An Artist

dayenauliaa tarafından

2.6K 84 1

Daha Fazla

An Artist
Chapter One : Tamu Sekolah
Chapter Two : Verdy Alamsyah
Chapter Three : Vena Verdy
Chapter Four : Acting
Chapter Five : Peka Sedikit Dong!
Chapter Six : Getting Closer
Chapter Seven : Labrak!!
Chapter Eight : Sharing
Chapter Nine : Pengakuan
Chapter Eleven : Pernyataan
Chapter Twelve : The End

Chapter Ten : Dilema

142 4 0
dayenauliaa tarafından

Pulang sekolah, Vena langsung mengurung diri di kamarnya. Dia masih sangat kaget dengan pernyataan Verdy di sekolah tadi. Dia ga nyangka dia akan mendapat pernyataan seperti itu dari orang yang dia benci. Apa yang harus di lakukan? Apa yang harus dia katakan?

            Oh tidak! Tidak. Tidak. Vena ga mungkin suka juga dengan Verdy. Bukan ga mungkin tapi dia memang tidak boleh suka dengan Verdy. Kalau Vena sampai suka dengan orang itu, dia akan menghancurkan semua benteng yang telah dia bangun untuk menutupi dirinya yang sebenarnya

            Vena lalu melihat buku-buku yang ada di meja belajarnya. Mungkin dengan membaca buku, Vena bisa melupakan pernyataan ga jelas dari Verdy.

            Satu lembar, dua lembar, tiga lembar, Vena tidak bisa konsentrasi dengan bacaannya. Apa-apaan ini? Kenapa kata-kata Verdy selalu terngiang di telinganya. Bodoh! pikir Vena. Belum pernah dia merasa sebingung ini kepada dirinya sendiri.

            Vena lalu membaringkan tubuhnya diatas kasur. Melihat langit-langit kamarnya yang berwarna ungu muda. Menerawang ke satu bulan terakhir yang sudah dilewatinya bersama Verdy.

            Vena segera menggelengkan kepalanya. Kenapa Verdy lagi? Kenapa harus Verdy? Akh! Sial. Cowok itu berhasil membuat Vena ga tenang.

            “Vena! Kamu di kamar? Turun dulu kita makan malam!” teriak Ayahnya dari lantai bawah.

            Vena segera keluar dari kamarnya. Sebenarnya dia belum terlalu lapar tapi karena sendirian di kamar membuat Vena memikirkan yang tidak-tidak tentang Verdy, sebaiknya dia kebawah menghampiri Ayahnya.

            “Ayah masak banyak sekali. Ada acara apa?” tanya Vena yang melihat berbagai macam makanan yang terhidang di meja makan.

            “Tidak ada. Ayah hanya ingin memberitahu sesuatu yang menyangkut kamu.”

            “Menyangkut aku? Emang aku kenapa?”

            “Udalah kamu duduk dulu. Sambil makan kita omongin.”

            Vena menurut dan segera duduk. Mengambil nasi dan beberapa lauk lezat di hadapannya lalu makan dengan pelan, “Ayah ingin bicara apa?”

            “Sekolah kamu kedatangan artis yah?”

            “Iya. Kenapa?”

            “Kamu dekat sama salah seorang artis itu, Verdy Alamsyah?”

            “Tidak.”

            “Kamu mencoba menjauhinya?”

            “Bagaimana Ayah tahu?”

            “Verdy sendiri yang cerita ke Ayah.”

            “Ha?” Vena semakin bingung dengan pembicaraan ini.

            “Tadi Verdy kerumah dan berbincang dengan Ayah.”

            “Artis itu ke rumah? Bicara apa dia sama Ayah?”

            “Dia minta ke Ayah untuk bilang ke kamu supaya tidak membencinya.”

            “Apa dia bilang alasan kenapa aku membencinya?”

            “Karena dia seorang artis?”

            Vena diam dan tidak melanjutkan makannya. Hatinya berdebar. Pikirannya penuh oleh bayangan Verdy. Cowok itu sungguh-sungguh. Dia tidak bohong. Buktinya dia sampai datang ke rumah dan berbicara langsung pada Ayah Vena. Tidakkah itu mengagumkan?

            “Ayah tau kamu juga punya perasaan dengan dia.”

            Vena langsung menoleh cepat ke arahnya. Kenapa Ayahnya tau? Bahkan Vena sendiri masih meragukannya, “Aku tidak punya perasaan padanya, Ayah. Aku tidak mau punya perasaan dengannya.”

            “Jangan menolak kata hatimu, Vena.”

            “Hatiku berkata kalau aku harus melupakannya, Ayah.”

            “Jangan menyangkal, Vena. Kamu tidak bisa membohongi dirimu sendiri. Jangan jadikan kematian Mama sebagai alasan kamu membencinya.”

            “Aku tidak menyalahkan kematian Mama, Ayah. Aku hanya menyalahkan profesi Mama sebagai artis. Karena menjadi artis, Mama meninggal. Mama pergi meninggalakan kita. Begitu juga dengan Verdy. Kalau aku punya perasaan padanya. Aku takut dia...”

            “Dia?”

            Vena diam. Dia tidak meneruskan kalimatnya. Dia terlalu takut untuk meneruskannya. Bila dia meneruskan kalimatnya, itu tandanya dia mengakui kata hatinya. Dan dia tidak mau itu.

            “Pikirkan kata Ayah baik-baik, Vena. Mama kamu bukan meninggal karena dia menjadi artis. Tapi karena takdir Tuhan. Tidak menjadi artis pun, bila saat itu sudah menjadi waktu kematian Mama, yah Mama akan pergi juga dari sisi kita. Buka hati kamu, Vena. Kamu tidak bisa terus-menerus membentengi diri. Benteng itu akan menyiksa dirimu.”

            Vena diam mendengarkan kata-kata Ayahnya. Hatinya mulai membenarkan kata-kata Ayahnya. Perlahan hatinya melunak. Hatinya mulai damai dan itu sangat menentramkan. Mungkin ini saatnya Vena kembali menjadi dirinya sendiri, dirinya yang sudah ia tinggalkan selama tujuh tahun.

            Selesai makan, Vena termenung di kamarnya. Menatap gelapnya malam dan terangnya sinar bulan. Hatinya damai karena perkataan Ayahnya yang sangat mengena di hatinya tapi pikirannya berkecamuk, mencoba menolak semua yang dikatakan hatinya.

            Lalu pandangannya beralih ke foto Mamanya yang berada diatas meja belajarnya. Diraihnya foto itu dan dipeluknya foto Mamanya dan tanpa sadar matanya mengeluarkan ciran bening hangat yang meluncur di pipinya, “Ma.. Vena kangen Mama. Apa yang harus Vena lakuin, Ma? Vena bingung. Vena takut..”

            Dia terisak mendekap foto Mamanya. Vena sampai tertidur karena menangis dan masih mendekap foto Mamanya.

            Tiba-tiba Vena merasa berada di sebuah tempat yang sekelilingnya hanya ada warna putih. Vena bingung dia dimana dan Vena sadar dia berada di dalam mimpi. Lalu Vena melihat ada seorang perempuan datang menuju Vena. Begitu Vena sadar siapa yang ada di mimpinya, Vena langsung menghampiri wanita itu dan menangis.

            “Mama.. Mama.. Vena kangen. Kenapa Mama baru muncul sekarang?”

            Vena terus menangis di pangkuan Mamanya dan Mamanya dengan lembut mengusap-usap rambutnya dengan sayang dan kasih yang tak terbendung, “Vena.. Vena sayang Mama?”

            “Tentu saja Vena sayang Mama. Mana mungkin Vena ga sayang sama Mama.”

            “Kalau Vena sayang sama Mama, Vena ga boleh seperti ini. Vena ga boleh membentengi diri sendiri dan akhirnya menyakiti diri Vena sendiri.”

            “Maksud Mama apa? Vena ga ngerti.”

            Vena tersenyum dengan sangat cantik dan membelai rambut Vena, “Jangan membenci orang yang kamu sayang, Vena, hanya karena apa yang ada pada dirinya. Sayangilah orang itu dengan tulus tanpa memandang status atau apapun.”

            Vena masih tidak mengerti dengan yang dibicarakan Mamanya saat itu. Lalu dengan perlahan, Mamanya bangkit berdiri dan berjalan perlahan meninggalkan Vena. Vena berteriak sekuat tenaga supaya Mamanya tidak pergi tapi Mamanya hanya bilang bahwa Vena tidak boleh membohongi dirinya sendiri dan harus selalu berdoa pada Yang Maha Kuasa.

            Dan akhirnya Vena terbangun. Mimpi itu terasa sangat nyata baginya, bahkan belaian Mamanya pun masih terasa di rambutnya. Sangat lembut dan sangat penuh dengan kasih sayang.

            Vena lalu teringat, dia belum menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Dengan segera Vena mengambil air wudhu dan segera melaksanakan sholat. Selesai sholat Vena merasa lebih tenang dan lebih bisa berpikiran dengan jernih.

            Sekarang Vena tahu apa yang harus dia lakukan. Vena mengerti dengan hatinya. Vena tidak ingin lagi membentengi dirinya. Dan Vena juga tidak ingin membohongi perasaannya.

Okumaya devam et