28. Pelajaran

22.6K 1.9K 51
                                    

Fla Regina

Entah sejak kapan aku hafal kalau parfum dengan wangi seperti ini pasti Aga. Aku suka dengan perpaduan wangi segar dan manisnya. Rasanya jika mataku kupejamkan, aku dapat merasakan wanginya lebih dalam.

"Jangan tidur dulu." Aku tersentak dan membuka mataku.

"Siapa juga yang tidur," kilahku.

"Kamu selalu aja tidur kalau di mobilku, memang tidurmu belum cukup?" tanyanya.

"Aku tidur kalau memang lagi ngantuk. Kalau kebetulan aku ketiduran di mobilmu itu artinya aku ngantuk," jawabku asal.

Hari ini jadwalku menemani Aga menghadiri pernikahan temannya. Awalnya aku menolak, tapi bukan Aga namanya kalau tidak berhasil memaksaku. Kata Aga, aku dan dia harus saling mendukung. Ya, kami memang dua orang yang sedang terikat perjanjian aneh.

"Rambutmu jadi berantakan," Aga mengambil helaian rambutku yang tergerai dari ikatannya dan kemudian merapikannya. Mendadak wangi parfum Aga semakin kuat. Rasanya aku terkena sindrom mendadak-mau-mati-saja.

Aku menatap Aga dengan ngeri. Heran entah sudah berapa kali dia tiba-tiba bersikap manis, seperti bukan Aga.

"Kamu kenapa?" tanyaku.

"Kenapa apanya?" Aga balas bertanya.

"Kenapa seperti ini?"

"Seperti ini? Maksudnya?"

"Ah sudahlah, nggak penting," kataku akhirnya.

Kalau disuruh memilih, aku lebih suka Aga yang biasanya. Yang suka memarahi dan menghinaku. Aga yang bersikap baik dan terlalu manis membuatku takut, jangan-jangan ada hal buruk yang direncanakannya.

"Nanti jangan lama-lama ya," kataku mengalihkan pembicaraan.

"Kenapa? Ada acara?"

"Nggak, malas aja di tempat ramai."

"Pantasan kuper," sahut Aga singkat.

"Sama aja, kamu juga!" ledekku. Aga juga tidak punya teman lebih banyak dariku, makanya kerjaannya cuma ngikutin aku terus.

"Bisa nggak sih kamu panggil aku dengan sebutan yang lebih sopan." Aku menatap Aga bingung, apa maksudnya? Memang selama ini aku kurang sopan apa lagi?

"Aku lebih tua dari kamu, dan kamu selalu panggil dengan sebutan 'kamu'," lanjut Aga. Aku melongo mendengarnya. Apaan-apaan ini?

"Lalu?" tanyaku.

"Pikirin aja sendiri apa maksud omonganku," sahut Aga ketus.

Lelaki aneh! Marah-marah terus nggak ada ujung pangkalnya. Dikiranya aku bodoh banget apa sampai tidak tahu apa maksud pembicaraannya. Demi apapun itu, aku tidak akan pernah sudi memanggilnya dengan embel-embel kakak, mas, abang, atau apalah itu. Menjijikan!

"Aku nggak ngerti," sahutku sambil menahan tawa dalam hati.

"Nanti aku ajarin biar ngerti, biar kamu nggak terlalu bodoh," sahut Aga. Aku menggeram kesal, dia yang bodoh, bukan aku.

"Kalau gitu jangan mau pergi sama orang bodoh," kataku kesal. Aga malah tertawa dengan kerasnya.

"Kaya' anak kecil, gitu aja ngambek," ledeknya.

"Ayo turun, sudah sampai," lanjut Aga. Aku memasang muka cemberut.

"Kamu nyebelin," kataku sambil turun dari mobil Aga.

"Setiap kamu bilang aku nyebelin, setiap kali itu juga bakal mengakui kalau aku ini lelaki paling tampan yang pernah kamu kenal," kata Aga dengan nada bangga. Lelaki ini sudah mulai gila sepertinya.

Flaga (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang