Sedang Malaikat Pun Cemburu

Od SusanArisanti

565K 45.3K 5.5K

Euis Dinamara, masa lalunya yang buruk membuatnya tersandera dalam pikiran yang gelap dan picik. Sampai datan... Více

Bab 1 Aktivis Batu Akik
Bab 2 Hubungan Darah Bukan Saudara
Bab 4 Dua Hati yang Menyimpan Luka
Bab 5 Yang Seharusnya Patah
Bab 6 Benci Tapi Rindu
Bab 7 Kesepakatan Tiga Bulan
Bab 8 Belajar tentang Cahaya
Bab 9 Menggarami Luka
Bab 10 Pelukan Pertama
Bab 11 Hujan Bulan September
Bab 12 Sangiang Pandita
Bab 13 Membunuh Perasaan
Bab 14 Terperangkap Cinta
Bab 15 Akhir Segalanya (Ending)

Bab 3 Arem-Arem Cinta

33K 2.9K 319
Od SusanArisanti


Ni'am baru saja mengadakan evaluasi kegiatan bersama panitia orientasi sebelum berangkat ke masjid pesantren untuk shalat shubuh berjamaah. Sejujurnya, sekalipun matahari sudah terbenam sejak 11-an jam lalu, Ni'am dan kawan-kawannya yang menjabat pengurus harian BEM belum memejamkan mata. Acara orientasi sampai malam hari, ditutup shalat sunnah kemudian Ni'am mengajak lima temannya briefing tentang kendala selama orientasi dan solusi yang akan mereka terapkan.

"Lo baik-baik aja Lathif?" Ni'am menatap Lathifa dengan khawatir. Sejak tadi Lathifa menunduk-hah, bukan tadi... tapi sejak tadi pagi saat mereka berada di kantor LIPI. "Wajah lo nggak enak banget, sumpah."

"Gue baik-baik aja. Oh ya, briefing udah selesai kan? Gue mau shalat shubuh abis itu istirahat. Fathur, tolong kondisiin pagi ini, ya? Ini rundown acaranya." Lathifa mengulurkan selembaran kertas kemudian berdiri.

Yi Xia memberi kode kepada Ni'am untuk diam, "Fa, gue ikut elo." Selanya, menyampirkan jilbab pashmina yang menjuntai ke bawah. Gadis berjilbab kuning tua dengan polkadot warna hitam itu mengangguk.

Ni'am menoleh pada Fathur, menanyakan apa yang telah terjadi pada Lathifa. Hanya endikan bahu yang didapatnya. Fathur sama-sama tidak tahu. Pandangan Ni'am beralih pada Watapona dan Shihab. Sama, dua cowok itu menggeleng. Tidak tahu apa jawabannya, Ni'am gusar sendiri. Ia kesal ketika ada rekan timnya yang menyembunyikan masalah dan membuat kerja mereka tidak nyaman.

***

"Ayo, Miu! Sini, Miu.... Ayo, kejar! Ayooo." Gadis itu berlari-lari di bawah lampu remang-remang. Seekor kucing berekor panjang berlarian di belakang si gadis. Ia mengeong dan mencoba menyaingi langkah tuannya. "Aaah, sini...." Lalu dua tangannya meraih kucing, menggendongnya dan mengelus puncak kepala hewan peliharaannya. "Duh... manis...." Ia tersenyum ketika kucing yang dinamai Miu itu mengatupkan mata diserta dengkuran halus.

Ni'am yang mengamati tingkah lakunya hanya tersenyum kecil. Ternyata, shubuh begini masih ada wanita yang menghabiskan waktu dengan hewan peliharaan ketimbang bermain dengan gadget, pikirnya, kemudian melangkah menuju ruang yang dipakai untuk orientasi.

Ketika Ni'am mencapai halaman, gadis yang ia lihat tadi juga sampai di halaman.

"Assalamualaikum!"

Suara itu tidak asing.

"Ih, Ayang! Somboooong."

Euis? Ni'am menoleh dan mendesah frustasi. Kenapa dia selalu bertemu Euis?

"Waalaikumsalam warahmatullah." Ni'am menyahut salam dengan ogah-ogahan. Dia melirik kanan kiri dan berdoa semoga teman-teman organisasinya tidak melihat dirinya berduaan dengan gadis yang ia anggap sinting.

"Shubuh-shubuh gini denger malaikat nyahut salam tuh rasanya adem. Duh, Bang... bawa Euis ke rawa-rawa. Euis gakuku." Celetuknya sambil memainkan mata genit.

Ni'am jantungan melihatnya. Cowok itu sampai mundur selangkah dan segera menegur organ pemompa darahnya yang mulai nakal karena berdetak seperti pandai besi memukul-mukul alat buatannya.

"Ada acara apa di pesantren ini, Ayang? Mau jadi hafidz Al-Qur'an juga, ya?" Euis menatap Ni'am dengan binar bahagia. "Atau sebenarnya kamu adalah hafidz Qur'an dan ke sini untuk muraja'ah hapalan?"

Ni'am pening mendengarnya. Sejauh ini, hapalannya hanya sampai surat Al-Muzammil. Dua bulan belum nambah lagi sampai kyai pengasuhnya pusing karena beberapa bulan ini otaknya ngadat. Mungkin efek mikirin organisasi, simpul Ni'am waktu itu.

"Ayang kok malah melamun?"

"Aku sedang berpikir." Elak Ni'am tidak mau terlihat konyol. Euis hanya terkekeh.

"Beda tipis ya antara melamun dan berpikir. Bukankah tahapan berpikir itu dilalui dengan melamun, merenung kemudian berpikir?" Dengan sok tahu, Euis memojokkan Ni'am. Gayanya yang humoris membuat Ni'am nyengir.

"Ternyata kamu pintar, ya?"

Euis langsung menangkup pipinya dengan satu tangan, "Masya Allah banget shubuh ini. Udah denger salam, eh... dipuji juga. Ayang emang paling jago deh menjungkir-balikkan dunia Adek."

Adek?

"Kamu kayaknya perlu dibawa ke psikiater."

"Aku doyannya mahasiswa. Calon sarjana double degree dari Trisakti." Euis senang melihat Ni'am melongo.

"Darimana kamu tahu kalau aku ambil dua jurusan? Jangan-jangan kamu juga tahu nama jurusan yang kuambil?"

"Namanya juga calon istri pengertian, tentu aja tahu." Euis geli melihat wajah Ni'am yang kelabakan. Cowok itu mengusap wajah, mendesah, kemudian kembali menatapnya dengan geram.

"Tahu dari mana?"

"Kalau aku jawab, maka Ayang harus melamarku." Tantang Euis, sok membuat penawaran, dan kalimatnya berhasil membuat Ni'am tertawa geli. "Ada yang lucu...?"

"Mbak, denger, ya... aku emang belum pernah pacaran. Tapi, ketika adikku pacaran, aku tahu sebuah rahasia, wanita yang benar-benar menyukai pria itu rata-rata menyimpan perasaannya rapat-rapat. Dan kalau ada wanita yang blak-blakan seperti Mbak ini, maka itu bukan cinta tapi obsesi. Oke, ya... wajar kok kalau Mbak terobsesi." Ni'am ganti membalas Euis dengan telak-sedikit narsis juga. "Jadi, Mbak... sekalipun kita baru beberapa kali bertemu, aku percaya bahwa-"

"Ayang, ini mungkin bukan cinta, tapi ini adalah komitmen. Pada diri, Allah dan juga komitmen kepada Ayang."

Ni'am ingin membedah kepala Euis kemudian melihat apakah system sarafnya itu mengalami kerusakan. Jika memang benar, Ni'am mau memperbaikinya dengan dicolokkan di listrik agar gelombang kejut listrik membuat saraf itu kembali normal.

"Lho, Ni'am? Kamu juga di sini?" Seseorang muncul, menengahi mereka. Thaimiya muncul memakai pakaian berwarna putih, senada dengan baju yang dikenakan Euis.

"Bang Thaim?" Ni'am ikut bingung, "eh, iya... ada acara orientasi dan menyewa tempat di sini, biar dekat dengan kehidupan santri."

Thaimiya mengangguk. "Euis kenal dengan Ni'am?"

Masya Allah. Euis baru ingat ucapan Mufaisha. Bahwa Ni'am adalah sepupu Mufaisha, itu artinya Ni'am juga kenal dengan Thaimiya. Melihat Thaimiya menunggu jawabannya, Euis mengangguk ragu. Dia takut kalau Ni'am mencari tahu tentangnya dari Thaimiya.
Mati gaya dia.

"Belum mulai kan muraja'ahnya?" Thaimiya melanjutkan, dada Euis berdebar-debar, gadis itu berdoa semoga Ni'am tidak penasaran.

"Abang mau murajaah hapalan, ya?" Pandangan Ni'am beralih ke Euis, "lalu kamu?"

"Aku di pesantren ini buat memasak makanan untuk santri yang akan muraja'ah sama-sama. Uangnya lumayan, lho! Bisa buat tambah-tambah." Euis memencet telinga kucing hingga hewan kesayangan Nabi Muhammad itu mengeong keras. Euis melonjak kaget, spontanitasnya membuat Thaimiya tersenyum, sementara Ni'am mendesis kesal.

Kok ada wanita se-annoying dia? Pikir Ni'am.
"Apa Ayang mau bantuin?" tawar Euis dengan senyum lebar.

"Ayang?" Thaimiya menyela, ia memandangi Euis kemudian beralih pada Ni'am. Ni'am segera mengangkat dua tangan ke udara.

"Dia sepertinya perlu dirukyah sebelum memasak, Bang. Aku nggak tahu apa yang udah terjadi, kayaknya kewarasannya mulai hilang sejak Negara api menyerang!" Celoteh Ni'am, bukannya memperjelas masalah, justru membuat Thaimiya mengerutkan kening. "Mbak, jelasin deh. Aku nggak mau salah paham."

Euis mengangguk bersemangat, "jadi, dia ini calon suamiku dan aku calon istrinya. Gimana menurutmu? Apa cocok?"

Ni'am lupa mengatupkan bibir, rahangnya sudah raib membentur tanah. Awalnya, dia berharap Euis menjelaskan hal yang sebenarnya, bukan memperkeruh keganjilan yang menimpanya-disebabkan tingkah Euis yang luar biasa itu. Thaimiya tidak segera menjawab. Dia diam sampai beberapa menit hingga Euis mengulang pertanyaannya.

"Aku masuk dulu. Assalamu'alaikum." Pandangan Thaimiya beralih ke Ni'am, "jangan berkhalwat dengan wanita, sebab setan bisa datang dari arah mana saja-tanpa kamu duga. Just be careful."

Sepeninggal Thaimiya, Euis mencibir, "dasar penceramah shubuh, bisa nggak kalau nggak usah ngerusak suasana. Kan kalau kayak gini jadi takut dosa. Ck."

"Mbak, masih takut dosa, ya?" Ni'am menatap penuh tipu daya.

Euis berdoa semoga matanya tidak terpaku pada Ni'am, tapi dia bisa apa kalau pesona Ni'am lebih besar ketimbang keinginannya untuk menjaga pandangan? Alamat hilang hapalan Qur'anku..., bisik hati Euis nelangsa. Percaya atau tidak, ketika dirinya mengumbar mata dengan hal-hal yang sebenarnya tidak dihalalkan untuk ia nikmati keindahannya, maka itu sama saja dengan menghapus ayat-ayat Al Qur'an yang susah payah ia hapal beberapa tahun lalu.

"Ayang jangan kayak cowok tanpa ekspresi itu, deh. Ngeri, tahu." Euis menghela napas, dia sudah kehilangan mood menggoda Ni'am padahal dia masih kangen bisa melihat ekspresi pemuda itu. "Oh ya, sarung yang dulu itu buatku, ya?"

"Katanya mau dibalikin?"

"Jangan pelit-pelit, deh. Haaaa, kita sudahi ya berduaannya, takut setan berdatangan. Ugh... Thaimiya itu memang... ssshhh, menyebalkan." Euis mau membalik tubuh tapi dia mengurungkan niatnya, kembali menghadap Ni'am, "sampai jumpa, Assalamu'alaikum."

"Eh, kamu bisa masak?" Ni'am menyahut salam itu dalam hati. Euis mengangguk kecil. "Bikinin sarapan ya, aku laper."

"Iiih, Ayang serius???" Dua mata Euis berbinar, tak lama mata itu kembali redup. Ia baru ingat shubuh sampai siang nanti, dia harus ikut muraja'ah hapalan Al Qur'an. Itu artinya, dia tidak bisa meluangkan waktu membuatkan Ni'am sarapan. "Tapi, aku tidak bisa. Sampai kapan Ayang di sini?"

"Kalau nggak bisa ya udah."

"Jangan ngambek gitu," Euis cemberut, "iya, deh... aku bikinin, sekedarnya aja ya menunya?"

Jari telunjuk dan jempol Ni'am membentuk huruf O. "Aku tunggu di asrama Ghazali, di lantai 2, secretariat kegiatan orientasi di pesantren putra." Ni'am berjalan meninggalkan Euis, "eh, lupa... Assalamu'alaikum."

Wa-a-la-i-kum-sa-lam.

Jantung Euis sudah meleleh seperti es yang dijerang di atas kompos gas.

***

Sejak mulai memasak, Euis menepuk-nepuk pipi. Dia berpikir bahwa yang dia rasakan kepada Ni'am hanya rasa tertarik, tapi anehnya ketika cowok itu balas meresponsnya dengan lumayan baik, tubuhnya seperti diterbangkan di atas awan. Seharusnya, dia ketakutan, tapi justru kebahagian yang meluap-luap yang mendekap erat tubuhnya.

"Kita perlu bicara." Suara itu dingin.

Euis hapal siapa pemilik suara itu. Dia tidak berani menoleh. Thaimiya ada di dekat pintu. Ia menghadap arah yang berlawanan dari Euis.

"Kamu tidak serius kan dengan ucapanmu?"

"Ucapan yang mana?"

"Calon istri Ni'am." Ada amarah tersimpan di suara itu.

"Kamu tahu bahwa aku tidak pernah bermain-main."

Thaimiya mengangguk, "maaf."

"Untuk?"

"Pernah menyakitimu, membuatmu kecewa dan-" Thaimiya tidak menyelesaikan kalimat. "Dan aku rasa aku memang tidak berhak mengatur kamu dekat dengan siapa."

"Pemikiran yang bagus."

"Tapi... jika suatu saat nanti kamu menikah dengan orang lain, begitu juga aku, kuharap kita tidak akan bertemu lagi. Sekrisis apapun keadaan kita nantinya." Rahang Thaimiya mengeras, seluruh otot di tubuhnya terasa menegang.

"Kalau begitu, tolong bahagiakan adikku." Euis menggigit bibir bawah. "Kamu sudah memilihnya."

"Itu karena kamu menghilang tanpa kabar. Setelah pengumuman lulus SMA, kita sudah berjanji untuk bertemu 4 tahun lagi. Di tempat pertama kali kita bertemu. Jangankan 4 tahun, aku sudah menunggumu sampai 8 tahun dan ketika aku memutuskan mengkhitbah gadis lain, kamu datang... kamu datang seolah kamu tidak memiliki dosa padaku." Entah kenapa, Thaimiya merasa bahwa dirinya berhak egois dan merasa benar sekarang.

"Kamu lupa, bukankah aku sudah bilang bahwa sekalipun kita sudah jujur dengan perasaan masing-masing, tapi kita belum bisa menikah, maka ikhlaskan."

Thaimiya mengucap istighfar, "melepaskan seseorang yang kita cintai itu tidak sulit, yang paling susah adalah mengikhlaskannya. Jujur, berapa banyak airmata yang sudah kamu teteskan untuk hubungan kita ini?"

"Bahkan 8 tahun lalu, sejak kelulusan SMA, aku sudah lupa rasanya airmata. Airmata yang kuteteskan setelahnya tidak berarti apa-apa."

"Apa maksudmu?"

Belum tuntas rasa ingin tahu Thaimiya, beberapa khadimah santri bermunculan untuk memasak di dapur. Euis buru-buru membuka tutup panci dan melihat kukusan arem-arem buatannya. Sepertinya sudah matang.

"Seusai muraja'ah, aku masih ingin bicara denganmu." Thaimiya pergi dari dapur pesantren. Meninggalkan Euis yang sekarang menunduk dalam-dalam.

Apa setiap cinta pertama rasanya memang sesakit ini? Tidak. Aku tak boleh egois. Intan adalah adikku. Sekalipun ibu sudah membuat hidupku hancur, aku tidak akan tega menyakiti hati adik-adikku. Aku akan melindungi mereka dengan caraku sendiri. Tekadnya dalam hati, begitu kuat. Euis segera mengalihkan perhatiannya ke ponsel, dia ingin mengirim pesan pada ibunya Ni'am.

"Hari ini Euis membuatkan sarapan Ni'am. ^_^ Semoga dia suka ya, Ma! XD Dan maaf karena kemarin Euis bolos kerja kemudian menemui Mama hanya untuk menangis. :3 Cengeng sekali, >,<!!!"

Euis menyertakan emot di pesannya.

"Kamu di mana?" Balas wanita yang dipanggil Mama itu.

"Di pesantren yang sama dengan Ni'am." Sent message.

"FIGHTING!!!"

Euis terkekeh geli membaca balasan itu. Ia mengangkat tangan ke udara, "yoyoyooo, fighting! Padahal... aku nggak yakin kalau menyukai Ni'am." Euis mengelap philtrum dengan telunjuk, "tapi rasanya menyenangkan."

"Teh," seseorang muncul. Wanita itu memakai jilbab lebar dengan mushaf Al Qur'an di tangan kanan. "Ayo, muraja'ah dulu."

"Nanti, Inaya..., aku masih membuat arem-arem." Euis menyembunyikan wajah sumringah. Dia melihat rice cooker yang masih menyala merah. Itu artinya, nasi yang ia kukus belum matang.

Wanita yang dipanggil Inaya mengernyitkan dahi. "Kemarin sore aku dan temanku membuat arem-arem. Teteh bisa menghangatkan arem-arem itu saja. Nanti kalau kita telat, Abah bisa ghadab."

"Temanmu? Siapa?" Euis pikir masukan Inaya ada baiknya. Dengan begitu, dia bisa memberikan sarapan Niam dan juga tidak terlambat ikut muraja'ah.

"Namanya Sangi. Dia baru saja pulang. Katanya ada bimbingan skripsi pagi ini. Dia udah lama nggak bimbingan karena ikut Raimuna Dunia. Dia berkunjung untuk mengantar oleh-oleh untukku, Umi dan Abah. Jadi, karena semalam menginap, Abah yang kangen masakannya meminta dibikinkan arem-arem. Teteh bisa mengambilnya dalam kulkas. Aku tunggu di teras, ya, Teh."

Euis mengiyakan. Ia bergegas menuju lemari pendingin dan mengambil arem-arem yang diwadahi baskom kecil kemudian meletakkannya dalam panci kukus untuk dihangatkan.

***

Begitu masuk dalam ruangan yang dijadikan sekretariat oleh panitia orientasi, Euis melihat Niam tidur di lantai dengan bahu menyandar di tembok. Di depannya laptop masih menyala dan printer masih bekerja mencetak dokumen. Euis menggeleng.

"Benar-benar gila kerja." Ia melihat kertas di mesin printer, "skripsi? Jadi, dia hampir lulus kuliah di jurusan desain komunikasi visual di Universitas Trisakti. Pantas saja dia berani membuka butik khusus pria. Rancangannya juga bagus." Euis menggumam sendiri. Ia menghindari menatap wajah Ni'am yang sedang tertidur. Wajah itu mengingatkan Euis pada anak-anak asuhnya. Wajah polos, tanpas dosa dan mampu menerbitkan kasih sayang dalam hatinya.

"Ni'am suka begitu, Mbak. Jangan kaget. Dia bahkan pernah ketiduran saat buang air besar." Seorang cowok berwajah aceh muncul. Name tag di almamater kampusnya bernama Fathur Ghazali. "Maklum, sehari dia nggak bisa tidur nyenyak, jadi ya begitu."

Euis mengangguk. Dia menghampiri Fathur.

"Dia tadi minta dibuatkan sarapan. Ini untuknya."

"Oh," Fathur melihat makanan yang terbungkus daun pisang itu dengan penasaran, "bangunin aja Mbak, dia sejak malam belum makan kayaknya. Cuma ngemil buah apel sebiji."

Pantas saja Ni'am merendahkan diri dengan memintanya memasak. Ughh, pasti anak itu work-orientied dan melupakan makan sebagai kebutuhan dasar makhluk hidup. Mungkin, ini alasan Mama mengharapkan menantu yang bisa memasak, kata Hati Euis, Gadis itu menahan mati-matian keinginan untuk melihat wajah polos Ni'am yang lelap dalam tidurnya.

"Atau aku yang bangunin?" Fathur mulai merencanakan hal-hal gila saat membangunkan Ni'am. Cowok itu berdiri dan menatap Ni'am dengan gairah usil yang meluap-luap.

"Nggak enak, Mas. Pulas banget tidurnya."

Masa bodoh! Dulu, Ni'am pernah membangunkannya dengan menyeret tubuhnya sampai pintu keluar ruang BEM-U. Sekarang apa salahnya kalau dia mempraktikkan hal itu pada Ni'am? Fathur sudah berjalan, tapi sayang..., Ni'am sudah membuka mata. Ia langsung menatap Fathur. Nyawanya terkumpul satu persatu.

"Apa yang lo rencanain?" Suara bangun tidur Ni'am serak, sangat menggelitik di telinga. Ini lebih dari sekedar seksi.

Fathur tertawa, "nyeret lo sampai gerbang pesantren."

Ni'am menguap sambil menutupkan tangan di mulut, "balas dendam? Ng, berapa jam gue tidur? Ssshh, perut gue laper."

"Iya-lah masalah perut itu laper, kalo kepala itu pusing."

"Ketombe juga masalah buat kepala," Euis ikut campur.

Ni'am tersenyum padanya, merasa bahagia sebab bisa me-skakmat Fathur. Ini baru bisa disebut meruntuhkan abad kesongongan Fathur Ghazali. "Ayang, ini sarapannya. Aku pergi dulu ya, ada urusan."

"Kamu nggak pengin lihat aku makan?"

Fathur melongo. Begitu juga Euis.

Ni'am menggerutu dalam hati, "Maksudku... maksudku...."

"Mau, dong. Tapi, beneran... sekarang belum memungkinkan. Untuk masak aja tadi ijin dulu. Eh, udah ya, tadi bilang ama pengurus pesantren cuma 10 menit masuk. Ntar Adek kena ta'zir ama mereka. Ayang nggak kasihan apa?" Euis beruluk salam kemudian pergi, tubuhnya menghilang di balik pintu.

Sepeninggal Euis, Ni'am segera berlari menuju arem-arem buatan cewek itu. Mata ngantuknya berganti binar bahagia-seperti kilau permen Fox terkena cahaya. Ni'am mengupas daun pisang, kemudian berdoa dan melahapnya dengan agak rakus. Melihat Ni'am yang sangat menikmati makannya, Fathur tergoda untuk mencicipi. Ia merengek minta bagian, tapi Ni'am segera menyembunyikan arem-arem itu dalam sarungnya.

"NI'AM JOROK! NI'AM LICIK! NI'AM PELIT! Eh, Astaghfitullah... ini di pesantren!" Fathur membekap mulutnya yang sudah berteriak. Niam hanya terkekeh geli kemudian melempar satu arem-arem yang di tangan.

"Dasar culas!" Omel Fathur sambil mengunyah nasi yang dicampur dengan sayuran itu dengan lahap, "kalau aku mau minta lagi gimana? Tuh arem-arem yang ada di sarung pasti bikin sawan."

Ni'am hanya merespon dengan menjulurkan lidah, mirip anak TK meledek kawannya.

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

3.7M 295K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
4.2M 247K 60
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
838K 72.1K 44
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
2.4M 159K 50
FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!! "𝓚𝓪𝓶𝓾 𝓪𝓭𝓪𝓵𝓪𝓱 𝓽𝓲𝓽𝓲𝓴 𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓱𝓮𝓷𝓽𝓲, 𝓭𝓲𝓶𝓪𝓷𝓪 𝓼𝓮𝓶𝓮𝓼𝓽𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓹𝓸𝓻𝓸𝓼 𝓭𝓮𝓷𝓰𝓪�...