Tied The Knot

By kinky_geek

4.6M 54.9K 3.9K

[Sudah terbit, bisa dicari di Gramedia/toko buku lainnya/toko buku online] #2 The Tied Series (Bab 7 s/d epil... More

1 - The Wedding
2 - Honey...WHAT?!
3 - Honey-vacation
5 - Asshole Boyfriend becomes a Lovely Husband
6 - Marshmallow Kiss
PENGUMUMAN
Rencana Terbit
Rencana PO
GIVEAWAY WATTPADLIT
Winter Season Wattpadlit
pengiriman TTK

4 - What's Wrong With Us?

136K 7.4K 206
By kinky_geek

DEE

Aku menghela napas, menatap kosong layar komputer di depanku. Aku ingin menceritakan permasalahanku dengan seseorang, tapi nggak tahu harus cerita pada siapa tanpa menimbulkan kehebohan.

Seolah menjawab doa yang kupanjatkan dalam hati, ponselku berbunyi. Nama Uwi muncul di layar. Uwi mungkin sahabatku yang otaknya paling kotor dan tukang cablak. Tapi dia juga jujur dan sangat bisa dipercaya untuk menjaga rahasia sekecil apa pun.

Aku mengangkat panggilannya.

"Say, nongkrong yuk ntar malem," ajaknya.

"Berdua aja apa sama anak lain juga?"

"Berdua aja. Gue kangen sama lo. Sejak nikah, lo jarang banget ikut nongki-nongki cakep."

I love Uwi. She knows me so well.

"Oke. Gue telepon Rian dulu ya, ngabarin pulang telat."

Yah, walaupun aku tidak yakin dia akan pulang lebih cepat dariku. Tetap saja aku merasa harus bilang padanya. Dia juga selalu bilang padaku akan pulang pukul berapa jika terlambat dari biasa. Selama satu bulan menikah, dia selalu pulang di bawah pukul delapan malam. Paling cepat setengah sembilan. Tetapi juga tidak pernah sampai pulang lewat tengah malam, kecuali ada pekerjaan yang benar-benar mepet deadline. Baru satu kali aku mendapatinya pulang pukul setengah satu.

Nggak. Aku nggak berpikir macam-macam. Aku mempercayai Rian. Kalau dia berkata lembur, aku percaya dia memang lembur.

Begitu teleponku dan Uwi selesai, aku menekan nomor Rian di speeddial. Menyenangkan rasanya memiliki sesorang yang bisa mengisi daftar speed dial-ku. Selama ini daftar itu hanya diisi Uwi, Artha, dan Gina. Tapi sejak dulu, aku selalu mengosongi nomor 2, karena nomor 1 sudah ditempati voicemail. Sekarang aku bisa mengisinya dengan nomor ponsel Rian.

Yang ternyata sedang nggak aktif saat ini.

Aku ingin menoyor kepalaku sendiri. Rian hanya mengaktifkan ponselnya saat di luar kantor. Aku memutuskan mengirim pesan chat padanya.

Me: Yan, aku mau dinner sama Uwi. Pulangnya agak telat dari biasa. Kamu nanti pulang jam berapa?

Pending. Yah, apa yang kuharapkan?

Setidaknya aku sudah izin, jaga-jaga kalau ternyata dia pulang lebih cepat dariku. Kalau sudah mengobrol dengan tiga sahabatku, aku suka lupa waktu.

Aku membantu Tante Ratu menutup butik.

"Nggak sekalian Mama anter ke apartemen kamu?" tawar Tante Ratu, sebelum naik ke bangku belakang mobilnya.

Aku menggeleng, tersenyum kecil. "Dee ada janji sama Uwi, Ma."

Tante Ratu mengangguk. "Ya udah. Dah, Sayang..."

Aku sangat menikmati bagaimana Tante Ratu memanggilku 'sayang'. Aku mengecup kedua pipi ibu mertuaku itu. "Hati-hati, Ma..."

Aku memastikan mobil yang dibawa Pak Rahmat, sopir Tante Ratu, melaju meninggalkan butik, sebelum menghentikan taksi. Uwi sudah menghubungiku, mengatakan dia sudah berada di kafe tempat kami janjian. Hanya butuh 15 menit dari Queen Boutique menuju kafe itu.

Uwi menyambut kehadiranku dengan heboh, seperti biasa. Aku juga merindukannya, sebenarnya. Kami bertukar gosip sembari menunggu pesanan.

"How's your marriage life?"

Aku meneguk es teh yang kupesan. "Lumayan," gumamku.

Uwi mengernyit. "That bad?"

Aku benar-benar bingung bagaimana memulainya.

"Jadi, rumor dia PK itu beneran cuma gosip?" Wajah sahabat sintingku itu tampak kecewa. "Kemampuannya cetek ya?"

"Gue masih perawan."

"What?!" kedua mata Uwi membelalak horor. "Gimana ceritanya?"

"Sesimpel gue sama dia belum..." wajahku memerah, terlalu malu menjelaskan lebih jauh.

"Serius lo? Ini udah satu bulan, dan kalian belum pernah make love?"

Aku mengangguk.

Uwi menatapku beberapa saat. Kemudian, raut usilnya berubah serius, menandakan dia mengerti kalau situasi yang kuhadapi juga serius.

"Kenapa, Dee? Lo takut?"

"Awalnya iya," aku mengakui. "Seminggu pertama, gue lega dia nggak pernah... macem-macem. Minggu kedua juga masih biasa aja. Gue mikirnya kami emang butuh ikatan lebih buat ke sana."

"Tapi... kalian kemarin honeymoon... itu foto-foto di IG lo manis banget, gue sampe iri. Gue pikir lo udah..."

Aku menggeleng.

"Terus, sekarang lo ngerasa ada yang aneh?"

Aku menghela napas. "Gue nggak akan mikir aneh, kalau aja nggak ada kejadian semalem..."

**

Aku merasa ingin buang air kecil. Tetapi kamar mandi di kamar masih digunakan Rian sejak setengah jam yang lalu. Akhirnya aku memilih kamar mandi di luar kamar. Selesai dengan ritual itu, aku kembali ke kamar dan mendapati kamar mandi masih tertutup rapat.

Apa yang dilakukan Rian di dalam sana?

Ini bukan pertama kali dia menghabiskan waktu lebih lama di kamar mandi. Biasanya, dia hanya sepuluh menit di sana, lima belas menit jika ditambah pup. Tapi, ada hari-hari tertentu di mana dia menghabiskan lebih dari setengah hingga satu jam. Aku nggak tahu apa yang dilakukannya selama itu. Terlebih karena aku nggak mendengar suara air atau apa pun di kamar mandi. Hanya sunyi.

Karena penasaran, aku memutuskan menguping. Sungguh, aku nggak bermaksud apa-apa. Hanya ingin tahu. Jadi, aku menempelkan telingaku di daun pintu.

Wajahku seketika memanas saat mendengar desahan di dalam. Desahan berat. Suara Rian.

Seketika aku tahu apa yang dilakukannya jika berada di kamar mandi dalam waktu lama. Yang jadi pertanyaanku, dia memilikiku sebagai istri. Aku tahu kewajibanku. Dia juga tahu kewajibannya bukan hanya sebatas nafkah lahir. Mengapa dia nggak mendatangiku?

Mengetahui dia lebih memilih... memuaskan diri sendiri daripada mencoba denganku, entah mengapa membuatku sedih. Dan merasa nggak berguna.

Aku tahu kami nggak saling cinta. Tapi aku ingin pernikahan ini terasa sungguhan. Bukan hanya status. Aku ingin membentuk keluarga dengannya. Memiliki anak darinya. Bukan hanya untuk membahagiakan ibu mertuaku, tapi juga untukku sendiri.

Aku nggak mengatakan apa-apa saat Rian keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan celana pendeknya. Aku menarik selimut lebih tinggi saat dia berbaring di sebelahku.

"Tidur sekarang?" tanyanya, bersiap mematikan lampu.

Aku hanya mengangguk.

Lampu kamar meredup. Rian menarik selimut hingga pinggul, lalu berguling menyamping, memunggungiku.

"Yan..." panggilku.

Dia menoleh. "Ya?"

Sesaat, aku diam. Kemudian, aku hanya mampu berkata, "Mau nggak tidurnya ngadep aku malam ini?"

Awalnya dia terlihat bingung. Mungkin permintaanku terasa aneh baginya. Tapi dia menurut, berguling ke sisi lain hingga menghadapku.

Kami bertatapan. Hanya sebentar, karena kemudian dia memejamkan mata dan mulai tidur. Aku mengamati wajahnya dalam keremangan. Apa yang baru saja kuketahui membuatku sadar kalau Rian masih membangun jarak di antara kami. Padahal kupikir hubungan kami sudah lebih dekat.

Entah keberanian dari mana, aku mencondongkan tubuh ke arahnya, dan mengecup bibirnya. Hanya kecupan sekilas.

Rian kembali membuka mata, menatapku kaget.

"Boleh, kan?" tanyaku, mengabaikan gemuruh yang seketika muncul di dadaku.

Dia berdeham. "Boleh," jawabnya.

Kupikir setelah itu dia akan balas menciumku atau apa. Tetapi nggak. Dia malah menarik selimut hingga menutupi kepalanya dan melanjutkan tidur.

**

"Poor you," komentar Uwi saat aku menyelesaikan ceritaku.

"I know," balasku. "What should I do, Wi? Kenapa dia nggak mau nyentuh gue? Sekedar cium atau apa gitu pun nggak..."

Uwi berdeham. "Kontak fisik paling jauh yang dia lakuin ke elo apa?"

"Pegang tangan pas nyebrang."

"Shit. You must be kidding me."

"No, I'm not."

"Oke..." Uwi menegakkan tubuhnya. "Mungkin... mungkin, ya, dia sebenernya pengin, tapi takut elo tolak."

"Gue udah nyium dia duluan," aku mengingatkan. "Dan dia lanjut tidur. Seolah ciuman gue ya gitu doang, nggak ngefek apa-apa."

"Lo bukan nyium. Cuma nempelin bibir."

Aku mengernyit.

"Pake lidah nggak?"

Wajahku merona. "Ya nggak lah!"

"Nah. Nempel bibir doang tuh ciuman sama bayi. Bukan salah dia jadinya lempeng gitu."

"Ntar kalau gue agresif, dia malah ... jijik."

"Honey, percaya gue. Cowok kayak Rian seneng-seneng aja kalau pasangannya bisa agresif. Sekarang yang jadi masalah, lo siap mental nggak kalau emang ternyata ntar ditolak?"

Aku menggeleng. Untuk menciumnya sekilas semalam saja aku butuh nyali besar. Apalagi untuk lebih dari itu.

"Kalau gitu, lo mulai dari yang ringan-ringan aja. Tiap dia berangkat atau pulang kerja, lo cium tangan nggak?"

Aku kembali menggeleng.

"Coba dimulai. Terus, lo juga pas dia pulang kerja, tawarin pengin dipijet apa nggak. Tapi nggak usah tunggu dia terima, langsung pijet aja pundaknya. Nggak usah pegang-pegang yang lain dulu."

"Emang gue mau pegang apaan?" omelku.

Uwi menyeringai. "Lo pinter pijet, itu modal gede nyenengin suami tahu. Jangan sia-siain. Jaman sekarang pinter pijet lebih penting daripada pinter masak. Nggak bisa masak bisa beli makan di luar. Nggak bisa pijet, suami pijet di luar malah bahaya."

"Gitu, ya..."

Uwi mengangguk, menghabiskan minumannya. "Coba aja deh mulai sentuhan-sentuhan kecil gitu. Kalau udah ngerasa nyaman, baru ke sentuhan yang lebih gede."

Aku belum sempat menjawab, karena ponselku bergetar. Balasan pesan dari Rian.

Rian Hubs: Ini udah mau jalan pulang. Kamu pulang jam berapa? Salam buat Uwi.

Aku sedikit kaget membacanya. Ini baru pukul tujuh lewat lima. Tumben...

"Wi, gue pulang ya," ucapku.

"Lho? Baru duduk! Nggak seru ah, lo..."

"Rian udah jalan pulang. Gue pikir paling nggak satu jam lagi dia baru jalan. Nggak enak gue kalau dia kelamaan di rumah sendirian."

"Ya elah, Dee. Sebelum kawin juga dia sendirian."

Aku berdecak. "Beda, Wi... gue nggak mau suami di rumah udah leyeh-leyeh, gue masih kelayapan."

Uwi menghela napas. "Ya udah..." ucapnya, pasrah. "Eh! Coba minta jemput."

"Hah?"

"Cepetan. Bales, minta jemput."

"Muter dong dia. Kasihan ah."

Uwi terlihat benar-benar geram padaku. "Dee, lo mau hubungan kalian ada kemajuan nggak?"

"Ya mau..."

"Ya udah! Tes aja. Bilang lo juga udah mau pulang, lagi nunggu taksi. Lihat reaksi dia. Kalau dia peduli sama istrinya, kayak lo peduli banget sama dia. Dia pasti nawarin buat jemput. Habis itu terserah elo mau nerima apa nggak."

Saat aku masih terlihat ragu, Uwi memelototiku. Akhirnya aku mengetik balasan.

Me: tumben cepet? Ini aku juga udah kelar, cuma makan aja. Lagi nunggu taksi.

"Udah?" tanya Uwi.

Aku mengangguk. Chat itu juga sudah terkirim, namun belum dibaca. Jantungku berdebar, seolah sedang menunggu balasan chat dari gebetan. Padahal dia suamiku. Nggak seharusnya aku segugup ini.

Saat status chat-ku berubah read, aku menahan napas. Terutama saat tulisan Rian Hubs is writing... muncul di bagian atas aplikasi chat-ku.

"Apa balasannya?" tanya Uwi, penasaran.

Aku menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. []

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 205K 41
Seri kedua setelah KEPING ** Sudah dihapus untuk kepentingan penerbitan. Terima kasih ?
4K 278 39
[END] [hargai saya dengan membaca cerita ini sampai bertemu kata SELESAI dan jangan lupa beri vote yaaa] [saya tantang kamu untuk membaca cerita ini...
2M 237K 36
Sashi dan Aryasa sudah resmi bercerai. Namun, hasil dari pernikahan keduanya, Andaru, bocah laki-laki berusia lima tahun membuat keduanya harus tetap...
1.9M 8.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...