Jika (completed)

By Dinni83

833K 84.9K 3.5K

Damara, gadis keras kepala yang selalu bersikap seenaknya tidak pernah mengetahui akan ada banyai kejutan yan... More

Part 1
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25

Part 2

48.1K 4K 104
By Dinni83

Helaan nafas terdengar berulang kali dari mulutku untuk kesekian kali. Kesal, sedih dan marah bercampur aduk. Terlepas dari sikap Gaharu yang super menyebalkan, aku lebih menyalahkan kecerobohanku yang teledor melihat jadwal mata kuliah yang akan di ujiankan.

Menenangkan diri di perpustakaan hanya membuat kepala semakin pusing. Rasanya mual melihat tumpukan buku tebal yang terkesan meremehkan daya pikirku. Kantinpun bukan pilihan mengingat Gaharu pasti berada di sana. Tempat paling nyaman hanya tinggal taman kampus.

Priya dan Meta menghampiriku yang duduk bersila sambil bersandar di pohon, merenungi nasib yang fi rundung masalah. "Udahlah Dubidubidam. Masa lalu biar berlalu, semua sudah terlambat. Bagaimanpun E tidak akan pernah berubah jadi A," sahut Priya dengan enteng.

Pipiku mengembung, mengingat aksi sahabatku yang satu ini saat ujian tadi. "Berisik!"

Meta tertawa melihat wajahku merengut. "Ayolah Dama. Jangan terlalu pesimis, setidaknya kamu bisa berdoa setidaknya usahamu menghasilkan nilai C."

"Hah C? percuma dong usahaku semalam begadang suntuk."

"Ya memang percuma, apa yang mau ditulis kalau yang di baca sama yang di ujiankan berbeda," jawab Priya kalem.

Mataku mendelik, menyodorkan tangan padanya. Ugh dasar ingin rasanya kutusuk matanya dengan tusuk sate. "Mana traktirannya?" tanyaku ketus.

Priya bergegas bangkit, laki-laki yang hobi memakai pakaian hitam itu berlalu ke arah kantin. Tidak berapa lama dia muncul dengan sepiring nasi goreng di tangannya.

Aku kebingungan saat melihatnya duduk dan dengan lahap menyantap nasi goreng tanpa menawariku. "Oh ya lupa, ini traktirannya." Priya mengeluarkan sesuatu dari balik saku jaketnya ke arahku.

Meta tergelak sambil memeluk perutnya sementara aku hanya bisa mengusap dada melihat benda yang berada di tanganku. Satu plastik kecil berisi asam jawa.

"Kamu butuh sesuatu yang asam biar ujian kedua nanti matamu melek," seloroh Priya kembali melanjutkan melahap makanannya dengan wajah tanpa dosa. Aku hanya bisa merengut, memaki dalam hati sahabat sekaligus playboy

Ujian kedua berjalan sedikit lebih baik. Aku mulai pasrah dan menyerahkan semua pada takdir. Setidaknya semua usaha sudah kulalukan.

Sebelum masuk kelas aku memperingatkan Priya untuk tidak seratus persen mempercayai jawaban yang Gahar berikan. Aku tau kebiasaan sahabatku ini yang rajin menegok hasil usaha teman-teman yang duduk di dekatnya. Kebetulan saat ujian kedua posisinya berada tepat di belakang laki-laki menyebalkan itu. Perasaanku menjadi tidak enak saat dengan mudah si Tuan Pelit memberitau setiap jawaban yang yang di minta Priya. Sahabatku itu tersenyum lebar, puas dan percaya diri dengan hasil jawabannya.

Menjelang akhir wakti ujian, mataku tidal sengaja melihat Gaharu menaruh kertas jawabannya di meja. Dia menatapku yang mulai curiga dengan sikap tenang. Isi kepalaku mulai mengingat dan merangkai apa saja yang dia lakukan tadi. Rupanya dia sudah membuat dua jawaban yang berbeda. Kulirik Priya yang tengah tersenyum sendiri sambil terus menulis. Ah mungkin lebih membutuhkan asam jawa itu.

Waktu ujianpun selesai, Priya bangkit sambil bersiul-siul menuju pengawas. Aku menatap nanar meja yang di tinggalkan Gaharu lalu beralih pada sahabatku yang sudah meninggalkan kelas. Dia tidak tau bencana apa yang akan dihadapinya nanti.

"Pry jawaban kamu salah semua tadi," tegurku saat kami berjalan menuju gerbang kampus. Meta menjajari langkahku tanpa berniat menyela pembicaraan.

Priya mendengus, bahunya terangkat. "Salah gimana? Jangan bilang kamu iri karena tidak di beri jawaban sama Si Gahar."

Kepalaku menggeleng. "Justru itu, tadi Haru buat jawaban yang benar di kertas lain. Jawaban yang salah dia taruh di meja. Masa tadi kamu nggak lihat sih."

Priya tiba-tiba membeku di tempat, wajahnya pucat pasi seperti Vampir. Aku nyengir sambil menyodorkan kembali asam pemberian dia di taman tadi. "Nih makan biar hidup ceria kembali."

Dia meraih asem yang kuberikan, memakannya dengan gusar hingga matanya merem melek. "Ok! itu asam ada gunanya juga ternyata. Lo berdua ikut gue. Cih, kita buat perhitungan sama si mata empet."

Rasa penasaran membuatku menurut tanpa ragu. Meta mengingatkan Priya berkali-kali, wanita beramput sebahu itu seperti sudah bisa menebak apa yang sedang di pikirkan sahabatnya.

Kami berhenti di pelataran parkir yang sepi. Mataku terus memperhatikan apa yang tengah di kerjakan laki-laki di sampingku. Dia sibuk menulis sesuatu di kertas. Senyumnya menyeringai saat menempelkan kertas itu tepat di jok motor milik Gaharu.

Aku berdecak senang sambil menepuk bahunya. "Good Job Boy."

Meta menggelengkan kepalanya, melihat kami berdua memasang senyuman licik."Kalian berdua benar-benar harus di periksa ke dokter jiwa."

Mataku melirik ke arah tulisan tadi sebelum melangkah pergi. Bisa kubayangkan betapa kesalnya Gaharu jika tau apa yang kami lakukan.

Di jual murah tanpa perantara. Harga bisa nego. Hanya untuk yang serius hubungi nomor di bawah ini.

Semua orang di kampus mengenal siapa Gaharu. Laki-laki itu kadang suka membantu mempromosikan motor atau mobil milik teman-temannya yang akan di jual. Semua orang yang melihat tidak akan menyadari kejahilan kami.

Waktu hampir menunjukan pukul tiga sore ketika tubuh lelahku kembali menginjak halaman bangunan yang sederhana. Rumah Mimih hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Ruangan tamu menyatu dengan ruang keluarga. Dapur dan ruang makan berada di belakang rumah dengan ukuran yang tidak begitu besar.

Perasaan bersalah selalu menghampiriku, sungkan dan tidak tega membiarkan Mimih bekerja sendiri. Aku diam-diam pernah bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji tapi tidak lama karena Mimih akhirnya tau. Dia mengancam akan mengusirku jika aku ketahuan melakukan hal itu lagi.

"Mih, tumben sudah pulang?" Keningku berkerut melihat wanita yang sedang menonton televisi. Seingatku Mimih selalu pulang tepat sebelum magrib.

Mimih menoleh ke arahku dengan senyum bahagia. Dia memintaku duduk di sampingnya. Kuhempaskan tubuhku di sofa yang warnanya mulai memudar. "Ada apa sih Mih?"

"Mimih dapat pekerjaan baru. Gajinya lebih besar dari pekerjaan yang sekarang."

Tanganku melepas tali sepatu. "Pekerjaan apa Mih?"

Mimih menjelaskan kalau pemilik tempat di mana dia bekerja sekarang memintanya bekerja menjadi pembantu paruh waktu di salah satu keluarga kenalannya. Jaraknya tidak begitu jauh dan tidak perlu menginap. Gajinya juga lumayan besar.

Aku menatap sedih wanita yang tengah tersenyum. "Tapi pekerjaannya pasti lebih berat. Mimih tidak capek? Biar Dama cari kerja paruh waktu saja."

"Berapa kali Mimih harus bilang tidak boleh. Sudahlah jika kamu mau berterima kasih, cukup dengan selesaikan kuliahmu dengan baik. Setelah itu kamu bisa bekerja sesukamu." Mimih beranjak masuk kedalam kamarnya.

Aku merasa bersalah telah membahas topik yang tidak disukainya. Sejak Mimih memberitau siapa diriku, ada beban setiap menatap wajah wanita yang memilih untuk tidak menikah. Tidak enak bagiku hanya bisa bergantung tanpa berbuat apa-apa.

Malam semakin larut tetapi mataku masih terjaga. Gelas berisi kopi sudah kosong untuk kedua kalinya. Jadwal ujian yang masih tersisa memaksaku mengorbankan waktu tidur mengingat kapasitas otakku tidak bisa dikatakan pintar. Beberapa kali mulutku menguap, terkantuk setelah membaca catatan yang tulisannya semakin kabur.

Gedoran di pintu menyentak mataku yang hampir saja tertidur. Pandanganku berputar ke arah jam, siapa yang datang tengah malam seperti ini?

Penasaran bercampur takut, kakiku melangkah keluar dari pintu. Mimih kulihat juga keluar dari kamarnya, suara gedoran itu memang cukup keras. Seorang wanita berpakaian minim tiba-tiba masuk begitu pintu rumah terbuka.

Tante Micha, salah satu pekerja malam kenalan Mimih duduk dengan gusar. Bau rokok tercium di ruangan yang tidak begitu besar ini. Aroma parfum murahan semakin membuat yang tercium membuat eneg. Rasa penasaran membuatku tidak mengindahkan hal itu dan memilih duduk disamping Mimih.

"Kamu tidak belajar?" tegur Mimih.

"Capek, mau isitirahat dulu."

Tante Micha tersenyum simpul, dia mengenal kebiasaanku yang terkadang ingin tau gelapnya dunia malam. Terkadang wanita yang sudah memiliki anak itu berkeluh kesah tentang hari buruk yang dijalaninya, entah itu soal pelanggan, persaingan sampai kehidupan anak kesayangannya.

Mimih memang sudah lama tidak menginjakan kaki di tempat itu tapi dia selalu menerima setiap keluh kesah beberapa pekerja malam yang dikenalnya. Terkadang mereka sering menginap jika tidak sempat pulang. Di daerah tempat tinggalku, hal seperti itu sudah tidak aneh.

Kantuk yang kembali menyerang memaksaku untuk kembali ke kamar. Lagi pula besok aku masih harus mengikuti ujian, nilaiku bisa semakin hancur jika sampai tertidur di kelas.

Deringan ponsel terdengar tepat sebelum mataku tertutup. "Apaan Pry?" sahutku dengan malas.

"Belum tidur Dam?" Suara berat Prya sebanding lurus dengan wajahnya yang menarik.

"Basa-basinya basi tau. Kamu lagi diluar Pry?" Dengan mudah aku bisa menebak dimana sahabatku berada.

Prya membalas dengan tawa khasnya. "Suntuk."

Aku tersenyum, hafal dengan sikap laki-laki yang terkenal karena keisengan dan kepiawaiannya mendapatkan wanita cantik. "Aku tunggu sekarang."

"Tidak usah, sudah malam. Tidak enak dengan Mimih."

"Sungkan tidak cocok untukmu. Sudah aku tunggu, awas kalau tidak datang," ancamanku berhasil membuat Priya mengalah. Di antara sekian banyak teman laki-lakiku, hanya dia yang kuperkenalkan dengan Mimih.

Kenangan buruk semasa smp membuatku lebih berhati-hati jika ingin membawa teman ke rumah. Ejekan tidak lagi asing di telinga, terlebih setelah orang-orang tau siapa yang merawatku. Butuh beberapa waktu hingga perasaan ini kebal dengan semua tuduhan yang menyudutkan.

"Dama, cepat keluar. Ada Priya." Mimih muncul dari balik pintu.

Setengah meloncat, tubuhku bangkit dari ranjang. Priya tengah mengobrol dengan Mimih dan Tante Micha saat aku menghampiri mereka. Mataku memperhatikan Priya yang tengah menatap tubuh Tante Micha dengan pandangan mesum. Dia meringis saat kujewer telinganya.

"Permisi dulu Tante, Mih." Priya tidak lupa dengan sopan santunnya sebelum mengikutiku ke kamar.

Pintu kubuka sepenuhnya, meskipun Mimih memberi kepercayaan baik padaku atau Priya. Baginya kami tetaplah pasangan lawan jenis yang bisa berbuat khilaf. Aku sendiri tidak terlalu mempersoalkan hal itu, di mataku Priya sudah seperti sodara sendiri.

"Ribut lagi?" tanyaku setelah menyiapkan ranjang tambahan berserta perlatan tidur lainnya untuk sahabatku. Priya sudah terbiasa menginap saat ada masalah di rumahnya.

Priya menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Bukan hal aneh sepertinya bagimu."

Rasa penasaranku muncul, dengan sikap ingin tau, aku memeluk bantal dengan mata menyipit. "Apa yang kamu sembunyikan?"

"Aku menyukai seseorang yang tidak bunda sukai. Kami berdebat hebat, daripada kesal sendiri, aku memilih pergi menenangkan diri."

Keningku berkerut bingung, Priya sangat jarang menunjukan kesungguhannya jika menyangkut soal wanita. "Siapa wanita beruntung itu?" desakku ingin tau.

Dia tertawa masam. "Kamu tidak perlu tau, perasaan ini sesuatu yang tidak nyata."

Kepalaku mengingat siapa saja wanita yang sering berada di dekat sahabatku ini. Semakin memikirkannya semakin pusing karena hampir semua wanita-wanita cantik di kampus mengenal Priya. "Jangan bilang kamu suka Bu Ivana deh," tebakku asal.

Priya hanya tersenyum, mengalihkan perhatiannya pada catatan yang dia keluarkan. Perlahan aku duduk disampingnya dengan perasaan tidak enak. Sikap Priya memperlihatkan sebesar apa kesungguhan menyukai wanita yang sudah berkeluarga itu.

"Aku tidak berminat mendengar simpati atau nasehat darimu."

Melihatnya terluka membuatku ikut merasakan hal yang sama. "Aku tidak akan memberimu nasehat. Kamu sendiri pasti sudah tau mana yang baik dan buruk. Bukan pula ingin menyudutkanmu tapi cobalah memposisikan dirimu sebagai suami Bu Ivana. Cinta terkadang mengaburkan logika, membutakan mata hati pada hal yang bernama kebenaran."

Priya masih terdiam, terkesan tidak peduli dengan semua perkataanku. Suasana menjadi canggung dan tidak nyaman. "Aku tidak ingin kehilangan sahabat yang tiba-tiba bunuh diri karena patah hati."

Senyum di wajah tampan itu akhirnya terlihat. "Tenang saja, aku masih punya dirimu jika semua wanita didunia ini pada akhirnya menolakku," selorohnya sambil mencubit pipuku.

"Cih memangnya aku ban cadangan. Tapi lucu juga ya kalau suatu saat nanti anak-anak kita bersahabat."

Tatapan Priya berubah menjadi tajam. Dia memperhatikan raut wajahku. "Kamu tidak menyukai Gaharukan?"

Tanganku menyikut lengannya. "Berhenti menyingkat nama orang seenaknya. Kamu tau sendiri, hubungan asmara bukan prioritasku saat ini. Soal siapa nanti biar takdir yang bicara. Mm tapi kelanjutan tadi siang gimana?"

Priya tertawa sendiri, dia seperti membayangkan sesuatu yang lucu. Aku tidak bisa tidak untuk tertawa setelah tau kalau aksi kami berdua membuat Gaharu marah besar. Beruntung saat itu keadaannya sedang sepi hingga tidak ada satupun saksi yang melihat keberadaan kami di parkiran.

Tubuhku yang akan bangkit tertahan. Priya menarik lenganku hingga akhirnya duduk kembali disampingnya. "Pry, ngantuk nih."

Priya memeluk tubuhku dengan erat. "Aku sayang padamu Dam. Kuharap semua harapanmu bisa terkabul dan bahagia."

"Iya, kamu juga harus bahagia ya. Sekarang aku mau tidur dulu. Kalau aku dapat nilai E, kamu harus menemaniku semester pendek nanti. Ingat itu." Mulutku mulai menguap, menahan kantuk.

"Iya, sudah sana tidur." Priya melepaskan tanganku.

Kepalaku menggeleng dengan kerutan di kening, bingung sendiri saat membayangkan kami berdua menjalin kasih. Terbersit dalam kepalaku saja tidak, apalagi memikirkan hal itu akan terjadi. Kami sudah cukup nyaman dengan keadaan sekarang, tidak lebih.

Tbc

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 383K 70
(TERSEDIA DI GRAMEDIA DAN TBO) Ini tentang kejujuran yang hanya berujung penghinaan. Tentang kesalahan di masa lalu yang menjerat sampai sekarang. Fi...
9.8M 636K 30
"Jadi gini rasanya di posesifin sama ketua genk?" -Naya Arlan dirgantara, ketua genk Pachinko yang suatu malam pernah menolong seorang gadis, sampai...
10.8M 838K 64
[CERITA INI HANYA ADA DI WATTPAD (DI AKUN INI), SELAIN ITU PASTI PLAGIAT] seperti apa jadinya jika seorang CEO mesum menikah dengan seorang gadis SMA...
8.7M 768K 58
(SUDAH TERBIT DAN PART MASIH LENGKAP) Novelnya MGMH tersedia di gramedia dan TBO, link ada di bio aku🌷 ⚠Follow dulu sebelum baca!⚠ ⚠PARA PLAGIAT DIL...