Beberapa lama kemudian, musik kembali mengalun lembut dan kedua pengantin kembali menjadi pusat perhatian. Mereka terlihat kebingungan beberapa saat—sepertinya bagian ini tidak direncanakan oleh mereka—tetapi dengan cepat terbiasa dengan suasana khidmat yang diciptakan musik dengan tiba-tiba.
"Upacara pernikahan, kan, sudah dari tadi berlangsung," gumam Ayumi sambil berusaha menutupi noda bekas sirup di gaunnya. "Apa lagi sekarang?"
Higina terpaksa menaruh gelas minumannya, berjingkat supaya bisa melihat pasangan bahagia tersebut lebih jelas. "Mereka melewatkan satu bagian sakral dari pernikahan manusia. Itu buket bunga yang kutawarkan seminggu lalu!"
Ayumi tidak berjingkat, tetapi mengintip melalui celah-celah di antara kerumunan orang. Sang pengantin perempuan, tersenyum penuh arti pada buket mawar merah berbentuk hati di tangannya, kemudian mengayunkan buket tersebut dan...
"Aku dapat, aku dapat!"
"Yah, meleset!"
"Itu milikku, tahu!"
"Hei! Kau sudah punya suami!"
... melemparnya, tentu saja.
Buket itu terlempar tepat ke kepala Ayumi, dan Ayumi—tentu saja—menangkapnya sambil kebingungan. Semua orang kini beralih ke arahnya.
"A-aku melanggar h-hukum manusia, ya?" tanya gadis itu takut-takut. Higina justru menyeringai lebar. Dari jauh, terlihat sang pengantin perempuan ikut tersenyum padanya.
Si gadis florist tersenyum. "Kalau kau bisa menangkap buket yang dilemparkan pengantin wanita, artinya kau akan... segera menikah! Selamat, ya."
"Apa?"
"Higina! Ayumi!" teriak sebuah suara—terdengar seperti Tabitha. "Kita harus pergi dari sini. Kita bisa pergi dari sini!"
Dan memang benar. Di belakang mereka, terlihat tiga orang yang ditunggu-tunggu; Tabitha dan kedua pengawalnya. Blazer resmi mereka penuh keringat dan kusut sehabis berlari. Sebelum Higina sempat berkata sesuatu, Genma sudah menyela.
"Pangeran Takumi. Dia. Ada. Di sini," katanya tergesa-gesa. Untunglah para hadirin tidak memerhatikan Higina dan Ayumi lagi. "Saat kami bicara dengan kedua pengantin, saat mereka memperkenalkan seseorang kepada kami... Snap. Dia tertangkap."
"Dan dia adalah adik pengantin perempuan!" sambung Tabitha, masih tidak percaya. "Kalau kita tahu hal itu sejak awal... ugh!"
"Adik?" ulang Higina.
"Adik angkat," ralat Rira. "Jangan biarkan Takumi lolos. Cepat bawa dia ke hutan, dan panggil Sakura."
Baru saja mereka berlari, seseorang bertuksedo dan berambut teal mencolok berjalan keluar dari tempat resepsi. Si Ame Matsuzaki yang diperkenalkan kedua pengantin tadi entah melakukan apa. Melihat para hadirin yang semakin meramai, kelima pengendali justru memelankan langkah mereka. Jangan menarik perhatian orang banyak. Apalagi kedua pengantin.
Si Ame Matsuzaki tersebut mempercepat langkahnya.
"Sekarang... kejar!"
Kini mereka berlari secepat mungkin—mencoba menyejajarkan posisi dengan Pangeran Takumi yang dicari-cari—dan, kalau bisa, membuatnya berhenti. Takumi kembali masuk ke dalam restoran. Kelima pengendali elemen pun berhenti.
"Kita bertiga yang menemuinya. Kalian... mengikuti tanpa terlihat aneh, oke?"
Higina dan Ayumi mengangkat bahu, mengawasi dengan waspada sementara Genma, Rira, dan Tabitha berjalan setengah berlari melintasi restoran yang ramai. Terlalu riskan untuk mengejar sang pangeran terang-terangan; bisa-bisa mereka yang dikejar massa. Takumi berhenti di depan restoran, menoleh ke kanan-kiri, seperti sedang menunggu seseorang. Mungkin malah menunggu taksi.
"Dapat," gumam Genma, berhasil menjangkau sang pangeran—dan mengagetkan pemuda itu. "Permisi, Yang Muli—ehm, Tuan Matsuzaki. Masih ingat kami?" ia menunjuk Rira dan Tabitha yang menyusul di belakangnya. "Kami punya... sedikit urusan dengan Anda. Bisa minta sedikit waktu?"
Ada keheningan yang janggal ketika Ame Matsuzaki berganti-ganti memandang Genma, kemudian Tabitha, kemudian Rira. Ada kilat keterkejutan di matanya. Takumi (ya, dia benar-benar Takumi!), yang belum menyadari Higina dan Ayumi di belakang Tabitha, mengerutkan kening. Ditatapnya Genma, Rira, dan Tabitha sekali lagi.
"Eh... Boleh. Kalian... wedding organizer itu, 'kan?" tanyanya ragu-ragu.
Kedua pemuda di hadapannya bertukar pandang. Tabitha menoleh ke arah Higina dan Ayumi yang sebisa mungkin tidak meneriakkan nama sang pangeran.
Aha. Ini saat yang tepat untuk menjatuhkan bom.
"Bukan," Genma dan Rira menyeringai, dengan cepat menangkap tangan Takumi yang langsung memberontak dan menyentak-nyentak. "Kami adalah para pengendali elemen, Yang Mulia."
"Mustahil!" elak Takumi. Dicobanya melepas tangannya dari cengkeraman dua wedding organizer-ternyata-pengendali-elemen ini sambil menatap orang-orang di sekitarnya, meminta bantuan. Namun mereka semua terlalu sibuk untuk menyadari seorang pemuda yang ditarik keluar restoran oleh dua pengatur pernikahan kakaknya dan tiga perempuan lain, yang mengikuti dari belakang. "Kau tidak—kau tidak punya kewenangan untuk membawaku—"
"Ha! Kau makin terdengar seperti Pangeran!"
Takumi terkesiap; mendapati Higina dan Ayumi yang pernah memanggilnya Pangeran Takumi ternyata berkomplot dengan orang-orang ini: dua pria aneh, satu gadis yang belum pernah dilihatnya tetapi sangat familiar di matanya. Tangan Takumi masih memberontak; sementara cengkeraman Genma dan Rira semakin kuat.
"Mau ke mana, hah?" tanyanya, kali ini dengan penasaran.
"Ke tempat di mana kau seharusnya berada," tandas Genma. Ditariknya Takumi ke luar restoran, menyeberangi jalanan, ke pinggir trotoar; dan bergabung dengan para pejalan kaki lainnya. Sialnya, semua orang yang berlalu-lalang di sana terlalu sibuk untuk menolong Takumi dari jeratan kelima remaja ini. Yang ada hanyalah satu-dua tatapan aneh dari orang-orang.
"Rumah sakit jiwa," gumam Takumi sinis.
"Dunia elemen. Evaliot," ralat Rira. "Dan kalau kau masih bertanya siapa para pengendali elemen, kami akan tunjukkan sendiri buktinya."
Rira melepas satu tangannya dari tangan kiri Takumi, menengadah ke langit, membuat gerakan kecil dengan tangannya—sesaat terlihat seperti monster yang mengendalikan kekuatan jahat. Kemudian langit menghitam. Benar-benar hitam; seolah awan mendung tengah menyapu segala berkas cahaya yang tersisa di langit. Semua orang buru-buru berlindung di bawah kanopi-kanopi toko, di dalam restoran, dan di bawah jaket mereka—mengira hujan akan datang.
Namun bukan hujan yang datang, melainkan jutaan petir bersambaran di langit.
"Mau api? Silahkan," Genma tersenyum puas. Diliriknya spanduk iklan di atas jalan. Beberapa detik kemudian, api sudah melumat habis kain tersebut. Yang tersisa tinggal seberkas api yang menari-nari di sepanjang tali pengikatnya. Pemuda itu bahkan tidak memedulikan keributan yang diciptakan orang-orang saat melihat api ajaib tersebut.
"Aku tidak suka cuaca mendung tanpa hujan," celetuk Tabitha. Ditatapnya langit. Seketika, tetes-tetes air hujan turun membasahi jalan raya—tetapi tidak mematikan api yang dibuat Genma. Suasana makin bertambah riuh.
Sementara petir menggelegar, api merambat dengan cepat ke jalan raya, dan hujan yang semakin lebat, Takumi menutup mata erat-erat. Pusing. Semua perubahan cuaca ini membuat kepalanya sakit.
"Cukup! K-kasihan Pangeran T-Takumi," seru Ayumi. Langit pun berubah. Api yang berkobar lenyap dengan sendirinya, hujan mereda, langit kembali tenang dan sisa-sisa kekacauan di sekitar jalan raya melenyap. Orang-orang mulai keluar dari tempat berteduh mereka.
"Paling tidak kita memberikan bukti," kata Genma. Cengkeramannya pada tangan Takumi mulai melonggar. "Sekarang ingat siapa kami sesungguhnya, Pangeran?"
***
Ame masih tidak habis pikir. Pengendali elemen.... Para pengendali elemen.... Ya, tidak ada gunanya mengelak sekarang. Mereka benar-benar bisa mengendalikan elemen. Peristiwa tadi memang lumayan mengerikan. Ia teringat si pengantar pizza yang seolah mengeluarkan angin kencang ketika gadis itu marah. Mungkin mereka memiliki elemen-elemen sendiri?
"Kalau aku benar-benar Takumi," ia mendengar dirinya sendiri berkata. "Memangnya apa yang harus kulakukan—ada apa dengan dunia elemen kalian? Aku belum ingat semuanya," gelengnya. "Kalau semua ini bukan bercanda, bagaimana caranya aku ingat hidupku yang sebelumnya?"
Genma mengangguk. "Mudah. Dengan kembali ke dunia elemen."
Argh. Penjelasan mereka hanya berputar-putar di sekitar dunia elemen.
Kemudian ada Ayumi. Ayumi.... Gadis itu tidak berbohong sewaktu mengatakan bahwa pengendali elemen ada di Bumi dan mereka semua mencarinya. Gadis itu tidak tahu bahwa ia sudah... entahlah—sedikit tertarik padanya, mungkin.
"Sakura!" Higina berteriak, memanggil salah satu pengguna sepeda di jalan. Ternyata dia bukan pengguna sepeda, dia pengantar pizza. "Kami menemukannya!"
"Maaf, aku sib—apa?"
Sakura menghentikan sepedanya tiba-tiba; mengakibatkan suara mendecit yang membuat beberapa pejalan kaki menoleh ke arahnya. Dia menatap Higina seolah gadis itu telah mengerjainya, kemudian bertemu pandang dengan Ame. Matanya kosong. Seolah baru saja melihat sesuatu yang mengerikan di otaknya.
"Oh, tidak," gumam Sakura. "Kita harus kembali secepatnya. Etheres dalam bahaya!" dan dengan begitu, disambarnya sebelah tangan Genma dan Rira yang bebas dan berlari melintasi trotoar secepat angin.
Benar-benar secepat angin.