Red Balloon

By goldenreatriver

72.4K 2.8K 958

[ Pemenang wattys 2016 kategori "Pilihan Staf" ] Setelah bertemu dengan gadis kecil nyentrik pemegang balo... More

00. Little Girl With Red Balloon
Hello (again)
Chapter 2 : Menara Jam

01. Buah Arbei dan Beruang Madu

9.4K 797 232
By goldenreatriver

Banyak anak malang hidup tanpa anggota keluarga yang lengkap sejak kecil. Dalam kasus tertentu, mungkin ibu. Dalam kasus yang lain adalah ayah. Jika kau tidak beruntung, maka kamu tidak akan punya kedua-duanya dan berakhir menjadi yatim piatu.

Dan yah, sangat disayangkan, tokoh utama kita kehilangan anggota keluarga terakhir sekitar — mungkin satu jam yang lalu.

Ini bukan berarti dia sepenuhnya malang. Nico, tentunya, pernah memiliki keluarga yang lengkap. Seorang ibu, ayah yang menyenangkan, kakak laki-laki andalan keluarga, ditambah seekor anjing. Sebuah keluarga kecil lengkap yang hidup di rumah kecil penuh tanaman.

Tapi, tentu saja semua tidak berjalan mulus-mulus saja. Nico mencatat; mungkin itu adalah tanggal 17 Juli ketika ibunya meninggal karena kecelakaan tragis ketika mereka menikmati musim panas. Ia menangis, seperti anak kebanyakan, tapi tidak sampai berminggu-minggu karena dia adalah anak laki-laki, diantara kakak laki-laki dan seorang ayah. Ini tidak akan sulit, pikirnya saat itu. Ayahnya memiliki pekerjaan tetap, sang kakak mulai bekerja paruh waktu sebagai pelayan restoran, dan ia diam-diam menjual bekalnya — karena sungguh, jangan pernah memakan makanan buatan ayahmu kalau ia tidak bisa membedakan gula dan garam.

Semua berlangsung lancar beberapa tahun setelahnya, sejauh yang bisa Nico bayangkan. Sebagai anak bungsu, tentu saja dia mendapat tugas rumah yang menyebalkan; menyedot debu, menyiram tanaman, mencuci piring-baju-celana, menyetrika, mengganti lampu dan blahblahblah. Sang kakak mulai bersikap menyebalkan karena dia remaja sekarang, dan remaja tidak bermain dengan bayi (dalam kasus ini, bayi yang dimaksud adalah Nico). Ayah dipecat dari pekerjaannya dan mendapat pesangon yang hanya tidak akan bertahan sampai musim dingin.

Dan Nico berpikir, oke, aku akan menjual semua koleksi lego serta sepeda tuaku di eBay dan semua akan baik-baik saja. Yah, mereka baik-baik saja karena Ayah diterima sebagai salesman alat memurnikan air dan kakak lulus SMA dengan nilai luar biasa memuaskan. Kakak diterima di Universitas Nottingham dan pindah ke flat mini di Derby Road. Semenjak itu, mereka mendapat pemasukan tetap karena sang kakak bekerja sebagai pengantar pizza, kasir di minimarket, sekaligus penulis artikel harian di koran kota.

Tapi, selain uang-uang itu, Nico tidak pernah mendengar kabar apapun terkait kakaknya.

Ketika dia masuk sekolah menengah pertama, keadaan menjadi kacau balau. Ayah kehilangan pekerjaannya karena perusahaan alat pemurnian air itu bangkrut; dan ia sama sekali tidak berniat untuk mencari kerja. Uang-uang terus datang, tapi itulah masalahnya. Ayah mulai memaki-maki kakaknya karena tidak pernah pulang. Ia juga pergi menghabiskan bensin entah kemana — selalu berangkat saat fajar dan pulang lewat tengah malam. Keadaan rumah sangat sensitif sampai Nico terpaksa menginap secara ilegal di sekolah. Dan ia mendapat 4 kali lecutan di kaki karena itu.

Ayah tidak pernah memukul. Jadi, makhluk yang memecut kakinya menggunakan sapu, itu bukanlah ayahnya.

Tapi, tentu saja orang-orang dewasa itu tidak mau mendengarkan. Seseorang dari departemen perlindungan anak mengambil hak asuh Ayah atas Nico dan melemparkannya pada Professor tua yang hidup di pedesaan. Seorang sepupu jauh yang Nico tidak pernah kenal.


"Oh, omong kosong," seorang pria necis dengan kumis lebat menengok dari kaca spion, lalu menghela nafas berat. "Mustahil kau tidak mengenal Professor Heinrich. Dia orang baik."

Nico tersentak dari lamunannya. Oh ya, benar. Saat ini ia sedang melakukan perjalanan menuju wali barunya di desa antah berantah di sisi lain Inggris yang entah berantah juga. Di tengah hujan deras, dalam mobil baru yang joknya masih dibungkus plastik.

"Maksudku, aku pernah bertemu dengannya, sejauh yang aku ingat. Tapi toh, bukan berarti aku mengenalnya. Aku bahkan lupa namamu, padahal kita sudah mengurus kepindahanku sejak sebulan yang lalu."

Pria itu tersenyum masam. "Gregory Wilson, nak," katanya sabar. Nico menahan senyum.

"Benar. Mr. Wilson tersayang," katanya. "Jujur saja, Mr. Wilson. Ayahku bukan berandalan, atau anggota geng, atau apapun yang ilegal. Catatan kriminalnya jauh lebih bersih dari kasurku, dan ia mengonsumsi alkohol dalam batas wajar. Semua orang pasti pernah memukul anaknya, kan? Aku masih tidak terima dipisahkan."

"Aku tidak akan pernah memukul anakku," gumam Mr. Wilson.

Nico mendengus, "Istri saja belum punya."

"Intinya, nak, kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hukum. Di pengadilan yang lalu kita dapat memastikan Ayahmu memiliki sedikit masalah pada mentalnya sehingga tidak memungkinan baginya untuk mengurus seorang anak. Bahkan, dalam kasus tertentu, Ayahmu dapat mengancam keselamatan seseorang terdekat."

"Ayahku tidak gila, Mr. Wilson," Nico menyembur cepat. "Dia juga tidak menjadi liar, atau tak terkendali, atau apapun. Oke baiklah — mungkin dia butuh beberapa rehabilitasi. Tapi dia tetap ayahku, dan aku tidak ingin tinggal dengan beruang madu."

"Beruang Madu!" Mr. Wilson tergelak parah. Bahunya naik turun dan suara tertawanya seperti geraman yang dalam. "Percayalah, nak. Kau akan menyukai si beruang madu. Orang hebat, Professor Heinrich itu. Dan kau toh juga jadi kaya! Apa ruginya?"

Nico mendengus, kalian baru saja merenggut keluargaku satu-satunya, seseorang yang memiliki darah dan gabungan dna yang sama, tapi ia tidak mengatakannya. Nico anak yang cerdas; ia menyadari bahwa hidupnya tidak akan berjalan seperti anak normal.

Semua selalu salah semenjak ia melihat gadis itu — si nyentrik penggengam balon itu. Nico mengatakan bahwa ia akan selalu baik-baik saja, bahwa mereka akan baik-baik saja. Tapi tentu ucapan itu diperuntukkan untuk menstimulasi pikirannya agar ia tetap melanjutkan hidup.

Roda mobil berputar, membawa Nico menjauh dari London, dari rumahnya, dari apapun yang bisa ia ingat. Dan yang bisa Nico pikirkan saat ini adalah seberapa akurat kilasan yang tertampil di balon dengan apapun yang ditemuinya nanti.

Karena, yah, setidaknya yang terburuk sudah lewat.

Ibunya mati karena kecelakaan. Mudah mengatakan bahwa itu hanya nasib malang, tetapi kilasan balon itu juga diakhiri dengan tabrakan.

✦°⏤

Tersebutlah anak bernama Travis Valkin, dan ia mengalami hari yang buruk.

Ini musim panas. Karena ini musim panas, seharusnya cuacanya tidak jauh-jauh dengan langit cerah plus matahari yang bersinar; bukannya mendung gelap dan hujan deras tak berkesudahan! Travis baru saja hendak pulang dari acara memetik arbei hariannya ketika rintik-rintik air itu mendarat di hidungnya. Hujan bertambah rapat ketika ia melewati peternakan Mr. Falls, lalu menjadi deras sekali di menit setelahnya sehingga Travis harus berteduh di gereja.

"Travis! Lama tak bertemu, nak. Akan lebih menyenangkan bagiku untuk melihatmu menjadi makmum di Minggu pagi daripada menggunakan gereja sebagai tempat berteduh semata."

"Halo, Pastor Bernard," Travis memaksakan seringai, seketika menyesal karena menjadikan gereja sebagai opsi pertama. Sayangnya, Travis — seperti kebanyakan anak — bukanlah seseorang yang dapat duduk diam mendengarkan khotbah keagamaan. Sudah hampir dua bulan ia melarikan diri dari keharusan beribadat, dan yah, ia berencana untuk mempertahankan rekor itu jika memungkinkan.

"Apa kau kedinginan?" tanya Pastor Bernard. "Kami punya cokelat hangat di dalam. Mau masuk?"

Travis menyugar helai pirangnya yang kuyup ke belakang. "Ah, terimakasih Pastor, tapi aku lebih berencana untuk segera pulang ketika sudah cukup terang. Ibuku membutuhkan ini untuk membuat pai—" Travis mengangkat keranjang penuh arbei di tangan "— dan seharusnya aku sudah ada di rumah sekarang. Aku takut ibuku habis kesabaran."


Pastor Bernard tersenyum geli. "Tunggu di sini," ucapnya singkat, lalu masuk ke dalam gereja dan menghilang. Beberapa saat kemudian, sang pastor kembali ke beranda sambil membawa payung transparan dan sebotol cokelat hangat, lalu menyerahkannya pada Travis.

"Tolong kembalikan payungnya minggu depan, oke? Dan maksudku minggu depan adalah benar-benar 'Minggu' depan, Travis. Tuhan memberkati. "

Padahal ia benar-benar ingin kabur dari misa ...

Kalau kalian menganggap kesialan si pirang Travis hanya sampai disini, maka kalian salah besar.

Travis mendengus ketika ia melompati kubangan. Dia memegang payung itu dengan sudut yang salah, sehingga bahunya masih terkena air hujan sesekali. Jalan tanah padat yang ia lewati terkadang berubah menjadi lumpur, dan sandal gunungnya sudah cukup kotor dari apa yang bisa ia bayangkan. Walaupun begitu, berjalan di tengah hujan seperti ini tidak seburuk yang ia kira. Sungguh menyenangkan melihat pemandangan pedesaan ketika butiran air menghantam setiap bunganya. Pagar batu yang membatasi jalan setapak dengan padang rumput di kedua sisi jalan tidak terlalu tinggi, jadi Travis dapat melihat apa yang berada di baliknya. Domba-domba yang tak sempat berteduh berkerumun di bawah pohon willow yang tersebar di mana-mana. Jajaran bunga daffodil dan astuaria menyeruak di setiap sudut, bergoyang ria menikmati mandi alami. Dan yang paling ia sukai adalah aroma rumput basah yang memenuhi dadanya.

Dan, ya, menyenangkan memang jika kau dapat menikmati hujan di pedesaan. Terlebih lagi jika kau tinggal di Cottins — yang secara kebetulan — merupakan desa tempat Travis tinggal. Daripada desa, Cottins sebenarnya tercatat sebagai kota mungil yang termasuk di kawasan pedalaman Gormshire, utara Inggris. Sangat sedikit wisatawan (atau bahkan orang lokal sendiri) yang tahu tentang kota ini karena ia terletak begitu jauh dari akses umum. Namun, Cottins adalah desa yang luar biasa indah. Rumah-rumah disini berjarak kurang lebih dua ratus meter satu sama lain, dibatasi oleh halaman yang luar biasa luasnya. Jalan-jalannya berkelok-kelok mengikuti kontur pegunungan. Di beberapa tempat, jalannya masih menggunakan tanah yang dipadatkan alih-alih aspal panas. Tidak seperti di London, Cottins memiliki tanah yang turun-naik, dataran tinggi maupun rendah, sungai mengalir maupun danau, serta hutan heterogen yang masih tak terjamah. Beberapa bangunannya masih dibuat dengan batu — seperti gereja dan jembatan — namun kebanyakan rumahnya sudah menggunakan bata. Setiap orang mengenal semua orang, mengingat nomor rumah yang kurang dari tiga ratus buah.

Karena itu, Travis mengernyit ketika melihat sedan hitam yang mengepot di tikungan. Ia belum pernah melihat mobil itu, padahal ia hafal kendaraan setiap orang. Sudah pasti pendatang baru. Tinggal menentukan apakah orang-orang di dalam mobil menyenangkan atau menyebalkan.

Dan ternyata, orang-orang itu menyebalkan! Tipikal makhluk kota, tidak dapat memperkirakan kecepatan mobil ketika berjalan di tanah basah. Travis harus menerima guyuran air kubangan ketika mobil itu melewatinya. Meninggalkannya yang basah kuyup, dengan arbei yang tenggelam dengan air kotor dalam keranjang.

✦°⏤

Nico tidak sadar kalau ia tertidur sampai ia terbangun. Pandangannya sedikit mengabur; Mr. Wilson menepuknya lembut lalu menuntunnya ke luar mobil. Ketika dapat melihat dengan jelas, yang pertama tampak di matanya adalah sebuah manor.

Kalau Nico dapat menghitung, mungkin luas bangunan ini sekitar lebih dari satu hektar. Belum ditambah halaman yang besarnya sama seperti lapangan baseball profesional. Atapnya berujung lancip, dan Nico dapat menghitung ada dua buah menara. Jendela-jendelanya luar biasa besar, tersebar simetris di dinding dalam bentuk bulat dan persegi panjang. Dilengkapi balkon-balkon elegan serupa rumah Juliet di Italia sana.

"Apa kita menginap?" tanya Nico heran. Seingatnya, perjalanan mereka tidak lebih dari dua belas jam.

"Jangan konyol," Mr. Wilson bersiul diantara kumisnya. "Kita sudah sampai."

"Apa?"

"Nico anakku, selamat datang!" seorang pria tua dengan rambut di sekeliling wajahnya muncul dari ambang pintu, tersenyum selebar mungkin hingga matanya yang sayu tertarik menjadi garis tipis. Tiba-tiba saja, Nico tertarik ke dalam pelukan maut diantara kedua lengan pria itu. Jenggotnya yang panjang membuatnya bersin, dan Nico hampir tidak bisa bernafas.

"Senang ... bertemu ... denganmu ... Professor," cicit Nico mencoba mengambil udara. Ketika Professor Heinrich melepaskannya, wajah Nico serupa anggur merah. Ia dapat melihatnya dengan jelas sekarang. Professor Heinrich memiliki rambut putih yang awut-awutan, terlihat sangat tak terurus. Bau kayu pinus yang kuat menguar dari tubuhnya. Jenggotnya yang menyatu dengan kumis kentara sekali belum disisir, mencuat kesana-kemari seperti habis dikeroyok sekawanan tupai. Hidungnya besar, dan yang bertengger di atasnya adalah kacamata bulat yang membingkai tatapan teduh manik hijaunya. Jika dikatakan secara singkat : Ia tak ubahnya dengan Sinterklas yang baru saja menghadapi topan.

"Coba lihat dirimu, kau sangat tinggi! Aku lupa kau mewarisi ikal dan mata cokelat milik Martha. Kau tampak seperti ibumu, nak." Professor Heinrich memandangnya dengan mata berkaca-kaca. Nico tidak tahu bagaimana harus menanggapi itu, jadi ia hanya tersenyum konyol disana.

"Baiklah, langsung masuk saja. London begitu jauh, dan kau pasti sangat lelah. Aku sudah menyiapkan kamarmu. Kamar bagus yang terletak di lantai dua, langsung mengarah ke lembah. Dimana koper-kopermu? — Ah, Mr. Wilson, tidak usah repot-repot!— " Ia mengatakan itu ketika Mr. Wilson bersusah payah mengangkut koper dari bagasi "— Tinggalkan saja, Mr. Wilson. Asistenku akan membawanya, banyak terimakasih."

Nico memandangi Professor Heinrich yang menjabat tangan Mr. Wilson erat-erat, menggoyangkannya dengan banyak ucapan terimakasih. Professor menawarinya minum teh, tetapi Mr. Wilson menolak dengan halus dan segera undur diri.

Nico merasa harapannya untuk pulang menghilang seiring mobil sedan itu mengecil di tikungan.

"Anu, Professor?"

Professor Heinrich menatapnya sayang. "Ya, nak?"

"Tidak ada hantu di rumahmu, ya kan?"

"Sungguh disayangkan, aku belum pernah melihat mereka." Jawabnya dengan tawa.


-

hasil revisi hahaha XD kelihatan bedanya kah? semoga writing style ane yang sekarang tidak begitu mengecewakan kalian ya ><

p.s : cottins itu desa imajiner ya, jadi kalau kalian cari di google gaakan ada XD

Continue Reading

You'll Also Like

156K 14.3K 21
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
2.8M 266K 78
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya.
374K 43.3K 55
Rafka, seorang mahasiswa berumur dua puluh tujuh tahun yang lagi lagi gagal dengan nilai terendah di kampus nya, saat pulang dengan keadaan murung me...
102K 8.6K 15
"Kalau aku mau putus, gimana?" "Sayang, lo tahu, kan, kalau gue nggak akan kabulin itu? Lo punya gue! Dan, lo nggak akan bisa kemana-mana dengan gela...