Elementbender

By sciamachy

295K 13.5K 529

Seorang pangeran amnesia, percobaan pembunuhan yang gagal, dunia yang sekarat, dan enam pengendali elemen sin... More

Pre-Prologue
Prologue
1.1: Lost Discovery
1.2: Tea Party of Gloom
1.3: Ame Matsuzaki
1.4: Snowfalls and Fire
2.1: Five Mundane Years Later
2.2: Portal of Mundanity
3: The Arrival
4.1: Job Openings
4.2: Livestream Dream
4.3: Job-applyings
5.1: The Illusionbender: Founded
5.2: The Illusionbender: Childhood Friend Founded
6: Absurd Evening
7.1: Midnight Noises
7.2: A (Not-So) Light Conversation
8.1: And Evaliot Crambles
8.2: Early Morning
9: Prince-hunting
10: The Lifebender: Founded
11: The Windbender: Founded
12.1: Evidence Gathered
12.2: Evidence Stolen
13: The Wedding Organizers
14: Preparations
15: Forgive Me, Princey
16.1: The Elementbenders: Founded
16.2: Gotcha!
17: Welcome to Elemental Realm
18: First Strike of Corruption
19. The Rule Has Changed
20: Angels with Sharp Weapons
21.1: Painting the Roses Red
21.3: Wonder Lea
22.1: Okuto
22.2: A Broken Statue of a Broken Bloke
23.1: Tea Party of Doom
23.2: Exhausted
25.1: The Lair of Arashi
25.2: Soldiers Mobilized
25.3: Wait What?
26: Gaelea Outskirt
27.1: A Little Snack
27.2: Broken Sanctuary
28: An Unpleasant Visit
29: We Thought You Were...
30: Pool of Paint, Fire, and Corpses
31: Retaliate!
33: The Helpers
34: Medicament
35: The Origin of Elementbenders
36.1: Mindwasher
36.2: The Morning After
37: Puppetshow
38.1: Run! Watch Out!
38.2: Poisoned Arrows
39.1: ... No, They're Not.
39.2: Dangerous Sanctuary
40.1: Rotten Roots
40.2: His Little Servant
41: Her Loyal Servant
42.1: Think, Takumi, Think!
42.2: Paschalis Returns
43: The Puppet Master
44: Final Payback
45: The Rebirth of Sanctuary
46: First Spark of Hatred
47: Vidar
48: Disturbances
49: Leaving Vidar
50: Pyrrestia and Thievery
51: Hide
52.1: Searching Genma
52.2: The Town Square Tragedy
53: Tea and Accident
54: Bounderish Soldiers
55: Gang Battle
56.1: End of a Dead End
56.2: Hide's Mansion
57.1: North Shore
57.2: The Six Separationists
58: Cloudy Morning
59: Elegant is Weird
60: Golden-Clad Masquerade
61: Sugar-coated Lies
62: Someone Whom You Loved...
63.1: Mad Masquerade
63.2: A Fair Bargain, A Fair Play
64: Strugglers
65.1: Revelation
65.2: Neutralization
66.1: Final Shot
66.2: Wounded, Sane and Alive
67: On The Way To The Shore...
68: Swim, Little Prince, Swim!
69.1: Shoreals and Their Troubles
69.2: Seas and Bloods Shan't Mix
70: The Illusive Prince
71: Witches All Around Me!
72: Of Knives and Roses
73. Kill His Majesty, Kill His Illusion
74. The King Strikes Back
75: Undamarie
76: Heart and Lungs
77: Mad Symphony
78: Innocence Lost
79: Crimson Floors and Stone Basements
80: Wanted Alive
81: Cookie Clairvoyance
82: Mirror, Mirror on the Wall
83: Prelude to a Downfall
84: The Dark Ascent
85: Mourning on a New Day
87: Ruined Rendezvous
88: Obligatory Hallucinatory
89: A Gift of Guilt
90: Incognito
91: Decadent Deluge
92: All You Can Eat...
93: Blood-Soaked Revelations
94: Face of a Goddess

32. Eradicate!

2.6K 104 7
By sciamachy

Ayumi berusaha kabur dari seorang pelayan muda yang kini mengejarnya, mengancamnya dengan suara dua pedang bergesekan. Ayumi hanya punya sebuah biola; tidak seimbang. Pelayan itu menyadari ketakutannya dan tersenyum lebar. Wajahnya terlihat aneh ketika ia menarik sudut-sudut mulutnya ke belakang dan memamerkan sederetan gigi seputih cat. Warna putih gigi yang tidak wajar. Mulutnya bahkan tidak memiliki gusi.

Seberapa muda pelayan ini? Ayumi mengernyit. Mungkin sebaya dirinya, kecuali tubuhnya yang ramping dan lentik. Seorang pelayan elf yang bisa bergerak seluwes angin. Ayumi menghunuskan busur biolanya, sekali lagi mengubah senar tersebut menjadi bilah pisau. Rasanya seperti memegang gergaji tangan. Sejenak, sang pelayan muda terpukau akan kecantikan busur biola, tetapi dengan cepat kembali terfokus ke arahnya. Sepasang pedangnya menari liar di sekitar Ayumi.

Pelayan ini jelas-jelas hanya menggodanya.

Ayumi meringis. Ditangkisnya serangan sang pelayan berkali-kali, sambil memikirkan bagaimana caranya menyerang balik. Tangkisannya agak canggung dan salah satu pedang tersebut berhasil menggores lehernya.

Dia tidak tahu cara bertarung yang benar. Nanaho selalu mengajarkan tentang keanggunan, cara minum dan makan yang sopan, bagaimana caranya membawa lima kamus besar di atas kepalanya—tetapi tidak bertarung. Memegang pedang sedikit pun tidak. Dan sekarang, ada sesuatu yang menggelenyar di perutnya, naik ke dadanya hingga ke kepala. Rasa marah. Ia marah karena harus menjadi gadis lemah lembut yang tidak tahu cara bertarung, menjadi gadis pemalu yang bahkan terlalu malu untuk minta maaf.... Ya. Sewaktu Pangeran Takumi dikabarkan menghilang, mereka masih bermusuhan.

Ayumi menanyakan soal bintang harapan yang selalu mereka temukan di langit sebelah barat, yang mengeluarkan cahaya biru temaram di saat bintang lain berwarna kuning menyilaukan. Itu bintang kesukaan mereka sewaktu masih kanak-kanak. Pangeran Takumi menjawab, “kita sudah dewasa. Tidak ada bintang harapan lagi.” Dan Ayumi langsung kecewa.

Diliriknya sang pangeran yang sedang mengatasi pelayan elf lain yang lehernya nyaris putus. Ayumi tidak bisa minta maaf sekarang. Kalau teman-temannya mendengar soal pertengkaran masa lalu yang konyol itu, ditambah masalah bintang harapan yang menjadi rahasia sang gadis ilusi dan Pangeran Takumi,  mereka tidak akan terkesan. Menertawainya, malah.

“Memikirkan sesuatu, gadis kecil?”

Ayumi tersentak dari lamunannya. Pelayan itu masih ada di sana.

Gadis itu buru-buru mengumpulkan kesadarannya—ia harus cepat. Diikatnya biola tersebut di sekitar pinggangnya dengan pita hitam yang sebelumnya menghiasi pinggiran gaunnya, kemudian mulai bergegas. Ia menggenggam busur biola tersebut dengan pasti. Ujung busur yang seharusnya tumpul itu kini setajam jarum, dan Ayumi sadar bahwa semua orang bisa bertarung menggunakan apa saja.

Dengan keberanian, dengan nama baik.

Ia mengarahkan busur biolanya ke tubuh sang pelayan. Setiap kali pelayan itu akan melukainya, ditekuknya lutut kanannya dan diluruskannya lutut kiri ke belakang, kemudian tubuhnya mengelak ke samping—cara menghindar yang pertama terpikir olehnya. Ayumi teringat gerakan-gerakan luwesnya sewaktu berenang di bawah laut. Gadis itu melompat dari posisinya, melampaui pelayan itu, dan menolakkan badannya ke belakang sang pelayan. Gerakan salto ringannya di udara memenuhi ingatannya akan salto-salto yang sering ia lakukan di dalam air. Tubuhnya terasa ringan.

Kemudian—sambil melakukan penekukan lutut-lutut dan memegang busur biola dengan kedua tangannya—Ayumi menebas sayap kupu-kupu sang pelayan muda dengan lincah. Sepasang benda semitransparan tersebut terlepas ke udara bebas, kemudian jatuh ke tanah. Pelayan itu cepat-cepat berbalik. Sang gadis ilusi berlari ke sebelahnya, kemudian menelikung kaki kiri sang pelayan hingga pemuda itu terjerembab. Ayumi melepaskan ikatan pita terhadap biolanya. Ditekankannya biola tersebut ke punggung sang pelayan, mencegahnya agar bangkit.

Pelayan itu meronta-ronta liar. Biola itu menahan gerakannya.

Ayumi mengambil busur biolanya—yang sekali lagi berubah menjadi busur biola biasa, dengan senar yang terbuat dari rambut kuda—kemudian mulai memainkan biolanya. Biola tersebut masih menekan punggung sang pelayan. Digesekkannya nada-nada yang pernah Nanaho mainkan untuk sang Ayumi kecil. Nada-nada manis masa kanak-kanak yang sekarang terdengar menyedihkan. Mirip lagu pemakaman.

C ke E, E ke G...

Sang pelayan berteriak membabi-buta. Nada-nada tersebut menggetarkan rusuknya, menghunjam telinganya sampai berdarah. Ayumi menarik satu nada panjang menyayat: E, kemudian C. Pelayan itu meringis marah.

“Hentikan! Hentikan!”

Sang pelayan muda berdiri dengan susah payah—sebelah telinganya benar-benar meneteskan darah. Biola Ayumi terpelanting jauh. Pelayan itu menghunuskan sepasang pedangnya ke arah sang gadis ilusi, tetapi Ayumi berkelit. Ditekuknya lutut kanannya ke depan, badan meliuk sementara ia menurunkan posisinya setara pinggang pemuda itu,  kemudian mengangkat busur biolanya tinggi-tinggi dan menusukkannya ke pinggang sang pelayan sekuat tenaga. Berkali-kali. Sang pelayan muda memekik keras. Darah semerah cat meledak keluar dari luka yang menganga.

Kemudian, suara pekikan itu memelan. Sang pelayan muda menatap udara kosong untuk terakhir kalinya, dengan mulut terperangah, kemudian ambruk ke tanah.

***

Kini, tinggal dua orang pelayan dan satu majikannya yang tersisa.

Tabitha melirik dari kejauhan. Rira memiliki sebuah shuriken raksasa bersudut empat, dengan lubang berbentuk permata di tengah-tengahnya sebagai tempat menggenggam. Setiap ujung shuriken tersebut bergerigi tajam dan bernoda merah gelap. Pemuda itu menukik dan berkelit, berayun dan berputar, menghadapi satu pelayan dan satu elf berjanggut yang tadi melukai Sakura.

Itu baru satu pelayan. Di mana satunya lagi?

Sebuah batu seukuran kepalan tangan melayang ke arahnya. Tabitha merunduk. Batu itu melesat melewati kepalanya, menghantam tanah dan pecah berkeping-keping—diikuti suara ledakan. Sang gadis air terlonjak; ledakan itu mendorong tubuhnya terpental ke arah berlawanan dan tepat mendarat di atas garis pinggir lautan cat minyak yang hampir dilupakan semua orang.

Sang gadis air merasakan cat-cat lengket dan dingin membasahi tangan kanannya yang terkulai lemah. Ia menegakkan kepala sedikit, kemudian mengangkat tangannya dari genangan cat. Bagus. Lengan gaunnya yang semula putih kini berwarna merah dan kuning dan hijau.

“Di mana kau?” teriak Tabitha, suaranya timbul-tenggelam di antara riuhnya jalanan oleh jeritan dan suara patah tulang.

Patah tulang. Tabitha bangkit dari posisinya yang sangat tidak nyaman dan bersyukur karena masih bisa berdiri di atas kaki-kakinya sendiri. Tidak ada tulang yang patah. Tabitha menoleh ke kanan-kiri. Penyerang yang melemparkannya bom skala mungil itu tidak terlihat di mana-mana. Ditariknya tombak tersebut dari belakang punggungnya, menatap sekeliling dengan waspada sambil memutar-mutarkan tombaknya 360 derajat. Setengah hati kecilnya menyuruh gadis itu agar kabur dari kegilaan ini.

Sebuah sosok bersaput bayang-bayang melintas di bawah pohon, di antara semak-semak kering yang tinggi. Gadis itu bergeming.

Tabitha melangkah ragu-ragu. Sosok itu lebih kekar dibanding pelayan-pelayan lainnya, dan di tangannya terdapat sekantung besar batu-batuan—bom skala kecil? Belum apa-apa, nyalinya sudah surut. Bahkan ia tidak akan bisa menggebah sosok itu pergi. Dia hanya seorang gadis kecil.

“Kau-lah pengendali airnya setelah aku pergi,” perkataan Nozomu terngiang-ngiang di telinganya. Saat itu, Tabitha kecil patah semangat karena tidak berhasil mengendalikan satu gelombang laut pun. “Dan duyung-duyung nakal yang bilang kau tidak bisa apa-apa karena kau perempuan itu hanya membual. Kau bukan perempuan. Kau seorang lady.”

“Aku seorang lady,”  gumamnya, meskipun menurutnya Higina atau Sakura yang lebih pantas menyandang gelar itu.  “Seorang lady harus—“

Gumamannya terpotong ketika satu bom lagi meluncur ke arahnya, nyaris mengenai jantungnya. Tabitha bergerak cepat. Dikepakkannya sayapnya menjauh, membiarkan bom itu hanya menyentuh tanah kosong dan meledak seketika, beberapa senti di bawah kakinya. Tabitha mendarat dengan siaga. Matanya terarah pada gerumbulan semak-semak di depannya, sudut kanan bibirnya terangkat sedikit.

Dengan berlari setengah terbang, dihampirinya semak-semak tersebut dan disibaknya lebar-lebar. Tentu saja tidak ada. Sang pelayan bersenjatakan bom sudah melesat ke tempat lain.

Namun, ia menangkap sosok itu lagi di tempat lain. Sesosok tubuh pria bersayap kupu-kupu, berkaki jenjang, dan membawa sekantung batu-batu bom di tangannya melesat di antara semak-semak lain—kali ini serumpun beri liar yang sudah layu. Pria itu menganggap dirinya cukup pintar untuk mengelabui sang pengendali air. Dan selagi sang pelayan mengagumi kegesitannya melompati pohon demi pohon, semak-semak demi semak-semak, Tabitha tidak ingin merusak kesenangannya.

Sang gadis air menajamkan telinga. Dari balik pohon mana ia bisa mendengar deru napas terengah-engah dan gesekan sayap serangga?

Matanya nyalang sementara tombaknya tetap siaga. Dilangkahkannya sepatunya tanpa menimbulkan suara. Sebatang tunggul pohon hitam di pinggir lautan cat minyak, dengan semak-semak mengelilingi akar-akar mati yang terpoles warna-warna norak yang berasal dari genangan cat tersebut—ya. Ada suara-suara elf dari sana. Tabitha menghentikan langkahnya tiba-tiba. Ia membuka mulutnya.

Tabitha mulai menirukan suara geraman binatang. Mulutnya mendesis-desis, menirukan napas hewan liar—dicobanya menggerung-gerung seperti serigala dan digesek-gesekkannya ujung sepatunya yang bersol kayu ke tanah. Mula-mula, elf di balik pohon itu tidak bereaksi. Sayap kupu-kupunya yang berwarna putih pucat menyembul dari balik semak-semak. Gadis itu mati-matian menahan tawa—suara hewan yang ditirukannya lebih mirip suara serigala sekarat. Kemudian, gadis itu berteriak tertahan.

“Aah! Awas! Ada serigala lepas dan dia mengarah tepat  ke  pohon itu!”

Sang pelayan elf melompat dari tempat persembunyiannya dengan waspada, wajahnya yang pucat pasi ditolehkan ke segala arah—kanan, kiri, belakang, atas, bahkan ke arah tanah yang diinjaknya. Tabitha melompat ke atas pohon, kemudian hinggap di cabang pohon terdekat dan tertawa melihat sang pelayan kebingungan sambil mencak-mencak. Pelayan itu mendongak melihatnya.

“Brengsek!” sang pelayan mengacungkan sebilah pedang panjang ke arahnya. Diayunkannya pedang bertahtakan zamrud berdebu tersebut, memotong cabang tempat Tabitha bertengger, tetapi gadis itu buru-buru terbang pergi. Tabitha mendarat di belakang sang pelayan. Senyum kecil menempel di bibirnya.

Sang pelayan berbalik, pedangnya terayun ke arah Tabitha tetapi gadis itu mengelak dengan mudah. Diputar-putarnya tombaknya di udara, menimbang-nimbang sisi mana yang harus ia gunakan. Pelayan tersebut mengayunkan pedangnya lagi, mengenai pundak sang gadis air. Kali ini tidak meleset. Pedang itu menusuk pundaknya yang telanjang, terpental keluar ketika menghantam tulang selangkanya, meninggalkan luka merah yang memanjang sampai ke bahunya. Tabitha mundur. Dahinya mengernyit. Tahan, Tabitha... tahan.

Sang gadis air maju lagi. Ketika sang pelayan berhasil mengendalikan keseimbangannya dan mengatur posisi pedang dalam genggamannya, Tabitha menyiapkan tombak bermata duanya—gadis itu menukik, mata tombak yang berbentuk hati ditusukkannya ke jantung sang pelayan. Ujung hati yang tajam merobek rompi sang pelayan, menembus seragamnya, dan bersarang di kedalaman dagingnya hingga melewati tulang rusuknya. Tabitha mendorong tombaknya semakin dalam hingga mata tombak berbentuk hati tersebut melesak keluar dari balik punggung sang pelayan.

Ada keheningan dramatis saat pelayan itu meraung di tengah detik-detik terakhirnya, sebelah tangannya meraih jantungnya yang sekarat. Perkataan lirih tercekat di lehernya, mengucapkan sesuatu seperti “iblis-iblis kanibal” dan tubuhnya berhenti bergerak.

Tabitha mengguncang-guncangkan tubuh tersebut dari tombaknya, membiarkannya jatuh berdebuk ke tanah. Ia merasa kasihan untuk pelayan itu—bahkan, sebelum sang pelayan mati, kata-kata terakhirnya tidak lebih dari umpatan omong kosong.

“Jangan senang dulu, Milady.”

Sang elf berjanggut sudah berdiri di belakangnya, bersama seorang pelayan lain dengan sebelah tangan yang buntung. Lengan tanpa tangan itu masih meneteskan darah sedikit—darah merah cerah, bukan merah gelap seperti pada umumnya. Tabitha mengintip dari balik bahunya, mengernyit melihat pakaian sang elf berjanggut yang kini robek-robek, memperlihatkan segala bekas luka dalam yang masih mengucurkan darah. Luka-luka tersebut lebih mirip ukiran tanpa makna di atas sepotong kayu yang dicat sewarna kulit.

Namun, luka di pundaknya mengambil alih pikiran Tabitha untuk saat ini. Ia tidak bisa menyerang lebih jauh. Dijatuhkannya tombaknya ke tanah—yang langsung bergulingan menuju dataran yang lebih rendah dan akhirnya tersangkut di semak-semak—kemudian bersimpuh pada lututnya. Air mata sang gadis air merebak. Luka itu panas membakar, rasa sakitnya menyebar sampai jari-jari kaki. Ditatapnya pedang sang pelayan mati—pedang yang telah merobek dagingnya sampai ke tulang—ditendangnya pedang itu ke tengah lautan cat dan dipeluknya tombak miliknya seerat mungkin. Digigit-gigitnya mata tombak itu kuat-kuat, meskipun ujungnya yang sudah terendam darah terasa asin di mulutnya. Apapun, asal bisa menghalau rasa sakit mengerikan itu.

Kemudian ada suara lain—meskipun Tabitha tidak berminat menoleh ke arah suara itu. Sang elf berjanggut memekikkan “dasar iblis!” diikuti teriakan dari satu-satunya pelayan yang masih tersisa, sesekali mereka melolong seperti serigala. Mata pelayan itu berbeda dari pelayan-pelayan lainnya—cokelat pekat, tanpa pupil maupun iris, hanya sklera cokelat keemasan yang bersinar-sinar di bawah sinar matahari. Sang elf berjanggut mengangkat bola berpakunya tinggi-tinggi, diikuti sang pelayan yang menghunuskan dua pisau belati, menerjang seorang pengendali bersayap bulu-dan-tulang yang kini memiliki bekas sayatan di wajah, cedera di lengan kiri, dan sebuah shuriken raksasa di tangan kanan.

***

Rira menelan ludah. Ayunannya tadi tepat sasaran, dan si elf berjanggut sialan itu masih segar bugar.

Sakura sudah bangkit meskipun masih memegangi perutnya yang sakit, Genma memetik sehelai daun dari semak-semak dan menempelkannya di luka yang menganga, Ayumi terengah-engah dengan wajah pucat dan tangan memegang busur biola, Higina masih belum selesai mengeringkan kapaknya, Takumi berjalan sempoyongan karena sesuatu—seperti gigi-gigi—telah merobek sedikit tengkuknya, dan Tabitha menyingkirkan sejumput rambut ke belakang agar tidak mengenai luka di pundaknya. Rira memegangi siku kirinya. Mungkin bola berpaku itu telah meremukkan sendinya. Mungkin juga tidak.

Belum.

Sebilah pisau belati melesat ke arah wajahnya dalam kecepatan angin. Rira membanting tubuhnya ke samping, menghindar—pisau itu terlempar dan akhirnya menancap di sebatang pohon muda. Sang elf berjanggut mengayunkan bola berpakunya. Ayunannya meleset, dan bola itu malah menghantam perutnya sendiri. Elf itu terjungkang ke belakang. Sedikit darah, suara retakan, tetapi setelah itu tidak ada apa-apa. Sang elf berjanggut bangkit lagi.

Ia harus berpikir cepat.

Ia melompat ke sebelah kiri elf berjanggut dan pelayan bermata cokelat pekat itu langsung mengepungnya dari belakang. Baik pelayan maupun tuannya mengangkat senjata masing-masing, mengayunkannya ke arah Rira yang kini berada di antara mereka—tetapi bahkan sebelum mata mereka berkedip, pemuda itu sudah lenyap. Pisau dan bola berpaku berayun memukul udara kosong. Sang elf berjanggut menarik bola berpakunya dengan canggung. Pelayannya yang terlalu setia itu menyarungkan kembali pedangnya, sambil menatap sekeliling. Mencari-cari sosok pemuda bersayap bulu-dan-tulang.

Tidak ada yang menoleh ke bawah; di mana pemuda itu berbaring dengan sikap siaga.

Rira mengulurkan tangannya, menyeringai tipis. Sebelah tangannya yang bebas menarik kaki sang elf berjanggut sampai terjatuh, sementara tangan satunya lagi memotong tumit sang pelayan elf dengan shuriken. Kedua-duanya jatuh menghantam tanah dalam suara gedebuk keras. Rira melompat berdiri. Ditatapnya kaki kanan sang pelayan yang kini terlepas dari tubuhnya. Kaki kanan itu masih bersepatu—sepatu berbahan daun kuning yang kini bermandikan darah—dan pangkal tumitnya.... Rira menyipitkan mata. Ada yang janggal di sana.

Diinjaknya punggung sang elf berjanggut dan sang pelayan sekaligus, menahan mereka agar tidak berpindah ke mana-mana. Sayap-sayap mereka terkulai lemas, tetapi mereka masih hidup. Posisinya sekarang—berdiri di atas punggung-punggung elf seperti anak kecil yang melompat-lompat dari satu bantal ke bantal lainnya—mengingatkan Rira akan masa kecilnya dengan Yuki di Charonte. Mereka pernah bermain lompat bantal sesekali, biasanya sebelum makan siang.

“Siapa yang menyuruh kalian?” Rira bertanya kalem. Didorongnya salah satu ujung shuriken ke tengkuk sang elf berjanggut.

Elf tua itu bungkam. Lidahnya tertarik ke belakang mulutnya.

Rira menoleh ke arah teman-temannya. Sakura mengangkat wajah, tatapannya berganti-ganti antara elf berjanggut, sang pelayan, dan kaki kanan yang menggelinding menjauhi mereka.

Tiba-tiba, bahkan sebelum teman-temannya berkedip, Rira sudah menjatuhkan shurikennya dan menarik baju elf-elf tersebut dalam satu sentakan. Bahan-bahan kain, rompi, dan celemek pun robek—dilemparkannya begitu saja ke udara lepas sementara keenam temannya terbelalak melihat apa sebenarnya sang elf berjanggut dan pelayannya tersebut, dibalik pakaian-pakaian mewah dan sayap-sayap indah mereka—yang ternyata hanya berupa kain semitransparan yang ditempelkan ke seputar kawat berbentuk rangka sayap.

Mereka hanya boneka plastik. Sendi-sendi yang menyatukan pundak, siku, lutut, leher, dan bagian-bagian tubuh mereka terbuat dari bola putih mengilap, seperti mutiara.

Continue Reading

You'll Also Like

122K 13.7K 15
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 3) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ____...
1.1M 85.2K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
137K 12.8K 36
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
200K 277 17
Kumpulan cerita dewasa part 2 Anak kecil dilarang baca