me,my cousin and my workmate

By neynaa

207K 3.3K 162

Ini adalah cerita mengenai seorang gadis yang dijodohkan dengan sepupunya. Namun disaat yang hampir sama ia b... More

me,my cousin and my workmate
part 1 : perjodohan
part 2 : our new CEO
part 3 : His Speech
part 4 : Lunch
part 5
part 6
part 7
part 8
part 9
part 11 : go public
part 12 : uncertainty
Part 13 - Half of My Heart
Part 14 : Holiday - Bandungan edition
part 15 : holiday more
Part 16
Part 17 - Sleepover
Part 18
Part 19 : propose
part 20
Part 21
Birthday party

part 10 : jealousy?

7.7K 144 8
By neynaa

Hi hi guys... okeh di tengah ke hectic-anku dengan begitu kuliah yang memusingkan dan dosen yang cukup susah.. akhirnya aku memutuskan untuk mengupdate cerita..

hahaha...

oke deh aku gak mau terlalu banyak curcol, lebih baik langsung aja yuuuuk..

jangan lupa vote, comment if you like it..

***

Part 10

Ting Tong, bunyi bel menganggu sarapan pagiku. Siapa sih yang pagi-pagi begini sudah berani buat mengganggu aku? Dan untuk menjawab pertanyaanku, aku berjalan menuju pintu depan apartemenku dan menekan tombol untuk melihat siapa orang yang saat ini berdiri di depan pintu. Aku disuguhi wajah tampan yang berdiri dengan sabar lengkap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Brayden? Apa yang ia lakukan bertamu ke apartemenku pagi-pagi seperti ini? Dengan rasa penasaran akhirnya aku menekan tombol untuk membukakan pintu bagi Brayden.

“Mengapa kamu kesini pagi-pagi seperti ini?” aku segera meluncurkan pertanyaan yang timbul semenjak aku melihat dia membunyikan bel. Dia menampilkan senyuman manisnya kepadaku.

“Hai my new neighbour!” sapanya masih dengan senyuman di bibir. Hah, bibirnya yang tebal itu terlihat sangat kissable. Aku memberikan tatapan pertanyaan kepadanya.

“Aku juga tinggal di gedung apartemen ini Li, dilantai 20. Jika kamu punya waktu, kamu bisa main ke apartemenku,” ucapnya dengan ringan dan tanpa disuruh ia sudah memasuki apartemenku seakan ini adalah apartemennya sendiri.

Wait, wait, WHAT?? Dia tinggal di gedung apartemen ini?? Jadi aku bukannya berhasil menjauh darinya, tapi malah semakin dekat dengannya?? Apakah ini malapetaka atau anugerah aku tak tahu. Hey, ini pasti malapetaka, kenapa aku harus mengatakan anugerah dengan adanya dia yang berada tak jauh dari tempat tinggalku. Lihat saja, ia sudah ikut menikmati sandwich yang barusan aku buat. Eh, bukannya aku hanya membuat satu sandwich yang baru kumakan satu gigit ya. Lalu dia makan SANDWICHKU!!

Aku segera berjalan menghampirinya yang sudah memakan sebagian besar dari sandwichku. Sandwichku yang malang. Aku menatapnya galak ketika dia sudah berhasil menghabiskan sandwich yang adalah sarapanku.

“Mengapa kau menghabiskan sandwichku?” seruku galak kepada pria yang masih duduk dengan nyaman di pantry-ku.

“Rupanya masakanmu sangat enak Li. Hah, aku pasti tidak akan menyesal jika menikah denganmu,” ucapnya ngawur yang memicuku untuk mendelik mendengar kata-katanya.

“Iya, kamu tidak menyesal, tapi itu yang akan menjadi penyesalan terbesarku. Sekarang saja aku sudah menyesal karena harus bertetangga denganmu,” gerutuku.

“Kamu jangan menyesal jika bersamaku Li, kamu seharusnya bersyukur karena bisa selalu didekatku. Sudahlah lebih baik sekarang kita berangkat bersama,” katanya sambil menarik sebelah tanganku dan membawa tas yang ku letakkan di sofa ruang tamu

***

Saat ini kami sudah berada di Camaro biru Brayden menuju ke kantor. Haduh kenapa tadi aku mau aja ya diseret sama Brayden menuju mobilnya. Ih, mana dari tadi diam terus pula.  Ditambah lagi Brayden saat ini tampak sangat focus menyetir, tidak menengok kanan kiri. Ke depan mulu. Memangnya tidak bosan ya melihat jalanan terus-terusan? Padahal kan di sebelahnya ada seorang gadis manis, cantik dan mempesona yang lebih menyenangkan untuk dilihat dari pada mobil-mobil yang ada di depan ataupun jalan. Nah loh aku malah kedengaran menggodanya.

Eh, eh, kenapa dia belok ke kiri? Bukannya kalau ke kantor, kita cukup lurus saja ya.

“Kita mau kemana Den?” tanyaku.

“Kita mampir ke café dulu. Aku yakin saat ini kamu sedang kelaparan,” jawabnya sambil membelokkan mobil menuju café yang berada di pinggir jalan.

“Iya, dan itu gara-gara kamu!” gerutuku kesal sambil mengingat bagaimana dia seenaknya memakan sandwich yang adalah sarapanku. Brayden tersenyum sekilas melihat betapa kesalnya diriku karena apa yang dia lakukan kepadaku.

“Oleh karena itu aku bertanggung jawab dengan membelikanmu makanan sebagai ganti sandwich yang sudah kumakan,” ujarnya keluar dari mobil. Hah, rupanya dia peduli juga padaku, dibalik sikap nyebelinnya. Aku lebih baik menunggu di dalam mobil saja deh, malas aku keluar.

Tak beberapa lama, Brayden keluar dari café sambil membawa kantong kertas dan dua gelas plastic berlabel café dimana kami berhenti dan masuk ke dalam mobil. Brayden mengulurkan kantong kertas dan salah satu gelas plastic itu kepadaku.

“Woah cupcake, yang rasa coklat lagi!! Thank you Brayden,” ucapku senang. Bagaimana Brayden mengetahui cupcake coklat adalah kesukaanku? Ah, sudahlah tak usah terlalu dipikirkan yang jelas sekarang dua buah cupcake coklat sudah di tangan. Baunya hmm… kayaknya enak nih.

“Sama-sama cupcake!” sahutnya yang memicu kernyitan di dahiku. Apa maksudnya dengan memanggilku cupcake?

***

“Den, aku keluar dari mobilmu duluan ya. Baru setelah beberapa menit kamu keluar. Aku tidak mau orang berprasangka kalau aku dan kamu ada apa-apa,” ucapku ketika kami sudah sampai di parkiran gedung. Brayden tak mengacuhkan perkataanku dan keluar dari mobilnya.

“Memang kita ada apa-apa kok.” Gumamnya pelan namun masih dapat ku dengar. Ih ini anak, aku kan Cuma tidak mau ada gossip yang aneh antara aku dan dia. Mengapa dia malah bersikap seperti itu sih? Bête deh. Lebih baik dia duluan aja deh, aku nunggu bentar lagi dan baru masuk lift.

Brayden berhenti di depan lift dan berbalik menghadapku. Dengan langkah lebar, ia menghampiriku dan menggenggam tanganku lalu berjalan dengan sedikit menyeretku.

“Den, lepasin!” seruku sambil berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya yang terasa sangat erat. Brayden malah semakin mengencangkan genggamannya seakan tak ingin melepas tanganku. Dia kenapa seperti ini sih? Di dalam lift pun Brayden tak melepas genggamannya, hingga akhirnya bisa terlepas ketika aku sudah sampai di lantai tempat ruangan berada. Hah, akhirnya aku bisa bernapas lega, karena tak ada seorang pun yang melihat adegan Brayden memegang tanganku di lift itu.

***

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan ini adalah jam pulang untuk pekerja kantoran seperti aku. Aku sedang membereskan semua berkas dan juga mematikan laptop ketika handphoneku berbunyi nyaring. Tanpa melihat siapa yang menelepon, kuangkat telepon itu.

“Halo,” sapaku kepada orang yang menelepon. Aku tersenyum kepada Tara, Fani, Wina yang pamit kepadaku. Riko terlihat masih menungguku.

“Uli, maaf kita tidak bisa pulang bersama karena aku masih ada beberapa hal yang harus kukerjakan di kantor,” ucap orang yang meneleponku.

Oh iya, aku kan tidak membawa mobilku karena tadi aku dipaksa –catat dipaksa- untuk berangkat bersama CEO arogan kita yaitu Brayden. Haduh terus aku pulangnya gimana dong?

“Maaf banget ya..” terdengar nada penyesalan dari suaranya. Aku hanya menghela napas berat sebelum menganggukkan kepala.

“Eh tidak apa-apa,” sahutku ketika aku menyadari jika orang diseberang telepon tidak bisa melihat anggukan kepalaku. Hehehe, dia kan tidak bisa melihat apa yang aku lakukan.

“Sekali lagi aku sangat meminta maaf dan terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang calon istri paling baik.” Apa yang dia katakan? Calon istri? Wah belum-belum dia mengajak untuk bertengkar ini.

“Okay, sampai besok ya..” tutupnya sambil mengakhiri telepon. Hey, aku belum mendebatnya…

“Telepon dari siapa Ran?” suara Riko muncul ditengah benakku yang ingin memarahi Brayden.

“Temanku Ko. Udahlah tidak penting. Oh iya, pulang yuk,” ajakku sambil setengah menarik lengan besar Riko keluar dari ruangan lalu menguncinya.

Wah berarti aku harus menelepon taksi ini, gara-gara sifat arogan dari Brayden membuatku susah kan. Itu yang membuatku tidak menyukai orang-orang yang memiliki sifat pemaksa macam Brayden. Huh sebel!

“Hai, Rana, Riko.”

Aku mengarahkan pandanganku untuk melihat siapa yang menyapa aku dan Riko ketika sedang menunggu lift. Mike. Lift terbuka. Ada pemandangan yang mengejutkanku ketika lift terbuka. Brayden berada di dalam lift dengan seorang wanita bergelayut manja di lengannya. Oh jadi ini yang dia bilang beberapa hal yang harus dikerjakan di kantor. Entah mengapa aku merasa sangat marah melihat pemandangan itu. Aku mengeratkan tanganku pada lengan Riko yang sedari tadi tidak kulepaskan.

“Baby, kamu jadi mengantarkan aku ke hotel tempatku menginapkan?” ucap wanita itu dengan nada manja yang di buat-buat. Aku muak mendengarnya.

“Ran, lo pulangnya gimana?” tanya Riko. Aku mendongakkan kepala melihat wajahnya. Dia menatapku dengan wajah penuh perhatian, sepertinya dia menyadari rasa tidak nyamanku satu lift dengan Brayden.

“Elo bawa motor Ko?”

Dia menjawab dengan menganggukkan kepalanya, dan aku rasa dia tahu apa jawabanku tanpa harus mengatakan kepadanya.

“Kamu tidak membawa mobilmu Ran?” eh iya, gara-gara Brayden aku hampir melupakan keberadaan Mike yang berdiri di sampingku. Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Mike.

“Bagaimana kalau pulang bersamaku saja?” tawarnya. Kalau dalam keadaan yang baik-baik saja, aku yakin jika aku langsung akan mengiyakan tawarannya itu. Akan tetapi saat ini aku sedang tidak ingin mengobrol atau apapun dengan orang, dan aku yakin Riko sangat memahamiku hingga dia pasti takkan begitu mengacaukan moodku yang sudah kacau ini.

Akhirnya dengan memaksakan senyum tipis aku menggelengkan kepalaku. “Aku pulang bersama Riko saja.”

Aku melihat Mike yang menundukkan kepalanya dan entah mengapa aku merasa dia kecewa dengan jawabanku.

Ting. Bunyi lift sampai di lantai satu. Aku dan Riko melangkahkan kaki keluar dari lift itu meninggalkan Brayden dan pasangannya serta Mike yang turun sampai basement.

“Lo mau langsung pulang atau kita ke café dulu?’ tanya Riko ketika kami sudah sampai di sebelah motor besarnya.

“Pulang aja deh Ko,” sahutku dengan nada lemah mengambil helm yang Riko ulurkan kepadaku dan memakainya. Aku menaiki motor besar itu dengan sedikit bantuan dari Riko. Riko menjalankan motornya menuju apartemenku tanpa banyak bertanya. Itu hal yang aku senangi memiliki teman seperti Riko. Dia sudah aku anggap seperti sahabatku sendiri, sekalipun banyak orang yang mengatakan bahwa wanita dan pria tak mungkin untuk menjalin persahabatan.

Kami sudah berteman cukup lama semenjak bertemu di Sidney University dimana Riko menjadi adik tingkatku walau sebenarnya Riko lebih tua daripada aku beberapa bulan. Persahabatan kami semakin kental ketika Riko masuk ke dalam perusahaan kami dan menjadi salah satu anggota timku.

Perjalanan menuju apartemenku diisi dengan keheningan. Ah, pasti Riko berusaha untuk menekan keinginannya bertanya. Dia sebenarnya sudah sangat ingin bertanya sejak tragedi di parkiran itu, namun aku selalu berusaha untuk menghindar darinya. Dan sekarang sepertinya aku harus mengatakan apa yang menjadi rahasiaku selama ini.

###

“Jadi sebenarnya ada apa?” tanya Riko langsung ketika kami sudah duduk di sofa apartemenku.

“Lo mau minum apa Ko?” tanyaku mengabaikan pertanyaannya untuk sementara, mengulur waktu supaya aku bisa mengatur kata-kata yang tepat untuk menjelaskan mengenai aku dan Brayden kepada Riko.

“Orange juice aja,” jawab Riko pendek. Dia tahu kalau aku sedang berusaha menyusun kata-kata.

Aku berjalan ke dapur dan mengambil sekotak jus jeruk dari dalam lemari es lalu menuangkannya ke dalam dua gelas. Dan kembali ke ruang tengah lalu menempatkan diri di sebelah Riko sambil meletakkan kedua gelas itu di meja.

“Eng, sebenarnya gue bingung mulai darimana, tapi gue sama Brayden dijodohkan sama kedua orangtua kami. Dan yah kami memang cukup dekat.” Aku berusaha menjelaskan sekalipun aku merasa penjelasanku sama sekali membingungkan. Mengapa aku jadi kesulitan untuk menjelaskan hubunganku dengan Brayden? Haruskah aku mengatakan tentang kami yang selalu marah-marah –lebih tepatnya aku-, terus bagaimana aku selalu menganggapnya sebagai seseorang yang memiliki sifat arogan, pemaksa dan menyebalkan itu.

“Elo kenal dia sejak kapan? Kenapa bisa dijodohin?” tanya Riko belum puas dengan penjelasanku.

“Gue kenal sama dia sehari sebelum dia dinyatakan sebelum menjadi CEO tempat kita bekerja. Gue dijodohin sama dia karena kita adalah saudara jauh, dan gue gak tahu pemikiran ajaib apa yang membuat orangtua gue dan orangtuanya memiliki ide menjodohkan kita.” Riko manggut-manggut mendengar penjelasanku.

“Sedeket apa elo sama Brayden?”

Sedekat apa aku sama Brayden? Kita adalah teman beradu mulut –sekali lagi aku yang lebih banyak berkata-kata-, dia sering memaksaku untuk menghabiskan waktu makan siang bersamanya, lalu kami pernah ke pantai bersama. Apakah itu jawaban yang dibutuhkan oleh Riko?

“Gak terlalu deket sih, Cuma orang tua gue berusaha ngedeketin kita. Btw tahu gak sih lo kalo gue sama Brayden itu satu gedung apartemen.”

Riko sedikit membelalakan matanya mendengar perkataanku, dan tepat pada saat itu gedoran pintu terdengar dari pintu apartemenku. Siapa sih yang primitive seperti itu sampai tidak tahu kalau ada bel yang bisa menandakan kedatangannya tanpa harus memukulkan tangannya di pintu dengan keras seperti itu.

Aku dan Riko berjalan menghampiri pintu apartemen. Tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang menggedor pintu apartemenku, aku membuka pintu apartemenku. Terlihatlah wajah kusut Brayden yang menyambutku. Dia kenapa?

Wajah Brayden semakin tidak karuan ketika melihat Riko berdiri di sampingku. Aku ingin memarahinya, menumpahkan segala kata-kata pedas yang sedari tadi sebenarnya tersimpan dibenakku ketika melihatnya dengan wanita itu.

“Bolehkah aku berbicara denganmu berdua Li?” ucapnya dengan menekankan kata berdua.

“Aku rasa tidak mengapa jika ada Riko berada disini,” jawabku dingin.

“Lebih baik gue pulang dulu aja Ran. Kalian selesaikan masalah kalian,” pamit Riko dan berjalan keluar dari apartemenku. Brayden segera berjalan masuk ke dalam apartemenku dan menutup pintunya. Dia segera menghempaskan tubuhnya di sofa.

“Aku meminta maaf karena aku tidak mengatakan sebenarnya kepadamu tadi Li. Tapi kamu perlu tahu kalau aku tak ada apa-apa dengan Cynthia,” ucap Brayden.

“Aku rasa aku tak perlu tahu apa-apa. Toh itu semua bukan urusanku. Kamu tak perlu menjelaskan apa-apa, dan aku rasa percakapan kita sudah selesai. Kamu bisa pulang sekarang,” ucapku sambil membuka pintu apartemenku.

“Kamu perlu tahu kalau apa yang kamu lihat tadi hanya kesalahan dan itu sama sekali tidak seperti yang kamu pikirkan!”

‘Tidak tahukah kamu Brayden kalau hati rasanya sakit melihatmu dengan wanita lain? Aku tak tahu apakah aku cemburu, namun intinya aku tak menyukai ketika kau bersama dengan wanita lain!’ ingin sekali aku meneriakkan kata-kata itu. Namun aku tak bisa aku hanya terdiam di samping pintu apartemen tanpa bisa menghentikan airmata yang keluar. Aku benci ini. Sekali lagi aku terlihat lemah didepannya.

Brayden mengusap wajah dengan kedua tangannya lalu berjalan menghampiriku dan menarikku ke dalam pelukan. Aku hanya terus terisak membasahi kemejanya dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

“Cynthia itu adalah teman masa kecilku, tapi aku sama sekali tak punya perasaan dengannya. Dia memaksaku untuk menemaninya. Aku sebenarnya tidak ingin berbohong kepadamu, namun aku tidak ingin semakin membuat hubungan kita semakin jauh. Aku minta maaf karena aku sudah berbohong kepadamu Li.” Brayden melepas pelukannya dan melihat wajahku yang basah. Ia mengusap pipiku yang basah dengan ibu jarinya.

Aku tak tahu mengapa aku menerima pelukan Brayden begitu saja tanpa memarahinya, karena dia dengan berani menyentuhku. Namun satu hal, aku merasa nyaman dan aman dalam pelukannya.

“Kamu mau memaafkanku kan Li?” Aku tak tahu apakah ini adalah sebuah keputusan bodoh dan naïf, namun satu hal aku benar-benar memaafkannya dan tak ingin Brayden dekat dengan wanita manapun. Aku sebenarnya ingin mengatakan hal ini, namun rasa gengsiku menahan itu semua hingga akhirnya aku hanya menganggukkan kepala.

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
6.2M 482K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
1.7M 81.3K 54
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
2.1M 20.2K 25
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...