakhirnya, seolah membumihanguskan segalanya adalah kegemarannya juga.
Sakura mengerutkan kening. Boneka sinting di hadapannya mulai kehilangan kewarasannya, rupanya. Lagipula, siapa itu "boneka rongsokan" yang menumbangkan pohon dan menghalangi jalannya menuju kantor pusat, sehingga ia dan teman-temannya harus berputar arah ke kediaman Maurice?
"Oh, dan perempuan-perempuan itu," lanjut Ælfric. Suaranya kembali tenang seperti biasa. "Raja yang memintanya. Aku tidak menginginkan mereka sama sekali—toh mereka juga bukan seleraku."
Sakura terdiam. Ia kehabisan ide untuk membantah. Bagaimanapun juga, yang diingankannya sekarang adalah kabur dari tempat ini... setelah membunuh pria itu.
"Puas, Sakura?" tanya Ælfric tenang.
"Belum," geleng Sakura. Secepat kilat, dipungutnya mutiara putih yang tergeletak di dekat kakinya, sisa-sisa tubuh boneka Katerina yang tercerai-berai. Matanya mendelik siaga ketika capit di punggung Ælfric mulai mengarah ke arahnya, siap menyakitinya kapan saja. "Jangan lupa soal Paschalis, bajingan."
Dengan sekuat tenaga, dilemparkannya mutiara raksasa tersebut ke arah Ælfric, selincah dan setangkas yang ia bisa. Bidikannya tepat sasaran. Mutiara itu menghantam Ælfric tepat di perutnya, mendorong pria itu beberapa langkah ke belakang, hampir meremukkan tubuh porselen-plastiknya. Perutnya rusak parah dan nyaris berlubang. Cairan hitam merembes keluar dari retakan yang ditimbulkan hantaman tersebut, tetapi Ælfric masih bertahan. Pria itu bangkit dengan setengah terhuyung.
Ælfric beranjak dari tempatnya, mulai mengejar sang gadis angin, langkahnya sempoyongan dan terbungkuk-bungkuk, seperti mayat hidup. Pria itu terbatuk beberapa kali. Sepasang matanya yang menyerupai manik-manik emas menatap Sakura dengan marah, capit besinya bergerak meraih-raih gadis itu, tetapi Sakura menghindar dengan mudah, dan langsung berlari. Berkali-kali gadis itu nyaris tertangkap oleh capit yang terus mengejarnya ke mana-mana; terkadang capit itu berhasil menggenggam sejumput rambutnya, merontokkannya dari kepala Sakura dengan paksa. Sering kali capit itu merobek ujung terusan hijaunya, meskipun tubuh Sakura yang ramping dan gesit—segesit yang ia bisa—selalu lolos dari cengkeramannya. Gadis itu memungut cambuknya yang terjatuh, kemudian berlari lagi.
Pria itu mengejarnya dengan terseok-seok. Darah hitam mengalir keluar dari rahangnya, jatuh mengotori dadanya yang telanjang dan celana kulit hitamnya yang sobek-sobek. Ælfric mengangkat capit besinya dan mencoba lagi. Gadis itu tetap lolos, dan ia tetap gagal. Namun bilah besinya berayun tepat di wajah sang gadis angin dan menimbulkan luka gores besar yang melintang di atas hidungnya. Sakura terhuyung ke belakang, terperanjat akan rasa sakit tiba-tiba yang diterimanya.
Rasa sakit itu mengingatkannya akan beberapa hai lalu, ketika ia meminta Higina untuk menurunkan kapaknya selagi bisa.
Dan gadis itu pun berhenti berlari. Ia tidak benar-benar menurunkan cambuknya, tetapi menyembunyikannya ke balik punggung.
"Siapa kau?" tanyanya lantang. Ælfric memerhatikannya, dan beringsut mendekati sang gadis angin. "Kau bukan elf sama sekali. Tubuhmu jauh lebih tinggi, dan tanpa sayap."
Ælfric hanya menjawab pendek. "Lihat saja sendiri."
Sakura mengepakkan sayapnya, mengangkat tubuhnya sampai punggungnya membentur langit-langit. Bahkan dalam posisi setinggi ini, Ælfric masih bisa menyabetkan capit besinya ke arahnya. Gadis itu terbang mengitari Ælfric dengan hati-hati, berusaha mengacaukan konsentrasi pria itu sekaligus melindungi sayapnya dari sabetan capit besi. "Tidak. Lihat dirimu sendiri," geleng Sakura, mulai jenuh oleh boneka bertangan satu yang tidak jelas juntrungannya itu. "Monster. Penipu sialan."
Kata terakhir yang diucapkan Sakura berhasil membuatnya semakin marah. Pria itu mengibas-ngibaskan capitnya sekali lagi, tatapannya terkunci pada sosok Sakura yang berputar-putar lincah di sekelilingnya. Gadis itu terlihat seperti lalat mungil di matanya. Lalat mungil sok yang harus didepak pergi.
Sakura berkelit dengan mudah ketika capit besi itu hampir menangkap kaki kanannya. Ia terus berputar di sekeliling koridor sempit tersebut, matanya nyalang mencari secercah kecil lubang di dinding atau ventilasi yang bisa ia lewati. Koridor ini lebih mirip ruangan bawah tanah yang terisolir dari ruangan-ruangan lain di sekitarnya, suram dan berbau polimer, dengan jalan buntu di ujung-ujungnya. Tidak ada hiasan apapun di dinding selain tombol lampu yang tidak bisa dijangkau Sakura karena terlalu jauh. Setengah ruangan ini terang benderang dan setengahnya lagi gelap gulita. Lagipula ia tidak punya waktu untuk melihat-lihat seisi koridor.
Sakura melesat ke belakang punggung Ælfric, bahkan sebelum pria boneka itu melihatnya, dan mengayunkan cambuknya ke leher Ælfric, berharap agar ayunan cambuk itu cukup untuk melepas kepala Ælfric dari tubuhnya. Namun cambuk itu justru melingkar erat di sekeliling leher Ælfric, mencekiknya kuat-kuat. Ketika Sakura menariknya, tubuh Ælfric ikut terbawa bersama cambuknya.
Pria itu terbatuk-batuk sambil menggenggam tali cambuk Sakura yang melingkar di lehernya, berusaha melonggarkannya.
"Puas, ...Sakura?" bisik Ælfric sinis. Suaranya hanya berupa desisan tercekat yang samar. "Kita tidak ada bedanya sekarang. Imbang; satu sama. Puas?"
"Tidak sebelum kau—" Sakura menarik cambuknya lebih keras. Darah hitam lengket mengalir perlahan dari sendi leher Ælfric, membasahi tali cambuknya. "Pergi dari sini. Benar-benar pergi."
"A-aku hanya menjalankan t-tugas, Sakura," bantah Ælfric lemah. Ia tersedak dan terbatuk-batuk beberapa kali, mengeluarkan cairan hitam berlendir dari sela-sela rahang bonekanya. Sebelah tangannya yang masih utuh menangkap lengan Sakura dan mencengkeramnya kuat-kuat. Capit besinya menangkap lengan Sakura yang satu lagi.
Sakura terperangah. "Tapi boneka-bonekanya... Itu kesenangan pribadimu, iya, 'kan, Ælfric? Mengubah para elf menjadi boneka? Jangan mengelak."
Sepasang mata emas Ælfric berkilat-kilat. "Kita tidak ada bedanya sekarang," elaknya. "Lihat dirimu sendiri." Dan ia pun membuang muka.
Sakura pun menunduk melihat dirinya sendiri, tangannya yang masih mencekal Ælfric dengan cambuk, dan kakinya yang bersayap capung. Ia terkejut. Kulitnya berubah. Warnanya putih pekat, selicin porselen, berkilat-kilat di bawah cahaya lampu koridor yang temaram. Untaian kalung benang di lehernya menjadi kalung pendek berbandul pisau, masih meneteskan darah. Tangan dan kaki kirinya terbuat dari plastik yang disambung dengan sendi-sendi mutiara. Dan ada sesuatu yang lain yang masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Semacam... kemarahan.
"Tapi aku tidak menjual perempuan demi kekayaan, Ælfric," tandas Sakura, suaranya berubah menjadi desisan serak bernada tinggi. "Atau mengubah gadis kecil menjadi boneka."
Sakura berhenti menarik, melepaskan tangan kirinya dari tali cambuk dan menarik capit besi itu sebagai gantinya. Gadis itu menggerenyit marah saat capit itu tercerabut dari punggung Ælfric, menyisakan rekahan di tempat benda itu sebelumnya terpasang. Cairan hitam lainnya menyembur keluar dari rekahan tersebut. Ælfric meraung marah, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya lagi sekarang.
"Ukh—Sakura, sialan kau," akhirnya, hanya itu yang bisa dikatakannya setelah tersedak berulang kali. Tenaganya semakin berkurang, dan tubuhnya semakin lemah. "Bayangkan... rasanya k-kehilangan orang yang... kau—ukh—cintai."
Sisi lain Sakura tidak memedulikannya. Gadis itu kehilangan rasa belas kasihannya dan hanya ingin pria itu mati, bagaimanapun caranya, terutama setelah ia menyadari kelemahan Ælfric; tubuh porselen-plastik dan capit besinya.
Ælfric mengangkat tangannya yang masih tersisa, satu-satunya organ yang masih bisa diandalkannya, dan mencekik Sakura tiba-tiba; jemari plastiknya terkatup erat di seputar leher sang gadis angin. Sisi lain Sakura memberontak. Sepasang tangan gadis itu kembali menangkap pegangan cambuknya—tali cambuk itu masih melingkar di leher Ælfric—menariknya sekuat tenaga, dan ia berhasil.
Kepala sang Synthetic Elf terlepas dari tubuhnya dalam satu sentakan keras. Kepala boneka itu melayang sesaat, membentur dinding koridor, dan akhirnya pecah berkeping-keping. Sisi lain Sakura tersenyum puas. Tubuh pria itu ambruk ke lantai, rusak berat dan basah oleh darahnya sendiri. Sang gadis angin menginjakkan kakinya ke dada Ælfric, membersihkan wajahnya dari cairan hitam, kemudian sebuah kesadaran lain muncul dalam alam bawah sadarnya.
Astaga. Ini bukan aku.
Sakura membelalakkan matanya lebar-lebar, tiba-tiba tersadar kembali. Sisi lainnya lenyap. Yang ada di koridor itu hanya seorang gadis bersayap capung dan berambut emas berliku-liku, berpakaian terusan hijau lusuh dan menggenggam cambuk yang sebelumnya adalah kalungnya sendiri, dan sedang menginjak tubuh boneka tanpa kepala.
Bersamaan dengan hal itu, terdengar sayup-sayup suara seorang perempuan. Ayumi. Teman-temannya!
"Sakura? Sakuraaa?"