Seeress

By monochrome_shana404

2K 436 270

16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari puluhan abad lamanya, seisi Dunyia damai sebagaimana semesti... More

(Sepertinya sih) Kata Pengantar
Dongeng Pengantar: Sang Pencipta, Kerajaan Langit, dan Buah Merah-Nya
Dunyia dan Seisinya
Prolog: Alkisah Sekeping Benih Harapan
I. Teka-Teki Dari Doa yang Merdu
II. Runtuhnya Alam Damai [1/3]
II. Runtuhnya Alam Damai [2/3]
II. Runtuhnya Alam Damai [3/3]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [1/4]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [2/4]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [3/4]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [4/4]
IV. Penantian Sepercik Cahaya [1/3]
IV. Penantian Sepercik Cahaya [2/3]
IV. Penantian Sepercik Cahaya [3/3]
V. Kobaran Sepucuk Harapan [1/3]
V. Kobaran Sepucuk Harapan [2/3]
V. Kobaran Sepucuk Harapan [3/3]
VI. Awal Baru Di Negeri Perdamaian
VI. Awal Baru Di Negeri Perdamaian [EX]
VII. Langkah Pertama
VIII. Ribu-ribu Tangga Penguji [1/2]
VIII. Ribu-ribu Tangga Penguji [2/2]
IX. Pemanasan
IX. Pemanasan [EX]
X. Pelatihan Intensif [1/2]
X. Pelatihan Intensif [2/2]
Lapak pengetahuan #1: Aora
XI. Titik Terang Di Kabut Gelap [1/2]
XI. Titik Terang Di Kabut Gelap [2/2]
XI. Titik Terang Di Kabut Gelap [EX]
XII. Babi Bercula Pembawa Berkah
XIII. Di Kota Musim Semi
XIV. Undangan Angin [2/2]
XIV. Undangan Angin [EX]

XIV. Undangan Angin [1/2]

9 2 0
By monochrome_shana404

"Nona Ai Qing." Sembari menatapi langit biru yang ramai oleh layangan penuh warna, Rin membuyarkan hening di antara mereka.

Keberuntungan kembali singgah pada kedua wanita tersebut, sebab kala hendak pulang Tuan He sekali lagi memberikan tumpangan di belakang gerobak yang sudah kosong, hingga Rin bisa menikmati pemandangan petang dengan leluasa seperti pagi tadi.

Maka Ai Qing bertemu pandang kepada manik keemasan yang baru mencerminkan biru langit. Tersirat rasa penasaran tipis di dalam sana usai pemanggil bersuara, lantas membuat ia menunggu agar si gadis membuka percakapan, "Kupikir Tiga Kuasa Negara dinamai demikian sebab ada alasannya. Namun, ketika Ritual Musim Semi tadi, saya tidak melihat Kuasa Negara yang satu lagi."

"Ah, Wang Yimei?"

Kedengarannya nama itu tidak begitu sulit untuk diingat dan dilafalkan. Pun, Rin lekas teringat terhadap peristiwa di hutan bambu, di mana Ai Qing menyebutkan namanya. Jelas pula dari setiap si wanita muda berbicara soal Kuasa Negara yang satu itu, bersemayam kekaguman dalam setiap nadanya.

"Beliau akan mengurusi bagian utara, tepatnya di Kuil sang Penjaga Angin. Ritual di sana diadakan satu hari sebelum festival," terang Ai Qing. "Beliau memang kurang senang melaksanakan ritual di depan orang banyak, jadi saat itu kuil harus dikosongkan terlebih dahulu. Oh, tetapi kini orang-orang yang menerima undangan kuil boleh datang ketika Ritual Musim Semi tiba.

"Mungkin menurutnya lebih baik bekerja ketika senyap, tetapi percayalah beliau sangat baik dan cantik sekali. Kau sendiri sudah sempat mendengarku, 'kan? Kau dan beliau memiliki warna mata yang sama, karena itu sebelumnya aku berpikir kau merupakan kerabatnya."

Canggung melantun dalam tawa lawan bicara. Lagi-lagi Ai Qing mengungkit hal itu, teringat berat bersinggah di dalam dada yang membuat Rin agak tak nyaman.

Betapa tidak. Dia sama sekali tidak tahu siapa Wang Yimei itu, tetapi cukuplah Rin menganggap dirinya mengenali sedikit perihal sang Kuasa Negara Pertama. Dilihat dari kekaguman Ai Qing pun sudah dapat dipastikan kalau Wang Yimei merupakan orang yang patut disegani, lantas bagaimana pula Rin mampu memantaskan diri disandingkan dengannya?

"Oh, ya. Berbicara perihal Tiga Kuasa Negara, aku baru teringat satu solusi untuk masalah kalian saat ini." Kini Ai Qing mengalihkan pembicaraan.

Tampaknya tak jauh-jauh soal undangan kuil, pula lekas menarik perhatian Rin yang segera berujar, "Apa itu, Nona Ai Qing?"

"Surat permohonan kepada Kubu Pembantu Negara!"

Cetusan si wanita memercik sedikit harap di dalam benak.

Namun, apakah itu benar-benar dapat membantu mereka yang tengah kesulitan ini?

Sepanjang perjalanan, Ai Qing menerangkan perihal surat permohonan yang disebutkannya. Rin merasa beruntung, pula ia mendapatkan sedikit informasi mengenai Kubu-Kubu Pembantu Negara.

Sebagaimana Sri Paus dibantu dengan para paus di Luminesia, tentu Tiga Kuasa Negara tidak bergerak sendirian dalam mengurusi negara. Mereka dibantu oleh Kubu-Kubu Pembantu Negara. Baik Kuasa Negara serta kubu-kubu tersebut, dipilih dari Bangsawan Agung yang merupakan keturunan tiga fraksi dalam sejarah sebelum Heyuan terbentuk.

Kubu-Kubu Pembantu Negara terbagi menjadi beberapa bagian, dan di antaranya terdapat Kubu Antarmasyarakat yang memang memiliki tugas mendengarkan aspirasi masyarakat, serta permintaan bantuan baik secara individu maupun kelompok.

Salah satu permintaan bantuan ini dapat dikirimkan dengan surat permohonan. Sebagaimana Ai Qing menerangkan, Kubu Antarmasyarakat memerlukannya sebab sekarang itulah satu-satunya cara untuk mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat. Biasanya pihak Kubu Antarmasyarakat ini akan mengunjungi mereka yang membutuhkan bantuan usai menerima surat permohonan.

"Caranya kurang efisien," tanggap Ravn.

Tampaknya ia betul-betul paham bagaimana cara surat permohonan itu bekerja tanpa harus mendengar Rin menerangkan lebih jauh. Bagus kelihatannya, tetapi si gadis harus menerima tentangan yang meluncur setelah ini.

"Kantor membutuhkan waktu untuk memeriksa surat yang masuk. Biasanya memakan waktu seminggu, lalu kita akan menerima balasan apakah permintaan kita pantas dipenuhi atau tidak. Kudengar juga Kubu Antarmasyarakat akan melakukan observasi langsung menyangkut permintaan tersebut," terang si pria muda yang masih sibuk mengikat rambut. "Namun, jika itu permintaan kita, apa yang mau mereka observasi? Bahkan diterima saja belum tentu.

"Membuat permohonan untuk mendapatkan kesempatan atas hal yang sudah berlaku seperti undangan ini, kecil kemungkinan kita dapat menerima bantuan dari Kubu Antarmasyarakat. Sebab jika permohonan kita mereka wujudkan, bagaimana perasaan orang-orang yang tidak mendapat undangan kuil? Aku berani taruhan, Kubu Antarmasyarakat tidak ingin mengambil risiko itu."

Ucapan Ravn ada benarnya. Tidaklah mungkin Kubu Antarmasyarakat mewujudkan permintaan mereka semudah itu. Alasan keperluan mereka juga tak memiliki landasan yang kurang kuat. Mana mungkin Kubu-Kubu Pembantu Negara bisa percaya kalau sekadar bertemu dengan sang Penjaga Angin dapat menyembuhkan 'penyakit' seseorang?

Penyakit, benak Rin berkecamuk seiring tangan meraba bagian atas dadanya. Peristiwa paling buruk di Kuil Wei kembali terngiang di dalam kepala, sukses menggurat kerutan di keningnya pula.

Melihat itu, Ravn menggapai bahunya. Diusapi bahu kurus tersebut dengan lembut, seolah berusaha menyerap muram durja yang tengah bersemayam dalam diri si gadis.

"Aku tidak bermaksud mematahkan semangatmu, tetapi ... terkadang kita memang harus memikirkan segala macam kemungkinan."

Ya, selalu ada pil pahit yang mesti ditelan walau luka tak kunjung sembuh karenanya. Maka Rin mengangguk di tundukan yang kian mendalam.

"Aku akan memikirkan cara lain. Jadi untuk sementara, bagaimana kalau kita membantu Ai Qing membuat lampion? Kupikir kau menyenangi kerajinan tangan."

Untungnya semringah kembali terpasang di wajah bulat si gadis.

Begitulah hari-hari berlalu. Seolah tak seorang pun memikirkan hal penting itu, mereka menjalani semua waktu membosankan dengan suka cita. Pun, siapa sangka segala perasaan ringan tersebut sukses mendorong mereka menyelesaikan pesanan seribu lampion.

Ketiganya baru berangkat bersama ke Kota Xuan sehari sebelum festival diadakan.

Tiada yang perlu diburu lagi dikejar, maka mereka menyusuri jalan dengan santai. Sekali lagi mereka dilimpahkan keberuntungan, sebab Tuan He sudi meminjamkan kereta kuda. Mudah kian mereka mengangkut seribu lampion. Lantas sembari mencuri waktu, Ai Qing mengajak kedua teman barunya makan kala siang menjelang.

Selama di Desa Harapan Kecil hingga tinggal sementara di rumah Ai Qing, Rin memahami kalau penduduk Heyuan memilih nasi sebagai makanan pokok mereka. Rasanya apa pun lauk yang tersuguh, nasi selalu ada seperti roti atau sup di Luminesia.

Karenanya ia menyiapkan diri. Meski diajak ke kedai makan, tetap saja Rin menduga kalau apa-apa yang disuguhkan kelak akan lebih banyak ketimbang Hua menyuguhkan makanan di Desa Harapan Kecil.

Namun, sebagaimana ia menduga Gedung Pengurus Negara merupakan bank, prasangkanya pun sukses direbak oleh pemandangan yang tersuguh di depan kedai.

Sebenarnya Rin merasa aneh tiap memandang kedai makan yang menyuguhkan 'dapurnya' di samping pintu masuk, tetapi sepertinya itu cukup lumrah di Heyuan. Pun, dengan begitu ia bisa menangkap langsung makanan apa yang hendak dijadikan bahan traktir Ai Qing.

Seorang pria penuh keringat yang senantiasa ia lap menggunakan kain yang tergantung di lehernya, tengah mengaduk-ngaduk isi wajan beruap hingga menguarkan aroma yang membuat Rin hampir bersin. Kadangkala ia terbangkan isinya, kadang ia ketuk-ketuk sudipnya sebelum ia pindahkan masakan ke piring atau mangkuk. Rasanya seperti sedang menyaksikan orang memasak dengan amarah, konon kian terasa seperti yang si gadis pikirkan kala memandang wajah

Namun, dengan begitu tampaklah benda bahan bagi Rin. Terlihat seperti kumpulan cacing putih yang besar dan panjang. Dari warna kuah kentalnya saja sudah terbayang bagaimana rasa makanan tersebut.

Pedas. Sebuah tantangan rasa baru bagi Rin yang mungkin cukup sulit dihadapi sebab Gentiana kerap melarang memakan makanan pedas. Akan tetapi, baiknya ia kesampingkan dulu soal rasa dan mencari tahu apa yang akan ia makan.

"Jadi kita akan makan cacing besar?" Maka tiada ragu empunya manik emas itu bertanya.

Sungguh, Ai Qing nyaris tergelak kalau-kalau ia tak ingat kedai sedang ramai. Saat itu telah usai Ravn memarkirkan kereta kuda, lekas menyusul mengekor.

"Apa Luminesia tidak punya mie?" Pun, akhirnya si pria muda menimpali. "Mungkin ... kalian menyebutnya dengan pasta?"

Sejenak Rin tertegun sebelum menjawab, "Mungkin di Venestrsha ada yang seperti itu, tetapi seingatku hanya ada roti dan sup di Luminesia."

Atau mungkin panti asuhan sungguh tak paham mengkreasikan makanan sehari-hari. Rin menambahkan dalam hati, terlampau malu mengutarakan terang-terangan.

Yah, tidak perlu heran. Bahkan panti tidak menampung sedikit anak-anak dan masih banyak yang harus diurus para ibu. Jadi memakan apa pun yang mereka berikan sudah patut disyukuri.

"Kalau begitu, aku berharap memakan mie di Heyuan menjadi pengalaman yang menyenangkan bagimu," kata Ai Qing. "Kau beruntung, sebab aku membawamu ke kedai mie terbaik di kota ini!"

Lantas dengan tawa kecil, Rin berseloroh, "Sebuah kehormatan bagi saya, Nona Ai Qing."

Kemudian Ai Qing memanggilkan pelayan, mengatakan untuk menyuguhkan tiga porsi mie yang biasa ia pesan. Teman gadisnya tampak tak keberatan. Sembari menunggu, mereka menikmati roti kukus yang tersuguh di dalam kukusan bambu.

Roti tersebut sekadar berbentuk bundar dan tidak sedikit pun warna menghiasi roti. Teksturnya lembut hingga tidak sulit untuk digigit. Rin menemukan isian yang begitu penuh di dalam roti, seperti daging giling kaya akan rasa bubuk dapur. Merica dan garamnya sedemikian terasa.

Rin sampai harus menahan diri agar tidak mengambil satu roti lagi. Dia tidak ingin merasa kekenyangan lebih dulu sebelum mencicipi makanan utama. Konon dia akan cepat mengantuk jika makan terlalu banyak.

Beruntunglah dirinya, sebab tidak perlu menunggu terlalu lama. Seorang pelayan dengan cekatan membawa tiga mangkuk mie di atas nampan. Uapnya mengepul, sukses mengundang selera.

Sembari melantun doa dalam hati, Rin memerhatikan isi mangkuk. Mie yang pipih dan panjang mendapat warna oranye kemerahan dari rempah-rempah yang ia tak mampu terka jenisnya, tertata rapi dengan telur rebus setengah potong serta sawi hijau rebus. Sejenak ia berganti pandang kepada sepasang temannya yang mulai mengaduk-ngaduk mie yang terhias cantik sebelum melahapnya dengan sumpit.

Hebat sekali, puji Rin dalam hati.

Yah, betapa tidak. Memandang mereka makan mie yang masih panas dengan lahap amatlah mengejutkan. Senyap lekas penuh oleh suara seruput mie di atas meja ini. Jika itu dia, pastilah lidahnya sudah terbakar lebih dulu.

Rin memilih untuk makan dengan hati-hati; mengambil sejumput mie dengan sepotong irisan sawi dengan sumpitnya tanpa mengaduk hiasan, lalu mengembusnya, dan melahap suapan kala uap sedikit lebih tipis.

"Wah, kau benar-benar mahir menggunakan sumpit!" Mata Ai Qing terbelalak kala menyanjung Rin usai menelan habis apa yang ia kunyah.

Tidak heran jika wanita muda di hadapan kiri Rin bereaksi demikian. Dia acap pulang larut dan melewatkan acara makan malam bersama. Maka Rin sekadar menyungging senyuman selagi lidahnya tengah beradaptasi dengan rasa yang begitu tajam nan menyengat.

"Dia memang cepat belajar. Aku sendiri merasa beruntung karena tidak perlu repot mengajarinya," timpal Ravn sebelum menyuap mulutnya lagi. Lalu ia meneruskan dengan kunyahan yang ia tahan sebelah pipi, "Kadangkala dia juga cepat tanggap hanya dengan sekali lihat. Oh, enak sekali mie pedas ini!"

"Ah, kalau itu sudah pasti!" Entah mana yang diakui Ai Qing, tetapi entah mengapa lawan bicaranya percaya dia sepakat dengan dua kalimat terakhir. "Mengenai cepat tanggap Rin, aku sendiri, 'kan, sudah melihatnya sendiri ketika dia menyelamatkan diriku dari serangan Zhucula."

Begitu mengutarakan tanggapan, Ai Qing menoleh kepada Rin yang mengunyah dengan mimik kecut. "Rin? Kau baik-baik saja?"

Empunya nama tersentak sebelum berakhir menarik lendir cair yang keluar dari hidungnya. Dia tak tampak memalukan akibat keringat yang melembapkan kulitnya sukses menyamarkan semua itu. Rona di pipi kian menguat bagai tomat.

Rin baru dapat menelan suapan pertamanya setelah rasa di dalam mulutnya hilang. Saat ia terbatuk, Ai Qing menyodorkan segelas air perlahan-lahan; mendadak canggung persis mengamati kernyitan dalam di kening si gadis, sementara Ravn setengah terperangah.

Oh, keduanya sama sekali tak menyangka kalau ia sampai menangis.

"Lidah saya seperti terbakar ...." Tidak disangka pula ia masih sempat menjawab pertanyaan wanita yang duduk di hadapan samping kirinya. Gemetar dan menyedihkan, cukuplah untuk menggambarkan suaranya saat ini.

Segera Ravn mendekatkan bangku agar bisa mengusapi punggung Rin. Dia sodorkan air, lalu menunggu Rin yang terisak meminumnya selagi ia meraih roti daging yang mereka makan.

"Maafkan aku. Aku lupa kalau orang Barat jarang menyukai pedas." Akhirnya Ai Qing bersuara juga.

"Sebenarnya enak, tetapi rasanya tajam sekali," tanggap Rin. "Saya tidak sanggup meneruskan, maafkan saya ...."

"Kita akan beli susu kedelai nanti. Makanlah ini untuk meredakan panas di mulutmu. Ravn lalu menyodorkan roti daging. "Ah, andai saja aku tahu ...."

"Tidak apa-apa. Aku juga salah, karena begitu penasaran dengan makanan pedas." Demikian si gadis melahap roti. "Hibu Henthiana melawanghu untu memahannya."

Ibu Gentiana melarangku untuk memakannya.

Jadi karena itukah dia ingin mencoba dan sama sekali tak bercerita? Dalam kernyitan, Ravn tersenyum simpul memikirkan itu sembari menenangkan Rin.

"Teruslah makan rotinya. Astaga, bibirmu merah sekali."

Begitulah Ai Qing kembali menimpali, "Kalau begitu, aku akan memesan mie dengan rasa biasa—"

"Jangan, Nona Ai Qing! Saya akan menghabiskannya—"

"Mana bisa seperti itu!" bantah Ravn. "Satu suap saja sudah seperti ini, bagaimana seterusnya nanti?!"

"Kita tidak boleh membuang makanan, bukan ...."

"Aku yang akan menghabiskan milikmu yang sekarang, jadi tidak bisa dihitung membuang makan. Menurutlah kali ini, kau sudah sekarat."

Angguk-angguk kecil lekas menjadi pengakuan kekalahannya. Tumben sekali, tetapi sepatutnya Ravn tidak ambil pusing. Yah, bagaimana pula pemilik mata keemasan tersebut bisa beradu argumen dengan lidah yang terbakar itu? Ditambah mereka sudah menjadi pusat perhatian para pelanggan di dalam sejak Rin menangis.

Benar-benar pengalaman yang menggemparkan. Mereka benar-benar harus mengakhirinya dengan tenang.

~*~

Susu kedelai memang berhasil meredakan panas di mulut Rin, tetapi warna bibir yang tak kunjung reda kembali ke asal menarik perhatian banyak orang di sepanjang jalan. Tiada henti ia menutupi bibirnya dengan berpura-pura menyeruput susu kedelai dari botol labu yang sudah kosong kalau ia memergoki seseorang mengamatinya.

"Sepatutnya kau tidak perlu mengkhawatirkan tanggapan orang. Atau perlukah aku membelikanmu cadar?"

Ucapan Ravn menarik tangannya turun dengan canggung. Agak tampak gurat berengut di garis wajah si gadis. Meski berat hatinya mengindahkan itu, pria berambut cokelat segera berkata, "Ini lokasi terakhir sebelum kita pulang. Jadi jangan khawatir, khalayaknya tidak sebanyak di pusat kota."

"Kenapa begitu?"

Ravn tidak menjawab. Dia menarik kendali kuda untuk berbelok ke kanan.

Sejenak mereka berhenti di depan gerbang kembar yang begitu tinggi. Terdapat sepasang Laskar Angin yang berjaga di kanan dan kiri pula. Serentak mereka melangkah mendekati gerobak sementara yang satu menyapa Ai Qing. Sepertinya mereka sudah kenal lama.

"Selalu sengaja menjadikan Kompleks Bangsawan sebagai persinggahan terakhir, ya, Nona Ai Qing? Pasti sebelumnya lampion yang Anda bawa lebih banyak sampai harus menggunakan kereta kuda," katanya sebelum mengalihkan pandangan kepada gerobak. "Tampaknya Anda menerima pesanan yang sangat banyak dari Nyonya Dong."

Sebagai tanggapan pertama Ai Qing tertawa kecil. "Betapa pemurah beliau itu! Selalu memesan banyak lampion untuk dibagikan ke anak-anak. Apa tidak kau dapat dia pergi ke suatu tempat?"

"Beruntungnya Anda, beliau sama sekali tidak keluar dari kawasan kompleks. Sepertinya memang sengaja mengosongkan jadwal demi bertemu dengan Anda."

"Ah, bisa saja. Aku sendiri bukan siapa-siapa! Menantinya hingga petang mampir pun tak masalah."

Lalu senda gurau berlanjut hingga pemeriksaan selesai. Tidak banyak Ravn dan Rin bergabung dalam percakapan. Memang Ai Qing melakukannya sebab ia tahu penjaga gerbang yang satu ini cukup canggung terhadap orang baru.

Demikian gerbang dibuka, mempersilakan ketiganya masuk bersama kereta kuda.

>>>>

Continue Reading

You'll Also Like

378K 21.7K 25
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...
1.9K 195 7
Tolol adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan keadaanku saat ini. Terlalu berharap kepada komet membuatku lengah, jatuh kemudian terhanyut oleh...
2.7K 512 21
"Semuanya akan baik-baik saja." - Setelah mati dan bangkit kembali sebagai sesuatu yang berbeda, Eka menjalani pemulihan agar bisa kembali sep...
1.8K 346 12
Para pemuda bersumpah untuk berbangsa dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Namun, bagaimana kalau para hantu juga turut bekerja sama? Kerja sama apa...