8. Penawaran

28.7K 2.5K 35
                                    

Fla Regina

Aku terus menatap layar handphone-ku dengan perasaan gelisah. Aneh, kenapa dari tadi tidak ada seorangpun yang menghubungiku. Aku mendesah kesal, bahkan Aya pun tidak menghubungiku untuk menanyakan bagaimana aku pulang sore ini. Apa dia sudah lupa dengan sepupunya yang tidak bisa pulang jika tidak dijemput?

Seharian ini aku tidak bisa menghubungi siapapun. Wajar saja, di handphone milik Aga ini tidak tercatat satu kontakpun yang aku kenal. Dan seharian ini aku juga tidak bisa menghubungi Ian, semoga saja dia tidak marah-marah seperti biasanya.

Salahkan saja sifat pelupaku yang tidak bisa mengingat satupun nomor handphone orang. Tentu saja semua ini gara-gara Aga! Kalau saja dia tidak menahan handphone-ku mungkin nasibku tidak akan seperti ini.

"Sudah mau pulang?" tanyaku pada Raka yang sedang melewatiku. Aku tahu Raka masih marah gara-gara kejadian tadi pagi, buktinya sampai sore ini dia tidak ada berbicara satu patah katapun padaku. Padahal kalau dia bertanya, aku pasti akan menjelaskan dengan jujur siapa Aga.

Dan saat ini aku membuang semua harga diriku dengan menegurnya hanya agar bisa mendapat tawaran pulang bersama.

"Eh...iya," sahutnya.

"Aku duluan ya," lanjutnya lagi. Dia bahkan tidak berbasa-basi menawarkanku tumpangan. Mungkin aku yang tidak tahu diri, jelas-jelas tadi pagi Aga telah mempermalukannya, wajar saja sekarang dia menjaga jarak denganku. Tentu saja kalau aku di posisi Raka, pasti aku akan melakukan hal yang sama.

Awas kamu, Aga!

Aku mengutak-atik handphone-ku, eh maksudnya handphone Aga dengan kesal sambil berharap ada yang menghubungiku. Matahari sudah mulai meredup, artinya sebentar lagi malam akan datang. Aku menghela nafasku.

Setengah ragu aku menuju mesin ATM, memasukan kartu ATM-ku sambil harap-harap cemas semoga saja uang di ATM-ku masih tersisa. Paling tidak aku bisa pulang dengan taxi. Kalau jam segini pasti angkot sudah tidak ada lagi. Aku tidak bisa berharap banyak dengan uang di dompetku yang tinggal recehan uang logam.

Aku mendesis geram, bahkan di ATM-ku tidak tersisa uang sedikitpun. Hanya bersaldo minimal. Apa malam ini aku harus menginap dikantor?

Handphone Aga tiba-tiba berbunyi, berisik sekali suaranya, sampai hampir saja handphone-nya kulempar saking kagetnya. Kenapa dia bisa menggunakan ringtone norak seperti ini.

Sejenak aku menatap handphone-nya tanpa berkedip, membaca nomor asing yang muncul di layarnya. Tapi sudahlah, sepertinya aku tidak berhasil menebak siapa pemilik nomor asing ini.

"Halo," angkatku sambil berharap semoga yang meneleponku Aya ataupun mama yang khawatir anaknya belum pulang juga.

"Jangan harap kamu bisa melarikan diri," terdengar suara di seberang sana. Aku melongo, mencoba mencerna maksud pembicaraannya.

"Eh...siapa ya?" tanyaku setelah tidak berhasil menebak suara siapa yang sedang menelefonku. Lelaki, yang pasti bukan suara Ian, bukan juga papa. Sepertinya cuma dua orang itu saja yang kuharap meneleponku saat ini.

"Kenapa kamu belum pulang juga, sengaja kan?" tanyanya lagi. Ya ampun, apa orang ini tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar? Jelas-jelas tadi aku bertanya, kenapa dia juga balas bertanya.

"Maaf, kayanya salah sambung deh," kataku sambil menekan tombol mengakhiri panggilan.

Tidak beberapa lama handphone berbunyi nyaring lagi. Masih nomor yang sama. Apa salahku sampai diteror seperti ini.

"Aku sudah di rumahmu, mau sampai jam berapa kamu di kantor? Atau kamu mau handphone-mu aku jual aja," akhirnya kuangkat juga teleponnya setelah beberapa kali kubiarkan berdering. Tiba-tiba otakku berpikir keras. Jangan-jangan...

Flaga (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang