Marriage In War

By abigailsyf

1.5M 107K 9.3K

Tahu cerita Tom and Jerry? Dua binatang yang tak pernah akur tetapi disatukan didalam satu rumah? Nah, lalu b... More

BAB 1 - Berita Heboh Si Penyanyi dan Si Model
BAB 2 - Do Not Kissing While Paparazzi Around
BAB 3 - Ketika Tom & Jerry Bertemu
BAB 4 - From Jalan Tol to Nightmare
BAB 5 - A Good News for Paparazzi
BAB 6 - Crazy Woman of The Year: SOFIE!!!
BAB 8 - THE WEDDING
BAB 9 - (Bukan) Honeymoon
BAB 10 - Perjanjian Dibuat untuk Dilanggar
BAB 11 - Sebuah Rasa Yang Berbahaya
BAB 12 - Antara Logika, Mungkin Gila, Atau Cinta?
BAB 13 - Aku Menggoda + Kamu Terpaksa = AKU BAHAGIA
BAB 14 - Karena Rindu Mengalahkan Segalanya
BAB 15 - Serasa Dunia Milik Berdua
BAB 16 - Mulutmu Harimaumu
BAB 17 - Jaga Jarak Aman
BAB 18 - Officially Missing You
BAB 19 - Happy Anniversary

BAB 7 - The Contract

63.8K 5.1K 217
By abigailsyf

SURAT PERJANJIAN PERNIKAHAN

Berdasarkan keputusan yang telah diambil bersama tanpa adanya paksaan antara kedua belah pihak dimana selaku pihak pertama Sofie Callistin Syanania dan selaku pihak kedua Alvaro Lazuardi Raharjasa untuk menyetujui adanya pernikahan dengan jangka waktu satu tahun dimana setelah jangka waktu tersebut habis kedua belah pihak diharuskan untuk bercerai.

Melalui surat ini, saya, Sofie Callistin Syanania selaku pihak pertama mengajukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi kedua belah pihak selama berlangsungnya pernikahan ini. Berikut diantaranya:

1. TIDAK ADA KONTAK FISIK.

2. Dilarang mengganggu kehidupan pribadi satu sama lain. DALAM BENTUK APAPUN.

3. Dilarang memiliki ketertarikan dan perasaan terhadap satu sama lain.

4. Dilarang memiliki teman dekat atau kekasih selama masa pernikahan guna menghindari bocornya rahasia tentang pernikahan kontrak ini.

5. Kedua belah pihak tinggal dirumah pihak kedua dengan kamar terpisah.

6. Tidak diperbolehkan menggunakan asisten rumah tangga guna menghindari bocornya rahasia tentang pernikahan kontrak ini.

7. Segala bentuk keperluan dan tugas rumah tangga mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci baju dan menyetrika, dilakukan secara bergilir oleh pihak pertama maupun pihak kedua. Untuk bagian mencuci dan menyetrika baju boleh menaruhnya di laundry.

8. Dikarenakan pernikahan ini akan sangat memancing rasa ingin tahu wartawan dan masyarakat, setiap seminggu sekali kedua belah pihak wajib pergi bersama agar terlihat harmonis dimana pihak kedua wajib memberikan bunga kepada pihak pertama dan harus di upload ke semua sosial media kedua belah pihak.

9. Segala sesuatu hal yang menyangkut pernikahan kontrak ini harus menjadi prioritas utama kedua belah pihak.

10. Peraturan-peraturan lain yang belum tertulis disini bisa didiskusikan bersama dan dicantumkan kemudian hari tentunya atas persetujuan kedua belah pihak.

Pihak Pertama

Sofie Callistin Syanania

***

"This is insane!" Alvaro melempar kertas-kertas itu dengan kasar ke meja.

"Are you crazy, Sofie?!" Alvaro setengah berteriak dengan matanya yang hampir copot karena terlalu memelototi Sofie.

Sofie mengernyitkan dahi.

"Dimana gilanya? Dimana bagian nggak masuk akalnya? Aku rasa semua peraturan yang aku buat masih dalam batas wajar."

Alvaro menggeram marah lalu mengambil kertas-kertas itu lagi, "Peraturan nomor 4!" tunjuknya dengan kasar.

"Kamu gila ya?! Dilarang memiliki teman dekat atau kekasih selama masa pernikahan?! Goddamnit!"

Sontak Sofie menghembuskan napas kesal begitu tahu titik permasalahannya.

"Aku cuma nggak mau ada berita buruk selama masa pernikahan ini. Aku mau kita dianggap sebagai pasangan selebriti yang harmonis, bebas tanpa gosip. Citra baik seorang selebriti sangat berdampak pada karirnya, Alvaro. Masa kamu nggak ngerti sih? Kayak artis baru aja." Ucap Sofie tak acuh.

"Tapi kita sama sekali bukan pasangan!" Potong Alvaro cepat.

"Definisi pasangan adalah dua orang saling mencintai, bebas menyentuh satu sama lain dimana pun, kapan pun, berapa kali pun semau mereka! But, this?! Aku nggak boleh menyentuh kamu tapi aku juga nggak dibolehin menyentuh perempuan lain?! Oh, God! I HAVE NEEDS, SOFIE! Dan aku harus menahan itu selama setahun?! I'm die now!" Tanpa sadar Alvaro menggebrak meja membayangkan nasib buruk yang akan diterimanya setahun ke depan.

Bola mata Sofie memutar dengan sempurna melihat kelakuan Alvaro.

"Okay, I'll give you an advice, then." Ucap Sofie kemudian.

Alvaro melirik tanda mulai tertarik.

"Go to the market and buy some lotion. Ups, sorry. A lot of lotion, I mean." Lanjutnya sambil pura-pura membenarkan kalimatnya.

Kernyitan di dahi Alvaro mulai muncul. Ia bingung maksud perkataan Sofie yang tak singkron dengan permasalahn ini.

Kemudian dengan senyum mengejeknya Sofie kembali berkata, "And... use it properly with your hands." ucapnya menekankan kata 'properly'.

Sekarang Alvaro mulai paham.

"Dan aku yakin seratus persen kamu bisa bertahan selama setahun." Jelasnya diakhiri dengan bersidekap angkuh.

MENGANGA. Hanya itu reaksi balasan dari Alvaro saat mendengar perjelasan Sofie.

"Kamu sama aja ngebunuh aku pelan-pelan, Sofie..." Ucap Alvaro frustasi sambil menatap ke bawah.

Satu tahun hanya dengan lotion?
Poor my junior!

Sofie menatap Alvaro dengan jijik. "Jangan berlebihan deh. Banyak laki-laki lain yang bisa bertahan lebih dari setahun."

"But I'm not!" Alvaro mulai emosi.

Sofie malah mengedikan bahu tanda tak peduli.

"Kamu nggak punya rasa kasihan sama sekali!" Makinya sambil menghempaskan diri dengan pasrah ke sofa.

Merasa bahwa tak ada tanda-tanda Sofie akan merubah perjanjiannya, akhirnya Alvaro mengambil kertas sialan itu dan mulai membacanya kembali.

Terus terang, untuk peraturan nomor 1 sampai 3 lelaki itu tak mempermasalahkannya sama sekali. Bukan karena ia mampu untuk melakukannya, melainkan hal itu akan menjadi ajang balas dendamnya kepada Sofie atas peraturan nomor 4 yang tak masuk akal. Alvaro bertekad untuk membuat Sofie lah yang melanggar peraturan nomor 1 sampai 3 terlebih dahulu dengan suka rela atau bahkan meminta kepadanya.

Kalian ingat kan perkataan Alvaro? Menikahi seorang Sofie Callistin Syanania adalah tantangan baginya.

Peraturan nomor 5 sampai 7 pun tak begitu berpengaruh baginya. Malahan, dengan Sofie tinggal dirumahnya membuat Alvaro memiliki begitu banyak ide untuk melakukan jebakan-jebakan kotor terhadap Sofie. Selain itu Alvaro memang sudah terbiasa hidup mandiri dan mempersiapkan segala sesuatunya seorang diri. Apalagi hanya sekedar tugas dan keperluan rumah. Itu masalah kecil!

Tapi ketika matanya sampai pada peraturan nomor 8 dan 9, ada sesuatu yang menggelitik dirinya.

"Ngedate dan beliin kamu bunga setiap seminggu sekali? Harus diupload ke semua sosial media dan harus memprioritaskan pernikahan ini? Hhmm, kayaknya kamu banyak mengambil keuntungan ya disini." Kata Alvaro menyeringai.

Sofie yang sedari tadi bersikap like a boss sontak terkaget-kaget karena tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Dan ia bingung sekarang.

"Per... pertama, ki...kita hanya pergi bersama dan bu...bukan ngedate." Ucap Sofie berusaha setegas mungkin diantara kegagapan yang tiba-tiba melanda.

"To...tolong di... garis bawahi, bah...wa pergi bersama dan ngedate a...adalah du...dua hal yang berbeda. Sangat." Lanjutnya lagi masih dengan gagapnya yang tiba-tiba itu.

Melihat Alvaro yang menertawakan gaya bicaranya, akhirnya Sofie memilih untuk diam agar kewibawaannya terlihat kembali.

"Yang kedua, masalah bunga dan sosial media. Itu hanya sebagai pencitraan kita sama masyarakat dan wartawan aja, Varo." Ucap Sofie saat kegagapannya sudah hilang dan kembali pada nada bossy yang sedari tadi ia pakai.

Rupanya Alvaro malah mengeluarkan smirk beracunnya sambil menaikan sebelah alisnya curiga, "Pencitraan untuk kita atau hanya untuk pencitraan kamu?"

"Sepertinya kamu mau membuat cerita seolah-olah hidup kamu ini sangat bahagia karena bersuamikan seorang Alvaro Lazuardi Raharjasa yang sangat mencintai istrinya ya?" Lanjut Alvaro begitu puas saat mengucapkan kalimatnya ini.

Tapi entah kenapa kalimat Alvaro barusan langsung menyadarkan Sofie akan satu hal.

"Kamu jangan lupa apa tujuanku menikah sama kamu." Ucap Sofie sinis.

"Balas dendam." Tekannya pada setiap kata.

"Jadi, jelas aku harus terlihat sangat bahagia. Paham?"

Seketika rahang Alvaro mengeras mendengar ucapan Sofie. Timbul perasaan marah dan kecewa saat Sofie berkata seperti itu. Hhhm, aneh... padahal sedari awal pun ia sudah tahu tujuan utama dari pernikahan ini. Tapi kenapa rasanya semarah dan sekecewa ini ya?

Dan sekarang tanpa keduanya sadari suasana di ruangan menjadi hening.
Atmosfer diantara keduanya pun berubah canggung. Sofie yang pertama kali menyadari hal ini akhirnya berinisiatif untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu.

"Kamu punya persyaratan lain yang mau ditambahkan, mungkin?"

Perlahan pandangan mata Alvaro beralih ke Sofie. Rasa kecewa dan marah itu berganti menjadi sebuah tatapan penuh misteri.

"Three Sofie's yes card."

Alis Sofie langsung berkerut mendengar perkataaan Alvaro.

"Maksud kamu?"

Kemudian sebuah senyum yang tak dapat didefinisikan artinya muncul di ujung bibir lelaki itu.

"Jadi, selama pernikahan ini berlangsung aku punya hak untuk meminta apa saja ke kamu sebanyak tiga kali dalam bentuk apapun, situasi apapun, dimana pun, kapan pun. And as I said before, this is three Sofie's yes card. So, you can't say no."

Penjelasan Alvaro sukses membuat bola mata Sofie membesar.

"Oh, nggak bisa," Tolaknya mentah-mentah. "kamu pasti akan ngegunain hal itu untuk berbuat hal negatif, hal jorok atau sesuatu yang nggak masuk akal." Ucap Sofie jadi emosi.

Sepertinya suasana hening dan canggung beberapa detik lalu sudah hilang dan digantikan oleh satu atmosfer lain yang sudah ada sejak pertama kali mereka bertemu. Peperangan.

Dan itu terbukti dari decakan jengkel yang keluar dari mulut Alvaro. "Dangkal banget sih pikiran kamu, Sof." Katanya geleng-geleng kepala.

"Ya karena aku tahu isi otak kamu itu kalau bukan bibir sama dada perempuan, ya pahanya. Bener kan?!" Tuduh Sofie kesal.

Alvaro kembali menggelengkan kepalanya ditambah ekspresi tersinggung yang dibuat-buat dimana membuat Sofie menatapnya jijik. Tapi kemudian saat ekspresi Alvaro berubah menjadi seringai licik, Sofie tahu lelaki itu tak akan membuat ini menjadi mudah begitu saja.

"Kalau kamu nggak mau terima persyaratan tambahan dari aku ini, aku nggak mau nikah sama kamu."

See? Apa yang aku bilang benar kan?

"No, you can't. Kita sudah deal, Alvaro." Ucap Sofie berusaha tenang walau dalam hati ia mulai cemas.

"Yes, I can." Ucap Alvaro yakin. "Aku bisa ngebatalin semua ini sekarang juga."

"Kamu nggak akan berani. Kamu akan malu, Alvaro. Berita pernikahan kita sudah tersebar luas. Kamu akan jadi santapan wartawan setiap hari dan hidup kamu nggak akan tenang." Sofie pun mulai melancarkan ancaman balasan.

Tapi sepertinya ancaman Sofie tak membuat Alvaro takut sedikit pun. Lelaki itu malah tersenyum sinis sekarang.

"Aku nggak peduli apa kata orang. Aku nggak peduli walau setiap hari aku dikejar wartawan. Ini hidup aku dan aku bebas menentukan apa kemauanku."

Sofie ditempatnya semakin cemas.

"So, yes or no, Sofie Callistin Syanania?" Tanya Alvaro sambil menyebutkan nama panjang Sofie dengan nada begitu... mengejek.

"C'mon, Sof... aku cuma minta tiga permintaan diantara peraturan kamu yang banyak dan rumit itu. Aku bahkan nggak minta revisi sama sekali untuk peraturan yang kamu buat." Kata Alvaro lagi dengan senyum yang membuat Sofie ingin mendaratkan bogem mentahnya pada wajah tampan di depannya ini.

"No." Jawab Sofie cepat dan tetap pada pendiriannya. Ia tak boleh kalah dengan ancaman omong kosong Alvaro.

Rupanya jawaban Sofie membuat Alvaro tertawa kencang.

"Okay," Katanya misterius. Kemudian Alvaro terlihat merogoh sakunya dan mengeluarkan handphone miliknya. "aku akan telepon wartawan sekarang juga untuk datang kesini dan bilang sama mereka kalau pernikahan kita batal."

"Kamu nggak akan berani." Ucap Sofie masih dengan kepercayaan diri tinggi walau dalam hati kecemasannya sudah naik menjadi 90%.

Dan ketika Alvaro melihat bahwa Sofie masih bersikeras dengan kepala batunya itu, akhirnya Alvaro melakukan sedikit trik kotor dengan memencet beberapa tombol dengan asal seakan-akan ia memang menelepon wartawan dan mendekatkankan handphonenya ke telinga.

Dalam hati Alvaro yakin tindakannya ini akan membuat Sofie menyerah dan menuruti permintaannya. Ia tahu Sofie tak akan bisa menolaknya kali ini.

Pernikahan dan segala balas dendam butanya itu. Mau ditaruh dimana muka cantiknya kalau semua ini batal?

Kecemasan Sofie sudah berganti menjadi kepanikan 100% saat handphone lelaki itu sudah menempel ditelinganya. Sepertinya Sofie harus mengalah kali ini...

"Okay, deal!" Teriak Sofie pada akhirnya.

Alvaro langsung menyeringai puas dan pura-pura memutuskan panggilan.

"That's my girl." Kata Alvaro bangga.

Sofie yang sudah malas berdebat hanya memberikan dua jari tengahnya tinggi-tinggi ke depan wajah Alvaro sebagai balasan.

"Biar sah, kita salaman dulu dong..."
Ucap Alvaro mengulurkan tangannya.

Sofie yang merasa jengkel, sebal, marah dan terkalahkan membalas uluran tangan Alvaro lalu menjabatnya dengan tak ikhlas.

"Thank you." Ucap Alvaro dengan senyum paling menjengkelkan yang pernah ia berikan ke Sofie.

Setelah itu Alvaro membenarkan letak duduknya, menegakan punggung dan bahunya sambil mengusap-usap tangannya dengan ekspresi tak sabar yang makin membuat Sofie ingin mencekiknya.

"So, dimana aku harus tanda tangan?"

***

"Kamu mau ngapain sih?" Alvaro menatap Sofie dengan aneh mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Bagaimana tidak, kini Sofie berpenampilan seperti petugas kebersihan. Ah, bahkan petugas kebersihan pun tak pernah mengenakan atribut serumit yang Sofie pakai sekarang ini. Penutup kepala, kacamata karet transparan, masker wajah, baju steril dan yang terakhir sarung tangan.

"Tolong tunjukin dimana kamar aku." Kata Sofie tiba-tiba.

"Hah?"

Hanya itu yang keluar dari mulut Alvaro karena ia sangat bingung dengan pengalihan topik yang begitu tiba-tiba.

Gadis itu memutar bola matanya melihat reaksi Alvaro. "Kamar yang akan aku tempatin setelah aku pindah kesini, Alvaro! Kamu lupa ya peraturan nomor 5?! Kita tidur dikamar terpisah!"

Alvaro langsung ber'O' ria sambil mengangguk-angguk. Tapi sejurus kemudian dahinya berkerut, "Terus apa hubungannya sama baju perang kamu ini?"

Kali ini Sofie mendengus jengkel.

Apa katanya tadi?!
Baju perang?!
WHY SO STUPID!!!

Sofie memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Alvaro. Ia malah mengeluarkan sebotol cairan bening berbentuk spray dan menyemprotkannya ke arah Alvaro. Sontak lelaki itu terbatuk dan mengibas-ngibaskan tangannya.

"KENAPA KAMU SEMPROT AKU?!" Suara Alvaro langsung naik beberapa oktaf.

"Aku nggak punya banyak waktu. Cepet tunjukin kamar aku dimana." Balas Sofie tak acuh.

Alvaro yang masih bingung bercampur jengkel, kembali menatap Sofie dari ujung kepala hingga ujung kaki sampai pada satu titik ia tersadar.

"RUMAH AKU NGGAK SEJOROK YANG KAMU BAYANGIN YA, SOF!" Suaranya kembali naik beberapa oktaf.

"Jadi ini alasan kamu pakai perlengkapan dinas kebersihan?!" Tanyanya jengkel.

Sofie mengeluarkan sebuah senyum lebar sambil mengangguk, "I know, I know, rumah kamu bersih kok. Tapi... aku nggak yakin kamar yang akan aku tempati nanti bersih dari perempuan. Bisa aja kan kamar yang aku tempati itu bekas kamu pakai buat main dokter-dokteran atau guru-guruan? Who knows?" ucap Sofie makin melebarkan senyumannya.

Rasanya Alvaro ingin memusnahkan Sofie. Gadis yang sedang tersenyum menjengkelkan di depannya ini benar-benar ingin ia ikat, lalu ia taruh dibagasi mobilnya, kemudian ia bawa ke pinggiran Kali Ciliwung dan ia diceburkan agar Sofie bersatu dengan kerajaan kuman, bakteri dan lumut yang ada disana.

Tak ingin terbawa emosi, akhirnya sebuah ide jahil melintas di otaknya untuk membalas perkataan Sofie. "Mulut kamu yang sembarangan itu harus di didik dengan baik dulu deh kayaknya. Sini, Pak Guru ajarin." ucap Alvaro gemas dan mendekat kearah Sofie.

Tak menyangka kalau itulah reaksi balasan dari Alvaro, Sofie langsung was-was karena ia tahu sesuatu yang tidak baik akan terjadi dilihat dari Alvaro yang semakin mendekat ke arahnya.

Dengan senjata satu-satunya, Sofie langsung mengangkat botol spray itu tinggi-tinggi. "Jangan macam-macam atau aku akan semprot kamu lagi pakai ini!"

Alvaro tergelak ditempatnya. "Cemen, digituin aja langsung ciut."

Kemudian lelaki itu menjauh meninggalkan Sofie sambil berteriak, "Jangan diam disitu terus. Mau lihat kamarnya nggak?"

Dan Sofie langsung mengikutinya dengan gerutuan. Ia sudah kalah dua kali dengan lelaki super menyebalkan yang akan menjadi suaminya itu.

***

"Di rumah ini ada 3 kamar. Satu kamar aku dan yang dua lagi kamar tamu." Tunjuknya kearah tiga kamar yang letaknya tidak berjauhan.

"Biasanya dua kamar itu dipakai kalau ada keluarga atau temen aku yang menginap disini." Tunjuk Alvaro ke dua kamar yang letaknya bersebelahan itu.

"Nah, kamu pilih aja mau kamar yang mana diantara dua kamar itu. Besar kamar dan isi barangnya sama semua kok. Nggak ada bedanya sama sekali. Tapi kalau aku boleh saran, mending kamu pilih kamar yang paling deket sama kamar aku deh. Jadi, aku gampang kalau malam-malam mau nyelinap ke kamar kamu. Lebih deket." Jelas Alvaro sambil terkekeh.

Dan ucapan Alvaro barusan suskes membuat Sofie melayangkan satu tendangan di tulang kering lelaki itu. Tak mempedulikan teriakan kesakitan Alvaro, Sofie masuk ke dalam kamar terakhir terlebih dahulu kemudian ke kamar tengah yang letaknya lebih dekat ke kamar Alvaro. Setelah melakukan observasi kilat, memang tak ada yang berbeda diantara dua kamar tersebut. Tetapi, kamar tengah memiliki jendela dengan akses pemandangan langsung ke bawah dan jalanan.

"Aku pilih kamar tengah." Kata Sofie setelah menimbang-nimbang.

Alvaro tersenyum, "Dari awal aku udah tahu kalau kamu emang nggak mau jauh-jauh dari aku."

Sofie mendengus kesal, "Jangan ge-er deh!" bantahnya. "Aku pilih kamar tengah karena ada jendela yang pemandangannya langsung ke bawah dan jalanan! Bukan karena kamu! Siapa juga yang mau deket-deket sama kamu! Makasih banyak deh!" sungutnya emosi.

Alvaro yang terkena amukan Sofie langsung mencibir tidak jelas. Akhirnya lelaki itu memilih diam dan mengikuti Sofie yang sedang melakukan observasi lebih lanjut di kamar yang dia pilih ini.

Kadang Alvaro tergelak sendiri melihat kelakuan Sofie yang sedikit-dikit menyemprotkan spray itu ke udara atau mengangkat suatu barang dengan jijik.

Ya Tuhan, selama satu tahun ke depan gue akan berurusan dengan cewek manja super menyebalkan ini...

"Aku nggak bisa mandi kalau nggak pakai bathup." Ucap Sofie tiba-tiba memecah keheningan diantara mereka.

"Sorry?" Ujar Alvaro kalau-kalau ia salah dengar.

"Aku nggak bisa mandi kalau nggak pakai bathup." Ulang Sofie.

Alvaro menganga. Super menganga.

What the heck???!!!

"Kamar kamu ada bathupnya nggak?" Tanya Sofie yang tanpa persetujuan Alvaro langsung berjalan ke arah kamar lelaki itu.

Ketika pintu kamar Alvaro terbuka, Sofie sontak menghentikan langkahnya. Ia terpana dengan apa yang dilihatnya. Nuasa hitam putih pada dinding dan aksen kayu pada lantai serta tempat tidur khas lelaki berukuran double membuat kamar Alvaro terlihat begitu manly dan... dominan.

Bahkan mata Sofie tak bisa lepas dari tempat tidur Alvaro. Tempat tidur yang terlihat sangat nyaman untuk bergelung ketika hujan dengan cahaya yang tidak terlalu terang itu... membuat sebuah unsur yang sangat intim di kepala Sofie.

Sampai tiba-tiba... sekelebat bayangan tak senonoh menghampiri otak Sofie dimana ia dan Alvaro...

"Kamu lancang banget sih masuk kamar orang tanpa izin..." Bisik Alvaro tepat telinga Sofie. Rupanya lelaki itu sudah berada dibelakang Sofie dengan jarak yang begitu dekat karena Sofie bisa merasakan hembusan napas Alvaro.

Bulu kuduk Sofie langsung terangkat dengan sempurna mendapat perlakuan seperti itu dari Alvaro. Sontak Sofie menjauh karena selain ada desiran aneh yang terjadi pada tubuhnya, jantungnya pun menjadi aneh karena detaknya yang lebih cepat. Dan satu fakta yang paling membuatnya tak percaya pada dirinya sendiri adalah ia sempat membayangkan dirinya dan Alvaro berada di tempat tidur itu dan melakukan sesuatu yang...

Buru-buru Sofie menggelengkan kepalanya dan mencari pintu kamar mandi. Ketika ia sudah menemukan pintu kamar mandi dan membukanya, lagi-lagi Sofie terpana. Sebuah kamar mandi dengan nuansa minimalis serba putih dengan bathup besar terletak di tengah-tengah yang Sofie yakini bisa masuki oleh dua orang sekaligus, ditambah shower besar yang berada disebelahnya serta wastafel dan closet dengan model terbaru. Yang paling menakjubkan adalah sebuah tv plasma terletak di atas bathup. Entah untuk apa tujuannya. Tapi yang jelas semuanya ini dapat disimpulkan dalam satu kata. Perfect.

"Kita tukeran kamar aja ya." Itu bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan.

Mulut Alvaro terbuka dengan sempurna. Hilang sudah debar aneh yang sempat singgah pada dirinya beberapa detik lalu saat tubuhnya berada didekat tubuh Sofie. Sekarang debar itu digantikan emosi yang sudah mendidih ke ubun-ubun. Dengan kejengkelan melebihi batas aman, Alvaro menghampiri Sofie dengan langkah besar-besar.

"In. Your. Dream. Princess." Ucap Alvaro menekankan setiap katanya dengan emosi.

"One hundred percent no!" Lanjutnya lagi masih dengan emosi membara.

Sofie yang masih mengagumi kamar mandi Alvaro langsung cemberut. Walau ia sudah tahu bahwa Alvaro pasti tidak akan menerima usulnya, tapi tidak ada salahnya mencoba, bukan?

"Kamu nggak usah manja deh. Hidup itu keras. Kamu nggak bakalan kena malaria gara-gara mandi di shower. Di luar sana masih banyak orang yang mau mandi tapi kesusahan. Kamu harusnya bersyukur bisa mandi di shower." Alvaro mulai berceramah melihat wajah cemberut Sofie.

"Duh, nggak usah jadi motivator dadakan deh." Balas Sofie mengejek.

Bukannya tersinggung, Alvaro malah terkekeh. Rupanya berdebat dengan Sofie selalu membuatnya senang dan tertawa.

"Tapi aku punya penawaran menarik." Ucap Alvaro tiba-tiba.

Sofie langsung melirik tanda tertarik.

"Aku mau tukeran kamar sama kamu, asal..." Ucap Alvaro menggantungkan kalimatnya dan melihat Sofie dari atas sampai ke bawah dengan tatapan ingin menerkam.

"...tiap malam aku tidur sama kamu."

Dan kemudian terdengar tiga kali bunyi spray disemprot, tepat di wajah Alvaro.

***

Observasi selanjutnya diadakan di daerah dapur. Alvaro yang sudah kapok menggoda Sofie memilih pasrah dan mengikuti saja apa yang ingin dilakukan gadis gila ini. Ia pun masih diam saat Sofie mulai membongkar isi dapurnya.

"Ya ampuuuuun, kenapa makanan kamu semuanya kayak gini sih?!" Sofie setengah berteriak ketika menemukan bahwa hampir seluruh jenis makanan Alvaro adalah snack-snack dengan MSG tinggi, makanan kaleng dan mie instan. Tak ada satupun jenis sayur atau pun buah.

Alvaro mengernyit, "Emangnya kenapa? Salah?"

Sofie geleng-geleng kepala, "Aku nggak ngerti lagi sama kamu. Kok kamu masih bisa sehat ya kalau setiap hari makannya kayak gini?"

Alvaro memutar bola matanya, "Nggak usah sok jadi ahli gizi deh."

Sofie semakin emosi. "Varo, kamu tahu kan kamu itu penyanyi?! Suara kamu tuh harus dijaga! Tapi gimana mau jaga suara kalau makanan kamu kayak gini?! Kamu tuh masih bagus nggak kenapa-napa! Harusnya kamu udah masuk rumah sakit gara-gara makanan yang kamu makan setiap hari kayak gini tahu nggak! Pokoknya aku nggak mau tahu. Kalau aku udah pindah kesini, aku nggak mau lihat benda-benda berbahaya itu lagi!"

Alvaro kembali mengernyit.

Sumpah, gue nggak bohong!
Tadi gue denger nada khawatir di suara Sofie!
Tapi... kenapa ujungnya jadi ngejek sama ngancem gue sih?!
Dan dia bilang apa barusan?!
Benda berbahaya?
Hellooooow!!! Itu makanan surga, bukan benda berbahaya!!!

Dengan berkacak pinggang, Alvaro memelototi Sofie.

"This is my house, my kitchen and my food. Everything in this house is my rules. Kamu nggak berhak apa-apa atas rumah ini. Lagipula, kamu cuma numpang disini. Ingat peraturan nomor 2 yang kamu buat? Dilarang mengganggu kehidupan pribadi satu sama lain dalam bentuk apapun. Tapi kurang dari satu jam kamu sudah melanggarnya."

Perkataan Alvaro membuat Sofie terdiam. Sofie bagai disadarkan untuk kembali ke alam nyata. Yang dikatakan Alvaro memang semuanya benar. Siapalah ia mengatur-atur rumah ini? Dan kenapa pula Sofie harus serepot dan sekhawatir itu pada Alvaro? Toh, reaksi Alvaro barusan menandakan bahwa ia tak mau ruang pribadinya di jamah, bukan?

Tapi kenapa perkataan Alvaro membuat hatinya sedikit... sakit?

Ketika melihat Sofie yang tiba-tiba diam, Alvaro langsung tersadar bahwa ia telah salah bicara.

"Sorry, Sof. I don't mind. Aku cuma..."

"No need to sorry." Potong Sofie dengan cepat dengan senyum yang dipaksakan.

"Kamu bener kok. Aku aja yang terlalu heboh. Maklum, masih terbawa suasana rumah. Karena kalau di rumah Bunda ngelarang keras jenis makanan kayak gitu. Jadi, pas aku lihat makanan kamu semunya kayak gini, kebawa suasana rumah." Jelas Sofie.

Tapi hati kecil Alvaro mengatakan untuk tidak percaya sepenuhnya pada ucapan Sofie barusan. Jelas sekali bahwa gadis itu tersinggung.
Dan ketika dilihatnya punggung Sofie berbalik meninggalkan dapur, Alvaro sungguh ingin mehanannya dan menjelaskan sesuatu. Tapi ia sendiri pun bingung mau menjelaskan apa pada Sofie. Dan akhirnya ia membiarkan punggung gadis itu benar-benar hilang dari pandangannya dengan perasaan yang tak menentu.

***

Malam harinya, ketika Sofie hendak tidur dan sedang membersihkan wajah, pintu kamarnya di ketuk.

"Sof, Ayah boleh masuk?"

"Masuk aja, Yah. Pintunya nggak Sofie kunci kok." Katanya setengah berteriak.

"Kamu udah mau tidur ya? Ayah mau ngobrol dulu boleh?" Tanya Adrian mengelus rambut Sofie kemudian duduk di ujung tempat tidur putrinya itu.

"Sebentar, Yah. Sofie bersihin muka dulu ya." Katanya tersenyum tak bersalah.

Adrian mengangguk. "Kayaknya Ayah nggak bakal bisa lihat pemandangan ini lagi mulai bulan depan." Kata Adrian sambil memperhatikan Sofie.

"Ayah!" Sofie langsung cemberut dan berbalik badan.

"Kenapa sih ngomongnya kayak gitu?" Tanya Sofie yang langsung duduk di samping Adrian dan lupa dengan ritualnya membersihkan wajah yang belum selesai.

Tapi Adrian hanya memperhatikan wajah Sofie lama baru kemudian mengelus rambutnya.

"Anak Ayah sebentar lagi mau menikah..." Ucap Adrian tiba-tiba memecah keheningan.

Sofie hanya bisa tersenyum dan memeluk ayahnya. Ia mulai paham apa maksud Adrian datang ke kamarnya dan arah pembicaraan ini. Dan Sofie benci itu. Karena dapat dipastikan ia akan menangis.

"Kayaknya baru kemarin Ayah ngajarin kamu naik sepeda roda dua, Sof..."

Sofie mulai menggigit bibirnya yang gemetar. Belum apa-apa ia sudah ingin menangis.

"Hhh, mulai bulan depan kamu udah nggak tinggal disini lagi dan bukan tanggung jawabnya Ayah lagi..." Desah Adrian sambil menatap Sofie sayang.

Tapi reaksi Sofie malah tak terduga. Ia pukul pelan pundak Adrian, "Ayah! Jangan ngomong gitu! Sofie pasti bakalan sering main ke rumah kok. Sofie juga masih tanggung jawabnya Ayah. Sofie kan tetap anak Ayah..." tanpa sadar air matanya sudah menetes turun.

"Aku sebel deh kalau Ayah udah ngomong kayak gini! Jadi nangis kan akunya..." Lanjutnya lagi diantara air mata yang semakin deras menetes.

"Dulu Ayah pikir pasti waktunya masih lama. Tapi ternyata... sampai juga hari dimana kamu punya orang lain untuk kamu jadikan pemimpin dan panutan..." Ucap Adrian yang sepertinya masih tak dapat menerima kenyataan bahwa anak gadis satu-satunya akan menikah.

"Ayah!" Kali Sofie setengah merengek setengah meraung. Tangisnya langsung pecah dipelukan Adrian.

Adrian mengusap-usap punggungnya. "Ayah bilang kayak gini ke kamu bukan mau ngabuat kamu sedih. Tapi memang sudah menjadi tugasnya seorang ayah untuk menasehati putrinya yang mau menikah."

"Lho, ini kenapa pada nangis sih?" Tiba-tiba Maura masuk sambil membawa buah.

"Bunda kira lagi pada bercanda makanya Bunda bawain cemilan. Taunya malah acara tangis-tangisan."

"Kamu ngapain Sofie sih sampai dia nangis gitu?" Tuduh Maura sambil melotot ke Adrian.

Adrian tersenyum dan mencium pipi Maura cepat.

"Aku nggak ngapa-ngapain Sofie, Sayang. Aku lagi ngobrol-ngobrol aja. Ya kan, Sof?"

Sofie menggeleng.

"Tuh kan! Sofie aja geleng-geleng!" Sungut Maura kesal.

"Obrolannya Ayah bikin aku sedih. Jadinya nangis." Ucap Sofie yang bergeser dan memeluk Maura.

"Sayang, kamu dengerin Ayah ya," Ucap Adrian mendekat dan memeluk keduanya. "Ayah bilang itu ke kamu supaya kamu tahu, kamu ini mau punya suami. Mau punya pemimpin baru dalam hidup kamu. Mau punya orang lain yang harus kamu nomor satukan selain Ayah sama Bunda. Untuk itu, kamu harus jadi istri yang baik, hormati suami kamu, turuti apa kata suami kamu dan nggak boleh ngelawan ya..." Lanjut Adrian memberi wejangan.

Sofie hanya mengangguk-angguk karena air matanya kembali turun. Nasihat tulus ayahnya itu benar-benar membuatnya serasa menjadi anak durhaka. Apalagi Maura yang dengan sayangnya menghapus air mata Sofie dengan ibu jarinya. Dalam hati seribu maaf Sofie ucapkan tak pernah putus karena ia sangat menyakiti hati kedua orang tuanya dengan semua kebohongan ini.

"Bunda juga yakin kok Alvaro itu pasti laki-laki baik yang bisa jadi panutan dan pemimpin buat kamu..." Kata Maura kali ini.

Panutan? Panutan dari mana coba?!
Setiap kali ngeliat mukanya aja bawaannya mau mukul!

Tiba-tiba pintu kamar terbuka.

"Ya ampun pada disini ternyata. Aku cariin sampai ke luar-luar tahunya ada disini semua." Kata Raffi yang ikut duduk bergabung.

Karena tak satupun diantara Adrian, Maura dan Sofie yang berbicara, akhirnya Raffi hanya memperhatikan satu persatu wajah didepannya ini sampai ia kembali terheran-heran.

"Lho kok ini matanya basah semua sih? Abis nangis ya? Ini ada apa sih sebenarnya?" Tanya Raffi panik.

Maura dan Sofie langsung tertawa sedangkan Adrian berdecak lalu berdiri.

"Bubar, bubar. Acara nangis-nangisnya udah selesai. Nggak ada siaran ulang. Air matanya udah nggak keluar lagi." Kata Adrian meninggalkan kamar.

"Wah, Ayah sensi nih." Sewot Raffi.

"Bun, Kak, kenapa sih?!" Tanya Raffi mulai kesal.

"Tanya sama Ayah." Jawab Maura dan Sofie kompak.

Berdecak kesal, akhirnya Raffi meninggalkan kamar mengejar Adrian.

"Ayah! Yah! Cerita dong, jangan kabur!" Terdengar teriakan Raffi dari luar.

Sofie dan Maura langsung tertawa kencang.

"Sebentar lagi ada yang berantem nih." Kata Sofie.

"Bunda pegang Raffi. Kamu pegang siapa?" Tanya Maura.

"Raffi lah. Ayah kan kalah mulu kalau berantem sama Raffi."

Tak lama kemudian terdengarlah teriakan Adrian yang membuat tawa Maura dan Sofie meledak.

"Buuuun, kesini dong! Anak kamu nanya mulu nih! Aku pusiiing!"

***

Waktu berlalu dengan cepat. Semenjak kejadian dirumah Alvaro tempo hari, keduanya makin di sibukan dengan segala macam tetek bengek mengenai pernikahan ini. Tapi ada yang berbeda dari Sofie. Gadis itu terlihat menjaga jarak. Walau masih sering marah-marah, tapi tidak sebawel dan seheboh seperti biasanya. Kalau bicara pun hanya seperlunya saja. Itulah yang membuat Alvaro jadi uring-uringan sendiri. Perasaannya tak menentu. Terbiasa mendapat segala macam amukan Sofie yang mengiasi hari-harinya dan sekarang tak mendapatkan itu setiap hari, rasanya ada yang janggal.

Tapi walaupun demikian, keduanya tetap fokus pada pernikahan ini. Keduanya bahkan memakai dua wedding organizer untuk mempercepat segala macam pekerjaan karena persiapan pernikahan mereka yang hanya sebulan. Dari segi pakaian pun keduanya tak mau main-main. Walau ini hanya pernikahan pura-pura tak lantas membuat pernikahan ini menjadi biasa. Mereka berdua adalah artis papan atas dengan bayaran super mahal. Jadi, jelas semuanya harus terlihat megah dan mewah.

Selain itu, dalam hati Sofie memang sudah bertekad walau ini bukan pernikahan yang sesungguhnya, pernikahan ini akan tetap menjadi pernihakan pertamanya yang sah di mata agama dan hukum. Jadi setidaknya, ia punya satu kenangan manis untuk dirinya sendiri bahwa ia pernah menikah sesuai dengan apa yang ia impikan walaupun pada akhirnya akan menyakiti banyak pihak.

Untuk itu, Hartanto Wijaya didapuk oleh Sofie untuk membuat baju pernikahannya. Walau Hartanto Wijaya pernah berbuat jahat padanya, tapi Sofie tahu hanya tangan seorang Hartanto Wijaya lah yang mampu membuat gaun pernikahan sesuai dengan apa yang ia impikan.

Seperti hari ini saat Sofie tengah melakukan fitting di tempat lelaki itu. Tapi wajahnya tampak kesal. Dari jauh-jauh hari, Sofie memang sudah merencakan bahwa fitting kali ini ia dan Alvaro harus datang bersama karena akan ada banyak wartawan yang meliput. Ia mau terlihat sempurna sebagai pasangan selebriti. Namun rupanya setelah menunggu selama dua jam dan pada akhirnya ia mau tak mau harus fitting sendirian, Alvaro belum datang juga. Bahkan para wartawan yang sudah menunggu sedari tadi mulai bertanya-tanya kapan Alvaro datang karena berita ini harus turun ke media sore hari.

Sofie kembali melihat jam. Tiga puluh menit pun berlalu. Itu artinya dua jam tiga puluh menit sudah ia menunggu. Semakin kesal dan marah, akhirnya Sofie berniat untuk menemui wartawan dan bilang bahwa Alvaro tidak jadi datang ketika lelaki yang ia tunggu sedari tadi akhirnya muncul dihadapannya dengan napas tersengal-sengal dan keringat yang bercucuran.

"Sorry, telat." Kata Alvaro sembari menetralkan napasnya.

Bukannya lega, Sofie malah merasakan emosinya makin memuncak melihat wajah Alvaro.

"Wartawan diluar banyak banget aku sampai susah masuk. Akhirnya aku lewat tangga belakang biar sampai kesininya cepet." Katanya lagi sambil menyeka keringatnya.

"Oh iya, tadi ada syuting dadakan buat acara musik. Makanya aku baru sampai sekarang." Jelasnya.

"Kamu kayaknya udah fitting ya?" Tanya Alvaro melihat Sofie sudah mengenakan gaun pengantin yang belum selesai sepenuhnya itu.

"Kamu kok diam aja sih. Dari tadi pertanyaan aku nggak ada yang di jawab." Ucap Alvaro yang merasakan bahwa sedari tadi Sofie hanya diam saja.

Masih tak menjawab, akhirnya Alvaro benar-benar memutar tubuhnya menatap Sofie. Dan saat itu juga Alvaro tahu kalau Sofie sedang menahan amarah. Merasa tak enak, Alvaro seperti ingin mengatakan seseuatu tapi Sofie langsung berbicara dengan kencang.

"NGGAK USAH DATANG AJA SEKALIAN! SANA SYUTING SAMPAI MALAM!" Bentak Sofie dengan kencang.

"Kamu lupa ya perjanjian kita?! Peraturan nomor 9 tentang memprioritaskan pernikahan ini?! Aku udah bilang dari jauh-jauh hari kan kalau fitting kali ini mau diliput wartawan?! Aku cuma minta waktu sehari! Tapi kamu malah seenaknya ngebatalin karena syuting! Kamu tahu aku nunggu kamu berapa lama?! Dua jam tiga puluh menit dan aku hampir bilang ke wartawan kalau kamu nggak jadi dateng!" Ucap Sofie penuh emosi. Untungnya hanya mereka berdua yang ada diruangan ini, jadi tak ada yang mendengar soal perjanjian pernikahan.

Dengan geram Sofie bangkit berdiri. Dan entah kenapa ia menangis. Sofie pun kaget pada dirinya sendiri. Ia hanya marah dan kesal tapi kenapa matanya mengeluarkan air mata?

Apa penyebab tangisnya kali ini? Hanya kesal dan marahkan? Atau Alvaro?

Alvaro yang tak menyangka bahwa Sofie akan semarah ini hanya terdiam. Ya, Alvaro sampai terdiam beberapa detik. Tapi ketika gadis itu bangkit berdiri dan dilihatnya sebutir titik bening jatuh menuruni pipinya, Alvaro langsung bangkit dan mencekal tangannya.

"Sof, sorry..." Katanya menatap Sofie.

Sofie yang tak mau menatap Alvaro hanya menunduk sambil berusaha melepaskan cekalan tangan Alvaro tapi lelaki itu tak mau melepaskannya.

"Aku juga nggak tahu kalau tadi ada syuting dadakan. Aku mau izin pun nggak bisa. Aku tadi telfon kamu tapi nggak diangakat-angkat." Jelas Alvaro tanpa diminta.

Sofie masih diam dan menunduk. Tapi anehnya air matanya semakin deras menurus. Tepat pada saat itu pintu ruangan terbuka dan para wartawan langsung masuk tanpa izin. Alvaro dan Sofie kaget bukan main. Apalagi Sofie yang posisinya sedang menunduk dan menangis. Ia bingung harus berbuat apa. Ia tak mungkin memperlihatkan wajahnya ini kepada para wartawan. Bisa-bisa muncul gosip baru. Saat Sofie semakin bingung harus berbuat apa, tiba-tiba ia merasakan dirinya ditarik. Dan ternyata Alvaro yang menariknya. Ke dalam pelukannya.

"Hapus air mata kamu pakai baju aku." Bisik Alvaro ditelinga Sofie.

Sofie yang kaget hanya bisa terdiam beberapa detik sebelum menyadari apa yang terjadi. Setelah paham, barulah ia menyadari dan melakukan apa yang Alvaro suruh. Dan ketika ia melakukannya, jantungnya langsung berdetak dengan kencang karena Sofie baru sadar bahwa jarak mereka sangat dekat. Bahkan Sofie dapat mencium aroma tubuh Alvaro.

Setelah Alvaro yakin bahwa Sofie sudah menghapus air matanya, ia membalikan tubuh gadis itu tapi tak melepaskan rangkulannya di pinggang Sofie, malah mengetatkannya.

"Teman-teman tolong hargai privasi kami, mohon untuk tidak membuka pintu tanpa mengetuk. Bagaimana kalau saya dan Sofie sedang berbuat yang tidak-tidak?" Kata Alvaro disertai candaan.

Sontak para wartawan tertawa. Berbeda dengan Sofie yang langsung mendelik dan mencubit pinggang Alvaro dari belakang.

"Abis kita udah lama nunggu, Mas!" Celetuk salah satu wartawan.

"Oke, oke. Saya minta maaf. Hari ini saya memang telat karena ada syuting dadakan." Jelas Alvaro.

"Disini bukan kalian saja kok yang kesal, Sofie juga kesal dan marah sama saya." Ucap Alvaro menoleh ke arah Sofie sambil bercanda.

"Maaf ya, Sayang..." Dan tanpa di duga Alvaro mengetatkan pelukannya dan mencium kening Sofie.

Para wartawan langsung bersorak riang karena rupanya mereka tak sia-sia menunggu lama kalau ada adegan seperti ini yang bisa mereka abadikan dan dijadikan berita. Berbeda dengan Sofie yang jantungnya mau copot.

Dan selanjutnya, dimulailah sesi wawancara dengan para wartawan dimana Alvaro sangat banyak mengambil keuntungan dengan menyentuh Sofie sebanyak yang ia bisa.

***

"AAAAWWWWW!" Teriak Alvaro dengan keras saat punggungnya dipukul dengan kencang.

"Jangan pegang-pegang aku lagi kayak tadi!" Bentak Sofie marah. Untungnya para wartawan sudah tidak ada dan mereka kembali berdua diruangan ini.

"Kan akting..." Lirih Alvaro sambil mengusap punggungnya.

"Tapi berlebihan!" Potong Sofie dengan cepat.

Alvaro yang melihat bahwa nada Sofie sudah kembali seperti biasanya dan bukan seperti tadi, perlahan mengerti bahwa gadis itu sudah tak marah lagi padanya.

"Maaf ya. Aku tahu, tadi aku keterlaluan banget sih telatnya. Forgive me, please..." Ucap Alvaro tulus.

Sofie yang tak menyangka kalau Alvaro akan berkata seperti itu jadi bingung harus membalas apa. Apalagi nada tulusnya itu. Entah mengapa membuat Sofie ingin tersenyum.

"Hhhmmm." Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Sofie.

"Makasih." Kata Alvaro tersenyum lebar.

"Tapi kalau kejadian dirumah aku waktu itu masih marah?" Tanya Alvaro tiba-tiba.

"Siapa juga yang marah soal itu! Biasa aja!" Jawab Sofie cepat tapi nadanya malah marah.

Alvaro langsung tertawa. "Berarti masih marah. Buktinya ngejawabnya cepet banget.

Sofie langsung jengkel setengah mati. Baru dimaafkan tapi membuatnya marah kembali.

"Yaudah, aku minta maaf juga soal omongan aku waktu itu ya..." Ucap Alvaro geli sambil mengulurkan tangannya.

"Udah dibilang kalau aku nggak marah! Ngapain sih pakai salaman segala?!" Balas Sofie yang nadanya malah semakin naik.

"Oke, oke. Nggak marah, oke." Kata Alvaro mengapit bibirnya menahan tawa.

Dalam hati ia senang kembali mendengar nada marah Sofie yang sudah kembali seperti semula. Nada marah yang ia... rindukan?

"By the way, kamu cantik juga pakai gaun itu." Kata Alvaro menatap Sofie dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Dan perkataan Alvaro sukses membuat pipi Sofie bersemu merah.

"Mending kamu pulang sana daripada bikin aku darah tinggi tahu nggak!" Balas Sofie yang jadi salah tingkah.

Alvaro terkikik geli. "Bikin darah tinggi ya? Tapi kok malah pipinya yang merah sih?"

Sofie dalam sekejap langsung memegang pipinya. Lalu meledaklah tawa Alvaro. Merasa di kerjai lagi oleh lelaki itu, Sofie langsung memukulinya dengan kencang.

"Sakit, Sof!" Teriak Alvaro mengaduh kesakitan.

Sofie tak menghiraukannya. Ia malah langsung berjalan meninggalkan lelaki itu. Melihat Sofie sudah menjauh darinya, Alvaro berteriak.

"Sampai ketemu di pelaminan, Sofie sayang!"

***

Halloooooo!!!!
Apa kabaaaarrrr????!!!!

Iya, iya, tahu kok pasti pada nanya kenapa updatenya lama banget.
Maaf ya... Maaf banget. Aku bener2 sibuk dan nggak ada waktu buat bikin ide. Jadi jalannya emangnya lambat banget.

Tapi aku harap bab ini bisa mengobati kangen kalian yaaa. Panjang lho ini, 6000 kata.

So, please comment dan vote yang banyak ya! Hehe.

Sorry, sorry, sorry,
Abi.

Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 211K 60
CERITA MURNI HASIL PEMIKIRAN SENDIRI GAES ‼️‼️⚠️ KALO ADA KESAMAAN YA MBOH Mungkin akan banyak typo, salah nulis nama atau semacamnya jadi kalo mau t...
199K 15K 42
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
6.8M 46.2K 58
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
231K 692 14
cerita pendek dewasa seorang gadis yang punya father issues