Tied The Knot

By kinky_geek

4.6M 54.9K 3.9K

[Sudah terbit, bisa dicari di Gramedia/toko buku lainnya/toko buku online] #2 The Tied Series (Bab 7 s/d epil... More

1 - The Wedding
2 - Honey...WHAT?!
3 - Honey-vacation
4 - What's Wrong With Us?
5 - Asshole Boyfriend becomes a Lovely Husband
PENGUMUMAN
Rencana Terbit
Rencana PO
GIVEAWAY WATTPADLIT
Winter Season Wattpadlit
pengiriman TTK

6 - Marshmallow Kiss

172K 9K 488
By kinky_geek

DEE

Aku agak nggak percaya saat Rian ternyata menawarkan diri untuk menjemputku. Uwi terlihat sangat bangga karena teorinya berhasil. Walaupun menurutku itu belum membuktikan apa-apa.

Maksudku, terlepas dari hubungan aneh kami, Rian memang suami yang baik. Saat dia nggak ada meeting pagi, yang berarti bisa tiba di kantor sedikit siang, dia selalu menawarkan diri mengantarku ke butik. Tapi ini memang pertama kalinya dia menjemputku, karena biasanya aku selalu pulang lebih dulu.

Dari jendela kafe, aku melihat Fortuner hitam dengan plat B 121 AN berhenti di tepi, tidak masuk ke tempat parkir. Aku menyambar hand bag-ku, berjalan keluar kafe. Uwi sudah pulang lima menit lalu. Aku menawarkannya ikut denganku dan Rian, karena masih searah, tapi dia menolak karena ingin membiarkanku berduaan.

Aku mendekati mobil Rian, membuka pintu depan, dan terpaku.

Seorang wanita duduk di sana.

"Oh, sori, sori." Wanita itu segera melepas seatbelt-nya, dan turun.

Aku masih terpaku saat dia pindah ke bangku belakang. Sampai Rian menegurku. Aku masuk, menutup pintu di sampingku, dan memasang seatbelt.

"Ini Jess, teman kantorku. Mobilnya lagi masuk bengkel, satu tower juga sama kita, jadi sekalian." Rian menjelaskan padaku.

Aku menoleh ke arah wanita itu, Jess, untuk menyunggingkan senyum kecil. Dia balas tersenyum padaku, sebelum kembali memainkan ponselnya.

"Kamu udah makan malam?" tanyaku pada Rian, hanya sekadar mencari bahan obrolan.

"Belum," jawabnya. "Tadi meeting terakhir batal. Makanya bisa pulang cepat."

"Lo dapet proyek sama Pak Makiel, ya?" Jess tiba-tiba bersuara.

"Iya. Bareng Gio sama Rania juga."

Jess mendengus. "Gue gedek banget sama tuh cewek. Modal apa sih dia sampe bisa bikin bos segitunya?"

Oke... aku terdiam kali ini. Bukan karena nada suara Jess, tapi karena aku sama sekali tidak tahu apa, atau siapa, yang sedang mereka bicarakan.

"Dia baik kok," gumam Rian. "Pinter lagi. Dulu berapa kali pernah ikut gue sama Gio nongkrong. Gue pikir mereka pacaran dulu."

"Ya gitu deh dia. Semua aja yang punya potensi diembat. Udah dapet Gio, ada kakap yang lebih gede, ya ganti sasaran."

Rian hanya berdecak, tidak menanggapi, memilih mengganti obrolan tentang siapa pun perempuan yang dibicarakan Jess.

Aku benar-benar jadi kambing congek di sana. Rian dan Jess asyik mengobrol, membicarakan pekerjaan, yang jelas tidak kumengerti. Sesekali Rian melibatkanku, yang hanya bisa kubalas dengan tawa tidak jelas.

Akhirnya aku memilih diam sepenuhnya, mengeluarkan ponselku, berharap para sahabat sintingku sedang ribut di grup.

Gina sedang mengeluh tentang baby sitter anaknya yang bermasalah dengan PRT. Diantara kami berempat, Gina yang pertama menikah. Kemudian aku. Uwi dan Artha masih asyik dengan karier tanpa pernah peduli dengan pertanyaan orang-orang tentang status lajang mereka. Aku memilih bergabung dalam obrolan para sahabatku, daripada obrolan apa pun yang sedang berlangsung di mobil ini.

Me: emang PRT ga bisa dirangkap jadi baby sitter ya?

Gina: ga ada larangan sih. Tapi ilmunya beda. Baby sitter itu emang ada pelatihannya, gimana ngurus bayik. Kalo PRT kan sebatas ngurus rumah.

Artha: Tapi baby sitter kadang merangkap jadi daddy sitter, CMIIW.

Uwi: LOL.

Gina: KUTU MONYET!

Aku tertawa, membuat obrolan Rian dan Jess terhenti. Aku melirik mereka. "Sori," ucapku, sebelum kembali pada ponsel.

Artha: serius tauk. Temen kantor gue ada yg lagi ngurus cere gara" lakinya kepergok grepe" si nanny pas temen gue lagi me time. Jadi selain boboin anaknya, si laki juga diboboin.

Gina: jahat lo, Ar. Sumpah. Gue parno jadinya!

Uwi: cari nanny yang udah berumur ajalah, Na. Lebih terpercaya juga kayaknya. Jamin, laki lo ga bakal boboin.

Artha: pelajaran buat Dee nih. Ga usah pake nanny. Wkwkwk

Gina: Dee sih enak. Kerja sama mertua sendiri. Cuti hamil, izin mau imunisasi anak, pasti dibebasin. Lah kebaikan cucu sendiri.

Aku ingin tertawa sumbang membacanya. Bagaimana aku bisa hamil, memikirkan tentang imunisasi anak, kalau suamiku saja tidak mau menyentuhku?

Artha: Dee nongol awal doang nih. Beda banget aura manten baru. Jam segini pasti asyik bobo-boboan.

Aku menghela napas, menyimpan kembali ponselku ke dalam tas, dan memandang ke luar jendela. Rian dan Jess masih mengobrol, entah apa. Aku benar-benar bersyukur saat mobil Rian berbelok memasuki apartemen kami, menuju basemen.

Kupikir cobaan menjadi kambing congek di mobil sudah paling menyebalkan. Ternyata itu tidak ada apa-apanya saat kami berada dalam lift. Aku melipat tangan di depan dada, sementara di depanku, Rian dan Jess masih melanjutkan obrolan mereka. Aku benar-benar terganggu sekarang. Bukan hanya karena diabaikan, tapi karena Jess seperti sengaja berdiri terlalu dekat dengan Rian hingga bahu mereka terus bersentuhan. Padahal lift itu kosong, hanya diisi kami bertiga. Masih banyak ruang untuknya tanpa harus menempel dengan suamiku seperti itu.

Lift berhenti di Lantai 16, tempat Jess tinggal.

"Duluan, Yan," ucapnya, sengaja mengusap pelan lengan Rian. Sementara untukku, dia hanya menyunggingkan senyum tipis, yang kubalas seadanya.

Lift kembali bergerak menuju Lantai 24. Aku dan Rian hanya saling diam. Aku nggak berminat mengobrol. Sepertinya, dia juga nggak tertarik membangun percakapan denganku.

Suasana hening itu dirusak oleh bunyi keruyukan dari perut Rian. Dia menoleh padaku dengan wajah malu.

"Kamu beneran belum makan?" tanyaku. "Kenapa tadi nggak berhenti dulu, di mana gitu, buat beli makan."

Rian menggaruk kepalanya. "Kamu kelihatan bad mood banget tadi. Jadi aku pikir pengin cepet sampe rumah."

Jadi... dia sadar aku nggak nyaman dengan suasana tadi. Tapi, dia tetap mengobrol dengan Jess. Apa dia tidak tahu kalau sumber dari rasa nggak nyamanku itu karena interaksi mereka?

Kenapa sih laki-laki harus tercipta nggak peka?

Lift itu kembali berhenti di Lantai kami. Aku keluar lebih dulu, sementara Rian mengiringi di sampingku. Begitu tiba di depan unit kami, aku memasukan card key dan menekan password untuk membuka pintu.

"Kamu mau makan apa?" tanyaku, seraya menyalakan lampu.

"Nanti aku bikin Indomie aja. Mau mandi dulu," jawabnya.

Aku membiarkannya ke kamar dan mandi lebih dulu, sementara aku sendiri berjalan ke dapur. Aku meletakkan hand bag­-ku di sofa ruang tengah, lalu mengecek bahan-bahan yang ada di kulkas, menimbang mana yang kira-kira bisa kumasak cepat. Aku nggak mungkin membiarkan Rian hanya makan Indomie. Apa kata mertuaku nanti? Bisa-bisa aku dinilai tidak becus mengurus suami.

Hal pertama yang kulakukan adalah menanak nasi. Aku menemukan paha ayam utuh dan tahu yang belum diolah, mengeluarkannya dari kulkas. Aku memutuskan membuat ayam panggang kecap dan tahu goreng. Setelah menyiapkan semua bahan, aku mulai memasak.

Konsentrasiku sedikit terpecah saat aroma mint dari sampo dan sabun yang biasa dipakai Rian tercium. Saat menoleh, aku melihatnya sudah berada di dapur.

"Tunggu bentar ya. Ayamnya belum mateng," ucapku. "Kamu ngemil tahu goreng aja dulu, buat ganjel." Aku menyodorkan piring yang sudah berisi tahu goreng padanya.

Rian menerima piring itu, dan duduk di kursi bar.

Aku kembali konsentrasi pada ayam panggangku, menjaganya agar nggak gosong. Rian suka ayam kering, nggak suka yang masih juicy. Menurutnya, yang juicy itu belum matang, sedangkan yang kering berarti sudah matang sepenuhnya.

Begitu selesai, aku menyajikannya pada Rian, bersama nasi panas dan air dingin.

"Makasih," ucap Rian.

"Udah tugasku, Yan," balasku. "Ya udah, kamu makan. Gantian aku yang mandi."

Dia tersenyum kecil, lalu mulai menikmati masakanku dengan lahap.

**

RIAN

Gue beneran bisa ketagihan masakan Dee. Selama ini, baru masakan Nyokap yang bisa bikin gue makan kayak orang kelaparan gini. Gue emang lagi lapar sih, tapi makanan lain nggak banyak yang bikin gue menikmatinya sebrutal ini. Untung dia pergi mandi, nggak ikut menemani gue makan. Kalau dia lihat cara makan gue kayak manusia gua gini, kan malu!

Dalam setengah jam, dua piring nasi, sepotong paha ayam utuh, dan sepiring penuh tahu goreng, berhasil masuk ke perut gue. Enak, gila! Kalau nanti gue pensiun, mungkin gue bisa ajak Dee buka rumah makan ayam bakar. Padahal itu cuma bumbu kecap. Tapi nggak tahu gimana bisa seenak itu.

Gue bersandar kekenyangan di kursi bar. Nggak bisa gerak. Dee kembali ke dapur, tampak segar habis mandi, dengan handuk membelit rambutnya. Gue suka aroma Dee setiap dia selesai mandi. Harum. Gue pernah iseng mengendus sabun mandinya, yang dilabel bertuliskan aroma bunga tropis, tapi menurut gue nggak seenak pas aroma itu gue cium langsung dari Dee.

"Aku aja yang cuci," ucap gue, saat Dee membereskan piring kotor gue dan membawanya ke tempat cuci piring. "Kamu udah masak."

"Nggak apa-apa," balasnya, tetap mencuci semua piring kotor dan perlengkapan masak yang tadi digunakannya.

Gue memaksakan diri turun dari kursi, membantunya cuci piring. Sementara Dee menyabuni dan membilas, gue bagian mengeringkan dan menyusunnya ke rak.

Begitu selesai, Dee membuat cokelat panas untuknya dan menawarkan gue. Tadinya gue berniat langsung tidur. Tapi, gue menerima tawarannya dan ikut duduk-duduk di ruang tengah. Dee menyalakan TV, memutar saluran TV kabel.

"Nonton apa?" tanya gue, basa-basi.

"Empire. Serial luar."

"Oh..." Gue menyesap cokelat, ikut menatap layar TV. "Tentang apa?"

Dia lalu menceritakan secara ringkas jalan ceritanya. Tentang persaingan di dunia musik, perebutan kekuasaan, sampai perang keluarga. Gue nggak terlalu paham, tapi gue mendengarkan ceritanya.

Gue pernah bilang nggak kalau Dee punya suara lembut?

Setelah seharian di kantor, yang kadang dipenuhi suara keras, berisik, nggak jelas, suara Dee kayak air es di tengah gurun. Bikin adem.

Najis banget ya, gue? Gue juga jijik sendiri.

Tapi, itu beneran. Semua yang ada di diri Dee itu bertolak belakang sama hidup yang gue jalani selama ini. Dia pendiam, tapi enak diajak ngobrol. Nggak kayak cewek-cewek lain yang gue kenal, yang doyan nyerocos tanpa ujung-pangkal.

Gue mengamati gimana bibir mungil Dee bergerak selama dia bicara, sementara pandangannya nggak beralih dari TV. Gue masih inget gimana rasanya bibir itu pas nempel di bibir gue tadi malam.

Gue kaget, jujur aja. Saking kagetnya, bikin gue jadi salting dan nggak tahu harus apa. Jadi, gue milih lanjut tidur. Rasanya gue pengin nendang diri sendiri karena sudah bertingkah kayak perjaka ingusan yang ciuman pertamanya dicolong.

"Gitu ceritanya..." Dee mengakhiri penjelasannya.

"Oh... seru, ya," balas gue, padahal gue nggak denger apa yang dia omongin karena lebih asyik memandangi bibirnya. "Ehm... Dee," panggil gue.

Dee menoleh, agak mendongak. "Ya?"

Salah nggak sih kalau gue pengin cium dia? Nggak kan? Demi seluruh angel Victoria's Secret, dia bini gue!

"Kenapa, Yan?"

"Kamu belum ngantuk?"

DAMN!!!

Seseorang, tolong tendang selangkangan gue sekarang juga! Siapa tahu itu bisa bikin otak gue balik waras!

"Belum. Tadi siang minum kopi sih. Kamu tidur duluan aja kalau ngantuk."

"Ya udah..." Gue meletakkan gelas cokelat yang sudah kosong di meja kopi. Baru akan beranjak, gue mendapati dia masih menatap gue. Mata bundarnya kelihatan cantik banget. Membuat gue urung berdiri.

"Kenapa?" tanyanya, bingung.

"Ada yang ketinggalan," gumam gue.

Sebelum dia bertanya lagi, sebelum sisi cemen gue kembali muncul, gue melakukan satu hal yang sudah pengin gue lakuin sejak semalam.

Gue menciumnya, tepat di bibir.

Kalian tahu marshmallow, kan? Pernah ciuman sama itu?

Kira-kira begitulah yang gue rasain sekarang. Bibir Dee memang mungil, tapi cukup penuh, dan... lembut banget. Gue mengecup pelan, nggak berani lebih. Takut dia kabur.

Dee nggak bereaksi. Dia diam, sementara gue mencicipi bibirnya. Dia nggak membalas ataupun menjauh. Saat gue menarik diri, gue mendapati mukanya sudah semerah kepiting rebus.

Gantian dia yang salting sekarang. Entah kenapa, itu bikin gue senang. Rasanya sudah lama banget gue nggak ketemu perempuan yang masih bisa tersipu habis gue cium. Kalaupun muka mereka merah, itu pasti karena terangsang.

"Boleh, kan?" tanya gue, mengembalikan pertanyaannya semalam.

Wajahnya makin merah, bikin gue gemas setengah mati. Ini perasaan baru. Gue nggak pernah gemas sama perempuan. Biasanya, gue terangsang.

"Boleh..." jawabnya dengan suara pelan.

"Berarti boleh lagi?"

Dee menatap gue kaget. Gue juga kaget sih, tapi ya sudahlah. Sudah terlanjur keluar. Lagian, gue memang pengin cium dia lagi.

Kalau dia memperbolehkan.

Tapi, gue nggak menunggu jawabannya lewat kata-kata. Perlahan, gue kembali mendekatkan wajah ke dia. Lalu, gue berhenti sebelum bibir kami benar-benar menempel. Gue sengaja kasih waktu kalau dia mau kabur. Tapi, dia diam di tempat, seolah mempersilakan gue.

Bibir kami kembali bertemu. Gue kembali merasakan cokelat bercampur mint dari pasta giginya. Marshmallow cokelat dan mint. Perpaduan rasa yang bikin gue gila malam ini. Kali ini, gue memberanikan diri melumat sedikit lebih keras, bukan cuma kecupan lembut. Gue mengulum bibirnya, mengisap pelan.

Saat gue sudah hampir mabuk karena rasa bibirnya, Dee membalas ciuman gue. Gerakannya agak kaku, terkesan malu-malu dan kikuk. Gue menarik diri.

Dia mengerjap, menatap gue. "Salah, ya?" tanyanya, dengan wajah merah padam

"Itu... ciuman pertama kamu?" tanya gue.

Dia menunduk, terlihat sangat malu. "Iya..." jawabnya.

Ya Tuhan... terkutuklah gue.

Gue mengusap pipi Dee, membuatnya kembali menatap gue. "Nggak ada yang salah kok," ujar gue, menenangkan.

Dia tampak nggak percaya.

Gue berdeham. "Mau coba lagi? Aku janji lebih pelan-pelan."

Rona merah yang mulai gue suka, kembali muncul di pipinya. Begitu dia mengangguk, gue kembali menciumnya.

Malam ini, gue ngerasain ciuman tanpa lidah terbaik di sepanjang 30 tahun hidup gue.

**


Continue Reading

You'll Also Like

8.4M 553K 93
[13+] [WARNING! Alur cerita dapat membuat diri anda baper] Pasangan suami istri Gio dan Mel dikaruniai anak kembar yang mereka beri nama Qila dan...
4.6M 54.9K 12
[Sudah terbit, bisa dicari di Gramedia/toko buku lainnya/toko buku online] #2 The Tied Series (Bab 7 s/d epilog sudah dihapus) Tiga hal paling pentin...
17.1M 728K 40
Dihianati dan ditinggal nikah. Dua hal yang membuat Celin terpuruk dan tidak mau mengenal lagi kata Cinta. Tetapi kemunculan sosok baru dihidupnya ya...
663K 85.7K 30
Cover By @an-apocalypse Bayangkan, dengan keadaan survivor di luar dinding yang mulai kehilangan rasa kemanusiaannya. Dan sanggup membunuh hanya demi...