CRUSHED

By wavybutera

230K 12.4K 1.4K

[DISCONTINUED] "He's an asshole. He's a bastard. He's hurting me. He makes me a mess." WARNING: This book con... More

Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Author Note (PLEASE READ)
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29

Chapter 22

5.5K 468 22
By wavybutera

Astaga... Aku benar-benar merasa sangat gugup bahkan sejak sore tadi ketika aku baru tiba di apartemen. Setelah bersusah payah melawan dewi batinku agar tetap menolak permintaan Zayn, akhirnya aku menyerah. Aku menerima ajakan Zayn dan memperbolehkannya mengantarku pulang ke apartemen. Dia juga sempat mengatakan bahwa dia akan mengajakku pergi makan malam jam 8 nanti. Ya, makan malam! Entah Zayn menganggap semua ini hanya makan malam biasa atau sebuah pendekatan—maksudku kencan pertama kami, aku tidak peduli. Yang jelas semua ini merupakan awal yang baik bagiku dan juga Zayn.

Malam ini aku lebih memilih mengenakan dress putih tanpa lengan yang jatuh tepat di pertengahan paha. Tidak ada manik-manik maupun hiasan lain yang terpatri pada dress ini sehingga terlihat sangat simple dan sederhana, namun entah mengapa aku justru sangat menyukainya. Bagian leher dari dress ini berbentuk V yang tidak begitu rendah jadi kupikir dress ini tidak terlalu terbuka dan cocok digunakan saat acara-acara santai semacam ini.

Aku juga menyempatkan diri memoles beberapa alat make up pada wajahku untuk menunjang penampilanku malam ini. Memang tidak terlalu tebal, karena aku sendiri tidak mahir dalam hal merias diri. Biasanya kalau aku hendak berpergian atau mendatangi acara-acara tertentu, ibu lah yang membantuku merias diri dan memilih setelan apa yang cocok kukenakan, lain halnya dengan saat ini. Sekarang aku harus melakukan semuanya sendirian. Akan tetapi kurasa hasilnya tidak terlalu buruk seperti yang telah kuduga sebelumnya.

Kini aku tengah mengucir rambutku menjadi satu karena rambutku terlalu panjang dan susah diatur. Mungkin aku akan sedikit merapikannya saat mempunyai waktu luang untuk mampir ke salon terdekat. Setelah puas menatap pantulan diriku sendiri pada cermin rias, aku segera bangkit dari tempatku dan meraih sepasang high heels hitam dari rak sepatu. Aku memakainya lantas langsung melesat ke ruang tengah dengan membawa serta tas kecil yang menggantung pada bahu.

Jam dinding menunjukkan pukul 8, itu artinya Zayn akan tiba di apartemenku beberapa detik lagi atau bisa saja dia malah sudah tiba di sini. Aku menunggu dalam gelisah seraya berjalan mondar mandir di tempatku. Malam ini seluruh penjuru Los Angeles diguyur hujan yang berfrekuensi deras disertai angin kencang. Kendati suasana malam ini sangat tidak bersahabat, para penduduk Los Angeles tidak menjadikannya sebagai penghalang untuk melakukan pekerjaannya masing-masing, seperti halnya dengan Cara. Malam ini dia tetap bekerja meski aku sudah melarangnya berkali-kali.

Berbicara mengenai suasana malam ini, aku jadi bertanya-tanya mengenai keadaan Zayn sekarang. Setahuku Zayn adalah orang yang tepat waktu dan jarang sekali terlambat. Bahkan saat pengumpulan tugas, dia lah orang pertama yang mengumpulkan tugas tepat waktu dibandingkan dengan mahasiswa-mahasiswa yang lain. Sama halnya ketika dia berjanji, maka aku yakin dia akan menepatinya. Tapi entah mengapa hingga saat ini Zayn tak kunjung tiba di apartemenku. Oh, ya Tuhan... Dalam sekejap pikiran-pikiran buruk tentang Zayn menyerbu otakku. Di mana dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia mempunyai masalah saat sedang dalam perjalanan menuju kemari?

Sialan. Aku merasa gelisah dan tidak bisa tenang lantaran memikirkan dirinya. Kalau begini aku tidak mungkin hanya menunggu kedatangan Zayn dengan duduk-duduk manis di atas sofa atau berjalan mondar mandir di tempatku. Aku harus melakukan sesuatu. Ya, itu benar. Tapi apa? Otakku benar-benar buntu dan tidak tahu harus bagaimana. Cara pergi ke toko buku Cody menggunakan mobilnya, jadi aku tidak punya kendaraan lain untuk berpergian. Kalau aku menggunakan bus atau angkutan umum lain, kurasa malah menambah rumit masalah ini. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?

Dalam sekejap satu buah ide terlintas dalam otak kecilku. Kontan aku segera merogoh tas yang kubawa dan mengeluarkan ponselku dari sana. Dengan cekatan aku mencari nama kontak Zayn pada daftar nomor telepon dan segera menghubunginya. Nada sambung pertama sudah berbunyi ketika ponsel tersebut kutempelkan pada daun telinga. Nada sambung terus berbunyi—yang menandakan Zayn belum menerima panggilanku—dan selama itu pula perasaan gelisah yang kualami semakin menjadi-jadi.

Terima panggilanku, Zayn. Kumohon! Kumohon!!

Tiba-tiba nada sambung berhenti dan panggilan terputus. Double sialan! Zayn tidak menerima panggilanku dan tentu saja hal itu menambah kekhawatiranku kepadanya. Sebenarnya dia sedang berada di mana sih? Apa mungkin dia melupakan janjinya bersamaku? Tidak, tidak, tidak. Zayn tidak mungkin melupakan janjinya kepadaku malam ini. Aku menggelengkan kepala sembari menghempaskan tubuhku ke atas sofa. Kepalaku terasa begitu pening hanya karena memikirkan keadaan Zayn. Semua kemungkinan bisa saja terjadi dan tidak menutup kemungkinan hal-hal diluar dugaanku pun juga bisa terjadi.

Selang beberapa detik kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari arah depan. Sontak aku langsung bangkit dari tempatku dan berjalan cepat ke pintu depan untuk membukakannya. Aku yakin 100% bahwa orang yang sedang mengetuk pintu ini adalah Zayn. Dan nyatanya ketika aku sudah membuka pintu tersebut, memang sosok Zayn lah yang berada di hadapanku dengan keadaan yang sangat kacau. Tubuhnya basah kuyup lantaran guyuran air hujan di luar, rambut hitamnya terlihat kusut dan bibirnya sedikit membiru mungkin karena hawa dingin yang memang sangat menusuk tubuh.

"Ellie, bisakah kau tutup mulutmu dan mempersilahkanku masuk ke dalam?" ujar Zayn membuatku sadar bahwa sedari tadi aku melongo melihat keadaannya. Sontak aku menutup mulut, membuka pintu lebih lebar agar terdapat ruang untuk jalan masuknya, dan menutup pintu kembali.

"Astaga, kau harus segera mengeringkan tubuhmu, Zayn."

"Ya, aku butuh handuk dan kamar mandi." katanya sambil memeluk dirinya sendiri. Aku mengangguk mantap lalu melenggang melewatinya menuju kamar. Pun tanpa aba-aba dariku Zayn sudah mengekoriku di belakang. Tidak banyak kata, aku langsung mengambil handuk dari dalam lemari dan memberikannya kepada Zayn. Begitu ia menerimanya, ia langsung berlari kecil ke arah kamar mandi.

Aku bergerak cepat mencari pakaian untuk Zayn meskipun merasa sedikit bingung. Sangat tidak mungkin jika Zayn tidak mengganti pakaiannya yang basah kuyup itu dan tetap memakainya, tapi lebih tidak mungkin lagi jika Zayn harus memakai pakaianku. Setelah menggeledah seisi rak lemariku, tiba-tiba aku mempunyai pikiran meminjamkan pakaian Cara kepada Zayn. Cara memang bisa dibilang sedikit tomboy, jadi semua pakaian yang Cara miliki mayoritas merupakan pakaian pria—seperti kemeja dan kaus polos, ukurannya pun cukup besar untuk dikenakan seorang gadis sepertinya. Kontan aku membuka lemari Cara dan mencari kaus polos miliknya yang mempunyai ukuran paling besar.

"Ellie." ucap Zayn ketika aku masih sibuk mencarikan pakaian yang bisa dia kenakan. Sialan. Di mana Cara menyimpan kaus-kausnya? Di rak lemari ini hanya terdapat skinny jeans, jaket, dan dress yang tertata lebih rapi jika dibandingkan dengan milikku. Aku membuka rak lemari kedua dan kembali mencari kaus yang pas untuk Zayn.

"Tunggu dulu, Zayn. Aku tengah mencarikan pakaian untukmu."

"Pakaian? Apakah kau yakin kau mempunyai pakaian yang pantas untukku?" Aku bisa merasakan Zayn tengah melangkah mendekati ranjangku kemudian mengambil posisi duduk di ujungnya. Sepertinya dia juga tengah mengamati atau mungkin menilai tatanan kamarku di setiap sudutnya.

"Ya. Well, yang terpenting kau harus mengganti pakaianmu itu."

"Tidak, Ellie. Kau tidak perlu susah-susah mencarikan pakaian untukku. Aku sedang mengeringkannya dan sebentar lagi pakaianku akan mengering."

"Aku tidak merasa terbebani hanya karena mencari pakaian untukmu dan... ah, ini dia!" seruku, membalikkan tubuh dalam gerakan cepat setelah menutup rak lemarinya. Aku mendapati Zayn memang sedang duduk di atas ranjangku sambil mengedarkan pandangan ke segala arah. Dia melilitkan handuk yang kuberikan tadi pada bawah pinggangnya, rambutnya nampak basah dan berantakan. Brengsek. Dia terlihat... ah, tidak!

Tak lama, Zayn memutar bola matanya kepadaku dan bangkit dari tempatnya sambil melemparkan senyuman lebar. Dengan langkah perlahan namun pasti Zayn berjalan mendekatiku. Anehnya, ketika Zayn semakin lama semakin mendekat denganku, aku tidak merasakan getaran-getaran apapun di dalam hatiku. Jantungku pun masih berpacu dengan kecepatan normal. Oh, apalagi yang terjadi dengan diriku? Mengapa aku tidak bisa merasakan getaran-getaran aneh itu saat bersama Zayn? Dan mengapa aku justru merasakannya saat bersama Harry? Tidak mungkin. Aku menyukai Zayn dan aku jatuh cinta dengannya, bukan dengan Harry! Mungkin aku menjadi tidak karuan dan gugup di dekat Harry karena dia menakutkan.

"Kau yakin aku harus memakainya?"

Aku memutar bola mata. "Tidak ada pilihan, Zayn. Aku tidak ingin kau bertelanjang seperti ini di apartemenku. Lagi pula semua ini untuk kebaikanmu sendiri, bukan untukku."

"Oke, oke, baiklah. Kalau begitu terima kasih." ujar Zayn terkekeh geli. Setelah menerima kaus pemberianku, dia langsung melesat masuk ke kamar mandi. Aku pun memutuskan meninggalkannya, berinisiatif membuatkan makanan dan minuman untuk menghangatkan tubuh. Aku bahkan sudah tidak terlalu memikirkan makan malam kami yang akhirnya tertunda. Kurasa kami bisa melakukannya lain waktu dengan keadaan yang kondusif tentunya.

Sesampainya di dapur, dengan cekatan aku mengambil bahan-bahan dari dalam lemari pendingin dan memulai membuat sup. Dengan segala keterbatasan yang ada, hanya inilah masakan yang bisa kubuat sekarang. Aku memang tidak terlalu mahir dalam hal memasak tapi juga tidak terlalu buruk. Lagi pula membuat sup sangatlah sederhana dan hanya membutuhkan waktu yang singkat. Sambil menunggu supnya matang, aku berangsur meraih dua cangkir berukuran sedang, membuat teh hangat untukku dan juga Zayn.

"Ellie."

Spontan aku menolehkan kepala ke sumber suara, mendapati Zayn tengah berdiri di dekat meja makan. Dia sudah berganti memakai kaus Cara tanpa mengganti celana jeans-nya yang masih basah. Aku tersenyum lebar. "Kaus itu terlihat cocok padamu. Ah ya, maaf aku tidak memiliki jeans yang seukuran denganmu. Tidak apa-apa, kan?"

"Tidak masalah. Kaus ini sudah membuatku lebih membaik dari sebelumnya. Dan kalau boleh jujur, aku menyukai parfum yang kau pakai, Ellie." katanya sambil mencium lengan dari kaus yang dia kenakan. Dalam sekejap sebuah batu besar mencekat tenggorokanku. Sialan. Aku cepat-cepat membalikkan tubuh dan kembali fokus pada dua cangkir di hadapanku.

"Sebenarnya kaus itu milik Cara."

"Jadi kaus ini milik Cara? Astaga, aku minta maaf sudah mengatakannya kepadamu. Aku tidak bermaksud membuatmu...—"

"Tidak, aku baik-baik saja. Tenanglah." sergahku cepat. Setelah menuangkan sup ke dua mangkuk berbeda, aku menaruhnya pada nampan beserta cangkir teh yang telah kubuat terlebih dulu, lantas membawa nampan tersebut dan meletakkannya di atas meja makan. Aku menarik kursi di hadapan Zayn kemudian mengambil posisi duduk di atasnya.

"Umm, baiklah. Ngomong-ngomong, aku minta maaf rencana kita malam ini harus tertunda lantaran kondisi yang tidak memungkinkan dan kau jadi harus repot-repot membuatkan makan malam untukku. Ini semua karena mobil sialanku kembali mogok sehingga aku harus memakai motor itu! Tapi aku tetap berjanji akan mengajakmu pergi ke suatu tempat setelah hujannya mereda, jangan khawatir."

Aku menggeleng, menolak permintaannya secara halus. "Kau tidak perlu melakukannya, kita bisa pergi bersama lain waktu. Sebaiknya setelah ini kau harus pulang dan berisitirahat agar kau tidak sakit akibat terkena guyuran air hujan tadi."

"Tidak, Ellie, aku baik-baik saja. Kumohon ikutlah denganku hanya malam ini. Aku sangat membutuhkanmu."

"Baik, aku akan ikut denganmu. Tapi apakah menurutmu aku harus berganti pakaian terlebih dulu?"

Zayn terdiam beberapa saat. Bola matanya bergerak perlahan meneliti penampilanku dari atas ke bawah. Kontan aku menggigit pipi bagian dalam, merasa gugup karena melihat tatapan menilai yang Zayn lontarkan itu. Namun tak lama, senyuman lebarnya mengembang dari telinga ke telinga. Seketika itu pula aku merasa lega sekaligus bisa membalas senyumannya.

"Kau selalu cantik dalam balutan pakaian apapun, terutama malam ini. Jadi kurasa tidak terlalu masalah pakaian macam apa yang akan kau kenakan."

Oh, astaga... Aku bisa merasakan pipiku langsung memanas dan merona merah setelah mendengar pujian dari Zayn tadi. Kontan aku membuang muka darinya, tidak ingin Zayn melihat diriku yang merona akibat pujiannya. Dan seketika itu pula suasana di antara kami menjadi hening dan canggung. Aku mengisyaratkan Zayn untuk segera memakan supnya. Untungnya dia mengerti maksudku dan langsung menyantap supnya dengan lahap.

Diam-diam aku memperhatikan Zayn yang tengah mengunyah makanannya. Zayn memiliki rahang tegas dan hidung mancung, di sekitaran dagu hingga lehernya ditumbuhi rambut-rambut halus yang menambah kesan seksinya. Apalagi melihat kondisinya sekarang—rambutnya yang basah menyebabkan satu bulir air menetes di pelipisnya—rasanya aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.

"Kenapa kau melihatku dengan tatapan seperti itu, Ellie?"

Sial! "A-apa? Tidak, lupakan saja dan nikmati makananmu." ucapku tergagap, meraih sendok beserta garpuku lalu mulai menyantap supku. Zayn hanya manggut-manggut dan kembali menyantap supnya.

***

Setelah menghabiskan makan malam kami di apartemenku, kami berbincang-bincang dengan topik bahasan yang ringan. Aku bertanya mengenai keluarga Zayn lebih jauh, begitu pula dengannya. Dan aku baru tahu ternyata ayah Zayn merupakan salah satu profesor di UCLA tapi beliau mengajar pada bidang sastra dan bahasa inggris. Ayah Zayn berperan penting dalam karir Zayn yang terbilang menanjak dari dia duduk di bangku SMP sampai saat ini dia melanjutkan di universitas. Rupanya Zayn mendapat beasiswa persemesternya dan hal itu membuatku semakin kagum kepadanya.

Kendati memiliki ayah yang terpandang dan keluarga yang bergelimang harta, Zayn tetap rendah hati. Dia mendapatkan kesuksesannya melalui hasil kerja kerasnya selama ini tanpa bantuan orangtuanya. Tapi meskipun demikian, tetap saja hidupnya tidak berjalan semulus itu. Ayahnya sempat memaksa Zayn untuk mengambil jurusan sastra dan bahasa inggris agar dapat meneruskan profesi ayahnya, namun Zayn menolaknya mentah-mentah dan tetap melanjutkan cita-citanya yaitu menjadi dokter. Karena perdebatan kecil itulah Zayn menjadi anak yang sedikit nakal. Dia jarang berkunjung ke rumah orangtuanya dan lebih memilih tinggal bersama teman-temannya di frat.

Aku sempat berpikir untuk menanyakan segala sesuatu yang mengganjal pada pikiranku tentang Harry selama ini. Dimulai dari sifatnya yang begitu temperamental hingga perkelahian yang terjadi di antara mereka. Namun saat hendak menanyakannya, aku justru mengurungkan niatanku tersebut. Entahlah, aku hanya kurang yakin untuk menanyakan mengenai hal itu.

Seperti yang telah dikatakan Zayn, malam ini dia membawaku pergi ke suatu tempat. Akan tetapi Zayn harus mengambil mobilnya di bengkel terlebih dahulu sebelum pergi ke tempat yang dijanjikannya. Aku sendiri tidak tahu menahu mengenai tempat tujuan Zayn malam ini. Sebenarnya aku tidak terlalu bersemangat malam ini, maka dari itu aku tidak ingin tahu tempat tujuan Zayn tersebut. Lagi pula selama perjalanan Zayn hanya disibukkan berkirim pesan singkat di ponselnya jadi aku lebih memilih memandang sisi jalanan yang masih terlihat basah akibat guyuran hujan.

Zayn menginjak pedal rem tiba-tiba membuat tubuhku terbanting ke depan. Tapi untungnya aku sudah memakai sabuk pengaman jadi tubuhku tidak terbentur dasbor di depan. Zayn membuka kaca mobilnya setengah, melarikan telunjuknya di depan bibir seperti menyuruhku untuk diam. Aku merapatkan bibirku dan menganggukkan kepala sebagai jawaban. Detik selanjutnya dia melarikan pandangan ke halaman sebuah rumah megah yang kuasumsikan sebagai frat yang biasa ditempatinya. Namun keadaan di sini sangat kacau. Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi?

Beberapa mobil polisi sedang berpatroli di sekitar frat tersebut. Satu persatu orang-orang yang berada di dalamnya keluar dengan tangan terikat di belakang tubuh dan diekori oleh dua orang polisi. Polisi-polisi tersebut mengacungkan senapannya tepat di pelipis mereka sehingga mereka hanya bisa bergerak sesuai perintah sang polisi. Di antara kerumunan orang-orang itu, aku melihat sosok Harry berdiri di sana. Ya, pria itu benar-benar Harry! Dan dia tidak sendirian, melainkan bersama Louis yang berada di samping Harry. Sang polisi membawakan orang-orang dari dalam frat tersebut ke hadapan Harry, lalu Harry nampak menginterogasi mereka satu persatu. Mungkin jawaban mereka tidak bisa diterima oleh Harry karena dia melayangkan tinjuan keras yang tepat mengenai perutnya.

"Za-zayn..."

"Diamlah dan tetap tenang, atau mereka akan menemukan kita di sini."

"Bagaimana aku bisa tenang melihat semua kekacauan ini? Apa yang terjadi? Apa tujuan mereka datang kemari? Dan coba lihat. Bukankah orang yang sedang menghajar teman-teman frat-mu itu adalah Harry dan Louis?"

Zayn mengangguk. "Tapi aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang mereka inginkan, Ellie. Aku pun sama terkejutnya dengan apa yang kau rasakan. Bahkan Alex tidak memberitahuku sebelumnya kalau polisi datang ke frat kami."

"Apakah mereka kemari karena pesta yang kalian adakan?"

Zayn menggeleng, tetap fokus dengan pemandangan yang memilukan di hadapan kami. "Kurasa tidak. Lagi pula malam ini kami tidak sedang menyelenggarakan pesta."

"Lalu apakah kau akan terus berdiam diri di sini?"

Lagi, Zayn hanya menggeleng. Dia menutup kaca mobilnya, menyalakan mesin dan memutar balik mobilnya. Napasnya tersengal-sengal, raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan bahwa ia merasa takut. Barulah saat kami mulai menjauh dari frat tersebut, Zayn menghembuskan napas lega sembari menggumam. "Dasar keparat."

"Kau baik-baik saja, kan?"

"Tidak. Mereka akan terus mengejarku karena fitnahan si keparat itu."

Aku mengernyitkan dahi. "Si keparat itu? Maksudmu Harry? Jadi dia memfitnahmu sehingga polisi-polisi tadi terus-terusan mengejarmu?"

"Ya."

"Mengapa dia memfitnahmu?"

"Mungkin dia tidak bisa menerima kekalahannya terhadapku saat kami mengikuti balap liar tempo lalu."

"Hanya itu?"

"Kurasa ya."

Aku semakin tidak mengerti dengan masalah mereka. Mana mungkin hanya dengan kekalahan dalam perlombaan—yang bahkan bersifat ilegal—Harry sampai melaporkan Zayn ke aparat hukum. Aku tahu Harry memang pria yang tidak normal, tapi kurasa Harry tidak mungkin melakukan hal semacam itu tanpa didasari alasan yang kuat. Dan melihat Zayn yang nampak ketakutan akibat kejadian tadi, aku jadi menaruh perasaan curiga terhadapnya. Jangan-jangan apa yang Harry katakan selama ini memang benar adanya? Aku menggelengkan kepala cepat-cepat, mengembalikanku ke dunia nyata.

"Lantas apa yang akan kau lakukan sekarang, Zayn?"

"Kabur."

Kabur? "Mana mungkin kau bisa kabur dari aparat-aparat hukum? Mereka memiliki jangkauan luas jadi mereka akan mudah menemukan tempat persembunyianmu."

"Ya, aku tahu itu. Aku sedang memikirkannya dan membutuhkan waktu beberapa hari ke depan."

"Sekarang kau akan pergi ke mana?"

"Malam ini kita akan ke rumah orangtuaku dulu."

TO BE CONTINUED!

A/N: Maaf ya short chap. Maaf ya late post. Cek work gue plis plis plis plis.

Leave ur vote and comment

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 11.3K 20
Sebelum membaca, alangkah baiknya kalian untuk follow akun wp gw ya. WARNING!!!🔞 YANG GAK SUKA CERITA BOYPUSSY SILAHKAN TINGGALKAN LAPAK INI! CAST N...
117K 12K 34
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
168K 26.5K 48
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
234K 19K 93
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...