Gitak

Від rendifebrian

53.1K 4.9K 657

Pernah melihat hantu? Aku pernah. Selalu. Kemanapun aku pergi, dimanapun aku berada, aku selalu melihat hantu... Більше

Penggitan
Ara
Sekedik
Abot
Kurup
Wade

Goap

7.2K 652 53
Від rendifebrian

Jin itu tidak mengikutiku. Terima kasih, Tuhan!

Sesampainya aku di kos, aura jin itu telah benar-benar hilang di dalam indera perasaku. Aku keluar dari dalam mobil, berlari cepat menaiki tangga. Masuk ke dalam kamar kos dan menenggelamkan diri di atas kasur. Walaupun jin itu tidak mengikutiku, jantung tetap saja berdetak kencang. Sangat kencang kalau bisa aku tambahkan. Aku juga tidak mengerti kenapa bisa sekencang ini. Oh, tunggu! Jantungku bisa begini bukan karena jin mengerikan itu. Sama sekali bukan.

Ini karena Kak Braga.

Tidak. Dia sama sekali tidak menciumku. Dia menaruh tangannya di wajahku untuk mengambil bulu mataku yang jatuh. Tepat di bawah mata. Setelah, itu Kak Braga mengelus sebentar wajahku. Aku langsung pulang setelahnya, dengan wajah bersemu merah karena malu dan canggung. Apa yang terjadi padaku? Maksudku, aku sudah kenal lama sama Kak Braga. Aku tidak pernah berpikir mempunyai hubungan yang lebih dengannya. Lagi pula, dia itu straight. Dia cowok yang sangat-sangat jorok. Tidak seperti gay yang bersih. Well, aku gay dan tidak bersih, tapi aku tidak sejorok Kak Braga.

Lalu, kenapa sekarang aku tiba-tiba mulai memikirkan Kak Braga? Tangannya yang begitu hangat. Wajah datarnya yang menurutku menyimpan seribu ekspresi. Aku juga ingat saat pertama kali dia memegang tanganku, membimbingku untuk menggambar bentuk hantu agar menyerupai aslinya. Tidak! Aku tidak mungkin merasakan sesuatu untuk Kak Braga. Aku sedang menolong Sandi!

"Kamu naksir ya sama Raga?" seruan itu membuatku kaget. Sampai-sampai aku terjatuh dari atas kasur. Aku mengangkat pandanganku dan menemukan Sandi sedang melayang di depan TV. "Inget ya bencong! Raga itu punya aku, bukan punya kamu! Aku suruh kamu deket sama dia bukan karena aku pengen kalian berjodoh. Aku pengen kamu deket sama dia supaya kamu ngasih tau aku hal-hal yang selama ini bikin aku penasaran tentang dia. Dan menyampaikan pernyataan cinta aku."

"Saya nggak naksir sama Kak Braga. Jangan prejudis kamu!"

"Nggak naksir kok tiba-tiba defensif?" Sandi melayang mendekat ke arahku. "Aku lihat apa yang tadi kalian berdua lakuin. Aku lihat binar mata kamu pas Raga megang pipi kamu. Aku emang lihat dari jauh karena energi jin itu ngedorong aku, tapi aku tetep bisa ngerasain ada perasaan baru yang tumbuh di dalam hati kamu sekarang. You backstabber bitch! Tega-teganya kamu ngelakuin ini sama orang yang udah mati. Aku pikir kamu beneran bisa nolong aku! Tau-taunya—"

"Saya nggak naksir Kak Braga, for God's sake!" seruku marah. Itu memang benar. Aku tidak mungkin naksir sama Kak Braga. Aku juga masih ingin sendiri. Melupakan tentang Fredo dan tidak terikat dengan siapapun juga. Aku lebih suka sendirian. "Saya lagi bantuin kamu!"

Sandi mendarat pelan di atas lantai. "Yakin kamu nggak naksir sama Raga?"

"Nggak! Saya nggak naksir dia!"

"Seratus persen yakin nggak naksir?"

"Fuck you!" Aku turun dari atas kasur dan duduk di depan meja gambarku. Habis isya masih lama, aku masih sempat membuat dua lembar gambar untuk komikku yang selanjutnya.

Sandi berdiri di sebelahku. "Oke, aku minta maaf karena udah nuduh kamu sembarangan. Dan juga mau bilang terima kasih. Karena sekarang aku tau minuman sama makanan favoritnya. Sprite dan Nasi Puyung. Suka Sprite itu tandanya dia orang yang penuh semangat. Aku bilang begini sih karena iklan Sprite selalu penuh semangat gitu. Terus dia juga suka Nasi Puyung. Berarti dia gemar sama makanan yang pedas. Soalnya Nasi Puyung kan so hawt!"

"Hmmh," gumamku, terus menggambar. Aku mencoba fokus untuk memanggil Sammy, tetapi tidak berhasil. Mungkin Sammy sedang banyak pikiran juga sepertiku. Meskipun dia berlagak semuanya baik-baik saja, aku tahu dia masih trauma karena cekikan dari kuntilanak itu.

"Kamu udah bikin daftar?"

"Daftar apa?"

"Daftar buat nanyain Raga tentang hal apa aja yang dia suka. Chop-chop! Keluarin kertas kosong, biar aku dikte-in buat kamu. Apa aja yang aku mau tau dari Raga." Sandi melayang ke atas kepalaku. Aku menarik napas lelah, kemudian mengeluarkan kertas HVS yang masih baru. "Oke. Yang pertama warna favoritnya. Terus, penyanyi kesukaannya. Sebelum dia tidur, dia minum susu apa nggak. Kalo suka, sukanya Indomilk atau Ultramilk. Atau malah langsung dari puting aku—"

"Bisa kita fokus sama pertanyaannya aja?"

Sandi terkikik. "Maaf, maaf. Oke, apa buah favoritnya. Lebih milih buah naga yang warna putih atau yang merah."

Aku terus mencatat apa yang Sandi ucapkan. Aku tidak tahu apakah akan bertanya semua hal ini ke Kak Braga. Di setiap pertanyaan yang aku tulis ini pun, aku juga tidak tahu jawabannya. Di ArtEden, aku memang tidak akrab dengan siapapun. Aku bicara dengan mereka, tapi bukan dalam artian mereka jadi teman bicaraku. Aku lebih banyak diam. Mendengarkan orang lain bercengkrama. Kalau aku tidak salah ingat, begitu juga dengan Kak Braga. Sesekali, aku mendapati dia sedang menatapku.

Apa yang barusan saja aku bilang? Tidak. Itu hanya aku saja yang kepedean. Kak Braga tidak mungkin—

"Kok kamu berhenti nulis, sih?" tegur Sandi, membuat pikiranku terlempar kembali ke dunia nyata. "Aku belum selesai tauk. Aku juga mau tau dia lebih suka makan sate kambing apa sate ayam."

"Sori." Aku menggeleng samar, untuk menepis bayangan Kak Braga dari dalam kepalaku. Aku mencoba mendengarkan dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang Sandi buat untuk Kak Braga. Ini sudah pertanyaan yang ke dua puluh enam. Aku benar-benar tidak tahu pertanyaan ini akan sampai nomor berapa. Aku saja tidak yakin apakah aku bisa menanyakan semua ini ke Kak Braga. Dia pasti akan curiga kalau aku bertanya banyak tentang dirinya. "Ini udah banyak, San. Cukup, ya?"

"Nggak, lah! Aku juga penasaran... dia lebih suka pakek Biore apa Garnier. Parfum yang dia suka apa. Masih banyak tauk. Masa setengah-setengah."

"Bukan begitu, kalopun kamu lanjutin, yang saya tanya nggak bakal semuanya. Nggak semuanya dalam artian malam ini. Saya pasti akan delay pertanyaannya karena ini kebanyakan. Saya nggak mau dicap kepo sama Kak Braga, ya. Apalagi sampai dicap stalker. Kayak saya naksir dia gitu. Ogah!"

"Iya, iya. Kamu bawel banget deh. Terakhir nih: kalo ngentot suka pakek kondom nggak."

***

Tidak!

Aku tidak akan bertanya soal yang terakhir itu. Tentang kondom. Anehnya, meski Sandi melarang keras aku naksir sama Kak Braga, dia yang malah memilihkan aku baju untuk makan malam ini. Selama aku hidup, baru dua kali aku mengenakan kemeja. Yang pertama saat pemakaman Ibu. Dan yang kedua adalah saat prom night waktu SMA. Semua kemejaku berwarna hitam, itu warna favoritku. Netral. Setiap warna yang dicampur dengan warna hitam, warna-warna itu akan berubah menjadi hitam pekat.

Ini masih jam tujuh, tetapi aku telah duduk di salah satu bangku yang ada di Mirasa. Meremas-remas gulungan lengan kiri kemejaku. Aku gugup. Aku tidak tahu kenapa aku bisa segugup ini. Maksudku, ketika aku mengajak Kak Braga makan malam—dan memang terdengar seperti ajakan kencan—aku sama sekali tidak malu dan canggung. Sekarang... barulah aku merasakan kedua hal itu.

Oh, sama gugup. Aku ingin pulang saja.

"Pulang ke mana?"

Dia selalu muncul saat aku tidak membutuhkannya. "Saya lagi nggak mood bicara sama kamu, Sam."

"Kenapa?" tanyanya. Aku tidak menjawab, menutup mulutku rapat-rapat agar tidak memberitahu Sammy kalau aku akan makan malam dengan Kak Braga. Kenapa aku berlebihan seperti ini? "Aku juga cuma mau bilang, kuntilanak itu ada di atas bar sana. Lagi nyanyi lagu daerah sambil ngasih kamu kiss."

"Kamu bercanda, ya?"

"Apa aku kedengeran kayak bercanda?" Aku tidak menggubris, dengan mata sebelah kanan, aku melirik bar yang Sammy maksud. Di atas bar itu memang ada ruang kosong, cahaya warna-warni yang seharusnya terang benderang di dekat bar itu agak meredup. "Dia nggak bakal gangguin kamu lagi, kan?"

"Nggak tau—"

Omonganku terhenti tepat pada saat Sandi menendang dengan centil kuntilanak itu. Aku tidak tahu kuntilanak itu telah pergi atau tidak. "Wow. Hantu bencong itu bisa nendang kuntilanak, Vid. Awesome!"

"Iya, awso—" Itu Kak Braga. Di depan pintu masuk Mirasa, celingukan mencari sosokku. Aku tiba-tiba langsung sakit perut karena rasa gugupku sudah menjalar ke seluruh tubuh. "Sa-Sam... bisa nggak ka-kamu keluar dari sudut pandang sa-saya dulu?"

"Emang kenapa? Kamu kok kayak yang nervous gitu, sih?"

"Jangan banyak tanya. Just fucking do it!"

Untungnya Sammy benar-benar melakukannya. Sammy hilang di dalam kepalaku ketika Kak Braga berdiri di depanku. Dan dia juga mengenakan kemeja. Apa ini benar-benar kencan? Kenapa aku tadi tidak mengenakan jaket atau hoodie saja? Mana Sandi? Aku akan mencekiknya sekarang. Dia yang menyuruhku untuk mengenakan kemeja. Dia bilang agar terkesan sopan. Yang jatuhnya malah seperti sedang melakukan pendekatan. Antara aku dan Kak Braga.

"Udah lama?" tanya Kak Braga, tersenyum samar untukku. Jantungku berdetak kencang sekarang.

"Euh, ng-nggak juga. Baru tiga menit." Padahal aku di sini sudah setengah jam. Sandi berdiri di belakang Kak Braga, memeluk cowok itu dengan gelagat manja. Urgh! "Kakak naik apa ke sini?"

"Biasa, naik si merah." Aku menaikkan kedua alisku. No clue. "Motor Vixion andalan saya. Remember?"

"Iya, remember." Tidak, aku tidak ingat sama sekali. Setiap kali aku datang ke ArtEden, Kak Braga sudah ada di sana duluan. Ketika kami pulang, Kak Braga pulang paling terkahir. Jadi aku tidak tahu dia naik apa. Lagian, motor Vixion itu motor jenis apa? Oke, itu tidak penting. "Makasih Kak udah nyanggupin ajakan saya. Saya bener-bener menghargai—"

Kak Braga mengangkat tangannya, menyuruh aku diam. Sandi bertepuk tangan dengan heboh di sebelahku. "Dia selalu ngelakuin itu kalo mau ngeinterupsi orang yang lagi ngomong. Aku jadi kangen sama tingkah dia yang so kewl!"

"Jadi... apa motif asli kamu ngajak saya makan malam, hmmh? Jangan bilang bullshit itu lagi, Vidi. Junior-Senior? Kamu sadar nggak itu kedengeran tolol dan nggak masuk akal?" Kak Braga memajukan badan raksasanya ke dekatku. Aku bisa mencium wangi parfumnya yang memabukan. Seperti JackD. "Kamu gay, kan? Saya pernah lihat kamu sama anak band itu. Vokalis di band itu temen saya."

Fredo? Fuck!

"Kamu deket banget sama cowok itu. Waktu saya bilang deket—" Kak Braga tidak melanjutkan ucapannya. Dia hanya membuat gerakan di jari-jarinya. Memasukkan jempolnya di sela-sela jari telunjuk dan jari tengah. Itu artinya ngentot. "Bener, kan?"

"Kakak nggak suka kalo saya gay?" tanyaku menggunakan nada yang tidak pernah aku ucapkan kepada siapapun selama aku hidup. Kasar dan penuh tekanan. "Ya, saya emang gay. Tapi saya ngundang Kakak ke sini bukan karena saya mau deketin Kakak atau apa. Saya cuma mau ngasih Kakak beberapa pertanyaan aja. Yang saya harap bisa Kakak jawab dengan jujur."

Kak Braga menekuk kecil bibirnya, mungkin mengejek, mungkin menyanggupi. Entah apa. "Saya nggak bilang kalo saya nggak suka kamu gay, Vidi. Karena saya juga gay."

Jantungku mencelos, sedangkan Sandi meloncat-loncat girang di atas kepala kami berdua. "I knew it. I knew it. See? I told you so. Temen-temen aku kalo bikin gosip nggak pernah salah tauk, Vid. Dia emang gay. Oh, ya ampun! Rasa-rasanya aku pengen deh hidup lagi supaya bisa ngentot sama—"

"Tapi saya nggak bisa jawab pertanyaan-pertanyaan kamu," lanjut Kak Braga, membuat Sandi diam dan tercenung. "Bukannya saya nggak mau nolong kamu. Tapi, buat apa pertanyaan-pertanyaan itu?"

Aku harus menjelaskan dari mana? Aku tahu Kak Braga menulis cerita horor sama sepertiku, dia juga percaya hantu dan makhluk halus lainnya, tapi kalau aku menceritakan soal hantu-hantu penasaran itu, dan aku bisa melihat mereka, Kak Braga akan mentertawaiku.

"Buat... please, Kak. Bantu saya jawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ini penting. Ini bisa memulangkan sesuatu ke atas sana?"

"Maksudnya?"

"Euh, maksudnya... aku nggak bisa jelasin, Kak. Karena bakal kedengeran aneh dan gila."

"Aneh dan gila, ya?"

Aku mengangguk. "Iya, Kak. Please, bantu saya Kak. Saya bakal ngelakuin apa aja buat Kakak kalo Kakak mau bantuin saya. Saya mau jadi asisten Kakak tanpa Kakak bayar. Atau jadi orang yang Kakak suruh-suruh pas kita lagi ngumpul di ArtEden. Aku juga bisa—"

"Apa aja?" potong Kak Braga, dia kembali memajukan badannya ke dekatku. Mata kami bertemu. Dengan susah payah aku pun menganggukkan kepala. "Oke kalo gitu. Saya bakal jawab semua, hmmh, pertanyaan kamu. Dengan syarat...."

"Syarat? Syarat apa?"

"Satu pertanyaan, satu ciuman. Kamu ngasih saya pertanyaan, sebelum saya jawab, saya boleh nyium kamu. Di manapun, di seluruh tubuh kamu. Deal?"

***

Sandi melayang gelisah di dalam mobilku. Kami dalam perjalanan pulang.

Tenang saja! Aku belum menyanggupi apa yang Kak Braga minta. Itu terdengar lebih tolol dari alasan Junior-Seniorku. Sandi yang memaksaku pulang, raut wajahnya penuh kemarahan dan kekecewaan. Dia tidak menoleh ke belakang selama kami menuju ke pintu keluar Mirasa.

"What a jerk!" umpat Sandi dengan suara bariton. Dia benar-benar terdengar seperti laki-laki jika menggunakan suara itu. "Aku pikir dia bukan orang mesum kayak gitu. Aku kira dia gay kewl kayak yang ada di film-film gay Thailand. Tau-taunya... ew! Fucking ew!"

Aku tidak mengatakan apa-apa. Sandi terus mengoceh dan marah-marah bahkan sampai kami berada di kosku. Aku melepas dua kancing kemejaku karena gerah, mengacak rambutku yang kutata dengan gel sebelum pergi tadi. Aku baru mau masuk ke dalam kosku ketika aku melihat dia. Kak Braga. Duduk di atas motornya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sandi berteriak keras di telinga Kak Braga. Tetapi cowok raksasa itu malah terus melangkah panjang ke arahku.

"Ng-ngapain Kakak ke-ke sin?" tanyaku, menatap heran wajahnya.

Kak Braga melirik dadaku yang terlihat karena dua kancing kemejaku sudah aku lepas tadi. Aku segera menutupnya. Wajahku memanas karena malu. Sandi sudah melayang entah ke mana. Dia sepertinya benar-benar muak dengan Kak Braga. Mengejutkannya, aku malah tidak merasa begitu. Aku malah... ingin mengiyakan syaratnya di Mirasa itu. Aku ingin merasakan bibirnya yang tebal dan basah.

"Mau nagih jawaban kamu atas syarat yang saya kasih tadi. Kamu belum jawab, Vidi."

"Saya—saya..." Aku harus jawab apa? Aku mau, tetapi Sandi tidak mau. Oh, fuck it! Hanya ini caranya agar Sandi bisa pergi dari dunia ini. Aku di sini untuk menolongnya, bukan karena aku yang mau. Suka tidak suka, inilah risiko yang harus dia tanggung. "Oke, saya mau."

Kak Braga tidak pernah tersenyum semanis ini sebelumnya. Tidak, tidak! Dia memang tidak pernah tersenyum sama sepertiku. "Kita ke kamar kamu sekarang?"

Aku mengangguk. Melangkah duluan menaiki tangga. "Kakak tau dari mana saya ngekos di sini? Nggak ada orang yang tau kalo saya tinggal di daerah sini, apalagi ngekos—"

"Saya tau semuanya tentang kamu, Vidi. Saya tau."

Aku tidak ingin bertanya kenapa dia bisa tahu. Aku membiarkannya. "Kamar saya berantakan, Kak."

"Kamu udah lihat rumah saya, kan?" Aku mengangguk. Masih dengan perasaan gugup, aku memutar kunci pelan-pelan. Sandi, aku benar-benar minta maaf. Ini aku lakuin buat nolong kamu. Aku mendorong pintu kosku lebar-lebar, agar tubuh raksasa Kak Braga bisa masuk. Maksudku dengan raksasa, dia benar-benar tinggi dan berisi. Mungkin tingginya dua meter. Setiap kali dia menggerakkan lengannya, otot yang ada di sana, serta yang ada di dadanya, akan tercetak dengan jelas. "Saya suka wangi kamar kamu."

Kak Braga mengobservasi kamarku, berlama-lama melihat meja gambarku dan juga foto yang aku pajang di dekat jendela. "Saya nggak punya Sprite, Kak. Cuma ada air putih. Nggak apa-apa, kan?"

"Saya lagi nggak mau minum," katanya, menunduk untuk melihat wajahku yang tepat ada di bawah dagunya. Aku mundur selangkah, sambil berusaha mengancing kembali dua teratas di kemejaku.

"Oh, gitu." Aku melangkah canggung, mengambil kaus yang aku taruh sembarangan di bawah kasur. "Euh, kalo gitu Kakak duduk aja dulu, saya mau... ganti baju."

Lalu buat apa aku mengancing lagi kemejaku tadi? Oh, fuck it!

Kak Braga melepas sepatunya, membuka kemejanya, menyisakan singlet putih di tubuhnya yang... aku benar-benar baru sadar kalau Kak Braga mempunyai tubuh yang seksi. Mana Sammy, aku harus memberitahunya kalau ternyata aku ini gay normal. Bukan gay abnormal yang seperti dia bilang. Aku benar-benar terpana dengan lekuk dan bekas luka yang ada di pundak Kak Braga.

"Kamu nggak jadi ganti baju?" Aku menegang di tempatku berdiri, Kak Braga tersenyum kecil sembari menghempaskan pantatnya di atas kasurku. Sebelum keadaan makin memalukan, aku pun mengambil kaus serta celana pendekku yang aku gantung di belakang pintu. Cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh muka. Aku berdesis-desis seperti kobra.

Pull yourself together, you faggot! Aku mengumpat kepada diriku sendiri.

"Apa yang lagi kamu lakuin, Vidi?"

Pertanyaan itu membuat aku hampir terpeleset. Untung saja aku sigap memegang tempat sabun. "Fuck! You scared me." Aku melepas kemejaku, melepas singlet-ku, memasang kaus belel sebagai gantinya. "Saya ngelakuin sesuatu yang bisa bikin kamu pulang ke atas sana. Bukannya kamu mau pulang, hah?"

"Iya, aku emang mau pulang! Tapi aku nggak mau kamu dicium-cium sama Raga. Dia itu cuma boleh nyium aku aja!" Aku memutar bola mata, menggantung celana jeans-ku di kaitan lalu memasang celana pendek. Mulutku bau tidak, ya? "Kalo kamu bisa aku rasukin, udah aku rasukin dari tadi."

"Just shut the fuck up, okay?!" Aku berkumur-kumur, entah buat apa. "Ini saya lagi nolong kamu."

"Yeah, rite. Dasar kamu bencong sialan!"

Aku tidak menggubris hal itu. Aku membuka pintu kamar mandi dan mendengar Sandi berteriak kalau dia mau pergi saja dari tempat ini. Tidak mau melihatku bercumbu dengan cowok yang ditaksirnya sudah sejak lama. Ini semua bukan salahku. Dia meminta pertolonganku untuk mencari tahu soal Kak Braga, maka itu yang aku lakukan. Setiap hal memang selalu ada risikonya—seperti yang Sammy bilang. Dan ini risiko yang harus Sandi terima. Melihat aku berciuman dengan cowok yang dia taksir.

Aku duduk di kursi yang ada di depan meja gambarku. Mengeluarkan kertas HVS berisi pertanyaan-pertanyaan dari Sandi untuk Kak Braga. "Bisa kita mulai, Kak?" ujarku, membuat Kak Braga yang sedang melamun melihat manik mataku. "Kalo bisa, saya mulai kasih pertanyaan pertamanya."

"Oke. Go on."

"Pertanyaan pertama... apa warna favorit Kakak?"

Kak Braga menelengkan kepalanya seperti anak kecil. "Sebelum saya jawab, bisa kamu duduknya di sini? Di depan saya?" Aku meneguk ludah dengan susah payah. Aku menjilat bibirku karena gugup, dan berpindah tempat duduk di depan Kak Braga.

"Jadi, warna favorit Kakak apa?"

Bukan jawaban yang aku terima, melainkan ciuman lembut di bibir. Bibir Kak Braga yang basah, bergesekan sangat pelan dengan bibirku sendiri. Tangannya yang besar dan hangat, menarik kepalaku mendekat. Membuat hidung kami berhimpitan. Ciuman ini diselingi oleh brewok di wajahnya. Membuat wajahku terasa gatal dan geli. Ini lebih memabukan dari parfumnya. Ini... surga.

"Abu-abu. Saya suka warna abu-abu." Dia mengatakan itu di atas bibirku. Ciuman singkat tadi lebih berefek dahsyat daripada ciuman yang selalu Fredo berikan untukku. "Next."

Aku mencoba kembali fokus kepada diriku sendiri. "Band favorit, ehmh, Kakak siapa?"

Kak Brega menggosok brewoknya di pipiku, menghasilkan aliran listrik di seluruh tubuhku. Bisa aku rasakan bibirnya yang basah itu mengecup telingaku. Aku merinding. "Coldplay," bisiknya erotis. Aku memejamkan mata, menaruh tangan kiriku di atas perutnya yang padat. "Next."

Abu-abu, Coldplay. Aku harus mengingatnya. "Sebelum Kakak tidur, suka minum susu apa nggak?"

Ciuman Kak Braga turun ke tulang selangkaku singkat. Lalu dia menurunkan kaus yang aku kenakan hingga putingku berada tepat di atas bibirnya. Dia mengecup putingku lembut, ujung lidahnya menjilat pelan pentil putingku. Aku mendesah tanpa bisa aku tahan.

"Tergantung," jawab Kak Braga. "Kalo susunya yang ini, mungkin bakal saya minum setiap hari, sebelum saya tidur atau sebelum saya mau ngapa-ngapain. Next?"

Aku tahu aku tidak akan bertanya tentang yang ini. Aku tahu ini adalah pertanyaan terakhir. Tapi aku benar-benar sudah tidak tahan dengan godaan yang Kak Braga lakukan padaku. "Kalo Kakak ngentot, suka pakek kondom nggak?"

Kak Braga menjauhkan kepalanya dariku, kedua manik mata almondnya menatap dalam-dalam mataku. "Saya nggak akan jawab yang itu," bisiknya, membantuku membuka kaus. "Saya bakal langsung tunjukin ke kamu."

Tangan Kak Braga menangkapku, memasukanku ke dalam pelukannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak pernah seliar ini sebelumnya. Hanya saja... aku sangat menginginkan ini. Aku ingin mencicipi Kak Braga. Aku ingin dia berada di dalam diriku. Aku ingin menyentuhnya.

Aku menarik lepas singlet Kak Braga. Menghentikan ciuman kami agar kepalanya bisa lolos dari singlet itu. Kak Braga berkutat dengan celananya, maka aku melakukan hal yang sama. Celanaku baru sampai di batas dengkul, belum benar-benar lolos sepenuhnya. Namun Kak Braga sudah kembali mencium bibirku dengan ganas, dengan keinginan menggebu-gebu. Seolah-olah ciumanku adalah oksigennya. Sesuatu yang bisa membuatnya terus hidup.

Kak Braga menggesek-gesek kontolnya yang besar dan keras itu di atas kontolku. Agak sakit karena kontolku masih ada di dalam balutan celana dalam. Tetapi, ini luar biasa. Ini menakjubkan. Tangan Kak Braga menarik keluar kontolku, meloloskan kontol itu dari gesekan celana dalam. Digantikan dengan gesekan kontol Kak Braga yang licin karena precum. Kak Braga menyatukan kontol kami, mengocoknya dalam tempo yang berirama. Pelan, tapi pasti.

"Ah!" desahku, saat lubang kencingnya bergesekan dengan lubang kencingku. Aku mengerang, mencakar punggung Kak Braga yang lebar. Kak Braga menyebut namaku, mendesahkannya seolah rindu. Aku melayang, aku di ambang kenikmatan dunia. "Kak—"

"Call me Raga." Dia mempercepat tempo kocokannya, membuat precumku keluar lebih banyak dari lubang kencingku. Aku mengerang tanpa bisa aku kendalikan. "Moan my name, Vidi. Moan my name!"

Kak Braga menarik pahaku hingga menjepit pinggangnya, jari telunjuknya yang basah karena air liur masuk ke dalam lubang pantatku. Bergerak lincah di dalam sana untuk menyentuh prostatku. Ketika jari itu telah menyentuhnya dengan sangat tepat, aku melotot keenakan.

"Raga," desahku, memindahkan tanganku ke pantatnya yang kencang. Meremasnya agar dia memaju-mundurkan tubuhnya lebih cepat lagi. "Enter me, please. Please."

Aku benar-benar terdengar sangat menyedihkan. Mungkin ini bukan karena aku ingin membantu Sandi. Mungkin ini karena aku yang sudah tidak disentuh oleh laki-laki selama empat bulan. Dan sentuhan yang Kak Braga lakukan untukku sangat lah luar biasa. Aku ingin lebih. Aku ingin kontol itu berada di dalam pantatku. Mendobrak diriku, agar Kak Braga bisa menyatu denganku. Merasukiku.

"Bentar, Sayang," bujuknya lembut, kini dua jarinya sudah masuk ke dalam pantatku. "Saya mau bikin kamu rileks dulu. Saya mau ini sempurna. Saya mau segalanya tentang kamu dan saya jadi sempurna."

Aku tidak mengatakan apa-apa setelahnya. Hanya terus mendesah dan mendesah. Jilatan-jilatan liar yang Kak Braga lakukan pada puting serta pusarku, benar-benar membawaku pergi ke surga. Sungguh nikmat. Sungguh memuaskan. Namun tetap saja, aku ingin lebih.

Kak Braga bangkit, memutar tubuhnya hingga kontolnya berada di depan wajahku. Dia menarik pantatku naik ke atas, ke depan wajahnya. Lidahnya yang lembek mulai menjilati lubang pantatku. Sebagai balasannya, aku memasukan kontol Kak Braga yang jumbo ke dalam mulutku. Tidak masuk semuanya. Tapi tetap bisa membuat Kak Braga mengerang di atas lubang pantatku.

Malam ini akan sempurna.

Benar kata Kak Braga.

Aku dan dia akan membuat malam yang sempurna. Seks yang sempurna.

Dan dia akan menanamkan benih spermanya di dalam pantatku. Menjadikannya lebih sempurna.

***

AN:

See you kapan-kapan lagi, yaaa.

Muach :*

XOXOOOXX!

Продовжити читання

Вам також сподобається

48.3K 5.9K 173
"Lin Shi adalah pendosa seluruh industri film!" "Lin Shi, aku ingin meminta maaf kepada seluruh penonton jaringan!" "Lin adalah pencuri tua, aku ti...
434 99 7
"aku hanya ingin merasakan apa itu rasanya tentang cinta" "tapi tidak ke sesama jenis juga bodoh" ~~~ ini tentang ayon yang ingin merasakan tentang c...
1.3K 91 6
Annyeong everybody! Selamet datang to my first story. Semoga kalian enjoy ya, maaf kalau ada kata yang salah, nanti klo ada komen aja yaa-! Buat yg g...
kaiisagi Maid caffe omegaverse Від Akane beban

Підліткова література

8.3K 611 10
Baca aja aku ga bagus buat desk