Flaga (Telah Terbit)

ra_vaa tarafından

1.3M 80.1K 2.4K

Aku bersumpah, tidak ada makhluk di muka bumi ini yang paling ingin aku musnahkan selain dia. Dia sudah mengh... Daha Fazla

Prolog
1. Job Seeker
2. New Day
3. The Missing Thing
4. Bencana
5. Erlangga Yuda
6. Tolong Musnahkan Dia
8. Penawaran
9. Mimpi Buruk
10. Kabur
15. Kencan
16. Suatu Pagi (deleted)
17. Kencan Kedua (deleted)
18. Aneh (deleted)
19. Rindu (deleted)
20. Kenapa Harus Aga? (deleted)
21. Rahasia (deleted)
24. Keajaiban (deleted)
25. Pengganti (deleted)
26. Kesepakatan (deleted)
27. Berbagi (deleted)
28. Pelajaran
29. Suatu Ketika
30. Jangan Pergi (deleted)
31. Pacaran (deleted)
32. Aturan Aga (deleted)
33. Maaf (deleted)
34. Akhir Kesepakatan (deleted)
35. Ingat Dia (deleted)
36. Semoga (deleted)
38. Apa yang Terasa? (deleted)
39. Another Kiss? (deleted)
40. Pink dan Putih (deleted)
41. Pengkhianat (deleted)
42. Maukah? (deleted)
43. Dia Lagi (deleted)
44. Cuma Kamu (deleted)
Epilog (deleted)
KABAR GEMBIRA 😄
Bantu Vote Cover donk 😁
Flaga Sudah Terbit 🎉🎉🎉

7. Another Bad Day

30.6K 2.4K 44
ra_vaa tarafından

Fla Regina

"Ayo buruan antarin aku sekarang," aku menarik paksa tangan Aya.

"Aku nggak ada kuliah pagi hari ini, pergi sendiri kan bisa," Aya menepiskan tanganku.

"Keburu ketemu sama Aga nanti," kataku.

"Bagus malah kan, hemat uang buat bayar angkot."

Aku mendesis geram sambil memikirkan ide untuk menghindari Aga yang katanya hari ini akan mengantarku ke kantor. Ian yang pacarku saja belum pernah mengantarku kerja. Enak saja dia mau merebut posisi itu.

Aku tahu kali ini Aga sedang mempermainkanku. Tidak akan aku biarkan dia mempermalukanku seperti dulu lagi.

"Fla, ada Aga di depan!" Terdengar suara teriakan Mama dari luar. Sepertinya kali ini aku terlambat mengatur strategi.

Aku menemukan Aga sedang duduk di teras rumah sambil menikmati secangkir minuman. Dia menatapku sambil tersenyum.

"Mamamu baik banget mau buatin aku teh madu," katanya sambil memamerkan minumannya. Aku mencibir.

"Aku nggak mau diantar kamu," kataku kemudian.

"Siapa bilang aku mau mengantar kamu," sahutnya sambil meneguk minumannya dengan gaya yang sungguh memuakkan.

"Kan kamu bilang gitu kemarin."

"Kalau aku berubah pikiran nggak salah kan?" dia terkekeh.

"Ya sudah kalau gitu kamu pulang aja, ngapain juga pagi-pagi ada disini," kataku kesal.

"Sebentar, aku habisin minuman ini dulu," sahutnya.

"Nggak tahu malu, kesini cuma numpang minum."

"Numpang minum di rumah calon tunangan sendiri sepertinya bukan hal yang memalukan," Aga tertawa dengan keras. Serius, lelaki ini sepertinya benar-benar tidak waras.

Calon tunangan? Memangnya ada istilah seperti itu?

"Ingat, hari ini kamu jangan ganggu aku, jangan ngikutin aku, jangan muncul di hadapanku, jangan...," aku menghentakan kakiku karena Aga malah tertawa semakin keras.

"Tenang aja, aku bukan orang yang kurang kerjaan seperti yang kamu sebutin tadi," katanya. Aku menatapnya dengan tatapan mata tajam. Awas saja, dia akan merasakan akibatnya nanti.

Aku masuk ke dalam rumah kembali untuk mengambil tasku. Aku malah bersyukur Aga tidak jadi mengantarku ke kantor. Tiba-tiba dari dalam tasku terdengar bunyi ringtone handphone-ku.

"Mau barengan ke kantornya?" tanya suara di seberang sana. Aku harus berpikir beberapa detik untuk menebak siapa yang sedang meneleponku.

"Ohh Raka ya?" tanyaku.

"Iya. Belum berangkat ke kantor kan? Aku sudah mau sampai di rumahmu nih," katanya. Aku bersorak dalam hati, lumayan dapat tumpangan gratis.

"Tapi kita kan beda arah."

"Hari ini aku ditugasin di cabangmu," jelasnya.

"Baiklah, aku tunggu ya," kataku dengan semangat.

Aga masih duduk di teras, aku kira dia sudah pulang. Aku menoleh ke arahnya sekilas.

"Kamu nggak kerja apa?" tanyaku akhirnya. Aku penasaran dengannya yang sudah rapi mengenakan pakaian untuk ke kantor, tapi tidak kelihatan khawatir akan terlambat.

"Sebentar lagi," sahutnya pendek. Tumben jawabannya waras.

"Ya sudah, aku pergi dulu ya," aku buru-buru mengenakan sepatuku waktu mobil Raka terlihat berhenti di depan rumahku.

"Siapa itu?" tanya Aga, dia nampak mengeryitkan keningnya.

"Teman kantor," sahutku. Buru-buru aku melangkah menuju mobil Raka.

"Maaf Mas, hari ini Fla sama saya ke kantornya," aku baru saja mau membuka pintu mobil Raka saat terdengar suara dari sampingku. Raka yang nampak kebingungan menatapku meminta penjelasan.

"Oiya, saya Aga, tunangan Fla," Aga mengulurkan tangannya kepada Raka yang masih nampak kebingungan. Sedangkan aku, rasanya ingin kucincang saja makhluk di sampingku ini. Mau tidak mau Raka membalas uluran tangan Aga.

Kalau tidak malu dengan Raka, mungkin sudah kumaki Aga dari tadi. Apa maksudnya dengan mengatakan akan mengantarku ke kantor dan parahnya lagi mengaku sebagai tunanganku di depan Raka. Padahal tadi jelas-jelas dia bilang tidak mau mengantarku.

"Kenapa sih kamu hobi banget buat aku malu?" tanyaku geram. Mobil Raka baru saja pergi setelah tadi Aga sok bicara basa basi dengannya. Sedangkan aku sendiri hanya bisa terdiam, entah apa yang harus aku jelaskan ke Raka nanti.

"Buat malu gimana? Aku cuma mau kenalan sama teman kantormu kok," jawabnya enteng.

"Ngapain pakai ngaku-ngaku tunanganku segala."

"Memang kenyataannya benar kan. Kalau aku ngakunya pacar kamu, itu baru salah," dia tersenyum mengejek.

"Aku lagi nggak pengen berdebat. Antarin aku ke kantor sekarang. Kamu tahu, gara-gara kamu aku kehilangan tumpangan gratis hari ini." Demi apapun itu, lelaki ini benar-benar menyebalkan.

--

"Kalau nggak mikir bakal telat, aku nggak mau diantar kamu," aku bersungut-sungut setelah berada di dalam mobil Aga.

"Aku juga nggak bakalan mau mengantar kamu kalau nggak dipaksa. Memang kamu pikir waktuku banyak?" balasnya tidak mau kalah.

Sepanjang jalan kami habiskan dengan saling diam. Anggap saja saat ini sedang naik taxi, jadi tidak perlu berbicara apa-apa dengan supirnya.

"Aga, bisa cepat sedikit nggak sih? Aku hampir telat nih," kataku akhirnya setelah melihat Aga mengemudikan mobilnya dengan santai. Dia melirikku sekilas sambil tersenyum.

"Aku nggak biasa bawa mobil ngebut," jawabnya. Aku mendengus kesal.

"Sekali ini aja. Aku bisa diomel seharian kalau telat hari ini. Tolong ya, Ga...," pintaku memelas.

"Apa timbal balik buatku?" tanyanya sambil tersenyum licik. Sepertinya aku telah melakukan negosiasi yang tidak tepat.

"Kenapa harus ada timbal balik?"

"Ya sudah kalau nggak mau," Aga semakin memperlambat laju mobilnya. Sepertinya melompat dari mobil Aga merupakan pilihan yang tepat saat ini.

"Oke! Kamu maunya apa? Asal jangan minta yang aneh-aneh, jangan yang ada hubungannya dengan interaksi fisik, aku nggak mau disentuh sama kamu, jangan materi juga, karena aku nggak punya banyak uang. Jangan ngerjain, merintah dan memperkerjakan aku. Terus jangan permintaan yang merugikan aku," jelasku panjang lebar.

"Sudah syaratnya?" Aga terkekeh.

"Iya, aku bersedia dengan syarat yang aku sebutin tadi. Sekarang bisa nggak kamu ngebut sedikit. Waktuku nggak banyak lagi."

Sebagai jawaban atas permintaanku, Aga mempercepat laju mobilnya, menyalip kendaraan lain dengan lincah dan menerobos lampu merah. Semoga saja kami tidak dikejar polisi lalu lintas.

"Bagaimana, belum telat kan?" katanya dengan nada bangga. Aku cuma mengganguk mengiyakan, tidak mau memberi pujian lainnya, takut dia besar kepala.

"Tunggu dulu, sekarang gantian aku yang meminta," Aga menahan tanganku, tapi buru-buru kutepiskan.

"Nanti aja bicarainnya, sebentar lagi briefing," kilahku.

"Nggak, aku tahu kamu licik. Jadi nggak semudah itu kamu lari," Aga tiba-tiba menarik handphone yang ada di genggaman tanganku. Aku melongo kebingungan.

"Kembalikan handphone-ku!" jeritku.

"Handphone ini bakal aku kembalikan nanti malam," katanya.

"Please Aga, aku bersedia melakukan apa aja asal jangan ambil handphone-ku," Aku sudah hampir menangis. Bagaimana kalau Ian tiba-tiba meneleponku, kemudian yang mengangkatnya Aga. Bagaimana kalau ada pesan penting dari keluargaku, bagaimana kalau Aga mengobrak-abrik isi handphone-ku dan melihat isi di dalamnya.

Tapi memikirkan aku bersedia melakukan apa saja demi handphone-ku sepertinya bukan ide yang bagus. Sepertinya aku asal bicara lagi.

"Kamu pakai aja dulu handphone-ku," Aga kemudian mengambil kartu sim-ku dan memasukkannya ke dalam handphone-nya.

"Kalau seperti ini, adil kan. Kamu masih bisa menerima telepon," Aga tampak tersenyum puas. Mau tidak mau aku mengambil handphone Aga yang telah berisi kartu sim-ku. Dalam hati aku mengutuk lelaki yang ada di hadapanku ini. Sepertinya dia terlahir memang untuk menyengsarakan aku.

"Ingat, kamu masih punya hutang. Nanti malam akan kutagih, kalau kamu bisa lunasin, bakal kukembalikan handphone-mu." Aku cuma bisa menelan ludah mendengar omongannya. Lagi-lagi aku terjebak permainannya.

"Ya sudah, sana turun. Kamu tunggu apa lagi?" usirnya.

--

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

65K 5.5K 36
[ C o m p l e t e ] Namanya Rama, kalian pasti ngeri kalau ketemu orangnya. || Copyright, 2019. Nabila Wardani - All Rights Reserved. Cover by vii_gr...
4.8M 210K 39
❛❛Kita bertemu lagi. Lalu aku mulai mencintaimu seperti dulu lagi. Pada akhirnya kamu akan menyakitiku juga seperti dulu, kan? Begitu sederhana, n...
4.8M 178K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
1.1M 15.8K 36
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...