Enchanted to Meet You (COMPLE...

By deby_rosselinni6

3.8K 867 2K

[romance - slice of life] Pada semester baru kelas 10, Anila terpilih sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalis... More

Blurb (Tentang Cerita)
Prolog
Bab 1 : Apakah memang penting?
Bab 2: Dunia Anila
Bab 3: Alarm tanda bahaya!
Bab 4 : Kehilangan
Bab 5: Harga diri
Bab 6: Pertama kali emot senyum
Bab 7: Skor satu kosong
Bab 8: Butterflies in the stomach
BONUS: Fanart Shaga versi sketsa realis
Bab 9: Sengatan
Bab 10: Kepercayaan diri
Bab 11: Mengagumi
Bab 12: Fiza & Anila + (GIVEAWAY)
Bab 13: Suara yang bergema dalam hati
Bab 14: Match made in heaven
Bab 15: The Moon is beautiful
Bab 16: Kegelapan ombak
Bab 17: Harapan yang dikubur
Bab 18: Enchanted
Bab 20: Kejujuran
Bab 21: Surat (END)

Bab 19: Dunia itu seperti kita?

116 22 60
By deby_rosselinni6

ANILA menertawakan dirinya, betapa berlapis diri ini hingga selalu mengejutkannya. Menit pertama, kecanggungan dan rasa sesal memenuhi dirinya sebab dia sendiri berkhianat: kembali para perasaannya untuk Shaga—cowok yang sedang dia hindari.

Tapi, disinilah dia! Tepat di hadapan Shaga yang memandanginya penuh rindu dan kekhawatiran. Kenapa pula Shaga sebaik ini padanya? Kenapa ada laki-laki yang bisa memberikan kehangatan seperti ini padahal Ayahku saja tidak?

Anila merasa bersalah, bersyukur, bingung, apapun itu, dia kacau dalam dirinya. Perasaannya yang berbagai warna membawa gelombang besar yang membuatnya mabuk. Mabuk akan cinta pertama yang rasanya mustahil.

Shaga akan pergi ke Jepang. Meninggalkanku seperti Ayah? Kenapa sesakit ini? Kenapa harus sesakit ini? Anila menahan napasnya, memperhatikan wajah Shaga yang tersenyum padanya.

Anila tak sanggup menolak kehadiran Shaga. Dia butuh seseorang! Seseorang yang bisa membuatnya lupa pada Ayahnya, pada rasa lelahnya.

Ironisnya, seseorang itu juga laki-laki. Anila tidak mau repot-repot memikirkan ini. Dia cuma mau Shaga.

Shaga kini di hadapannya, menanyakan tentang buku yang menarik perhatiannya.

"Kak Shaga," suara Anila pelan.

Orang yang dipanggil mendekatkan diri. Matanya memandang Anila seperti sedang meyakinkan bahwa dia ada di situ, dia akan mendengarkannya.

Suasana toko buku seperti perpustakaan, hening dan damai. Sunyi dan senyap. Yang terdengar hanya derap langkah kaki atau bisik-bisik dari pengunjung.

"Apa Kak Shaga rindu orangtua kakak?"

Shaga membisu, tak pernah mengira dengan pertanyaan itu.

"Iya," jawabnya singkat.

"Sering?"

Shaga mengangguk.

Anila menarik napasnya, "Orangtuaku sudah lama bercerai," lirihnya. Itu bukan sesuatu yang baru untuk Shaga ketahui. Beberapa kali berkunjung ke rumah Anila—tak ada jejak sang ayah yang terlacak.

"Aku tak tahu, apakah aku pantas mengatakan ini. Tapi, aku merasa nyaman Mama dan Ayah bercerai. Mereka tidak saling menyakiti, mereka sudah tidak berjodoh. Aku pun—" Anila mulai terisak.

Shaga mendengarkan, sorot matanya menjadi sedih.

"Mama tidak pantas diperlakukan jahat, Ayah pun sudah punya perempuan lain. Sejak dulu, aku nggak begitu nyaman dengan—" Anila menatap mata Shaga sekian detik. "Laki-laki."

Shaga mengangguk, seakan paham rasa sakitnya.

"Aku merasa akan ditelan, jatuh ke jurang dan terluka oleh duri-duri yang tumbuh di lereng jurang sebelum terjatuh dengan amat keras di dasar jurang."

Anila berhenti untuk menahan air matanya supaya tidak tumpah.

Shaga mendekatkan wajahnya untuk berbisik. "Mau pindah ke tempat yang lebih nyaman? Nggak papa nangis juga, An."

Anila menggeleng. "Aku nggak mau nangis."

Shaga tidak memaksa, jadi mereka masih berdiri di tempat yang sama di salah satu lorong toko buku paling pojok. Shaga terdiam, dia kebingungan harus merespon bagaimana. Sebagai seorang laki-laki, dia bahkan tidak tahu harus melakukan apa di hadapan Anila yang sedang rapuh.

"Maaf tiba-tiba cerita," ucap Anila, dalam nada bicaranya dirasai kalau dia menyesal menceritakan hal ini karena larut akan perasaannya.

Shaga menggeleng. "Nggak papa, nggak perlu minta maaf. Kamu boleh bercerita apa saja padaku, An."

Air matanya tumpah. Kenapa? Kenapa hiburannya seperti menyiram hatiku yang tandus?

"Aku yang minta maaf, karena nggak bisa membantu banyak. Aku bahkan nggak bisa menghibur dengan benar."

Anila terkekeh. "Kak Shaga sudah mendengarkan."

Karena kau akan pergi—

"Telingaku buat kamu, An."

"Menurut Kak Shaga, aku harus apa?"

Shaga tampaknya tahu, tahu apa yang sedang ditanggung Anila. Betapa tidak siapnya dirinya menghadapi ini. Dia tahu ke arah mana pembicaraan ini. Satu-satunya yang bisa dia katakan adalah—

"Jangan merasa bersalah. Jangan menahan diri. Kamu nggak salah," Shaga tersenyum meski hatinya perih. "Kamu nggak salah apa-apa, An."

Benar, Anila tidak salah. Gadis itu tidak pernah salah. Dia kuat, menakjubkan dengan caranya berbicara lewat tulisan, lewat matanya, lewat hatinya.

Anila tersenyum, lega dengan pembelaan Shaga walaupun tahu apa yang akan dia katakan.

"Kelulusan sekolah jadi hari terakhir kita ketemu?"

Shaga diam, lalu menjawab dengan bisikan, "Hari ini, An."

Anila menatapnya bingung.

"Aku tidak datang ke hari kelulusan karena sudah berangkat ke Jepang."

"Tapi kan Kak Shaga terpilih sebagai siswa lulusan terbaik. Kak Shaga juga terpilih sebagai siswa berprestasi di beberapa bidang, Kak Shaga—"

Anila berhenti. Dia menghentikan kekonyolannya. Keterkejutannya terlalu polos, menyingkap perasaannya. Bahwa dia tidak ingin berpisah dengan Shaga, kalau bisa.

"Itu hanya sertifikat yang bisa dikirim," jawab Shaga.

Keterlaluan! Anila frustasi betapa gampangnya bagi Shaga semua situasi ini! Kenapa Shaga begitu berbeda dengannya? Kenapa dia tak bisa menjadi serakah dan menikmati hasil yang telah dia usahakan bertahun-tahun? Kenapa dia seperti mau pergi melarikan diri, terlalu terburu-buru?

"Jadi, hanya itu artinya bagi Kak Shaga? Itu sama saja melukai harga diriku yang akan belajar mati-matian untuk menadapatkannya."

"Aku tahu, kamu akan bisa mendapatkannya meski berusaha sedikit mungkin," tawa kecil Shaga tak membuat perasaan Anila jadi baik.

Anila mendengus kesal. "Bukan itu poinnya!"

"Lalu apa?"

"Kak Shaga itu alien ya? Nggak ada gitu perasaan untuk menikmati pujian dan pengakuan orang lain? Itu pencapaian yang hebat, nggak semua orang bisa dapatkan! Apa jadinya kelulusan sekolah yang seharusnya memberi tepuk tangan dan sorak gembira, sekarang menjadi sepi karena orang yang harusnya maju tapi tidak ada?"

Cara Anila menatap Shaga dengan tajam, suaranya yang naik satu oktaf. Meski sekarang tampak kasar dan menyinggung. Itu semua, akan Shaga rindukan.

"Aku melakukannya untuk diriku sendiri. Aku cukup bangga. Aku bisa merayakannya dengan caraku sendiri," seru Shaga, menatap balik gadis pujaannya dengan lembut. "Anila, kamu tidak perlu fokus pada penilaian orang lain. Kamu sudah cukup, kalau memang kamu bahagia dan menikmatinya."

Bagaimana bisa begitu!?

"Dunia ini keras, Kak Shaga."

Shaga tertawa, tapi lebih seperti ejekan.

"Dunia kejam, dunia keras, dunia perlu perjuangan, apalagi Anila?"

Anila terdiam.

"Tapi kamu lupa, dunia juga menyenangkan. Penuh orang-orang terkasih, ada kehangatan, ada harapan, ada kebaikan," Shaga menyelami mata Anila. "Dan, ada cinta," bisiknya.

Anila meremas kedua tangannya. Bentuk pertahanan, menahan perasaannya supaya tidak menghambur pada Shaga.

"Oke. Aku juga mengakui itu."

"Jangan cuma mengakui, kamu harus menerimanya, menikmatinya, mensyukurinya. Maka, nantinya kamu nggak pecah fokus terlalu memikirkan pendapat dari orang lain, dari faktor lain yang jelas-jelas nggak bisa kita kendalikan."

Kita kendalikan. Seperti, perasaan kita?

"Jadi begini?"

"Apanya?"

"Perpisahan yang penuh pertarungan sengit, dan nasihat-nasihat yang menohok?" tanya Anila dengan nada jenaka.

"Bukan kita kalau nggak begini kan?" Shaga mengakui selera humor Anila sudah meningkat. Cukup membanggakan.

"Begini gimana?"

"Saling membantu menemukan sosok diri yang baru dengan cara yang tak terduga," jawab Shaga.

Benar! Pertemuan tak terduga, kenangan tak terduga, kini perasaan yang tak terduga pun harus mereka tanggung.

"Aku bakal kangen kamu, An."

Aku juga, sangat.

***

Anila tidak tahu kalau bercerita pada Shaga bisa sedikit meringankan perasaannya yang sesak. Ternyata menceritakannya bisa membuatnya agak lega. Air mata mulai mengalir, dan berkali-kali dia mengusapnya.

Anila sudah bersiap untuk tidur, tapi bayangan Shaga tak kunjung menghilang dari benaknya. Dia menarik selimutnya, memejamkan mata berusaha menghalau perasaannya. Nihil, enam puluh menit berlalu Anila gagal terlelap.

Anila merangkak dari tempat tidur lalu menyalakan lampu kamar. Dia membuka buku catatannya, kemudian mengambil pulpen. Aku perlu menulis, kepalaku terlalu berisik, pikir Anila.

Anila tidak pernah terpikir untuk mengungkapkan perasaannya. Karena, memang akan apa selanjutnya? Apa yang bisa terjadi ketika mereka masih terlalu muda dan dipisahkan oleh jarak yang sungguh jauh?

Lalu, Anila pikir Shaga juga berpikiran sepertinya. Seniornya itu terkenal akan komitmennya pada studi-nya. Dia memang baik dan suka membantu. Tapi selalu ada batasan yang diberlakukannya. Tapi, kenapa Anila tidak merasakan batasan itu dari Shaga?

***

26/04/2024. 1117 words.

Cuap-cuap penulis:

Halloooo readers!

Apa kabar? Setelah sakit, ternyata ada banyak hal yang terjadi, salah satunya Mamaku jugsa sakit hingga masuk UGD. Jadi, aku membutuhkan banyak waktu untuk menyusun cerita dan menuliskannya. Semoga, kalian tidak terlalu lama menunggu huhu

Hari ini akhirnya aku bisa menulis lagi dan sudah memutuskan memberikan ending yang terbaik untuk kalian!

Kalian bisa baca sambil dengerin lagu-lagunya Taylor Swift atau instrumen studio Ghibli (ini hanya rekomendasi ya, sebetulnya bebas, pilih candu kalian sendiri hiiihi). Semoga kalian suka!! ada banyak perasaan yang kutumpahkan di bab ini.

Happy reading <3

Salam hangat,

Deby Rosselinni.

P.S. puisi di bab kali ini bukan karya aku sendiri, tapi puisi karya Mamaku hehe.

Continue Reading

You'll Also Like

9.6K 1.7K 31
"Kal, kalau hidup kita berakhir, apa kita akan bahagia? Atau nanti kita makin menderita?" Pertanyaan itu seharusnya Kal anggap canda. Suatu hal yang...
57.6K 5.4K 23
Boruto dan Sarada terjebak dua kali, sudah dijebak dengan dikurung di apartemen sampai liburan musim panas selesai. Sekarang malah terjebak untuk men...
5.4K 3K 32
Memangnya aku punya kesempatan untuk kembali mencintai lagi? - September, 2021
1.8K 252 3
Alea dengan segala kecerobohannya berhasil membawa gadis itu pada alur cerita yang mulai tidak sesuai rencana. Kesalahannya dalam memberikan surat ci...